• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Landasan Konseptual

Pengertian dasar perlu dikemukakan untuk sekaligus membatasi konotasi lain dari suatu istilah yang mempunyai makna yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

15

2.3.1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis yang berhubungan dengan perbuatan yang melanggar hukum pidana, lain hal-halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dan demikian juga dalam Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaarfeit. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yaitu straf, baar dan feit. Berbagai

istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan (Chazawi, 2002:67).

Banyak pengertian tindak pidana seperti yang dijelaskan oleh beberapa ahli sebagai berikut:

1. Menurut Vos, tindak pidana adalah salah kelakuan yang diancam oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana (Andrisman, 2007:81).

2. Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Andrisman, 2007:81).

16

3. Menurut Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dikenakan hukuman pidana (Andrisman, 2007:81).

4. Menurut Pompe mendefinisikan tindak pidana menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum sedangkan menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (Andrisman, 2007:81).

5. Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang dapat dibagi menjadi dua macam yaitu subyektif dan obyektif (Moeljatno, 1993:69).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diketahui tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

2.3.2. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Banyak pendapat mengenai apa yang disebut pelaku. Van Hamel memberikan pengertian mengenai pelaku tindak pidana dengan membuat suatu definisi yang mengatakan bahwa pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kelapaanya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tidak dinyatakan secara tegas (Lamintang 1997:593).

17

Sedangkan Professor Simons memberikan definisi mengenai apa yang disebut dengan pelaku atau daader. Bahwa pelaku tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidak sengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur-unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan didalam undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri ataukah timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga (Lamintang 1997:594).

Pengertian mengenai siapa pelaku juga dirumuskan dalam Pasal 55 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:

1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (plegen). Yaitu orang tersebut melakukan tindak pidana sendirian tidak ada temannya.

2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen

plegen). Yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana,

yang mana orang disuruh melakukan tindak pidana tersebut tidak mampu bertanggung jawab sehingga dalam hal ini orang yang menyuruh dapat di pidana sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dipidana.

3. Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede plegen) KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut

18

melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana harus memenuhi dua syarat yakni harus adanya kerjasama secara fisik dan harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana.

4. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uit lokken). Syarat-syarat uit lokken adalah sebagai berikut:

a. Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana.

b. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana. c. Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang

tersebut didalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e (pemberian, perjanjian, ancaman dan lain sebagainya).

d. Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaku bukan lah hanya dia yang melakukan perbuatan pidana sendiri dan perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang tetapi juga mereka yang menyuruh melakukan, yang turut melakukan dan orang yang dengan bujuk rayu, perjanjian dan sebagainya menyuruh melakukan perbuatan pidana.

2.3.3. Pengertian Alasan Penghapus Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memuat dalam buku I Bab III tentang alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan

19

pidana. Alasan penghapus pidana adalah alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tetapi tidak dipidana. Menurut M.v.T dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengemukakan apa yang disebut-sebut alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang atau alasan tidak dapat dipidananya seseorang yaitu:

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inweding), Pasal 44 KUHP.

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uitweding), Pasal 48-51 KUHP. (Aldy, yoyaldi.blogspot.com/alasan-penghapus-pidana, akses 30 November 2018).

Ilmu pengetahuan hukum pidana membedakan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat.

Penghapus pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan menjadi dua jenis alasan penghapus pidana yaitu:

1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond), yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Apabila perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada pemidanaan (Sudarto, 1990:139).

2. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsground), yaitu menyangkut pribadi sipembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum.

20

Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak ada pemidanaan (Sudarto, 1990:139).

2.3.4. Jenis-Jenis Alasan Penghapus Pidana 1. Tidak mampu bertanggung jawab 2. Daya paksa

3. Keadaan darurat 4. Pembelaan darurat

5. Melaksanakan peraturan undang-undang 6. Melaksanakan perintah jabatan

2.3.5. Pengertian Aborsi

Aborsi berasal dari bahasa Latin, yaitu abortus, yang mengandung pengertian berakhirnya atau berhentinya kehamilan dimana janin belum dapat hidup diluar rahim (viable) atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (Machmud, 2012:366). Konsepsi itu sendiri terjadi ketika telur yang dibuahi menjadi tertanam di dalam rahim. Kejadian ini menandakan bermulanya kehamilan (Nugraha, 2010:167).

Menurut Taufan Nugroho (2011:20), aborsi adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup janin sebelum tumbuh.

21

Menurut Eastman yang dikutip dalam buku karangan Rustam Mochtar, menyatakan bahwa aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup artinya apabila fetus itu beratnya antara 400-1000 gram atau kehamilan kurang dari 28 minggu (Mochtar, 1998:209).

Menurut Bambang Poernomo, pengguguran kandungan (abortus) adalah lahirnya buah kandungan sebelum waktunya oleh perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan pidana kejahatan (Poernomo, 1982:137).

Menurut Kamus Hukum, Aborsi merupakan penghentian atau penggagalan kehamilan atau pengguguran anak dalam kandungan dengan menggunakan cara yang melawan hukum (Marwan dan Jimmy, 2009:10).

Menurut Ensiklopedi Indonesia yang dikutip dalam buku karangan Wila Chandrawila Supriadi, pengguguran kandungan diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1000 gram (Supriadi, 2001:74).

Sedangkan, dalam Black’s Law Dictionary yang dikutip dalam buku karangan Wila Chandrawila Supriadi, dikatakan bahwa abortions adalah: “thespontaneous or artificially induces expulsion of an embryo or fetus. As

used inlegal context; usually reffers to induced abortion” (Seran dan

Setyowati, 2010:60).

Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh

22

kesehatan, aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu.

Di Indonesia belum ada batasan resmi mengenai pengguguran kandungan (aborsi). Aborsi didefinisikan sebagai terjadinya keguguran janin, melakukan aborsi sebagai melakukan pengguguran dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu.

Menurut Kartono dan Gulo (Andayani dan Setiawan, 2005:64), aborsi atau disebut juga pengguguran kandungan, keluron, abortus atau keguguran adalah pengguguran atau pengenyahan dengan paksa janin (embrio) dari rahim (uterus) selama tiga bulan. Secara umum istilah aborsi diistilahkan sebagai pengguguran kandungan yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja atau tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih berusia muda (sebelum bulan keempat masa kehamilan).

2.3.6. Jenis-Jenis Aborsi

Aborsi dapat terjadi, baik karena sebab-sebab alamiah atau dengan sendirinya (aborsi spontan), maupun akibat perbuatan manusia (abortus

provokatus). Abortus provokatus itu sendiri merupakan gagalnya kehamilan

atau gugurnya anak di dalam kandungan dengan ditandai keluarnya fetus atau embrio karena adanya unsur kesengajaan (adanya campur tangan manusia) atau semata-mata tidak terjadi secara alami. Aborsi karena perbuatan manusia tersebut dapat terjadi, baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit

23

maupun untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan (Abortus provocatus therapeutics/ medicalis). Di samping itu juga karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus provocatus criminalis). Berikut merupakan jenis-jenis aborsi yang dikenal dalam dunia kedokteran:

1. Aborsi spontan (alamiah)

Berlangsung tanpa tindakan apapun, biasanya disebabkan kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.

2. Aborsi buatan (sengaja)

Yaitu pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan sengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Aborsi buatan dapat dibagi menjadi aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) dan aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal).

3. Provocatus therapeutics/ aborsi medicalis

Yaitu aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia. Dapat terjadi baik karena di dorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit. Aborsi provokatus dapat juga dilakukan pada saat kritis untuk menolong jiwa si ibu, kehamilan perlu diakhiri, umpamanya pada kehamilan di luar kandungan, sakit jantung yang parah, penyakit TBC yang parah, tekanan darah tinggi, kanker payudara, kanker leher rahim. Indikasi untuk melakukan aborsi provokatus

24

therapeuticum sedikit-dikitnya harus ditentukan oleh dua orang dokter spesialis, seorang dari ahli kebidanan dan seorang lagi dari ahli penyakit dalam atau seorang ahli penyakit jantung.

4. Aborsi provokatus criminalis

Inilah aborsi yang dilakukan dengan sengaja, baik oleh si ibu maupun oleh orang lain dengan persetujuan si ibu hamil. Hal ini dilakukan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya malu mengandung karena hamil di luar nikah. Aborsi ini biasanya dilakukan demi kepentingan pelaku, baik itu dari wanita yang mengaborsikan kandungannya ataupun orang yang melakukan aborsi seperti dokter secara medis ataupun dilakukan oleh dukun beranak yang hanya akan mencari keuntungan materi saja. 5. Aborsi komplitus

Artinya keluarnya seluruh hasil konsepsi sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu.

6. Aborsi Habitualis

Artinya aborsi terjadi tiga atau lebih aborsi spontan berturut-turut. Aborsi habitualis ini dapat terjadi juga jika kadangkala seorang wanita mudah sekali mengalami keguguran yang disebabkan oleh ganguan dari luar yang amat ringan sekali, misalnya terpeleset, bermain skipping (meloncat dengan tali), naik kuda, naik sepeda dan lain-lain. Bila keguguran hampir tiap kali terjadi pada tiap-tiap kehamilan, maka keadaan ini disebut“aborsihabitualis” yang biasanya terjadi pada kandungan minggu kelima sampai kelimabelas.

25

7. Aborsi diinduksi

Yaitu penghentian kehamilan sengaja dengan cara apa saja sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu dapat bersifat terapi atau non terapi. 8. Aborsi insipiens

Yaitu keadaan perdarahan dari interauteri yang terjadi dengan dilatasi serviks kontinu dan progresif tetapi tanpa pengeluaran hasil konsepsi sebelum umur kehamilan 20 minggu.

9. Aborsi terinfeksi

Yaitu aborsi yang disertai infeksi organ genital.

2.3.7. Pengaturan Aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Pasal 1 Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009

1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.

3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

26

5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.

8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.

9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

27

10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan dan penanganan permasalahan kesehatanmanusia.

11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.

Pasal 71 Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009

1. Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

2. Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan dan sesudah melahirkan; b. Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi dan kesehatan seksual; dan c. Kesehatan sistem reproduksi.

3. Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

28

Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 1. Setiap orang dilarang melakukan aborsi

2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76 Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: 1. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari

Dokumen terkait