• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Sosiologis

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

B. Landasan Sosiologis

Pendidikan kedokteran tentu akan menghasilkan dokter-dokter yang akan bertugas di tengah-tengah masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat, bangsa dan negara. Berikut ini beberapa fakta sosiologis yang memberi alasan cukup kuat perlunya pembentukan undang-undang baru yang mengatur pendidikan kedokteran.

1. Penyakit atau Pandemi

Ini terkait dengan faktanya sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa kehidupan manusia juga selalu dihadapkan dengan penyakit atau pandemi yang selalu berganti bentuk dan jenis. Dengan adanya perubahan pola penyakit dan semakin tingginya mobilisasi masyarakat dunia telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam penyebab kematian dan kesakitan, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan kedokteran dasar atau undergraduate medical program atau basic medical education di berbagai negara telah menambahkan konten kesehatan global dan kesehatan pencegahan dalam kurikulum pendidikannya.

Di Indonesia, misalnya, pada tahun 1990, penyakit menular (ISPA, tuberkulosis dan diare) merupakan penyebab kematian dan kesakitan terbesar di Indonesia. Selanjutnya, mulai tahun 2010 terjadi perubahan beban penyakit menjadi penyakit tidak menular selain tuberculosis dan diare sebagai penyebab kematian dan kesakitan. Pada tahun 2015, lima peringkat teratas penyebab kematian dan kesakitan terbesar adalah

165 stroke, kecelakaan lalu lintas, jantung iskemik, kanker dan diabetes mellitus, yang termasuk dalam kelompok penyakit tidak menular.

Dan, di luar dugaan, pada tahun 2019 muncul lagi jenis penyakit atau pandemi baru yakni Covid-19 yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina. Sekarang virus Covid-19 telah melanda di seluruh belahan dunia tak terkecuali di Indonesia. Covid-19 masih melanda dunia dan Indonesia dan kita tidak tahu kapan akan berakhir. Dalam penanaganan Covid-19 ini, di Indonesia, justru banyak menelan korban tenaga kesehatan (termasuk dokter) yang sedang bertugas melayani pasien Covid-19.

Perubahan beban penyakit di masyarakat ini tentu perlu diikuti dengan perubahan dalam pembelajaran utama bagi mahasiswa pendidikan kedokteran, terutama untuk melakukan tatalaksana penyakit yang paling sering terjadi di masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan kedokteran harus mampu menjawab tantangan beban penyakit di masyarakat.

2. Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Sejak mulai diberlakukannya MEA di tahun 2018, setiap tenaga kerja di negara ASEAN dapat saling mencari pekerjaan di negara-negara ASEAN, termasuk bagi profesi dokter. Untuk dokter, AJCCM merupakan tim yang menyiapkan negara-negara ASEAN untuk menghadapi mobilisasi dokter di ASEAN. Mulai tanggal 1 Januari 2018, telah disepakati untuk dokter spesialis di ASEAN dapat berpraktik di Indonesia dengan lisensi terbatas untuk 1 tahun.

Hal ini tentu perlu diantisipasi dengan menjaga atau meningkatkan kualitas dokter Indonesia agar mampu bersaing dengan dokter asing (khususnya dari ASEAN), bahkan dalam rangka dokter-dokter Indonesia mampu go internasional. Salah salah wijud dan langkah awal dalam mengantisipasi tantangan tersebut adalah dengan membenahi pendidikan kedokteran, yang dalam hal ini melalui

166 perubahan atau pergantian undang-undang pendidikan kedokteran yang sudah ada.

3. Revolusi Industry 4.0.

Perkembangan keilmuan yang pesat, penemuan berbagai teknologi baru, baik itu teknologi informasi maupun biomedik, memerlukan dokter untuk sejak awal dan secara periodik dapat mengikuti perubahan tersebut. Selain itu, dokter yang berpraktik di wilayah Indonesia yang berbeda, dengan keragaman sosio budaya dan geografis, akan memiliki kebutuhan pengembangan ilmu, teknologi dan keterampilan yang berbeda pula. Untuk itu, dokter sebagai agen perubahan dan agen pembangunan perlu dapat mengikuti kemajuan dan perkembangan teknologi pengetahuan dan informasi dengan cepat dan tanggap.

Berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masa globalisasi saat ini, maka perlu berbagai pertimbangan yang dapat mengembalikan dokter ke arah tenaga strategis nasional bidang kesehatan.

4. Ketentuan Mengenai Dokter Layanan Primer.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tenang Pendidikan Kedokteran, terdapat ketentuan dokter layanan primer yang dalam prakteknya ternyata menimbulkan kerancuan atau bahkan persoalan, yakni:

(a) Istilah layanan primer (primary care) merupakan istilah yang menyatakan wilayah pelayanan, tidak ada satu pun yang menyebutkan primary care sebagai profesi khusus dengan gelar akademik yang berpraktik di layanan primer.

(b) Dalam dunia profesi dokter secara internasional, istilah setara spesialis dokter layanan primer tidak dikenal sebagai gelar, melainkan yang dikenal sebagai dokter layanan primer adalah

167 komunitas dokter dalam pelayanan primer yang meliputi dokter umum, dokter keluarga, dokter spesialis generalis yang berpraktik di layanan primer seperti dokter anak, dokter penyakit dalam, dokter psikiatri dokter geriaatri, dan dokter kebidanan.

(c) Praktik profesi baru ‘dokter layanan primer’ akan menyebabkan benturan dalam praktik pelayanan dokter primer yang selama ini dilakukan oleh dokter-dokter lain dalam pelayanan primer, salah satunya adalah tumpang tindih kompetensi dengan profesi dokter dan dokter keluarga yang berpotensi konflik horizontal di pelayanan kesehatan tingkat primer dalam memberikan pelayanan jaminan kesehatan nasional (JKN). kewenangan dokter umum untuk memberikan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

(d) Dapat berpotensi menyebabkan kriminalisasi terhadap dokter umum yang menangani pasien JKN, dan BPJS rentan terhadap tuntutan akibat bekerjasama dengan dokter umum untuk penyelenggaran layanan JKN.

(e) Kompetensi lulusan Fakultas Kedokteran harus telah memenuhi kompetensi 144 penyakit dengan level kompetensi 4A sesuai SKDI 2012, sehingga yang diperlukan adalah peningkatan penguasaan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keilmuan.

(f) Penyelenggaraan program pendidikan dokter layanan primer belum mendapatkan pengesahan standar pendidikan profesi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan kurikulumnya disusun oleh kolegium yang terbentuk tidak sesuai kaidah pembentukan kolegium di belum diakui organisasi profesi sebagaimana ketentuan Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 7 ayat (1) huruf (a), Pasal 7 ayat (2), pasal 26 dan pasal 27. Hal ini menimbulkan kerugian bagi masa depan lulusan program pendidikan dokter layanan primer karena

168 tidak ada kepastian kedudukan gelar profesi yang diakui secara nasional maupun berdasarkan standar internasional.

(g) Kebutuhan masyarakat sebenarnya adalah penguatan kompetensi dokter di wilayahnya untuk menghadapi permasalahan kesehatan spesifik berdasarkan kondisi wilayah. Untuk itu, penguatan yang dibutuhkan terutama diberikan kepada dokter yang berpraktik di fasilitas kesehatan tingkat pertama melalui Pengembangan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) yang ditanggung oleh pemerintah sebagai bagian dari bentuk mempertahankan mutu pelayanan kesehatan.

5. Ketentuan mengenai uji kompetensi dan internsip

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran juga diatur mengenai uji kompetensi sebagai dasar Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), yang dalam kenyataannnya memiliki beberapa permasalahan baik bagi mahasiswa peserta UKMPPD maupun bagi masyarakat. Uji kompetensi ini menimbulkan masalah terutama bagi peserta yang tidak lulus dan harus mengikuti uji kompetensi ulang (retaker). Jumlah retaker yang berkisar 8% dari total mahasiswa yang baru mengikuti uji kompetensi ini terus mengalami akumulasi pada tahap UKMPPD selanjut, sehingga pada akhir tahun 2017 saja, ketidaklulusan mencapai 27% dari total peserta ujian.

Permasalahan sosial dari kondisi ini adalah tidak diberikannya gelar dokter setelah mahasiswa dinyatakan lulus menyelesaikan pendidikan program profesi dari fakultas kedokterannya. Jika melewati maksimal masa pendidikan program profesi dan ternyata mahasiswa tersebut masih belum lulus UKMPPD, nasib mahasiswa tersebut dari sosialisasi terakhir Kemristek Dikti pada tanggal 12 Februari 2018, maka mereka harus melakukan re-schooling yaitu mengulang kembali proses pendidikan profesi yang telah dinyatakan lulus oleh institusinya. Untuk

169 itu, pelaksanaan UKMPPD perlu dikaji kembali secara fakta akademis sehingga secara sosiologis dapat diterima bagi semua pemangku kepentingan.

Ketentuan internsip pun tidak jauh berbeda dengan UKMPPD.

Implementasi internsip dirasakan masih lemah baik dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun hasil evaluasi kegiatannya.

Kendalanya terutama pada jaminan dokter internsip dalam melaksanakan tugas selama program internsipnya. Dalam perubahan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini perlu ditegaskan terutama mengenai penanggung jawab program internsip dan koordinasi serta kerjasama antara panitia pusat dengan pemerintah daerah tempat program internsip dilaksanakan sebagai dasar jaminan keselamatan baik dokter internsip, maupun masyarakat yang dilayaninya.

6. Jangka Waktu Menempuh Studi

Pendidikan dokter dan dokter gigi membutuhkan waktu yang panjang, karena setelah menyelesaikan seluruh persyaratan di fakultasnya masing-masing, harus mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD) yang penyelenggaraannya setahun 4 kali. Rata-rata masa tunggu sekitar 4 bulan. Bila harus mengulang UKMPPD, maka akan membutuhkan waktu lebih lama lagi bisa bertahun-tahun. Karena, pertama bila tidak lulus UKMPPD maka mahasiswa tidak bisa mendapatkan gelar Dokter dan mendapatkan Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi; kedua, masa tunggu internsip rata-rata 8-12 bulan. Sehingga total dibutuhkan waktu minimal 2,5 tahun untuk siap praktik sebagai Dokter Umum semenjak dinyatakan lulus oleh fakultasnya.

Dengan UKMPPD sebagai satu-satunya syarat lulus untuk menjadi dokter, maka selama mengikuti pendidikan profesi bahkan sejak awal, mahasiswa ‘terpaksa’ mengikuti berbagai bimbingan belajar atau bimbingan tes. Banyak waktu yang dihabiskan untuk latihan soal-soal

170 UKMPPD. UKMPPD memperlama masa studi, karena mahasiswa harus menunggu minimal 2 bulan setelah menyelesaikan seluruh proses pembelajaran di fakultas kedokteran masing-masing. Bahkan beberapa FK menetapkan kebijakan untuk mengadakan tes seleksi sebelum masuk tahap profesi. Yang tidak bisa lulus, akan tertahan di tahap akademik. Ini tentu akan memperlama masa studinya.

7. Biaya Pendidikan yang Mahal

Mahasiswa harus membayar biaya pendidikan kedokteran yang mulai dari cukup hingga sangat mahal, baik di Fakultas Kedokteran negeri maupun di Fakultas Kedokteran swasta. Sebagai contoh, rata-rata fakultas kedokteran swasta menetapkan uang gedung dalam kisaran 200-500 juta per mahasiswa. Biaya pendidikan per semester sekitar 6-75 juta. Ada program studi internasional di suatu fakultas yang menetapkan biaya sebesar Rp 1 miliar.

8. Adaptasi

Semakin banyaknya warga negara Indonesia yang mengikuti pendidikan dokter di luar negeri. Mekanisme yang ada saat ini adalah adaptasi, yaitu mengikuti pendidikan tahap profesi sesuai dengan placement testnya. Dengan semakin bertambanya jumlah lulusan luar negeri, maka fakultas kedokteran kesulitan menampung semua dokter lulusan luar negeri.

9. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang begitu pesat, membutuhkan pengaturan atau rambu-rambu agar

171 fakultas kedokteran di Indonesia mampu mengantisipasi dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran tersebut.

10. Peran Konsil Kedokteran Indonesia, Organisasi Profesi, dan Kolegium Kedokteran

Peran dan fungsi Konsil Kedokteran Indonesia, Organisasi Profesi, dan Kolegium Kedokteran mengalami penurunan yang signifikan. Tiga lembaga ini, perlu diatur lebih detil dengan mendudukkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam kaitannya dengan pendidikan kedokteran agar pendidikan kedokteran lebih bersinergi dan mampu menghasilkan tenaga dokter dan dokter gigi yang handal dan berkualitas.