• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3.1 Teori Struktural Fungsional

Teori Struktural Fungsional atau disebut juga teori fungsionalisme struktural, dan teori integrasi, merupakan teori yang sangat berpengaruh, khususnya tahun 1960-an. Akar historis teori ini bisa dirunut sampai pemikiran filsafat dan politik pada jaman Yunani. Namun, biasanya para teoretisi mencatat tradisi ini dari masa August Comte (1798-1857) yang dikenal sebagai bapak Sosiologi (The Founding Fathers of Sociology). Comte lah yang menggagas filsafat positivistik ini. menurut Comte, evolusi menuju tertib sosial baru ditempuh melalui hukum tiga tahap, yakni tahap teologi (ficticious), tahap metafisik (abstract), dan tahap ilmiah (positive), yakni sebuah sebab atau awal dan akhir dari suatu fenomena dan semesta ini (universe). Positivisme dianggap

sebagai satu-satunya formasi sosial yang betul-betul dapat dipercaya keandalan dan akurasinya, yang semestinya dipegang oleh semua manusia.

Dalam membahas struktur sosial, Comte menerima premis bahwa “masyarakat adalah laksana orgasme hidup” (Poloma, 1994:23). Pemikir yang dipengaruhi positivisme Comte adalah Herbert Spencer (1820-1903) yang memandang perubahan sosial berlaku secara paralel sebagaimana perubahan spesies, yang kemudian diterkenalkan oleh Charles Darwin dengan teori Darwinisme Sosial, yang meyakini bahwa kehidupan sosial merupakan perjuangan dan dominasi terus menerus yang ditandai dengan persaingan tanpa ujung. Mereka yang paling siap dan bekerja keras akan berhasil dalam persaingan itu, sedangkan mereka yang terkalahkan adalah yang secara umum memang tidak siap atau inferior. Konsekuensi adalah ketidakadilan sosial ekonomi selain merupakan suatu yang bersifat alamiah, ketidakadilan itu juga dibenarkan.

Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas sebagai berikut.

(1) Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan. (2) Pertambahan atau perkembangan bentuk dan ukurannya, maka struktur tubuh

sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula; di mana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara itu tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecil, misalnya cacing tanah, hanya

sedikit memiliki bagian-bagian yang dapat dibedakan bila dibandingkan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia.

(3) Tiap bagian yang tumbuh dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu: Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula. Pada manusia, hati memiliki struktur dan fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian juga dengan keluarga sebagian struktur institusional memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau ekonomi.

(4) Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain.

(5) Bagian-bagian tersebut walau saling berkaitan, merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi (Poloma, 1994:24-25).

Selanjutnya, Coser (1977: 143-144) menyatakan bahwa Emile Durkheim (1858-1917) adalah pemikir yang juga dipengaruhi oleh Comte dan Spencer. Durkheim percaya bahwa masyarakat bisa dikaji atas dasar investigasi rasionalisme positivistik. Dari sinilah kemudian Durkheim memunculkan gagasan

mengenai realitas objektif yang disebut sabagai “fakta sosial”, yakni sesuatu atau realitas yang berada di luar individu, yang menjadi sebab dari sebuah tindakan atau perubahan. Vilfredo Pareto (1848-1923) percaya bahwa konsep ekuilibrium adalah alat yang sangat berguna untuk memahami kehidupan sosial yang kompleks ini. Menurutnya pertautan antara variabel yang diyakini masing-masing menyumbangkan keseimbangan dalam masyarakat. Pada masa Talcott Parsons dan Robert K Merton, teori struktural fungsional ini mencapai masa kesempurnaannya. Meskipun, kemudian selama tiga dekade terakhir, perspektif ini mengalami kemerosotan, sehingga Collony (1990) berkesimpulan bahwa teori fungsional struktural sudah berubah menjadi tradisi.

Teori Struktural Fungsional lebih menghasilkan satu perspektif yang menekankan harmoni dan regulasi karena dibangun atas dasar sejumlah asumsi-asumsi homeostatik yang dapat dikemukakan lebih jauh sebagai berikut:

(1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung, dan setiap bagian tersebut berpengaruh terhadap bagian-bagian yang lain.

(2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasikan.

(3) Semua masyarakat memiliki mekanisme untuk mengintegrasikan diri; sekalipun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, namun sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah itu.

(4) Perubahan dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual, melalui proses penyesuaian, dan tidak terjadi secara revolusioner.

(5) Faktor terpenting yang mengintegrasikan masyarakat adalah adanya kesepakatan di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu.

(6) Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan ekuilibrium atau homeostatis (Maliki, 2003:45-46).

Fenomena pariwisata yang dijadikan sebagai objek penelitian ini dapat dianalisis dengan menggunakan teori struktural fungsional tersebut, yakni dengan melihat seluruh stakeholders yang terkait dengan pariwisata sebagai sebuah sistem yang saling terkait atau saling berhubungan. Baik itu pemerintah Indonesia, masyarakat Bali, Singapore Airlines, dan wisatawan merupakan entitas pariwisata yang sangat menentukan bagi perkembangan wisata.

Pada kenyataannya pariwisata telah berkembang menjadi industri yang besar pada abad ini. Bahkan di banyak negara dan daerah, sektor pariwisata dijadikan sektor andalan dalam pembangunan ekonomi. Bagi Indonesia pariwisata dapat dikatakan komoditi ekspor di samping migas, karena dapat menghasilkan devisa. Kemajuan dibidang teknologi dikenal oleh bangsa lain. Kehidupan pariwisata di Bali yang merupakan primadonanya pariwisata Indonesia pada tahun 1999 seperti ditemukan Erawan yang dikutip Pitana dan Gayatri (2004: 112)

secara keseluruhan mampu menyumbangkan sebesar 51,6% terhadap pendapatan masyarakat Bali.

Oleh karena itu, mundurnya kegiatan pariwisata di Bali pasca Bom Bali berpengaruh signifikan terhadap kehidupan perekonomian masyarakat di Bali. Penelitian ini diarahkan pada upaya pemulihan kegiatan pariwisata di Bali, serta penanganan objek lain yang mendukung pelaksanaan pemulihan tersebut. Upaya pemulihan pariwisata di Bali ini mutlak dilakukan terutama terkait dengan aktivitas pembangunan pada umumnya dan yang harus dilaksanakan pemerintah bersama masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat.

Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, maka pemerintah Propinsi Bali sebagai daerah otonom berhak dan berwenang mengatur upaya pemulihan tersebut, sudah barang tentu hal ini mengharuskan adanya keterlibatan masyarakat lokal sebagai pemilik modal/potensi pariwisata dan juga keterlibatan masyarakat kalangan pengusaha atau pengelola pariwisata.

Wisatawan, sebelum melakukan perjalanan telah menentukan berbagai hal seperti: motivasi perjalanan, daerah wisata yang akan dituju, sarana transportasi yang ingin digunakan. Selama di daerah tujuan, wisatawan akan berhubungan dengan berbagai macam bentuk pelayanan seperti akomodasi, hiburan/pertunjukan, transportasi, restoran dan lain-lain, untuk menunjang atau memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya selama di daerah tujuan (destinasi). Dalam rangka memenuhi kebutuhan para wisatawan itulah maka dibangun

daerah-daerah wisata, lengkap dengan berbagai fasilitas atau sarana dan prasarana yang diperlukan oleh wisatawan. Dalam penyediaan berbagai bentuk sarana dan prasarana tersebut mengharuskan keterlibatan masyarakat yang dari keterlibatannya tersebut masyarakat mendapatkan manfaat. Mendasarkan pada teori fungsionalisme-strukturalisme, maka gerakan sistem akan terus berlanjut dan membentuk suatu harmoni, konsistensi dan keseimbangan dalam masyarakat di lingkungan daerah wisata.

Sebagai daerah wisata internasional, sistem pariwisata di Bali jelas berkembang lebih besar karena terkaitnya dengan sub sistem yang ada di negara lain. Pada era globalisasi, hal ini logis terjadi. Di daerah wisata internasional, kunjungan wisatawan mancanegara tak dapat dihindarkan. Hal ini jelas melibatkan berfungsinya sub sistem transportasi negara lain. Maka dengan adanya daerah wisata internasional dapat mendukung hubungan antar bangsa yang saling menguntungkan.

Dari perspektif teori konsensus (struktural-fungsional), Pitana dan Gayatri (2005:92) mengemukakan bahwa sistem pariwisata dunia merupakan suatu bentuk hubungan yang saling terkait, yang merupakan wahana distribusi pendapatan dan peningkatan hubungan antar bangsa.

2.3.2 Teori Stakeholder

Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan

tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Fenomena seperti ini terjadi, karena adanya tuntutan dari masyarakat akibat negative externalities yang timbul serta ketimpangan sosial yang terjadi (Harahap, 2002). Untuk itu, tanggungjawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas indikator ekonomi (economics focused) dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial (social dimentions) terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal. Gray, Kouhay dan Adams (1994, p.53) mengatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Makin powerful stakeholder, makin besar usaha perusahaan beradaptasi. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya. Definisi stakeholder menurut Freeman (1984) dalam Moir (2001) adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Kasali (2005) membagi stakeholders, menjadi:

1) Stakeholders internal dan stakeholders eksternal. Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah stakeholders yang berada diluar lingkungan organisasi, seperti: penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok investor, dan lainnya.

2) Stakeholders primer, stakeholders sekunder dan stakeholders marjinal. Stakeholders primer merupakan stakeholders yang harus diperhatikan oleh

perusahaan, dan stakeholders sekunder merupakan stakeholders kurang penting, sedangkan stakeholders marjinal merupakan stakeholders yang sering diabaikan oleh perusahaan.

3) Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan. Karyawan dan konsumen merupakan stakeholders tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Selanjutnya stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan datang diperkirakan akan memberikan pengaruh pada organisasi, seperti: peneliti, konsumen potensial, calon investor (investor potensial) dan lainnya.

4) Proponents, opponents, uncommitted. Stakeholders proponents merupakan stakeholders yang berpihak kepada perusahaan, stakeholders opponents merupakan stakeholders yang tidak memihak perusahaan, sedangkan stakeholders uncommitted adalah stakeholders yang tak peduli lagi terhadap perusahaan (organisasi)

5) Silent majority dan vocal minority. Dilihat aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau dukungannya secara vocal (aktif), namun ada pula yang menyatakan secara silent (pasif). Lebih lanjut, Kasali (2005) membagi atas garis besar kriteria kepentingan dan keputusan serta kepuasan stakeholders terhadap keberadaan perusahaan, sebagaimana dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Interest Stakeholders terhadap Perusahaan

No Stakeholders Kriteria Kepentingan dan Keputusan 1 Shareholders Financial Performance

2 Employee Salaries, Supervision & Workforce a Satisfaction

3 Consumers Quality, Service, Location, Price

4 Creditors Creditworthiness

5 Community Community Contributions

6 Supplier Equal Transactions

7 Government Legal Compliance

Sumber: Kasali (2005)

Tabel 2.1 diatas menunjukan perbedaan karakter dan kepentingan stakeholders terhadap perusahaan, dimana mereka memiliki ukuran kepentingan secara berbeda-beda. Analisis stakeholders ini amat penting dalam mengkaji tanggungjawab sosial perusahaan jasa penerbangan SIA.

2.3.3 Teori Good Corporate Governance

Good Corporate Governance (GCG) merupakan tata kelola perusahaan yang memiliki agenda yang lebih luas lagi dimasa yang akan datang. Fokus dari akuntabilitas perusahaan yang semula masih terkonsentrasi atau berorientasi pada para pemegang saham (stockholder), sekarang menjadi lebih luas dan untuk tata kelola perusahaan juga harus memperhatikan kepentingan stakeholder. Akibat

yang muncul dari pergeseran paradigma ini, tata kelola perusahaan harus mempertimbangkan masalah corporate social responsibility (CSR).

Kebijakan dan tata kelola suatu perusahaan pada masa mendatang harus lebih memperhatikan kebutuhan dari para stakeholder (Murtanto, 2005: 4). Pengungkapan (disclosure) terhadap aspek ekonomi (economic), lingkungan (environmental), dan sosial (social) sekarang ini menjadi cara bagi perusahaan untuk mengkomunikasikan bentuk akuntabilitasnya kepada stakeholder. Hal ini dikenal dengan nama sustainability reporting atau triple bottom line reporting yang direkomendasikan oleh Global Reporting Initiative (GRI).

Salah satu bagian terpenting dalam Good Corporate Governance di perusahaan penerbangan adalah komitmen penuh dari seluruh jajaran pengurus perusahaan hingga pegawai yang terendah untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Oleh karena itu seluruh karyawan wajib untuk menjunjung tinggi prinsip Good Corporate Governance menganut prinsip keterbukaan (transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran perusahaan berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate values, sasaran usaha dan strategi Perusahaan jasa penerbangan sebagai pencerminan akuntabilitas Perusahaan jasa penerbangan (accountability), berpegang pada ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab perusahaan (responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan keputusan (independency), serta senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fairness) atau biasa disingkat dengan TARIF (Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Januari 2004) .

Dalam hubungan dengan prinsip tersebut perusahaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Keterbukaan (Transparency)

a. Perusahaan harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya.

b. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tapi tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management), sistem pengawasan dan pengendalian internal, status kepatuhan, sistem dan pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan.

c. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh Perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi.

d. Kebijakan Perusahaan harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut.

a. Perusahaan jasa penerbangan harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan.

b. Perusahaan jasa penerbangan harus meyakini bahwa semua organ organisasi perusahaan mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam pelaksanaan GCG.

c. Perusahaan jasa penerbangan harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan bisnis penerbangan.

d. Perusahaan jasa penerbangan harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bisnis penerbangan berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan. (corporate values), sasaran usaha dan strategi bisnis penerbangan serta memiliki rewards and punishment system.

Dokumen terkait