• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Istishnâ’

2. Landasan Hukum dan Operasional Istishnâ’

Para ulama membahas lebih lanjut tentang keabsahan al-Istishnâ’. Akad

istishnâ’ merupakan akad yang hampir menyamai salâm, karena ia juga menjual barang yang tidak ada, dan barang yang dibuat itu menjadi tanggungan atas pembuat yang menjual sejak akad dilakukan. Mengingat jual-beli istishnâ’

merupakan lanjutan dari jual-beli salâm maka secara umum landasan syariah

18

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003), Cet.ke-1, h. 41

19

M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet.ke-1, h. 115

31

yang berlaku pada jual-beli salâm juga berlaku pada jual-beli istishnâ’. Namun demikian, para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual-beli istishnâ’ dengan penjelasan berikut.

Menurut mazhab Hanafi, jual-beli istishnâ’ termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dangan semangat bâi’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan pada istishnâ’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual-beli istishnâ’ atas dasar istishsân karena alasan-alasan berikut ini:20

a. Masyarakat telah mempraktekkan jual-beli istishnâ’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan jual-beli

istishnâ’ sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.

b. Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas

berdasarkan ijma’ ulama.

c. Keberadaan jual-beli istishnâ’ didasrkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang sering kali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.

d. Jual-beli istishnâ’ sah sesuai aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.

20

Sebagian fuqaha kontemporer berpndapat bahwa jal-beli istishnâ’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual-beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.

a. Landasan Hukum

Ulama fiqh berpendapat, bahwa yang menjadi dasar diperbolehkannya transaksi istishnâ’ adalah firman Allah yang terdapat pada beberapa surat dibawah ini, yaitu:

1) QS. Al-Baqarah, ayat 282, yang berbunyi:

ا

….

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:

٢ ٢

(

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya……” (Al-Baqarah : 282)

Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi jual-beli salâm, yang dalam hal ini dalil ini pun menjadi acuan pada jual-beli istishnâ’. Hal ini pun tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salâm) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.

33

2) QS. Al-Baqarah, ayat: 275, yang berbunyi:

☺⌧

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:

٥

(

Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan terigu untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (Al-Baqarah : 275)

b. Landasan Operasional

Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya istishnâ’ dalam dunia perbankan, yaitu:

1) UU No. 7/92 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

2) Lampiran 6: SK BI No. 32/34/Sk tgl. 12/05/99 Dir BI, tentang Prinsip-prinsip Kegiatan Usaha Perbankan syariah

3) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/17/PBI/2004 Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

4) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/PBI/2004 Bank Umum yang

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

5) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegitan usaha berdasarkan prinsip syariah, pasal.

6) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 4 April 2000 tentang Jual Beli Istishnâ’.

7) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 22/DSN-MUI/III/2004 tertanggal 28 Maret 2004 tentang Jual Beli Istishnâ’ Pararel.

3. Rukun dan Syarat-syarat Istishnâ’

Adapun rukun istishnâ’ adalah21: a. Produsen/pembuat (shâni’) b. Pemesan/pembeli (mustashni’) c. Proyek/Usaha/Barang/Jasa (mashnu’) d. Harga (tsaman)

e. Shigat (ijabqabul)

Sedangkan syarat istishnâ’22 adalah: a. Pihak yang berakad

1) Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji 2) Punya kekuasaan untuk melakukan jual-beli

3) Pihak yang membuat barang (produsen) menyatakan kesanggupan untuk mengadakan/membuat barang itu

b. Produsen/pembuat (shâni’)

1) Produsen adalah orang atau badan hukum yang ahli di dalam bidangnya dan bertanggung jawab penuh terhadap hasil produksinya

2) Produsen bisa ditunjuk langsung oleh bank (pihak pertama) atau bisa juga pilihan dari nasabah (pilihan nasabah)

21

Arcarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), Cet ke-1,h. 97

22

Sofyan Syafri Harahap dkk, Akuntansi Perbankan Syariah, (Jakarta: Penerbit LPEE Usakti, 2005), Cet, ke-1, h. 183

35

c. Pemesan/pembeli (mustashni’) 1) Nasabah harus cakap hukum

2) Mempunyai kemampuan untuk membayar

3) Pesanan yang sudah selesai wajib dibeli oleh nasabah/pemesan

4) Jika ada perubahan kriteria pesanan dari pihak nasabah, maka harus segera dilaporkan ke bank dan bank akan menyampailannya kepada produsen 5) Perubahan bisa dilakukan apabila pihak produsen dan bank menyetujui 6) Jika terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah

akad ditanda tangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.

d. Mashnu’ (Barang/objek pesanan)

Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000, tentang Jual-beli Istishnâ’ khususnya pada ketetapan kedua mengenai “Ketentuan Tentang Barang”, maka telah ditetapkan:

1) Harus jelas ciri-cirinya dapat diakui sebagai hutang 2) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya

3) Penyerahannya dilakukan kemudian

4) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan

5) Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya 6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan sejenis sesuai kesepakatan

7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

e. Harga Jual (Tsaman)

1) Harga jual kepada nasabah adalah harga beli ditambah keuntugan yang disepkati oleh penjual dan pembeli.

2) Masa pembuatan harus jelas dan dicantumkan dalam akad. 3) Dilakukan pada awal akad sebelum penyerahan barang.

4) Dilakukan setelah penyerahan barang baik secara keseluruhan atau diangsur.

5) Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama janka waktu akad.

6) Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama. f. Jual beli Istishnâ’ Pararel

Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi

istishnâ’. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara

istishnâ’ maka hal ini disebut istishnâ’ pararel. Istishnâ’ pararel dapat dilakukan dengan syarat:

1) Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir.

37

3) Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor

22/DSN-MUI/III/2004 tertanggal 28 Maret 2002, tentang jual beli istishna’ pararel khususnya ketetapan pertama mengenai “Ketentuan Umum”

4) Jika LKS melakukan transaksi istishnâ’ untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishnâ’ lagi dengan pihak lain dengan objek yang sama, dengan syarat istishnâ’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishnâ’ yang kedua.

5) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishnâ’ (Fatwa DSN No.06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula pada istishnâ’ pararel.

g. Perselisihan

Jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

4. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak

Kontrak istishnâ’ menciptakan kewajiban moral bagi perusahaan untuk memproduksi barang pesanan pembeli. Sebelum perusahaan memulai produksinya, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan sebelumnya kepada pihak lain. Namun demikian, apabila perusahaan sudah memulai produksinya, kontrak istishnâ’ tidak dapat diputuskan secara sepihak.23

23

Dokumen terkait