• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hukuman (punishment) dan Pelanggaran a. Pengertian Hukuman (punishment)

Hukuman suatu bentuk kerugian atau kesakitan yang di timpakan kepada seseorang yang berbuat kesalahan. Agar efektif, hukuman itu mestilah tidak menyenangkan jadi bersifat beberapa bentuk kehilangan, kesakitan atau penderitaan. Karena perkataan hukuman (punishment) memperoleh arti permusuhan (ganti kerugian dari pada koreksi atau perbaikan, hukuman yang kasar), maka kita harus agak berhati-hati dalam menanggapi perkataan ini (Schaefer, 1996: 93).

Hukuman yang baik harus mengandung unsur mendidik, seperti memberikan sanksi berupa tugas membersihkan rumah, membersihkan kamar mandi, menghafal surat-surat tertentu, atau tidak memberi uang jajan selama hari atau jumlah tertentu. Orang tua harus berhati-hati dalam memberikan hukuman, terutama hukum fisik yang berlebihan dapat membuat cidera atau berbahaya secara fisik. Hukum sebaiknya diberikan secara bervariasi dan tidak monoton. Lebih dari itu hukuman harus dilakukan oleh orang tua dalam upaya mencegah terjadinya perilaku negative yang dilakukan oleh anak (Salim, 2013: 272)

12

Hukuman atau sanksi yang tidak diberikan atas pelanggaran yang dilakukan anak atau atas perilaku tidak terpuji yang dilakukan anak, akan membuat anak berani dan tidak segan untuk mengulanginya atau menjadi tidak disiplin. Pelanggaran yang dilakukan anak karena ketidaktahuannya sebaiknya tidak diberikan sanksi atau hukuman sebelum orang tua menjelaskan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan atau bebelum ada kesepakatan. Sanksi atau hukuman (Punishment) hanya dilakukan oleh orang tua atas perbuatan kesalahan anak yang di sengaja dan sudah diberitahukan kepada anak sebelumnya atau karena terbukti melanggar ketentuan yang sudah disepakati sebelumnya.

Menurut Daniem (1973: 46), hukuman (punishment) adalah tindakan yang di jatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Sedangkan menurut Purwanto (2011: 186) hukuman ialah, pendiritaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh orang tua, guru saat melakukan kesalahan atau pelanggaran.

Simpulan dari beberapa pendapat di atas adalah segala sesuatu yang tidak menyenangkan yang diberikan kepada seseorang karena melakukan kesalahan atau pelanggaran yang didalamnya mengandung unsur mendidik agar anak tidak

13

mengulangi kesalahan yang telah dibuatnya. Adanya hukuman (punishment) diharapkan siswa dapat menyadari kesalahan yang diperbuatnya, sehingga siswa jadi berhati-hati dalam melakukan tindakan.

b. Hukuman dalam Pendididikan Islam

Hukuman adalah sebuah cara untuk mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan yang diharapkan. Hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan terjadi oleh orang yang bersangkutan. Sebagai contoh, di sekolah ada siswa yang berkelahi dengan temannya, hal ini melanggar peraturan sekolah. Maka salah satu cara untuk menghilangkan tinggah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, berangkat tepat waktu adalah bentuk dari sikap kedisiplinan siswa tetapi, jika ada anak yang melanggar maka akan ada hukuman hal ini dilakukan agar kesalahan yang sama tidak di ulangi kembali.

Hukuman harus bersifat edukatif, sebagaimana yang telah di terapkan di MTs Negeri 1 Gondang siswa yang melakukan pelanggaran seperti: terlambat masuk sekolah, tidak membawa atribut perlengkapan sekolah, berkelahi dengan teman, keluar kelas saat jam pelajaran, berpacaran, dan membolos akan mendapatkan sanksi atau hukuman yang berkaitan dengan kesalahan siswa tersebut. Sanksi yang di dapat oleh siswa pun tergantung dengan tingkat atau kesalahan yang telah di lakukan oleh peserta didik.

14

Jika permasalahan anak masih bisa di toleransi maka, hukuman tidak memberatkan siswa seperti: siswa disuruh untuk membaca al-Quran, hafalan surat-surat pendek, dan shalat Dhuha. Tetapi sebaliknya jika kesalahan anak terlalu berat dan dilakukan secara berulang-ulang kali maka sanksi yang di dapat akan lebih berat misalnya orang tua di panggil ke sekolah bahkan ada juga yang di keluarkan.

Pemberian hukuman merupakan metode pendidikan paling sensitife dan kompleks untuk mengubah perilaku seseorang. Tapi jika cara ini dilakukan secara keliru dan dalam situasi dan kondisi yang tidak sesuai dengan kebutuhan, maka berdampak merusak dan berlawanan dengan tujuan dari hukuman itu.

Tentang permasalahan yang berkaitan dengan memukul anak, Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لاق هدج نع هيبأ نع بيعش نب رمع نع

:

الله ىلَص الله ُل ْوُس َر َلَق

ْمُه ْوُب ِرْضا َو َنْيِنِس ُءاَنْبَأ ْمُه َو ِةَلاَّصلاِب ْمُكَدَلأ ْوَأ ا ْو ُرَم ملاسلاو هيلع

ِع ِجاَضَمْلا يِف ْمُهَنْيَب ا ْوُق ِ رَف َو ٍرْشَع ُءاَنْبَا ْمُه َو اَهْيَلَع

(

وبأ هاور

اد

مكاحلاودو

)

Artinya: “Dari Amr bin Syuaib dari Ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat sedang mereka berusia tujuh tahun dan pukulah mereka karena tinggal sholat sedang mereka berusia 10

15

tahun dan di pisahkan antara mereka di tempat tidurnya,” (H.R. Abu Daud).

Tahapan pendidikan seperti di atas dilakukan ketika anak masih berada pada masa kanak-kanak dan pubertas. Sedangkan apabila anak menginjak masa remaja dan menuju dewasa, maka cara mendidiknya sudah tentu berbeda. Ketika anak sudah tidak mampu dengan peringatan dan petunjuk, maka pendidik harus bertindak lebih tegas (Ulwan, 2002: 54).

Pernyataan hadis di atas dapat dijelaskan bahwa diperbolehkan menghukum peserta didik, maksud pukulan (hukuman) disini tidak hanya pukulan fisik melainkan pukulan batin seperti dengan cara diisolasi atau sikap tidak suka, sikap marah dan lain sebagainya. Jika diartikan sebagai pukulan fisik maka pukulan tersebut tidak boleh membahayakan peserta didik tetapi dapat merubah sikap peserta didik menjadi lebih baik, dan harus diberikan sesuai syariat Islam, contoh tidak memukul bagian wajah, memukul secara pelan dan tidak meninggalkan bekas (Khon, 2014: 265-266)

Hadis di atas dapat diambil pengertian bahwa anak harus diperintahkan untuk mengerjakan shalat ketika usianya tujuh tahun dengan cara pembiasaan, pada umur 10 tahun orang tua di izinkan memukul anak jika ia belum melaksanakan shalat. Hukuman bersifat edukatif yaitu hukuman yang tidak melukai mental dan fisik anak, supaya anak menyadari kesalahnya. Hukuman diberikan

16

jika anak yang sudah mempunyai kewajiban menjalankan ajaran agama Islam tetapi anak tersebut tidak melaksanakannya. Begitu juga dalam pendidikan, pendidik harus segera bertindak jika ada peserta didik yang melakukan pelanggaran sekolah.

Islam menerapkan hukuman dengan pukulan tetapi dengan batasan persyaratan sehingga pukulan tidak keluar dari maksud pendidikan, yaitu masuk memperbaiki dan membuat jera. Menurut Ulwa (2012: 324) syarat memberikan hukuman pukulan adalah: 1) pendidik tidak terburu menggunakan metode pukulan, kecuali setelah menggunakan semua metode lembut, yang mendidik dan membuat jera; 2) pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah, karena dihawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak; 3) memukul hendaknya menghindari anggota badan yang peka, seperti kepala, muka, dada, dan perut; 4) pukulan untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti; 5) tidak memukul anak seblum ia berusia sepuluh tahun; 6) jika kesalahan anak adalah untuk pertama kali, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat dari perbuatan yang telah ia lakukan, memberikan kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan untuk didekati seorang penengah, tanpa memberikan hukuman, tetapi mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahan.

Pendidikan Islam telah memberikan perhatian besar terhadap hukuman, baik hukuman spiritual maupun material.

17

Hukuman ini telah diberi batasan dan persyaratan, dan pendidik tidak boleh melanggar. Sangat bijaksana jika pendidik meletakan hukuman pada proporsi yang sebenarnya, seperti halnya meletakkan sikap ramah tamah dan lemah lembut, pada tempat yang sesuai.

Pemberlakukan hukuman dapat dipahami, karena di satu sisi Islam menegaskan bahwa anak adalah amanah yang dititipkan Allah kepada orang tuanya, di sisi lain, setiap orang tua yang mendapat amanah wajib bertanggung jawa atas pemeliharaan dan pendidikan anaknya agar menjadi manusia yang memenuhi tujuan pendidikan Islam. Untuk itu orang tua harus melakukan cara (metode, teknik), termasuk hukuman, umpamanya dengan teknik: (1) mengasingkan anak beberapa jam dari pergaulan dalam rumah

tangga, (2)mengurungnya beberapa jam di kamar, (3) memukulnya dengan alat-alat yang diperkirakan tidak membuat

kulitnya luka. Semuanya dilakukan dengan teknik pedagogis. (Jamaluddin, 2013: 74)

Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman adalah segala sesuatu yang tidak menyenangkan (konsekuensi) yang diberikan kepada seseorang karena melakukan kesalahan atau melanggar aturan, dengan hukuman (punishment) diharapkan siswa tidak mengulangi kesalahan yang telah di lakukan. Selain untuk memperbaiki kesalahan dan kepribadian

18

perilaku, hukuman juga dapat dipakai sebagai pelajaran bagi orang-orang yang ada disekitarnya, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.

c. Tujuan Hukuman (punishment)

Tujuan utama menerapkan hukuman adalah untuk memotivasi peserta didik dalam mengurangi perilaku yang salah, namun pemberian hukuman harus dengan cara dan mekanisme yang tepat, selain itu berfungsi untuk mengubah peserta didik dari pribadi yang lebih baik (Gaza, 2012: 54).

Hukuman bermaksud tidak hanya menyengsarakan tetapi mempunyai tujuan kearah kebaikan. Islam juga sudah di jelaskan dalam ayat dan juga hadis yang berkaitan dengan hukuman bahwa, menghukum anak di sekolah tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dijelaskan dalam al-Quran tentang hukuman (ta’zir), diantaranya adalah Q.S Al-Mu’minun: 63-64

















































Artinya: “(63)…Tetapi, hati mereka (orang-orang kafir ) itu dalam kesesatan dari (memahami al-Quran) ini, dan mereka mempunyai kebiasaan banyak mengerjakan perbuatan lain (buruk) yang terus mereka kerjakan . (64) sehingga apabila kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewahan diantara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong”. (Depag, 2010: 347)

19

Menurut ibnu Katsir, dalam al-Quran Allah berfirman bahwa Allah memberikan hukuman dan azab kepada bangsa-bangsa yang menentang agama mereka sadar atau menerima balasan dari perbuatan-perbuatan mereka. Jika sutau masyarakat melakukan bentuk perbuatan yang buruk dan yang tidak diridhoi Allah, mereka pun akan dikenai hukuman Allah dengan sebab tertentu, atau Allah mungkin sedang menguji mereka dengan kesusahan di dunia. Memikirkan segala kemungkinan tersebut, seseorang akan takut apabila hal serupa juga akan menimpanya dan memohon ampun Allah atas segala perbuatannya (Ar-Rifa’i, 2000: 428)

Menurut Ormrod (2008: 457), tujuan pemberian hukuman agar anak merenungkan kesalahan dan tidak mengulangi. Penempatan hukuman harus sesuai dengan umur anak. Namun menurut prinsip Islam tujuan memberikan hukuman ini lebih bersifat ta’lim yang berarti melatih mendisiplinkan atau meluruskan perilaku bukan semata-mata memberikan hukuman (Yasin, 2008: 16)

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa hukuman sebagai alat untuk menginsafkan atau menyadarkan bukan alat penyiksa atau balas dendam. Tindakan hukuman yang terpaksa dan sadar diberikan pada anak didik sebagai alat pendidikan harus mempunyai arti membimbing yang berdasarkan cinta kasih. Hukuman harus benar-benar menyadarkan atau menginsafkan anak

20

didik atas kesalahan yang dibuatnya. Pendidikan dalam hal ini harus memakai hukuman sebagai alat pendidikan dalam usaha mendisiplinkan anak atau untuk menertibkan anak.

Tujuan jangka pendek dalam menjatuhkan hukuman ialah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengajar dan mendorong anak untuk merubah tingkah laku yang kurang baik dari dalam dirinya (Schaefer, 1996: 93). Tujuan utama dari hukuman adalah untuk menyadarkan peserta didik dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan (Armai, 2002: 131)

Purwanto (2011: 187) berpendapat maksut atau tujuan hukuman dan teori hukuman antara lain:

1) Teori Pembalasan; menurut teori hukum dibedakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan pelanggran yang telah dilakukan seseorang.

2) Teori Perbaikan; menurut teori ini, hukum diberikan agar anak dapat memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan. Alat pendidikan yang digunakan misalnya dengan memberikan teguran, menasehati, memberi pengertian sehingga anak sadar dengan kesalahnya.

3) Teori perlindungan; menurut teori ini hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan yang tidak wajar. Dengan

21

adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan yang telah dilakukan oleh si pelanggar.

4) Teori ganti kerugian; menurut teori ini hukum diadakan untuk mengganti kerugian yang telah dilakukan oleh si pelanggar. Hukum ini banyak di terapkan pada masyarakat dan pemerintah. Tetapi dalam proses pendidikan, teori ini masih belum cukup. Sebab, dengan hukuman semacam ini anak akan merasa tidak bersalah dan berdosa karena kesalahannya telah terbayar dengan hukuman.

5) Teori menakut-nakuti; untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akibat perbuatan yang telah dilakukan. Teori ini masih membutuhkan perbaikan. Sebab dengan teori ini kemungkinan anak meninggalkan suatu perbuatan karena takut, bukan karena keinsafan bahwa perbuatannya salah.

Berdasarkan uraian di atas, hukum memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai alat untuk perbaikan diri dengan cara menasehati, memberikan teguran agar tidak mengulangi kesalahan, sebagai alat ganti rugi, untuk menakut-nakuti. Hukuman diterima oleh peserta didik sesuai dengan kesalahan yang telah dibuatnya.

d. Jenis-jenis Hukuman (punishment)

Secara pisikologi hukuman pada kondisi tertentu juga perlu diberikan sehingga siswa dapat bertanggung jawab atas kesalahan

22

yang telah dilakukan. Adanya hukuman diharapkan siswa tidak mengulangi kesalahan yang telah dibuatnya. Pada dasarnya hukuman itu ada dua, yaitu hukuman langsung dan hukuman tidak langsung. Hukuman langsung ini merupakan tindakan yang langsung diberikan kepada siswa setelah memunculkan perilaku negatif, sedangkan hukuman tidak langsung merupakan hukuman yang tidak secara langsung diarahkan sebagai bentuk hukuman kepada siswa, tetapi lebih bersifat sindiran, bahan renungan, dan sumber pelajaran bagi siswa (Gaza, 2012: 46)

Menurut Purwanto (2011: 189) membedakan hukuman menjadi dua jenis, yaitu:

1) Hukuman Perventif, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini bermaksut untuk mencegah sebelum kesalahan itu dilakukan.

2) Hukum represif, yaitu hukuman yang dilakukan karena adanya pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau kesalahan.

Menghukum siswa hendaknya harus di perhatikan agar tidak melukai atau berdampak buruk bagi siswa. Ada beberapa catatan dalam memberikan hukuman yang positif menurut Gaza (2012: 106) sebagai berikut:

23

1) Hukuman (punishment) Bersifat Positif; dalam memberikan hukuman pada siswa sebaiknya bersifat positif sehingga hasilnya pun positif pada siswa. Jika hukuman yang diberikan oleh guru negative bukan tidak mungkin akan menimbulkan hal negatif pula.

2) Hukuman (punishment) Tidak Membuat Trauma; hukuman (punishment) yang baik adalah yang tidak membuat siswa trauma. Sebab, banyak hukuman yang tanpa sadar akan berdampak trauma psikis pada siswa. Selain berdampak trauma pada siswa juga akan muncul dampak dendam yang berkepanjangan pada diri siswa tersebut yang di karenakan pemilihan hukuman yang kurang tepat.

3) Hukuman (punishment) Tidak Membuat Sakit Hati; dalam memberikan hukuman hendaknya tidak membuat anak merasa sakit hati. Jika hal ini terjadi maka anak akan selalu mengingat-ingat guru yang telah memberikan hukuman tersebut dan akan timbul rasa dendam yang berkepanjangan.

4) Hukuman (punishment) Memberikan Efek Jera; hukuman yang bersifat positif, tetapi hukuman ini yang tidak disukai oleh siswa untuk dijalankan sehiingga siswa merasa lelah menjalankannya. 5) Hukuman (punishment) Bersifat Pembelajaran; hukum

sebaiknya bersifat pembelajaran maksutnya yaitu, di dalam hukuman yang diberikan oleh siswa terdapat nilai-nilai yang

24

dapat di ambil. Hukuman tersebut diharapkan siswa tidak mengulangi kesalahan dan dapat merubah perilaku yang kurang baik.

Menurut Eva (2012: 86-87) ada dua bentuk hukuman yang ada pada umumnya diterapkan pada anak di kelas yaitu, bentuk hukuman yang efektif dan bentuk hukuman yang kurang efektif. Bentuk-bentuk hukuman yang efektif, ada beberapa bentuk hukuman yang efektif yang diterapkan pada anak sebagai berikut; 1) teguran verbal (Scolding), 2) biaya respon (Response

Cost), 3) konsekuensi logis (logical Conseqquences), 4) time-out, 5) skors di sekolah (in School suspension).

Bentuk hukuman yang tidak efektif, ada beberapa hukuman yang tidak efektif dan tidak di rekomendasikan para ahli antara lain; 1) hukuman fisik, 2) hukuman pisikologis, 3) tugas kelas ekstra, 4) skors tidak boleh masuk sekolah.

Menurut Gaza, (2012: 108) jenis-nenis hukuman (punishment) yang positif dan mendidik yang dapat diterapkan bagi peserta didik antara lain:

1) tambahan tugas (menghafal); menerapkan hukuman bagi siswa-siswinya sekolah dapat menerapkan fafalan ayat al-Quran. Misalnya, siswa melakukan kesalahan karena datang terlambat masuk sekolah, guru memberikan kewajiban bagi siswa untuk menghafal 1 ayat baru yang di setor siswa

25

besok pagi setibanya di sekolah. Untuk mencegah keterlambatan lagi, guru dapat meminta siswa datang esok hari lebih pagi dengan satu ayat baru yang sudah dihafalkan. Jika siswa datang terlambat lagi atau tidak memenuhi hafalan yang ditugaskan, guru dapat menambah satu hafalan ayat baru lagi.

2) penugasan tulisan; menghukum siswa dengan cara memberikan penugasan melalui tulisan, juga merupakan jenis hukuman yang tidak beresiko negatif bagi siswa. Selain melatih kemampuan menulis siswa, teknik ini juga secara tidak langsung berfungsi sebagai doktrinasi positif dan penanaman keyakinan pada otak bawah sadar anak untuk berbuat baik.

3) skorsing; menghilangkan hak dan mengurangi waktu belajar siswa sementara waktu. Pada tataran ekstrim, skorsing diberlakukan dengan meminta siswa pulang ke rumah dan tidak masuk sekolah selama waktu yang sudah ditentukan. Pemberian skorsing tidak harus dilakukan dengan memulangkan siswa kerumah, apalagi tanpa tugas yang diberikan. Sebab hal ini berakibat merugikan siswa secara pelajaran karena tidak terpenuhi standar akademis di sekolah. 4) istighfar dan Komitmen Ulang; pilihan hukuman istighfar dan

26

merenung sejenak seraya beristighfar (tetap dalam pantauan dan pengawasan guru). Ketika guru meminta siswa menjalankan istigfar, harus disertai dengan ekspresi wajah yang tulus dan serius memohon ampun kepada Allah.

5) infaq; pilihan infaq bisa dijadikan alternatif sebagai hukuman bagi siswa, ketetapan infaq sebaiknya tidak terlalu memberatkan, cukup dengan meminta siswa mengeluarkan dana infaq 500,00 untuk kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan. Dana infaq ini bisa digunakan sebagai kas kelas. Menjalankan hukuman berinfaq disarankan pada guru untuk menetapkan jenis pelajaran yang diinfaq. Misalnya, makan sambil berdiri, membuang sampah sembarangan, mencoret-coret tembok.

6) SMS laporan orang tua; SMS ini bersifat lebih personal dan lebih pribadi. SMS ini bisa diberikan kepada orangtua yang mungkin jarang merespons catatan –catatan guru dalam buku penghubung sehingga menjadikan catatan guru tidak lagi efektif. Sama dengan dalam catatan buku penghubung, sebaiknya bahasa SMS yang digunakan guru untuk orangtua juga lebih bersifat informative positif, mengajak dan mengharapkan agar orangtua memberikan pendampingan lebih kepada anak di rumah.

27

7) isolasi; pemberian hukuman dengan teknik isolasi dilakukan dengan tidak menyapa dan menegur siswa yang melakukan kesalahan. Kegiatan tidak menegur sapa siswa seperti ini diberikan dengan senggang waktu tertentu yang kita rasakan tepat dan sesuai untuk siswa. Bisa selana tiga hari dan disarankan tidak lebih dari itu. Hal ini bisa diterapkan, misalnya dengan tidak mengabsen. Pilihan hukuman isolasi ini biaanya berlaku untuk kesalahan yang cukup besar dan memberikan dampak sosialyang cukup luas. Misalnya, siswa yang berulang kali melakukan kesalahan yang sama, sering memukul teman, mengganggu teman belajar.

Hukuman merupakan salah satu cara mencegah anak tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan. Hukuman bersifat wajib jika ditunjukan sebagai tindakan preventif agar anak menjadi lebih baik, lebih santun, lebih berguna bagi teman dan lingkungan. Sebab pada hakikatnya, pemberian hukuman dalam pendidikan bertujuan untuk memotivasi anak agar memperbaiki kesalahan yang dilakukannya, dengan adanya hukuman diharapkan anak dapat merenungkan kesalahan sehingga dia bisa berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

28

e. Syarat-syarat Hukuman (punishment)

Hukuman pada anak hendaknya harus adil (sesuai dengan kesalahan). Anak harus mengetahui kenapa dia di hukum. Selanjutnya, hukuman itu harus membawa anak kepada kesadaran akan kesalahanya. Hukuman jangan meninggalkan dendam pada anak (Tafsir, 2001: 186)

Syarat-syarat hukuman yang pedagogis menurut Purwanto (2011: 191) antara lain:

1) tiap-tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang. Hukuman yang diberikan haruslah dengan cara menyenangkan dan tidak menakutkan (Mamiq, 2012: 48) 2) hukuman itu sedapatnya bersifat memperbaiki. Yang berarti

bahwa hukuman itu harus mempunyai nilai mendidik memperbaiki kelakuan, memperbaiki moral anak-anak.

3) hukum tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perseorangan. Pemberian hukumana harus tetap dalam jalinan cinta, kasih, dan sayang (Armai, 2002: 131) 4) hukuman tidak dipebolehkan menghukum dalam keadaan

marah. Sebab dengan demikian, kemungkinan besar hukuman itu tidak adil dan terlalu berat.

5) tiap- tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu.

29

6) bagi anak terhukum, hukuman itu hendaklah dapat dirasakan sendiri sebagai kedudukan atau penderitaan yang sebenarnya karena hukuman itu, anak merasa menyesal dan merasa bahwa untuk sementara waktu ini kehilangan kasih sayang pendidiknya.

7) jangan melakukan hukuman badan sebab hukuman badan itu di larang oleh Negara, tidak sesuai dengan perikemanusiaan, dan merupakan penganiayaan terhadap sesama mahluk. Hukuman harus dapat terukur sejauh mana efektivitas dan keberhasilannya dalam mengubah perilaku anak (Mamiq, 2012:48)

8) hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara pendidik dan anak didiknya. Untuk itu, perlulah hukuman yang diberikan dapat dimengerti dan dipahami oleh anak.

9) kesanggupan memberi maaf dari pendidik sesudah menjatuhkan hukuman dan setelah anak itu menyadari kesalahannya.

Sedangkan Menurut Ulwan (2012: 212) metode yang dipakai Islam dalam upaya memberikan hukuman kepada anak: 1) lemah-lembut dan kasih sayang adalah dasar pembenahan anak.

Harits, Thayalisi dan Baihaqi meriwayatkan:

ِفِ نَعُمْلا َنِم ٌرْيَخ َمِ لَعُمْلا َّنِأَف ا ْوُفِ نَعُتَلا َو ا ْوُمِ لَع

“Ajarkanlah ilmu dan janganlah kalian bersikap keras,

Dokumen terkait