• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

B. Landasan Sosiologis

Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia memiliki kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada setiap warga Negara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas sebagaimna tercantum dalam UUD 1945 yakni persamaan setiap hak warga Negara untuk mendapatkan pengajaran dijamin berdasarkan pasal 28c ayat (1) yang berbunyi: setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pada pasal ini dijamin hak pendidikan bagi setiap warga Negara dan tentu tak terkecuali aank-anak penyandang disabilitas.

Pemerintah Daerah Istimwea Yogyakarta bekomitmen untuk menjamin dan memberikan hak pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. DIY telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah mengamanatkan hak pendidikan bagi penyandang disabilitas, Peraturan Daerah Nomor

151

15 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Pendidikan Menengah, Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pendidikan Inklusif. Peraturan ini pada intinya mewajibkan setiap satuan pendidikan menerima peserta didik berkebutuhan khusus dan Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pusat Sumber Pendidikan Inklusif.

Berdasarkan dapodik (2019) jumlah anak berkebutuhan khusus di DIY yang bersekolah di SLB mencapai 2725 anak, sedang anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi mencapai 1980 anak. Adapun jenis hambatan yang dimiliki anak adalah hambatan visual, hambatan pendengaran, hambatan intelektual, hambatan gerak, autis, hiperaktif, kesulitan belajar, slow learner, anak cerdas istimewa dan bakat istimewa, tuna ganda dan lain sebagainya. Jadi, total jumlah ABK yang bersekolah di sekolah khusus dan satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif baik SD, SM dan SMA/SMK di DIY mencapai 4.705 peserta didik dengan berbagai jenis hambatan yang ditampung di 79 SLB (9 SLB Negeri, 70 SLB Swasta) dan 245 sekolah inklusi (SD, SMP, SMA dan SMK). Data ini adalah fakta yang secara sosiologis memiliki masalah yang harus diatasi.

Pemerintah DIY memiliki 4 kabupaten dan 1 kota dimana penyelanggaraan pendidikan khusus dilakukan melalui sekolah khusus dan pendidikan inklusif. Pelaksanaan pendidikan khusus di sekolah luar biasa dan sekolah inklusi memiliki banyak tantangan terkait dengan jumlah guru, kompetensi guru, guru pembimibing sarana-prasana belajar, aksesibilitas, keberadaan pusat sumber, dan sistem dukungan dari stakeholder dan pemerintah daerah kabupaten ataupun kota (peningkatan mutu guru, pendanaan, bantuan sarana dan prasarana).

Secara sosiologis, intrumen pendidikan khusus di DIY sudah memberikan kontribusi bagi masyarakarat DIY khususnya bagi

152

keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus agar dapat bersekolah. Jumlah sekolah luar biasa di DIY mencapai 79 SLB. Memang SLB tersebut tidak merata di semua kecamatan ada. Hal ini mengakibatkan anak-anak berkebutuhan khusus kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang baik. Sangat masuk akal jika pemerintah DIY berkenan membangun satu atau dua sekolah luar biasa di wilayah yang dianggap membutuhkan. Oleh karena itu DIY mengembangkan konsep pendidikan inklusif sebagai salah satu cara mangatasi permasalahan tersebut meski sekolah inklusi belum sepenuhnya siap.

Fokus pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak dapat melanjutkan pendidikanya sebagai bekal hidup dan hidup secara mandiri baik mengurus diri sendiri dan bekerja secara mandiri. Sebagaimana diketahui bahwa peserta didik berkebutuhah khusus dapat mengikuti pendidikan di slb maupun di sekolah inklusi.

Secara empiris harus diakui masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus setelah seselasi dari pendidikan di SLB masih banyak yang belum memiliki kemandirian secara baik. Kompetensi yang dimiliki terkadang belum bisa digunakan untuk mendapatkan pekerjaan yang diidamkan. Oleh karena itu penrting sekali sekolah didorong untuk mengembangkan program-program keterampilan yang relevan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik. Sekolah dan Pemerintah Daerah harus menjalin kerjasama/bermitera dengan dunia industry agar anak-anak tersebut dapat berpartisipasi dalam kegiatan produksinya.

Sekolah inklusi mencoba melindungi hak-hak pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan non-diskriminatif, sehingga anak-anak tersebut dapat mengakses pendidikan dengan baik. Namun demikian masih banyak tantangan bagi guru tentang sikap

153

penerimaan, pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus, pembelajaran yang belum ramah, cara evaluasi dan penilaian, sarana prasarana, masalah guru pembimbing khusus yang terbatas dan belum adanya lemabaga unit layanan disabilitas yang mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Belum adanya kesadaran dan adanya perspektif masyarakat yang salah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus menambah masalah bagi implementasi pendidikan khusus di DIY. Pemerintah DIY sudah memiliki action plan dalam menyediakan dan mengembangkan sistem layanan pendidikan khusus namun hal tersebut belum memberikan layanan yang terbaik. Sinergisitas elemen dalam lembaga pendidikan dan lembaga terkait untuk memberikan dukungan bagi peneyelenggaraan pendidikan juga memiliki tantangan tersendiri. Anak-anak berkebutuhan khusus sangat mengharap dapat terpenuhinya layanan pendidikan yang terbaik sehingga kelak lulus dari sekolah menjadi inividu yang mandiri dan dapat berkontribusi bagi keluarga, masyarakat dan Negara Republik Indonesia.

Secara sosiologis, anak-anak berkebutuhan khusus harus dijamin haknya untuk dapat bermain bersama dengan anak-anak pada umumnya, memiliki teman, bersekolah bersama, berada dalam keluarga yang memberikan dukungan dan menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif serta dalam masyarakat yang bersedia menerima, melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus dalam masyarakat sosial sehingga mencapai prestasi sesuai dengan kemempuan masing-masing anak. Namun kenyataannya, masih banyak peristiwa sosial yang mendiskriminasikan secara sengaja agar anak-anak berkebutuhan khusus untuk tidak terlibat dalam peran sosialnya karena berbagai alasan.

Berbagai persoalan sosial pendidikan berkebutuhan khusus di DIY menuntut adanya desain dan regulasi yang dapat mengatur,

154

memperbaiki dan menjadikan penyelenggaraan pendidikan khusus menjadi lebih baik. Regulasi, pemberian dukungan sarana prasarana untuk menunjuang penyelenggaraan pendidikan khusus, peningkatan sumber daya manusia, dan membangun perspektif masyarakat baik masyarakat sosial, keluarga, dan sekolah terhadap pendidikan khusus sangatlah utama. Tak kalah penting adalah membangun sinergisitas perangkat pendidikan pada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten Kota untuk menyelenggarakan pendidikan khusus baik di SLB maupun di sekolah inklusi. Berdasarkan berbagai kondisi inilah perlu disusun Raperda Penyelenggaraan Pendidikan Khusus di DIY.

Dokumen terkait