• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Pengembangan Kurikulum

3. Landasan Pengembangan Kurikulum

Dalam pengembangan kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan sebelum mengambil suatu keputusan. Adapun kurikulum pasti membutuhkan landasan untuk dijadikan sebuah pegangan.Pengembangan kurikulum di sebuah negara, baik negara terbelakang (underdeveloping contries), Negara berkembang (developing

contries), maupun negara maju (developed contries) pasti mempunyai persamaan dan perbedaan dalam menentukan landasannya.

Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) hendaknya memperhatikan keadaan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non-fisik. Lingkungan fisik ditandai dengan barbagai keadaan baik daerah urban, rural, semi urban maupun semi rural yang tersebar di beribu-ribu pulau. Sedangkan lingkungan non fisik berupa barbagai macam suku, ras, bahasa, agama, di samping berbagai lapangan hidup yang sangat heterogen. Oleh karena itu, dalam pengembangan kurikulum perlu diperhatikan landasannya. Menurut Dakir,17 Adapun landasan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum PAI adalah;

a. Landasan Filosofis.

Dalam batas modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua hal yang muncul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang berharap agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Intinya, manusia merupakan inti dari dunia.18

Bagi para pengembang kurikulum yang memiliki pemahaman yang kuat tentang rumusan filsafat, dimungkinkan untuk dapat memberikan dasar yang kuat dalam mengambil suatu keputusan yang tepat. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang kurikulum, yaitu seorang pengembang kurikulum dalam mengembangkan kurikulum tidak

17 Dakir, Perencanaan Dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 59

boleh menonjolkan atau mementingkan filsafat pribadinya, melainkan harus mempertimbangkan falsafah Negara, falsafah lembaga pendidikan, dan falsafah staf pengajar atau pendidik.19

Sehubungan dengan berbagai aliran filsafat, dapat dikatakan bahwasannya tidak satupun orang yang menganut satu aliran sepenuhnya. Semua orang dalam proporsi yang berbeda-beda menggunakan keempat aliran filsafat ini menurut kondisi dan situasi tempat seseorang itu berada. Jadi dalam keadaan tertentu seseorang itu idealis misalnya dalam hal beragama, realis dalam penelitian ilmiah, pragmatis dalam menghadapi masalah sosial, dan eksistensialis dalam merealisasikan dirinya.

1) Falsafah bangsa.

Seluruh Negara di dunia ini pasti mempunyai falsafah mengenai pendidikan. Keberadaan kurikulum adalah untuk memelihara keutuhan dan persatuan bangsa dan Negara.

Dalam kontek keindonesiaan, rupanya persoalan falsafah pendidikan tidak begitu dipersoalkan mengingat Pancasila dan UUD 1945 telah diterima secara resmi oleh semua kalangan, bahkan tidak bertentangan dengan Filsafat Pendidikan Islam atau Filsafat Pendidikan (Agama) lain.

Keberadaan falsafah Pancasila harus dijadikan kerangka utama (mainstream) dalam mengontrol pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan pada suatu negara, karena keberadaan filsafat tersebut akan mempengaruhi semua kebijakan dan keputusan dalam pengembangan kurikulum. Dengan demikian pelaksanaan lembaga pendidikan pada

tingkat tertentu masih merupakan kelanjutan atas tingkat pendidikan sebelumnya, yang menggambarkan pencapaian tingkat pendidikan nasional, sejak jenjang pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi, dengan tetap berdasar pada filosofi Pancasila.

2) Falsafah lembaga pendidikan.

Dalam konteks pendidikan, pancasila dijadikan pedoman bagi lembaga pendidikan untuk mengembangkan falsafah atau pandagan masing–masing sesuai dengan visi, misi, dan tujuan nasional serta nilai-nilai masyarakat yang dilayaninya. Misalnya SMA, setiap SMA pasti mempunyai falsafah masing-masing yang tentunya berbeda-beda dalam hal keunggulan-keunggulannya tetapi tetap berpegang pada falsafah pancasila.

Falsafah suatu lembaga pendidikan hendaknya ditulis secara jelas. Dalam merumuskan falsafah lembaga pendidikan hendaknya memiliki komponen-komponen berikut ini: pertama; alasan rasional mengenai eksistensi lembaga pendidikan itu, kedua; prinsip prisip pokok yang mendasarinya, ketiga; nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi, dan keempat; prinsip-prinsip pendidikan mengenai hakikat anak didik, hakikat proses belajar mengajar, dan hakikat pengetahuan. 20

3) Falsafah pendidik/guru.

Dalam operasional kurikulum, pendidik menduduki peranaan yang sangat penting. Oleh karena itu, setiap pendidik harus mengetahui gambaran falsafah lembaga pendidikan dimana dia mengajar.

Keberadaan falsafah seorang pendidik memang sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. Dengan demikian seorang pendidik harus professional.

b. Landasan Psikologis.

Secara sederhana, landasan psikologi berarti kegiatan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat psikologis. Artinya pengembangan kurikulum memperhatikan aspek perbedaan, umur, kemampuan berfikir, dan pengetahuan siswa pada saat itu.

Landasan psikologis akan membantu para pengembang kurikulum dalam memilih tujuan-tujuannya, misalnya dalam memilih pengalaman belajar yang akurat. Dengan landasan ini, pengembang kurikulum bisa memakai teori-teori belajar yang pernah dipublikasikan oleh para ahlinya. Adapun teori-teori belajar yang dimaksud adalah:

1) Teori behaviorisme.

B.F. Skinner merupakan tokoh utama yang mewakili teori behaviorisme ini.Ia mendasarkan teori ini atas karya Ivan Pavlov, Edward L. Torndike, Clark Hull, dan Hebert Spencer. Prinsip dari aliran ini adalah berdasarkan unit belajar.Seorang behavioris memandang pelajar sebagai organisme yang merespon terhadap stimulus dari dunia sekitarnya. Jadi peran guru adalah menyajikan stimulus tertentu yang membangkitkan respon tertentu yang merupakan hasil belajar yang diinginkan. Menurut teori ini belajar mulai dari yang paling sederhana (mudah), menguasai satu langkah sebelum melaju kelangkah berikutnya yang lebih sulit dan komplek.

2) Teori pengembangan kognitif.

Tokoh utama teori ini adalah John Dewey dan Jean Piaget. Teori pengembangan kognitif mengungkapkan bahwa kematangan mental tumbuh secara bertahap pada peserta didik sebagai follow-up dari interaksinya dengan lingkungan. Peserta didik harus dibimbing dan dibina dengan hati-hati dan teliti, diberi pelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya,dan diberi bantuan agar mereka maju kearah tingkat perkembangan berikutnya.

Dengan bertambahnya usia anak, proses kognitif secara continue direstruktur agar mencapai tingkat pemikiran dan perbuatan yang lebih kompleks dan lebih matang.

Jean Piaget melakukan penelitian terhadap peserta didik dengan menggunakan observasi dan wawancara yang cermat. Dari hasil penelitian ini ia mengemukakan tingkat-tingkat perkembangan intelektual anak, yaitu 1) Pra-operasional, 2) Operasi konkret, dan 3) operasi formal. Perkembangan normal peserta didik akan terjadi bila peserta didik dilepaskan dari hambatan otoritas.

Selanjutnya ia mengemukakan bahwasannya proses belajar terjadi bukan sebagai hasil pujian dan hukuman, melainkan sebagai hasil proses restrukturisasi kognitif atas pengaruh lingkungan eksternal. Berkat adanya struktur kognitif peserta didik dapat memahami lingkungan. 3) Teori Lapangan (Teori Gestalt).

Kata gestalt tidak sama dengan istilah yang ada di dalam bahasa inggris. Gestalt mempunyai arti pettern atau configuration. Teori gestalt

sangat mementingkan peserta didik dalam proses belajar mengajar. Individu merupakan sentral dalam proses belajar dan proses belajar bukan sekedar akumulasi ilmu pengetahuan, yakni menambah suatu segmen pengetahuan kepada pengetahuan yang telah ada. Teori ini berpendapat tentang keseluruhan lain dan lebih dari jumlah bagian-bagiannya. Anak tumbuh sebagai keseluruhan, sehingga perubahan pada suatu aspek akan mempengaruhi pribadi anak secara total.

Dalam belajar, peserta didik kadang menemukan insight atau penalaran spontanitas, tiba-tiba, sehingga dalam belajar anak didik tidak hanya memupuk ilmu pengatahuan. Informasi yang baru masuk diproses secara mental dengan informasi yang tersimpan dalam ingatan, sehingga muncul pemahaman atau insight baru. Walaupun demikian keadaan insight tersebut berbeda antar peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, dikarenakan setiap individu memiliki lafe space (ruang lingkup) yang berlainan. Life space terbentuk oleh totalitas pengalaman seseorang selama hidupnya dan keberadaannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memersepsi dunia di sekitarnya dan dengan demikian akan mempengaruhi proses belajarnya.

Penganut teori ini cenderung menganjurkan pendidikan humanistik dengan memupuk konsep diri yang positif pada peserta didik. Hal ini disebabkan karena teori ini sangat mementingkan individu. Konsep diri yang positif akan memengaruhi yang baik pada peserta didik, sebaliknya konsep diri yang negatif akan menghalangi proses belajar.

4) Teori kepribadian.

Selama periode 1920-an dan 1930-an Hartshorn dan May mengadakan penelitian tentang kelakuan moral anak-anak. Sifat moral seperti kebaikan, kejujuran dan sebagainya dianalisis sehingga menjadi dasar penelitian selanjutnya yang meneliti alasan-alasan emosional-psikologi di balik kelakuan anak, misalnya cinta kasih, rasa benci, rasa bersalah dan lain-lainnya.

Berdasarkan penelitian Hartshorn dan May serta dipengaruhi pula oleh Freud, maka pada tahun 1950-an, Peck dan Havighurst mengembang suatu tipologi kepribadian yang sering dipandang sebagai teori motivasi ditinjau dari segi psiko-sosial. Mereka menemukan lima tipe watak yang mempengaruhi pola motivasi individu, yakni:

 Tipe a-moral, maksudnya anak sepenuhnya egosentris, memuaskan diri tanpa menghiraukan orang lain.

 Tipe expedient, maksudnya anak agak egosentris, patuh tanpa memiliki sistem moral “internal” dan dengan demikian dapat memuaskan kebutuhan diri, jadi ia dikontrol oleh kontrol “eksternal”.

 Tipe konfermis: anak berusaha memenuhi tuntutan eksternal karena takut tidak mendapat perhatian dan penghargaan, jadi anak belum mempunyai sistem moran internal.

 Tipe irrational conscientious: ia telah memilikim sistem moral internal tentang yang buruk, akan tetapi dalam pelaksanaannya ia sangat ketat dan kaku, tanpa mengizinkan pengecualian atau

pertimbangan, sehingga tampaknya mengabaikan perasaan orang lain, dankarena itu dianggap tidak rasional (irrational).

 Tipe altruistik rasional: pada saat ini sistem moral anak telah sangat berkembang, ia menyadari kebutuhan dan keinginan orang lain, ia sangat sensitif dan rela berkorban untuk orang lain.

Teori kepribadian berhubungan erat dengan teori perkembangan kognitif dan teori lapangan dalam upaya mengenal peserta didik sebagi individu berkembang menurut fase-fase perkembangannya, tetapi berdasarkan cara dan speed yang berlainan.

c. Landasan Iptek.

Secara garis besar teknologi dibagi menjadi dua yaitu teknologi sederhana dan canggih. Teknologi sederhana misalnya, berupa kerajinan tangan (anyam-anyaman, ukiran, alat rumah tangga tradisional, kerajinan batikdan lain sebagainya). Sedangkan yang termasuk teknologi tinggi atau canggih misalnya yang dapat beroperasi di darat, laut dan udara atau campurannya yang menjamah keseluruh lapangan kehidupan.

Dengan melihat dan mempertimbangkan betapa pentingnya teknologi maka pengembangan kurikulum sudah selayaknya bukan cuma mempertimbangkan landasan ini, akan tetapi mamang seharusnya diarahkan pada bahan ajar yang dinamis dan fleksibel terhadap perkembangan teknologi.

d. Landasan Sosial Budaya.

Secara bahasa sosiologi berasal dari bahasa latin socius: teman, kawan, sahabat dan logos: ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi dapat

didefinisikan sebagai ilmu tentang cara berteman/berkawan/bersahabat yang baik, cara yang baik dalam bergaul dengan masyarakat.21 Dari segi istilah banyak yang sudah mendefinisikan sosiologi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka masing masing. Menurut PJ. Bouwman22 sosiologi adalah ilmu masyarakat umum. Sedangkan Mayor Polak23 mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, baik formal maupun material, dan baik statis maupun dinamis. Adapun peran landasan sosiologis adalah sangat penting dalam pengembangan kurikulum, Karena pada prinsipnya pengembangan kurikulum mencerminkan cita-cita, keinginan tertentu, dan kebutuhan masyarakat. Merupakan hal yang wajar jikalau pendidikan memperhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberikan jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi-budaya yang dominan.

Dari sudut pandang sosiologis dalam sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat yakni: pertama; Mengadakan revisi dan perubahan sosioal, kedua; Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah, ketiga; Mendukung dan turut memberikan kontribusi pada pembangunan, keempat, Menyampaikan

21

Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem

Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h. 3

22

PJ.Bouwman, terj. Sugito Suyitno, Sosiologi: Pengertian Dan Masalah, (Yogyakarta: Kanisius, 1971), h. 1

kebudayaan dan nilai-nilai tradisional serta mempertahankan status quo, kelima; Mengeksploitasi orang banyak demi kesejahteraan golongan elit, keenam; Mewujudkan revolusi sosial untuk melenyapkan pengaruh-pengaruh pemerintah terdahulu, ketujuh; Mendukung kelompok-kelopok tertentu, antar lain kelompok militer, industri, atau politik, kedelapan; Menyebarluaskan falsafah, politik, dan kepercayaan tertentu, kesembilan; Membimbing dan mendisiplinkan jalan pikiran generasi muda, kesepuluh; Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebelas; Mendidik generasi muda agar menjadi warga negara nasional dan dunia, duabelas; Mengajarkan keerampilan pokok, misalnya membaca, menulis, dan berhitung, serta tigabelas; Memberikan keterampilan yang berhubungan dengan mata pencaharian.24

Jadi, dalam mengambil suatu keputusan mengenai pengembangan kurikulum PAI, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal, merespon berbagai kebutuhan yang diusulkan oleh beragam golongan dalam masyarakat dan memenuhi nilai nilai falsafah pendidikan bangsa dan berkait dengan falsafah pendidikan yang berlaku.

Dokumen terkait