• Tidak ada hasil yang ditemukan

Santrock (2002) mendefinisikan penerimaan diri sebagai suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Penerimaan ini tidak berarti seseorang menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri lebih lanjut. Menurut Chaplin (2006), penerimaan diri adalah sikap seseorang yang dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas, dan bakat-bakatnya sendiri serta pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Penerimaan diri sebagai suatu keadaan yang disadari oleh diri sendiri untuk menerima begitu saja kondisi diri tanpa berusaha mengembangkan diri. Sheerer (Dewi, 2011) penerimaan diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima segala kelebihan dan kelemahannya. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami, dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kelemahan yang dimiliki. Menerima berarti menyadari, memahami, menerima dan selalu mengembangkan diri untuk menjalani hidup dengan lebih baik.

Penerimaan diri yang rendah banyak dipengaruhi oleh rasa bangga terhadap kelebihan- kelebihan yang dimiliki, sedangkan penerimaan diri yang negatif terjadi jika hanya memikirkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam dirinya tanpa memikirkan kelebihan yang dimilikinya. Penerimaan diri memegang peran penting dalam menemukan dan mengarahkan seluruh perilaku, maka

sedapat mungkin individu harus mempunyai penerimaan diri yang rendah (Rahmat, 2000). Menurut Ardilla & Herdiana (2013) faktor penting untuk seseorang menerima dirinya yaitu seseorang individu dengan penerimaan diri yang baik mengandalkan emosi yang muncul karena dapat menerima diri dengan apa adanya. Seseorang individu dengan penerimaan diri yang rendah cenderung merasa tidak puas dengan diri sendiri, yang disebabkan oleh munculnya pikiran-pikiran negatif terhadap kekurangan yang dimiliki, kemudian akan muncul gejala mulai menarik diri dari pergaulan karena merasa malu dan minder. Dalam proses penerimaan diri seorang individu harus mengubah persepsi tentang diri sendiri dari hal negatif ke hal positif.

Orang dengan HIV/AIDS yang memiliki penerimaan diri rendah cenderung tidak puas dengan dirinya sendiri yang menyebabkan hubungan interpersonal ODHA dengan lingkungan tidak baik, dimana ODHA mulai menarik diri dari pergaulan karena malu dan minder dengan keadaan dan kekurangan yang dimilikinya. Sebaliknya ODHA yang memunyai penerimaan diri yang tinggi akan mudah memahami realitas yang ada pada dirinya, dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan kemudian mengembangkan potensi yang dimiliki. Menurut Hurlock (2000), individu dengan penerimaan diri yang tinggi tidak peduli berapa banyak kelemahan yang ada dalam dirinya dan justru membuat kelemahan itu menjadi kekuatan untuk memaksimalkan kelebihannya.

Semakin individu menyayangi dirinya, maka dia juga akan semakin mampu menerima dirinya. Penerimaan diri tidak berarti puas dengan dirinya sendiri, tetapi lebih pada kemauan untuk menghadapi kenyataan dan kondisi

kehidupan, baik yang sifatnya menyenangkan maupun yang tidak. Selain itu ODHA yang mampu menerima dirinya dapat membuka diri dan berusaha menjalin hubungan sosial dengan lingkungannya meskipun ada sesuatu yang tidak menyenangkan dalam menyelesaikan permasalahan.

Terapi penerimaan dan komitmen (ACT) merupakan salah satu terapi yang popular saat ini dan dianggap lebih fleksibel dan lebih efektif dalam menangani berbagai kasus (Montgomery, Kim & Franklin, 2011). Terapi ini mengajarkan penderita HIV/AIDS untuk menerima pikiran yang mengganggu dan dianggap tidak menyenangkan dengan menempatkan diri sesuai dengan nilai yang dianut sehingga ia akan menerima kondisi yang ada (Hayes, 2006). Penerimaan memiliki arti menerima, ditekankan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mengerti mengenai keadaannya, setelah itu barulah ia bisa menerima dengan kondisinya (Varcarolis, 2006).

Lebih lanjut klien harus komitmen memunyai arti perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. ODHA memiliki peran yang besar untuk membantu diri sendiri dimana ODHA harus mampu berkomitmen terhadap keputusan dan tujuan yang ingin dicapainya melalui proses komunikasi yang baik dengan terapeutik dan ODHA harus bisa bertahan dengan apa yang dipilih karena sudah melakukan komitmen. ACT dikatakan sangat efektif dalam menciptakan penerimaan, perhatian dan lebih terbuka dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki pada klien dalam menghadapi berbagai masalah seperti, berbagai masalah mulai dari subjective well being dan klien gagal ginjal kronik. Dengan penerapan ACT diharapkan orang dengan HIV/AIDS akan menerima kondisinya dan dapat

menentukan apa yang terbaik untuk dirinya dan berkomitmen untuk melakukan apa yang sudah dipilihnya (Heyes, 2004). ACT dalam keperawatan jiwa di Indonesia telah diterapkan oleh Sulistiowaty (2012) terhadap gejala dan perilaku kekerasan dan halusinasi dengan hasil didapatkan bahwa ACT mampu menurunkan kejadian perilaku kekerasan dan halusianasi.

Menurut Hayes (2004) target dari ACT adalah untuk meningkatkan fleksibilitas psikologi yakni kemampuan untuk melakukan kontak dengan masa kini secara totalitas dan sadar sebagai mahluk hidup dan mampu berperilaku sesuai dengan value hidup yang dianutnya. Fleksibilitas psikologi dibangun melalui enam unsur dari proses ACT yaitu : Acceptance (penerimaan), Cognitif Defusion (mengurangi penolakan terhadap pikiran yang tidak menyenangkan), Being Present (membantu klien memilih arah hidup dengan fokus pada hal yang diinginkan), Self As A Contex (membuat klien melihat diri sebagai pribadi yang tidak menghakimi diri sendiri), Values (klien mampu mengambil keputusan untuk tujuan hidupnya, dan Committed Action (berkomitment untuk mencapai tujuan yang dinginkan). Dari 6 Sesi terapi ACT diharapkan dapat membantu seseorang untuk meningkatkan psychological flexibility. Pada sesi Sesi 1 :Mengidentifikasi kejadian, pikiran, dan perasaan yang muncul serta dampak perilaku akibat pikiran dan perasaan yang muncul serta menerima pengalaman tersebut. Sesi 2: Mengurangi penolakan terhadap pikiran atau pengalaman tidak menyenangkan. Sesi 3: Memilih arah hidup mereka dengan cara mengidentifikasi dan fokus pada apa yang diinginkan dan nilai apa yang akan dipilih untuk hidup. Sesi 4: Membantu untuk lebih fokus pada dirinya dengan cara latihan pikiran dan

pengalaman. Sesi 5: Menetapkan nilai-nilai dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan hidupnya. Sesi 6: Berkomitmen secara verbal dan tindakan terhadap kegiatan yang akan dipilih termasuk langkah yang diambil untuk mencapai tujuan hidup yang lebih berharga. Dengan dilakukan terapi ACT disetiap sesi diharapkan fleksibelitas psikologis tercapai dan meningkatkan penerimaan diri yang tinggi ini dapat ditunjukkan dengan perubahan sikap yang terlihat pada tiap individu yaitu cara berkomunikasi yang baik, kemampuan dalam menjalankan tugas, melakukan sharing pendapat secara efektif dan adanya touch satu sama lain mampu menguatkan dan meningkatkan penerimaan diri. Perubahan juga terlihat dari individu yang positive thinking, respon emosi yang stabil, pemecahan masalah yang positif, dukungan sosial yang baik antar individu dalam kelompok, penerimaan yang baik dan komitmen dalam menjalankan tugas dengan baik. Kualitas hidup individu juga meningkat terlihat pada respon adaptif terhadap masalah, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, tercapainya tujuan hidup dan tercipta kepuasan batin (Eilenberg et al, 2013).

ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang dapat menolong seseorang untuk dapat mengidentifikasi pikiran dan perasaannya, kemudian menerima kondisi untuk melakukan perubahan yang terjadi tersebut, kemudian berkomitmen terhadap diri sendiri meskipun dalam perjuangannya harus menemui pengalaman yang tidak menyenangkan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan melalui gambar berikut:

Gambar 1

Kerangka Penelitian Sumber : Hayes (2006) Sumber : Sheerer ( Dewi, 2011 )

Keterangan :

: diberi intervensi

E. Hipotesis

Berdasarkan landasan di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

1 : Ada perbedaan penerimaan diri antara kelompok eksperimen yang mendapatkan ACT dan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan ACT. Penerimaaan diri kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada kelompok kontrol.

2 : Ada perbedaan penerimaan diri antara kelompok eksperimen antara sebelum mendapat ACT dengan setelah mendapat ACT, setelah ACT penerimaaan diri peserta lebih tinggi dari pada sebelum ACT.

Dokumen terkait