• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam disertasi ini digunakan berbagai teori sebagai pijakan atau tuntunan untuk memecahkan berbagai masalah dan teori ini digunakan sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan penelitian yang dilakukan sesuai dengan pendekatan kajian budaya. Dalam mengaplikasikan teori digunakan pendekatan yang bersifat eklektik, yaitu dipergunakan teori utama terlebih dahulu, selanjutnya baru digunakan teori-teori lain sebagai penunjang atau pelengkap untuk mendapatkan daya penjelas yang lebih memadai.

Teori-teori yang dipergunakan dalam disertasi ini diambil dari teori-teori sosial kritis posmodern, yang menurut Lubis (2014: 25), bahwa posmodernisme memiliki ciri terpenting, yaitu menolak pandangan fundasionalisme seperti pandangan kaum positivisme logis dengan unifeild science-nya. Dikatakan pula

bahwa Posmodernisme juga menolak ilmu pengetahuan yang dianggap bebas nilai, tidak mengakui keterlibatan subjek, dan anggapan bahwa bahasa adalah cermin realitas.

Lubis (2014) selanjutnya mengatakan bahwa ketika posmodernisme menerima keanekaragaman paradigma (perspektif dalam mengobservasi realitas), maka kebenaran ilmu pengetahuan pun tidak bersifat tunggal, tidak tetap, akan tetapi plural dan berubah, serta berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Dengan demikian, sikap kritis yang dijadikan pijakan oleh posmodernisme adalah dengan tegas menolak kebenaran tunggal yang bersifat terpusat dan justru lebih pengakuan akan perbedaan-perbedaan pendapat yang tersebar di luar pusat atau yang ada di pinggiran.

Namun, sebaliknya, posmodernisme mengakui keterlibatan objek dan subjek dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mengakui pengaruh faktor sosial historis pada subjek, mengakui “kekayaan kosakata” seseorang dalam memahami dan menafsirkan berbagai fenomena kehidupan manusia dan sosial budaya (teks) dan menerima keanekaragaman (pluralitas) paradigma ilmiah.

Demikian juga teori sosial kritis dapat dipergunakan untuk menguji secara kritis kontradiksi atau pertentangan yang terjadi di masyarakat dan berupaya untuk mencari sumber pemicunya dengan jalan membongkar hal-hal yang tersebunyi dan menjadikan terang dan jelas secara eksplisit tentang relasi/interaksi etnis Tionghoa dan etnis Bali sehingga dapat ditafsirkan atau diinterpretasikan mengapa dapat tercipta kehidupan yang harmonis di Desa Pupuan.

Untuk maksud tersebut maka ada beberapa teori utama yang digunakan membedah atau menganalisis masalah yang diangkat,yaitu (1) Teori Praktik dari Pierre Felix Bourdieu, (2) Teori Power/Knowledge dan Genealogy dari Michel Foucault, dan (3) Teori Pendidikan Kritis dari Habermas, Foucault, dan Paulo Friere.

Berikut dideskripsikan ketiga teori utama tersebut yang digunakan secara eklektik dengan teori sosial kritis lainnya sehingga didapatkan daya penjelas yang lebih memadai terhadap persoalan yang dibahas dalam disertasi ini.

2.3.1 Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu

Pierre Felix Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di Desa Denguin, Distrik Pyreness-Antantiques di bagian Barat Daya Prancis. Pandangan Bourdieu dapat digunakan untuk memahami etnisitas dengan baik. Dikatakan pula olehnya bahwa realitas etnik adalah realitas pertarungan simbolik etnisitas yang terjadi di berbagai arena kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan politik.

Konsep “habitus” Bourdieu juga dapat digunakan untuk menganalisis masyarakat yang di dalamnya terjadi pertarungan atau perjuangan untuk merebut “dominasi simbolik” dari etnis tertentu agar dapat ddirikan hegemoni kelompok etnis tertentu terhadap kelompok lainnya yang dianggap saingannya. Oleh karena itu, dalam interaksi sehari-hari dalam kehidupan publik terjadi medan pertempuran atau persaingan antaretnis dan perjuangan untuk meraih dominasi simbolik.

Modal (capital) dari teori Praktik Bourdieu amat penting juga digunakan untuk menganalisis etnis dan relasi antaretnis, sebab modal itu memainkan peran

yang penting agar dapat mengilustrasikan kondisi objektif yang dimiliki aktor, yaitu kondisi keberadaanya atau eksistensinya di dalam masyarakat pada umumnya sebagai relasi dari modal-modal yang dimilikinya. Bourdieu juga dalam Teori Praktik-nya merumuskan dua dimensi, yaitu (1) proses internalisasi yang dialami pelaku (aktor, baik individu maupun kelompok), dan (2) pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi yang menjadi bagian dari diri si pelaku.

Internalisasi yang dialami pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup yang melekat dalam diri aktor (habitus) dalam berbagai arena. Oleh karena itu, setiap praktik aktor adalah merupakan produk hasil dari interaksi antarhabitus dan arena. Setiap arena mempunyai aturan-aturan tersendiri sehingga masing-masing aktor harus mampu berjuang di arena tersebut. Dalam rangka mempertahankan eksistensinya itu maka aktor harus memiliki kekuatan dan cara atau strategi untuk mempertahankan eksistensinya di arena.

Berdasarkan pandangan Bourdieu tersebut maka dalam disertasi ini teorinya digunakan untuk menganalisis data sehingga dapat membedah permasalahan yang pertamadalam disertasi ini. Berikut adalah penjelasan lebih detail konsep-konsep dari teori Praktik-nya Bourdieu.

2.3.1.1 Habitus

Pemahaman terhadap habitus sangat penting artinya untuk dapat memahami mengapa seseorang atau kelompok orang (aktor) berprilaku atau bertindak seperti itu dan berbeda dengan orang lain. Dengan demikian maka prilaku aktor satu dengan

yang lainnya tentu berbeda dan wajar terjadi sebab aktor dalam menjalankan kehidupannya tidak bisa dilepaskan dari habitus-nya. Oleh karena itu,habitus berfungsi sebagai penggambaran kecenderungan pelaku sosial, baik individu maupun kelompok, untuk beraksi dan juga bereaksi atas segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.

Sejalan dengan itu, Calhoun (1993: 4) mengatakan bahwa habitus itu sebagai sebuah sistem yang terdiri atas kecenderungan-kecenderungan tetap yang berlaku pada diri individu sebagai pelaku sosial dalam kehidupannya yang membuatnya melakukan praktik sosial dalam arena yang berbeda-beda. Sementara itu, Ritzer et al. (2008: 522) mengatakan bahwa habitus secara sosiologis didefinisikan sebagai “struktur mental atau kognitif” yang digunakan oleh aktor menghadapi kehidupan sosial. Melalui habitus, aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang digunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial.

Bourdieu (1990) juga mengatakan bahwa habitus itu sebagai opus operatum atau hasil praktik dan modus operandi atau modus praktik. Sebagai ilustrasi tentang habitus, oleh Alamsyah (2010; Sjaf, 2014: 65-66), dikatakan bahwa habitus itu adalah prinsip dan nilai yang melekat pada diri agen seperti sikap disiplindan sikap antikekerasan dan dapat berwujud dalam gerak-gerik tubuh yang khas seperti cara berbicara dan berjalan.

Habitus juga dapat berubah-ubah karena ranah (arena) dapat mengondisikan habitus dan habitus dapat mengklasifikasikan ranah atau arena. Dalam sistem

klasifikasi itu aktor mengorganisasikan tindakan sosialnya dan mempersepsikan serta mengapresiasi tindakan sosial agen lain. Habitus itu melekat pada diri agen dan sekaligus mewujud pada agen seperti terlihat pada cara bicara, berjalan, makan, minum, dan sikap lainnya sehingga secara otomatis tidak disadari akan memandu praksis sosialnya (Bourdieu, 1984: 466; 1992: 19).

Dengan demikian, habitus itu dibentuk dari pengalaman hidup aktor seperti asal usul, pekerjaan, dan pendidikan. Oleh karena itu, habitus itu ada sejak lahir dan berkembang seiring dengan agen memasuki dunia atau arena baru seperti sekolah, dunia kerjaserta tidak dapat dielakkan bahwa arena dapat memengaruhi sikap agen, namun tidak berarti mengarahkan sepenuhnya sikap agen. Habitus juga dapat dijadikan rujukan atau pedoman bagi agendalam mengambil sikap pada suatu kondisi atau arena tertentu.

Berdasarkan paparan di atas maka habitus itu digunakan dalam penelitian disertasi ini agar dapat dipahami sikap dan perilaku etnis etnis Tionghoa seperti itu di Desa Pupuan dan sudah barang tentu berbeda dengan sikap dan perilaku etnis Bali. 2.3.1.2 Ranah (Arena)

Ranahatau arena adalah sebuah wilayah yang bersifat dinamis atau mencair yang di dalamnya terdapat pertarungan/kontestasi untuk mendapatkan posisi tertentu. Kontestasi di arena itu dalam upaya mencapai posisi berkaitan erat dengan kepemilikan modal dari pelaku sosial di dalam arena tersebut (Calhoun,1993: 5-6). Setiap aktor tidak akan dapat lepas dari arena dan masing-masing arena itu memiliki aturan/ketentuan tersendiri sehingga dapat mempengaruhi seseorang individu

ataupunkelompok berprilaku. Dengan demikian kontestasi antaraktor selalu berusaha sedapat mungkin untuk menguasai/merebut kode-kode atau aturan-aturan agar dapat menjadi pengendali permainan.

Aktor yang dominan tentu saja berusaha untuk mempertahankan posisinya, sedangkan aktor yang posisinya marjinal juga berusaha untuk merebut kedudukan yang lebih tinggi. Pada pertarungan ini masing-masing aktor memanfaatkan modalnya dan habitus yang dimilikinya untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi di masyarakat. Oleh karena itu,dalam kontestasi pada arena tertentu setiap aktor harus memiliki modal dan kemampuan strategi dalam menggunakan modal tersebut agar aktor memperoleh dan dapat mempertahankan posisi yang diinginkan dalam arena tertentu.Relasi yang terbangun antaraktor dalam arena yang bersaing lebih bersifat relasional dibandingkan bersifat struktural.

Hal ini disebabkan karena arena bukanlah struktur yang bersifat statis dengan berbagai batasan yang ketat tetapi arena terbentuk dari adanya kesamaan antaragen sosial seperti bahasa, gaya hidup, minat, pengetahuan dan lainnya yang dapat bertemu pada suatu titik tertentu. Oleh karena itu Bourdieu (1992: 97) mengatakan bahwa arena adalah suatu jaringan yang terbentuk dari relasi objektif di antara posisi-posisi yang ada sehingga hubungan antaraktor dalam arena lebih bersifat relasional daripada struktural. Demikian pula karena arena sifatnya cair dan dinamis serta sulitnya menentukan batas-batasnya maka tiap agen dapat menempati dan memposisikan diri lebih dari satu ranah dalam waktu yang bersamaan.

Berdasarkan uraian di atas maka di Desa Pupuantentu saja ada kontestasi antaraktor baik dari etnis Tionghoa maupun etnis Bali yang ingin mempertahankan eksistensinya masing-masing dengan memainkan modalnya baik bersifat ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik serta menggunakan strategi masing-masing untuk meraih kemenangan yang secara kasat mata tidak tampak sehingga perlu ditelusuri lebih jauh dalam penelitian ini.

2.3.1.3 Modal

Konsep modal menurut Bourdieu melampau definisi dari pendekatan ilmu ekonomi. Dengan demikian modal menurut Bourdieu meliputi barang-barang material dan barang-barang simbolik. Begitu juga dijelaskan bahwa kedudukan atau kekuatan agen baik individu atau lembaga dalam struktur sosial ditentukan oleh modal-modal yang dimilikinya (Bourdieu, 1992).

Bourdieu lebih lanjut menjelaskan bahwa modal itu meliputi (1) modal ekonomi, yaitu tingkat kekayaan material dan kekayaan aktor, yang juga meliputi faktor produksi seperti kepemilikan tanah, teknologi, dan modal dalam arti uang; (2) modal sosial, yaitu merupakan jaringan sosial yang memudahkan aktor untuk menghimpun modal-modal lainnya. Secara sederhana modal sosial didefinisikan oleh Bourdieu yaitu suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan sosial.

Bourdieu juga menegaskan bahwa modal sosial sangat tergantung pada luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif dan jumlah kapital (ekonomi, kultural, dan simbolik) yang dimiliki suatu masyarakat; (3) modal budaya,

yaitu kepemilikan aktor atas benda-benda material yang dianggap memiliki prestise tinggi, pengetahuan, dan ketrampilan yang diakui oleh otoritas resmi dan kebiasaan seperti gaya pakaian, cara bicara, selera makan, dan sebagainya. Atau dengan kalimat lain, yaitu modal budaya adalah kualifikasi-kualifikasi intlektual hasil dari sistem pendidikan, atau diturunkan melalui konsep-konsep, seperti latar belakang keluarga, kelas sosial, investasi-investasi, dan komitmen pada pendidikan; dan (4)modal simbolik, yaitu simbol-simbol kebudayaan yang dapat memperkuat kedudukan agen di antara agen-agen lainnya. Jadi keempat modal itu akan tetap eksis dan berfungsi dalam arena dan memiliki kekuatan terhadap arena.

Pada bagian lain Bourdieu juga mengatakan bahwa modal juga sangat menentukan reproduksi instrument yang terkandung dalam arena yang distribusinya membentuk struktur arena tersebut. Akan tetapi modal itu juga memiliki kekuatan terhadap pola dan keteraturan yang mengatur kerja arena, sehingga ia menentukan keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh para aktor di dalam arena (Bourdieu, 1992). Selanjutnya Bourdieu (1986) mengatakan bahwa keberadaan modal ekonomi dapat dipertukarkan dengan modal lainnya, sedangkan modal simbolik memungkinkan agen memperkuat kedudukannya di dalam masyarakat.

Berdasarkan atas pandangan itu maka dapat dikatakan bahwa posisi kekuasaan dan kedudukan aktor ditentukan oleh kepemilikan modal dan relasinya dengan aktor lain. Semakin tinggi kualitas modal yang dimiliki aktor maka semakin berpeluang untuk menjadi dominasi atau menduduki posisi supraordinat daripada aktor yang kurang memiliki modal kemungkinan besar tetap pada posisi subordinat.

Dalam konteks itu pula dikaji di lapangan (Desa Pupuan) apakah antara etnis Tionghoa dan etnis Bali terjadi kontestasi pada arena yang sama dalam upaya mempertahankan eksistensinya masing-masing dengan memainkan ke empat modal yang ada seperti dalam teori modal Bourdieu di atas.

2.3.1.4Strategi

Konsep “strategi” juga diperkenalkan oleh Bourdieu. Dalam pertarungan atau kontestasi, strategi memegang peranan yang sangat penting. Konflik selalu terjadi di dalam sebuah arena dan sesuatu yang sudah lazim terjadi. Dalam sebuah arena selalu ada individu atau kelompok yang mendominasi dengan kekuatan modal yang dimiliki. Kelompok yang bukan mendominasi selalu berusaha keras agar modal yang dimiliki bisa bertahan, berkembang dan bisa dilestarikan.

Rusdiarti (2004:57-60) mengutif pandangan Bourdieu tentang bentuk strategi, yaitu: (1) Strategi investasi biologis, yaitu strategi yang berkaitan erat dengan pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal kepada generasi yang selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik. (2) Strategi suksesif, yaitu usaha mewariskan harta bagi generasi berikutnya. Pewarisan ini biasanya terkait dengan pewarisan modal ekonomi dan modal budaya. (3) Strategi edukatif, yaitu usaha yang dilakukan oleh aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang bisa dengan cakap mewarisi modal yang dimiliki oleh aktor tersebut.

Selanjutnya Rusdiarti menguraikan strategi yang ke-(4) yaitu strategi invasi ekonomi atau capital invation, yaitu bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya, dan (5) Strategi

investasi simbolik, yaitu strategi yang berkaitan dengan semua tindakan pelestarian kapital simbolik, yang bertujuan agar individu/kelompok mendapat pengesahan dalam kehidupan sosialnya sebab semakin besar kapital simboliknya maka semakin besar pula pengaruhnya pada kelompok sosial yang lain.

2.3.2 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan dan Genealogi Michel Foucault 2.3.2.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan

Michel Foucault dilahirkan di Poiters, Prancis pada tanggal 15 Oktober 1926. Foucault adalah figur sentral dalam filsafat Prancis abad XX yang ide-idenya diasosiasikan dengan aliran pascastrukturalisme. Pemikirannya sangat mempengaruhi perkembangan kajian budaya kontemporer dan pemikirannya dipengaruhi sangat kental oleh Nietzsche, yaitu Foucault berupaya untuk mengeksplorasi beraneka macam praktik diskursif yang menancapkan kekuasaan atas tubuh manusia tanpa ada keterikatan terhadap suatu tatanan struktural tertentu atau otoritas final yang tetap.

Foucault juga berikhtiar untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi historis dan sejumlah aturan yang berkontribusi dalam pembentukan pelbagai wacana sekaligus bekerjanya model kekuasaan/pengetahuan dalam praktik sosial yang salah satu pencapainya adalah pengaturan makna. Sebagian besar karya Foucault berfokus pada penyelidikan historis terhadap kekuasaan sebagai jejaring yang tersebar di dalam tatanan sosial yang tidak selalu bersifat represif (menekan, menindas), namun juga bersifat produktif (Barker, 2014: 101-102).

Pandangan Foucault di atas peneliti menilai sangat relevan digunakan dalam disertasi ini didasari oleh argumentasi bahwa berbicara atau mengkaji realitas etnis tidak dapat dipisahkan dengan wacana (diskursus) dan kekuasaan. Menurut Foucault, definisi kekuasaan itu tidak dimiliki, melainkan diciptakan oleh hubungan antarpengetahuan yang membangun posisi bagi mereka yang tunduk pada praktik-praktik tertentu. Selanjutnya, juga dikatakan olehnya bahwa kekuasaan tidak melekat pada struktur tertentu, melainkan ada di mana-mana baik individu maupun kelompok. Foucault juga mengatakan bahwa karena wacana adalah konstituen dari kekuasaan sehingga wacana dan praktik yang terkait dengan etnisitas senantiasa melekat makna kekuasaan (Spencer, 2006: 99).

Foucault juga lebih banyak menekankan pada power/knowledge (kekuasaan/pengetahuan) yang dapat diartikan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang jika ia memiliki pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi perlu diingat bahwa Foucault juga mengingatkan beberapa hal yang terkait dengan teorinya sebagaimana dikemukakan oleh Bertens (2014:310-316), yaitu (1) Kuasa bukanlah milik tetapi strategi;(2) Kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi ada di mana-mana; (3) Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi; dan (4) Kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif.

Berdasarkan pandangan teori Foucault maka masing-masing etnis yang ada di Desa Pupuan tentu berusaha merebut kekuasaan untuk mendapatkan atau mempertahankan diri pada posisi superior (superordinat) dan sedapat mungkin untuk

menghindari posisi sub-ordinat (imperior). Begitu juga ada kemungkinan dari etnis mayoritas (etnis Bali) menggunakan wacana dan kekuasaan/ilmu pengetahuan untuk meminggirkan etnis Tionghoa di daerah penelitian (Desa Pupuan) agar orang mewed(etnis Bali) tetap mendominasi atau memegang hegemoni atas etnis Tionghoa sebagai etnis pendatang (tamiu). Adanya upaya itu perlu dikaji dalam penelitian ini apakah hal tersebut dilakukan oleh etnis mayoritas (etnis Bali) terhadap etnis minoritas (etnis Tionghoa).

Konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Gramsci (1891-1937) juga dapat digunakan untuk melengkapi teori Foucault, sebab menurut Gramsci,teori hegemoni meliputi sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya terdapat kelompok penguasa atau dominan yang menjalankan dan melestarikan kekuasaannya dalam suatu masyarakat melalui konsensus terhadap kelompok yang dikuasai atau yang didominasi. Oleh karena itu, kebudayaan dan masyarakat tidak lain merupakan suatu perwujudan dari upaya hegemoni yang akan diterima secara konseptual oleh yang terhegemoni.

Teori Hegemoni dari Gramsci digunakan pada disertasi ini dengan argumentasi bahwa teori ini dianggap relevan untuk membedah permasalahan yang berhubungan dengan kekuasaan dalam konteks relasi dua etnis yang berbeda kemungkinan besar ada permainan kuasa di dalamnya sehingga terdapat pihak yang menghegemoni dan pihak yang terhegemoni.

Menurut Piliang (2010: 71) bahwa hegemoni secara konvensional diartikan sebagai suatu sistem kekuasaan atau dominasi politik dan dalam tradisi Marxisme

istilah hegemoni diperluas pengertiannya ke arah hubungan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial khususnya kelas berkuasa (ruling class). Piliang (2010: 73) juga menegaskan bahwa prinsip hegemoni dibangun didasarkan atas demokrasi yang dibentuk antara kelompok penguasa dengan kelompok yang dikuasai sehingga tercipta masyarakat sipil. Dikatakan pula olehnya bahwa dalam masyarakat sipil itu pandangan hidup kelas yang dikuasai bukanlah pandangan kelas hegemoni yang dipaksakan secara pasif, tetapi merupakan artikulasi dari berbagai pandangan hidup yang ada dari berbagai kelompok sosial yang kemudian disatukan dalam sebuah artikulasi yang konduktornya adalah kelas hegemoni.

Gramsci berpandangan bahwa hegemoni merupakan kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh kelas penguasa dan hegemoni itu bukanlah hubungan dominasi dengan mempergunakan kekuasaan tetapi hubungan yang didasarkan atas persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Selanjutnya Gramsci juga mengatakan bahwa dominasi kekuasaan itu harus diperjuangkan melalui kekuatan senjata dan juga melalui penerimaan publik, yaitu ide masyarakat berkuasa oleh masyarakat luas yang diekspresikan melalui apa yang disebut opini publik (Ritzer, 2010: 300).

Barker (2014: 119-121) mengatakan bahwa hegemoni dapat dipahami dalam kerangka strategi di mana pandangan tentang kenyataan dan kelompok sosial yang menjadi panutan yang sedang dipertahankan seperti kelas, sek, etnis atau nasionalitas. Akan tetapi harus dilihat dalam kerangka relasional dan sesuatu secara inheren tidak

stabil mengingat hegemoni adalah kesepakatan bersifat sementara dan serangkaian aliansi antarkelompok sosial yang dimenangkan dan bukan diberikan.

Hegemoni itu terus menerus dimenangkan dan dinegosiasi ulang secara konstan sehingga budaya adalah wilayah atau arena konflik dan perjuangan untuk memperoleh makna. Lebih jauh Barker mengatatakan bahwa hegemoni itu bukanlah suatu entitas yang bersifat statis melainkan serangkaian diskursus dan praktik yang terus menerus berubah secara instrinsik terikat pada kekuasaan sosial. Oleh karena hegemoni itu terus menerus harus dimenangkan dan bahkan diciptakan maka kemungkinan pula akan adanya perlawanan atau resistensi yaitu terciptanya blok kontra hegemoni yang dilakukan oleh kelompok atau kelas sub-ordinat (kelompok termarjinalkan) atau kelompok minoritas.

Berdasarkan uraian di atas maka konsep power/knowledge dan hegemoni besar kemungkinannya ikut berperan atau bermain di dalamnya sehingga terciptanya sebuah harmoni dalam kehidupan dua etnis berbeda, yaitu etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas dan etnis Bali sebagai etnis mayoritas di lokasi penelitian yaitu Desa Pupuan. Dengan demikian kedua teori tersebut dapat digunakan untuk membedah berbagai alasan penyebab terciptanya harmoni dan bentuk relasi kuasa yang terjadi di antara etnis Tionghoa dan etnis Bali sehingga ditemukan dinamikanya.

2.3.2.2 Teori Genealogi

Foucault menggunakan konsep “genealogy” untuk meneliti relasi kuasa dan kesinambungan serta patahan wacana yang bermain dalam kondisi-kondisi historis tertentu. Oleh karena itu Foucault diakui oleh banyak kalangan sebagai orang yang

berjasa menemukan genealogi subjek modern, yang ia lakukan dengan melacak dan menelusuri jejak-jejak sejarah. Foucault memperlakukan subjek sebagai subjek historis sehingga subjek dikenali dan dipahami sebagai produk sejarah.

Foucault mengatakan bahwa tugas genealogi adalah menelaah cara-cara di mana tubuh ditempatkan dalam sejarah sebagai arena praktik-praktik pendisiplinan yang pada gilirannya membentuk subjek sebagai pengada. Jadi kekuasaan bersifat generatif atau ia menghasilkan subjektivitas. Genealogi juga melacak wacana-wacana dan praktik-praktik ini secara historis dan menunjukkan bentuk-bentuk pengaturan dan pendisiplinan diri seperti apa yang muncul dalam periode sejarah dan kultural yang berbeda-beda. Artinya tipe-tipe subjek yang berbeda-beda adalah hasil dari pelbagai formasi sosial dan kultural yang khas (Barker, 2014: 106-107).

Dokumen terkait