• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah sistem pemerintahan otoriter, teori totaliter, pers, sistem pers, kebebasan pers, pembredelan dan bahasa dalam pers.

1. Sistem Pemerintahan Otoriter/Fasis

Fasisme berasal dari bahasa Latin Fasces yang berarti „ikatan‟. Pada masa Roma kuno, petugas hukum mengenakan tanda berupa seikat sambuk dan kapak sebagai simbol, wewenang dan keadilan. Di tahun 1920 Mussolini mengadopsi simbol ini dengan memberi nama yang mirip, „Fasci’ untuk kelompok bersenjata yang dia harapkan dapat membawanya kepada kekuasaan.26

26

Mussolini ditiru seorang Jerman bernama Adolf Hitler. Pengikut -pengikut Hitler yang revolusioner merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Jerman (National Socialist German Worker’s Party/NSDAP). Dari nama partai inilah

istilah Nazi Jerman dan Fasis Italia cukup memiliki kesamaan antar keduanya, hingga kata „fasis‟ patut dilekatkan bagi kedua gerakan revolusioner itu. Slogan

Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuehrer, dapat digunakan untuk menympulkan apa arti

sebenarnya Fasisme.27

Ein Reich (Negara Totaliter). Menurut doktrin fasis, negar harus totaliter. Ini

berarti negara harus memiliki kekuasaan total atas seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Di negara totaliter rakyat ada untuk kepentingan negara. Hanya ada satu partai politik dimana setiap orang memberikan suaranya, dan partai ini adalah pemerintah. Pemerintah mengontrol semuanya: pendidikan dan media massa, industri dan perdagangan, rekreasi dan agama, bahkan kehidupan berkeluarga.

Ein Volk ( Rasialisme dan Nasionalisme). Kaum fasis percaya bahwa

manusia adalah predator, tetapi hal ini bukan satu-satunya pembenaran mereka mendukung negara kuat. Secara sederhana, seorang rasialis percaya bahwa rasnya, entah berasal dari Inggris, Jerman, Cina atau manusia keturunan manapun, adalah superior atas ras lainnya. Rasialisme berkaitan erat dengan nasionalisme. Seorang nasionalis adalah seorang yang memiliki kebanggaan atas bangsanya, hingga terkadang sampai pada taraf memujanya. Yang dimaksud dengan „bangsa‟ di sini adalah istilah kolektif yang mencakup negara (sebuah sistem pemerintahan),

27

masyarakat (sebuah kelompok ras yang disatukan oleh ikatan darah), serta budaya dan tradisi yang telah berkembang berabad-abad.28

Ein Fuehrer (Prinsip Kepemimpinan). Jika fasisme adalah agama maka

pemimpinnya (Fuehrer) adalah Tuhannya atau God Given ( keturunan Tuhan). Pada tahun 1920-1945, pemimpin kaum fasis adalah para diktator. Dua dari mereka Hitler dan Mussolini yang memiliki kekuasan total, menggunakan alat-alat demokratik pemilihan umum dan tawar-menawar politik mendapat kekuasaan. Namun sekali mereka mengambil alih pemerintahan, mereka menggengam seluruh kekuasaan di tangan mereka. Kata-kata mereka adalah hukum. Mereka menjadi diktator tidak hanya berkat kualitas kepemimpinan mereka. Seorang fasis mendukung negara totaliter yang dipimpin seorang diktator yang populer. Ia selalu yakin dengan superioritas rasnya dan kebesaran bangsanya. 29

Untuk semakin menjelaskan ciri pemerintahan yang otoriter/fasis teori totaliterisme yang telah berkembang dapat memberikan gambaran ringkas sebagai berikut:Rezim totaliter dimanapun bermaksud mengarahkan masa rakyat untuk membangun suatu masyarakat baru, suatu sistem nilai baru dengan cara-cara yang revolusioner dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, di samping mengontrol semua kekuasaan sosial. Menurut Zbigniew Brzezinki (di samping Hannah Arendt, Karl Popper, Raymond Aron,dll.) Masyarakat totaliter mempunyai unsur pokok, yaitu:30

28 Ibid, hlm. 7. 29 Ibid, hlm. 14-15. 30

Sutarjo Adisusilo.J.R, 2016, Revolusi Eropa Menjadi Modern, Yogyakarta, Sanata Dharma University Press, hlm.197.

1) Suatu ideologi yang menjelaskan dunia, masyarakat manusia dan sejarah, merupakan ideologi yang harus ditaati, dipropagandakan dan diterima oleh semua warga negara.

2) Pemusatan kekuasaan sosial dan politik di tangan satu partai (biasanya didominasi oleh satu orang pemimpin)

3) Intimidasi atas rakyat melalui ketidakpastian hukum teror politis yang sewenang-wenang.

4) Monopoli negara atas sarana-sarana informasi dan komunikasi 5) Perekonomian yang terpusat dan serba terencana.

Dengan unsur-unsur yang dimilikinya, maka rezim totaliter ternyata mengandung unsur paradoksial di dalam dirinya, tidak efisien dan kontra produktif. Hal ini dapat dicermati dari:

1) Ideologi

Memberlakukan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi negara, berarti setiap warga negara harus menerimanya, membuat tidak ada kemajemukan/pluralisme dalam berbagai hal termasuk pendapat, ide, gagasan, pikiran, dll. Semua harus seragam. Berbeda berarti menentang, dan mati. Kendati diindoktinisasikan, ideologi seperti itu tidak akan meresap dalam hati dan dihayati warga masyarakat. Jika dipelajari maka hal itu hanya lahiriah sifatnya, tetapi ideologi itu akan dibenci di dalam hati sanubari, kemunafikan merajalela. Memaksakan ideologi yang hanya dilegitimasikan kekuasaan justru kontra produktif.

2) Sistem partai tunggal

Jika dalam suatu negara hanya ada satu atau non multi partai, tetapi satu partai memonopoli semua kekuasaan negara, maka konsekuensi logisnya adalah partai dan birokrasi negara tumbuh menjadi sesuatu yang berukuran raksasa dan tidak dapat tidak menjadi tidak becus dan korupsi, nepotisme maupun kolusi akan berkembang subur. Sistem partai tunggal menjadi buta kritik, saran dan penyegaran. Keangkuhan, kesombongan dalam segala hal mengantar partai secara pelan tapi pasti masuk dalam kehancuran.

3) Teror

Ciri lain pemerintahan totaliter adalah menindas kelompok minoritas (agama, ras, budaya, sosial, dll) secara sistematis. Di samping itu tidak ada kepastian hukum sebab hukum untuk mengabdi penguasa dan situasi ini akan berdampak struktur masyarakat lambat laun akan lumpuh. Ketakutan yang ditimbulkan oleh penguasa (polisi, tentara, jaksa, hakim, dll), lambat laun akan berubah menjadi rasa jijik dan benci yang meluas di kalangan rakyat terhadap penguasa.

4) Kontrol informasi

Radio, TV, Surat Kabar, internet dan alat-alat komunikasi modern amat membantu propaganda pemerintah. Di pihak lain alat-alat tersebut kendati dibungkam dibredel, akan tetap menjadi alat komunikasi bagi setiap orang untuk melawan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah totaliter pada dasarnya tidak akan dapat membungkam rakyatnya dengan memanipulir informasi atau membatasi informasi. Pemerintah manapun akan gagal mengontrol dan

memblokir informasi, pembredelan surat kabar, internet dll. Justru mendorong rakyat mencari dan mempercayai informasi dari luar dan membenci informasi pemerintahnya.

5) Perekonomian berencana yang terpusat.

Perekonomian berencana yang terpusat terus menerus lambat laun tidak efisien sebab melenyapkan prinsip-prinsip persaingan sehat. Akibat motivasi untuk bertindak secara ekonomis hilang. Produktivitas dan kreativitas lenyap demi mengutamakan loyalitas, komitmen pada partai dan ideologi. Dalam keadaan seperti ini ekonomi tidak saja stagnan tetapi mundur dan akhirnya runtuh. Dengan melihat struktur paradoksal totalitarianisme maka hasil akhirnya adalah kekacauan ekonomi dan hilangnya kredibilitas rakyat terhadap penguasa sebab ideologi yang dipaksakan demi legitimasi penguasa akan berguna.

Penulis memaparkan teori tentang fasisme dan totalitarisme sebagai suatu gambaran sejarah ketika negara dipimpin oleh seorang otoriter,gambaran inilah yang di masa Orde Baru dapat kita lihat, bagaimana seorang pemimpin secara penuh menggunakan kekuasaanya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Menurut Ashadi Siregar31 rezim Orde Baru digerakan oleh budaya negara berdasarkan norma militerisme dan/ atau fasisme dengan menjalankan prinsip monopoli mulai dari pengendalian secara fisik, sampai penguasaan alam pikiran warga. Pengendalian fisik dilakukan antara lain dengan tindakan-tindakan, sementara penguasaan alam pikiran dilakukan dengan monopoli wacana melalui penguasaan alat-alat komunikasi dalam masyarakat.

31

Ashadi Siregar. Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni. Jurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Politik. Vol 4. No.2. 2000. hlm. 176.

Militerisme dan fasisme dapat berjalan bersamaan, tetapi dapat juga berjalan terpisah. Militerisme pada dasarnya secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan dengan menggunakan metode militer dalam kehidupan sipil. Metode militer yang digerakkan dengan norma fasisme dapat menjadi sangat eksesif jika budaya negara ini digerakan oleh pimpinan negara yang memiliki kecendrungan psikopatologis. Kehidupan era Hitler di Jerman dapat menjadi studi mengenai pola fasisme. Struktur negara Orde Baru tidak memberi tempat kepada struktur alternatif atau oposisi karena digerakakkan oleh budaya negara dengan norma militerisme dan fasisme. Dengan norma semacam ini, biasanya terbentuk pula struktur gelap atau bayangan (hidden Structure) yang berasal dari dalam struktur resmi negera. Struktur gelap ini di gunakan untuk menjalankan tindakan secara fisik dan metode lainnya di luar hukum oleh penguasa negara untuk mematikan setiap tindakan yang dianggap sebagai oposisi. Teror terhadap warga, penculikan dan penahanan tanpa prosedur hukum, bahkan sampai penembakan misterius (petrus) yang disebut tindakan shock theraphy dapat menjadi contoh tindakan dari struktur gelap rezim Orde Baru.32

Demikialah era Orde Baru ditandai oleh struktur sosial dengan kekuasaan negara bersifat hegemonik dan korporatis ala fasisme. Selain adanya tindakan-tindakan yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan gelap), penguasaan alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa. Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalian masyarakat. Dalam norma otoritarianisme umumnya dan fasisme khususnya

32

media massa pada dasarnya hanya menjadi alat bagi kekuasaan, bukan sebagai sarana masyarakat untuk mendapat fakta dan mengekspresikan dirinya. Lebih jauh, pengendalian masyarakat adalah kata kunci dalam struktur negara fasis dan militeristis yang bersifat totalitarian.33

2. Pers

Setelah berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno dengan Orde Lama-nya dan digantikan dengan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto salah satu perubahan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan memperbaharui Undang tentang pers yang beberapa kali mengalami perubahan seperti: Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No.11 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.4 1967.

Pasal 1 a. Pengertian tentang pers diubah sebagai berikut alat revolusi diubah menjadi alat perjuangan. Setelah mengalami perubahan kata dalam pengertian pers, menurut Undang-undang No.21 1982 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 4 1967 yang dimaksud dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan dan alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, dilengkapi dengan alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.34

33

Ibid, hlm, 179. 34

Perumusan pers menurut Undang-Undang tersebut di atas sangat sesuai dengan perumusan yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, tentang pers dalam arti sempit yaitu “Pers yang menjelma dalam surat-surat kabar, majalah-majalah, buku-buku dan lain-lain”.35

Kalau kita telaah lebih dalam kedua perumusan di atas, maka yang dimaksudkan dengan pers adalah semua alat komunikasi yang bersifat umum dan terbit secara teratur berupa majalah-majalah, surat kabar, buku-buku, dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai penyebar luas informasi dan sarana perjuangan untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional.

3. Sistem Pers

Pers umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk kepada sistem politik pemerintahan yang ada. Bersama dengan lembaga kemasyarakatan lainnya, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara. Oleh karenanya, pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara di mana pers itu berada. Singkat kata, perkembangan dan perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di mana pers itu berada, dan merupakan subsistem politik yang ada. Menurut Fred S. Siebert, dkk dalam buku yang berjudul Four Theories of

the Press, terdapat empat teori pers yang mendukung sistem pers di dunia:36 Pertama Teori Pers Otoriter. Ciri utama dari sistem pers otoriter adalah fungsi pers sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung dan peraturan organisasi media, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik

35

Oemar Seno Adji, 1977, Pers Aspek-aspek Hukum, cet.2, Jakarta, Erlangga, hlm.79. 36

Inge Hutagalung.”Dinamika Sistem Pers di Indonesia” Jurnal Interaksi.Volume II No.2. Juli 2013, hlm.54.

pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem otoriter, pers dapat dimiliki baik secara publik ataupun perorangan, namun tetap menggunakan pers sebagai alat untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah.

Teori pers otoriter muncul pada zaman Renaissance (pencerahan) abad 17 setelah ditemukannya mesin cetak. Teori ini berkembang dari filsafat kekuasaan monarki absolut dan kekuasaan pemerintah absolut. Di beberapa negara di dunia, teori pers otoriter masih di praktikan sampai sekarang. Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut.37

Kedua Teori Pers Liberal. Sistem pers ini merupakan suatu bentuk perlawanan dari pandangan otoriter. Ciri teori pers Liberal Pers membantu menemukan kebenaranan dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Penguasa tidak punya hak untuk mengatur isi berita media. Penguasa dalam sistem ini juga tidak berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menerbitkan media. Pada sistem ini, siapapun sebenarnya punya hak untuk menerbitkan media asalkan mempuyai kemampuan ekonomis. Tidak ada izin atau lisensi khusus untuk menerbitkan media. Apa yang baik dan tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi ditentukan oleh khalayak. Dalam sistem ini, penguasa tidak mempunyai hak untuk menutup (bredel) media. Teori ini muncul dari filsafat umum tentang rasionalisme dan hak asasi manusia, teori liberal semula berkembang di Inggris dan digunakan setelah tahun 1688.

37

Ketiga,Teori Pers Tanggung Jawab Sosial. Ciri teori ini yaitu media selain bertujuan untuk memberikan informasi, menghibur, mencari keuntungan, juga harus dapat memberikan individu hak untuk mengemukakan masalahnya di dalam forum media, dan jika media tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Teori ini, media dikontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan penyiaran, dikontrol oleh badan pengatur penyiaran. Pengembangan dari teori liberal menghasilkan teori tanggung jawab sosial, yang dikembangkan pada abad ke 20 di Amerika Serikat.

Keempat, Teori Pers Totaliter-Soviet. Ciri teori ini yaitu kebebasan pers yang sebenarnya akan ada dalam masyarakat tanpa kelas kebebasan pada sistem ini adalah bebas dari kapitalisme, individualisme, burjuasi dan bukan bebas untuk menyatakan pendapat. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas, dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai ortodoks saja yang dapat menggunakan media secara reguler. Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh negara dan hanya sebagai kepanjangan tangan negara. Tujuan teori ini adalah membantu keberhasilan dan klan kelangsungan sistem Soviet.

Teori ini dikembangkan berdasarkan ideologi Marxis dan nilai kebersamaan antar kelas maupun antar partai/golongan, yaitu selama kelas kapitalis mengawasi fasilitas fisik media, kelas buruh tidak mempunyai akses pada saluran komunikasi.

Menurut penulis masa Orde Baru menganut Teori Pers Otoriter. Hal ini dapat dilihat dari UU PP No.11 1966 terdapat peraturan mengenai surat izin terbit,

ketika diperbaharui menjadi UU PP No.21 1982 digantikan dengan surat izin usaha penerbitan pers, mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan pers dikendalikan oleh pemerintah, suatu bentuk pengabdosian terhadap teori pers otoriter. Pada masa Orde Baru, pers dinyatakan sebagai salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk isi pers Indonesia perlu mencerminkan pembangunan. Hingga timbul istilah pers pembangunan, dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru.38

Pers Indonesia masa Orde Baru selain menganut teori pers otoriter juga menganut teori pers tanggung jawab sosial, hal ini digambarkan dari sebutan pers nasional adalah pers bebas dan bertanggung jawab, pers diberikan kebebasan dalam memberitakan isu-isu terkini namun pers harus tetap bertanggung jawab atas berita yang ditulis. Pertanggung jawaban pers di jabarkan dalam Undang-Undang Pokok Pers, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Kode Etik Jurnalistik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ciri khas teori pers tanggung jawab sosial ialah media bisa dimiliki oleh perorangan tetapi tidak berarti perorangan begitu saja mendiktekan keinginannya melalui media.39

Fungsi dan peranan pers berangkat dari beberapa teori pers yang sudah dikembangkan sejak lama, fungsi pers akhirnya dikaitkan dengan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Dalam pembangunan, Schramm menyebutkan, fungsi media massa minimal tiga bentuk; meliputi memberitahu rakyat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian masyarakat supaya berubah,

38

Inge Hutagalung, op.cit, hlm. 56. 39

kesempatan menimbulkan perubahan, metode/ cara menimbulkan perubahan, jika mungkin memunculkan aspirasi.

Kusumaningrat mengemukakan, fungsi pers tersebut meliputi : 40

a. Fungsi informatif merupakan fungsi memberi informasi melalui berita secara teratur kepada khalayak. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi orang banyak dan kemudian menulisnya. pers juga memperingatkan khalayak tentang berbagai peristiwa diduga akan terjadi, seperti perubahan cuaca dan bencana alam.

b. Fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab tentu akan masuk ke balik “ panggung” kejadian, menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan perkembangan yang berjalan baik dan tidak berjalan dengan baik. Fungsi kontrol ini harus dilakukan pers dengan lebih aktif daripada kelompok masyarakat lainnya. Pers dengan kelebihannya yang mampu menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang yang baik dan tidak baik, supaya segera mendapat perhatian dan penanganan sebagaimana perlunya.

c. Fungsi interpretatif pers memberikan bimbingan bagi masyarakat. Pers harus menjelaskan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Ini dapat dilakukan pers melalui tulisan pada tajuk rencana (editorial) atau tulisan-tulisan latar belakang.

d. Fungsi menghibur, para wartawan atau reporter menulis atau menuturkan kisah-kisah dunia dengan hidup dan menarik. Mereka menyajikan humor,

40

drama dan musik. Mereka menceritakan kisah lucu untuk diketahui, meskipun kisah itu tidak terlalu penting.

e. Fungsi regeneratif, pers berfungsi menceritakan bagaimana sesuatu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu diselesaikan dan apa yang dianggap dunia itu benar dan salah. Jadi pers menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru supaya terjadi regenerasi.

4. Kebebasan Pers

Konsep kemerdekaan pers di sini adalah sebagai terjemahan dari the

freedom of the press, yang secara sederhana dapat dianalogikan dengan arti free from the dom, atau bebas dari penguasa. Dalam perspektif sejarah, pengakuan dan

perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah di mulai sejak deklarasi Magna Charta tahun 1215. Khusus dalam bidang pers, secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right pada 15 Mei 1776 tentang kemerdekaan persurat kabaran.41

Piagam Virginia ini kemudian dimasukan ke dalam Konstitusi Amerika Serikat 1787, pada tahun 1789, piagam itu diadopsi pula oleh Prancis menjadi

Declaration de droits de I’homme et du citoyen, atau naskah pernyataan Hak Asasi Manusia (HAM) dan warga negara. Di Indonesia masalah kemerdekaan/ kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan demokrasi. Hal ini sangat penting dirumuskan, mengingat pengalaman selama ini,

41

Satrio Saptohadi.2011.”Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia”. Jurnal Dinamika Hukum. Volume. 11.No.1.Januari.hlm.131.

hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya kebebasan pers, tetapi dalam praktiknya otoriter dan membelenggu pers.42

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila, dengan demikian semua perilaku warga negara Indonesia diatur, dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal pasal 28 Undang-undang dasar 1945, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dari ketentuan ini nyatalah bahwa kebebasan pers diakui dan dijunjung tinggi. Bahkan jika dilihat dari Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966, tentang ketentuan dari UU pokok pers sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 tahun 1967 dan diubah lagi menjadi UU No.21 Tahun 1982, kebebasan pers dijamin sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal 5 dari undang-undang berbunyi: (1.) kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. (2). Kebebasan pers ini didasarkan atas dasar tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.43

Kebebasan ini di dalam prakteknya memang sangat diperlukan, terutama dalam pelakasanaan fungsi pers sebagai barometer, kritik dan koreksi terhadap kebijaksanaan pemerintah. karena tanpa adanya kebebasan, akan sangat sulit untuk pers untuk memberitakan kejadian yang sesungguhnya yang terjadi di

42

Ibid, hlm.132. 43

masyarakat.Menurut Oemar Seno Adji, berdasarkan asas demokrasi Pancasila maka dapat digambarkan kebebasan pers di Indonesia adalah sebagai berikut44:

(1). Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression seperti dikemukakan oleh negara-negara sosialis. (2). Ia tidak mengundang lembaga sensor preventif. (3). Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya. (4). Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan

Dokumen terkait