• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembredelan pers di masa Orde Baru (1966-1998).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembredelan pers di masa Orde Baru (1966-1998)."

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998)

Oleh:

Olyvie Bintang Haritajaya

Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru, (2) bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru, (3) dampak pembredelan pers di masa Orde Baru.

Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu politik, sosial dan ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.

(2)

ABSTRACT

THE PROHIBITION OF PRESS DURING NEW ORDER (1966-1998)

By:

Olyvie Bintang Haritajaya

Sanata Dharma University

2017

The purposes of this research are to describe and to analyze three main problems, such as: (1) The background of the prohibition of press during New Order; (2) The form and reason of the prohibition of press during New Order; (3) The impact of the prohibition of press during New Order.

This research was organized based on historically factual research method using the following steps: selection of a topic, gathering resources, verification, interpretation and historiography. The approach used in the research is a multidimensional approach which is politic, social and economic with descriptive analytic writing model.

(3)

i

PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

Olyvie Bintang Haritajaya

NIM: 121314020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sebagai ungkapan kasih, skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kepada orangtua tercinta, kedua saudara saya, Fernandus Lucky dan

Bastianus Zaevie dan motivasi saya Vinsen dan Fabian.

2. Teman-teman angkatan 2012 yang telah berjuang bersama selama kuliah

di Sanata Dharma.

3. Teman-teman asrama putri II Pemda Kutai Barat.

(7)

v

MOTTO

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit

kembali setiap kali kita jatuh.

(Confusius)

Learn from yesterday Life for today Hope for tomorrow

(Albert Einstein)

Ada resiko dan harga yang dibayar untuk bertindak tapi semuanya jauh lebih

sedikit dibanding resiko jangka panjang jika hanya berdiam.

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE BARU (1966-1998)

Oleh:

Olyvie Bintang Haritajaya

Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru, (2) bentuk dan alasan pembredelan pers di masa Orde Baru, (3) dampak pembredelan pers di masa Orde Baru.

Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional yaitu politik, sosial dan ekonomi dengan model penulisan deskriptif analitis.

(11)

ix ABSTRACT

THE PROHIBITION OF PRESS DURING NEW ORDER (1966-1998) By:

Olyvie Bintang Haritajaya

Sanata Dharma University

2017

The purposes of this research are to describe and to analyze three main problems, such as: (1) The background of the prohibition of press during New Order; (2) The form and reason of the prohibition of press during New Order; (3) The impact of the prohibition of press during New Order.

This research was organized based on historically factual research method using the following steps: selection of a topic, gathering resources, verification, interpretation and historiography. The approach used in the research is a multidimensional approach which is politic, social and economic with descriptive analytic writing model.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberi berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “ Pembredelan Pers di Masa Orde Baru (1966-1998)”. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di

Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan

Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Ignatius Bondan Suratno, S.Pd.,M.Si. Selaku Ketua Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma.

3. Dra. Theresia Sumini, M.Pd. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. Sutarjo Adisusilo J.R.,S.Th., M.Pd selaku dosen pembimbing yang

telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan,

(13)
(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 9

C.Tujuan Penulisan ... 9

D.Manfaat Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Landasan Teori... 13

G.Metodologi Penelitian ... 41

H.Sistematika Penulisan ... 45

BAB II LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS ... 46

A.Lahirnya Orde Baru ... 46

B.Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Pers ... 48

C.Kebijakan Pemerintah terhadap Pers ... 55

BAB III BENTUK DAN ALASAN PEMBREDELAN PERS ... 65

A.Bentuk Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11/1966 ... 65

B.Alasan Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.11/1966.... 67

C.Cara Pembredelan Pers selama berlakunya UU PP No.21/1982 ... 76

(15)

xiii

BAB IV DAMPAK PEMBREDELAN PERS ... 86

A.Industri Pers ... 86

B.Profesi Wartawan ... 89

C.Tenaga Kerja Pers ... 95

D.Kehidupan Pers Mahasiswa ... 97

E. Euforia Kebebasan Pers ... 101

BAB V KESIMPULAN ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah press (Inggris) atau pers (Belanda) yang sebenarnya berarti menekan

(pressing) karena mesin cetak menekan kertas untuk memunculkan tulisan. Secara

harafiah pers berarti mencetak dan penyiaran yang tercetak atau publikasi yang

dicetak (printed publication). Berdasarkan penjelasan di atas, pers memiliki dua

pengertian yakni pers dalam arti luas dan pers dalam arti sempit. Pers dalam arti

luas meliputi segala penerbitan, sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas

pada media massa cetak yaitu, surat kabar, majalah, tabloid dan buletin.1

Berkaitan dengan pengertian di atas, maka yang dimaksud pers dalam penelitian

ini adalah pers dalam arti sempit, yaitu menyangkut produk penerbitan berupa

surat kabar, majalah, tabloid dan buletin.

Awal sejarah pers di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus terkait dengan

kehidupan sosial masyarakat, kebudayaan, dan politik. Hal tersebut berpengaruh

dalam perkembangan pers di Indonesia sehingga muncul pers Belanda, pers

Melayu-Tionghoa, pers masa kependudukan Jepang, dan pers setelah

kemerdekaan Indonesia. Seiring munculnya jenis-jenis pers yang berkembang

maka bahasa pers yang digunakan juga berbeda sesuai dengan kebutuhan.

Secara garis besar perkembangan pers dimulai dari zaman penjajahan

Belanda. Sebagai daerah jajahan, pers hanya diperuntukan bagi orang-orang

Belanda. Usaha pertama untuk memulai mencetak surat kabar resmi dimulai

1

(17)

masa Gubernur Jenderal Van Imhoff, yang pada tahun 1744 menerbitkan

Bataviache Nouvelles yang hanya bertahan kurang lebih selama dua tahun.2 Hal ini dikarenakan para direktur Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di

negeri Belanda mendengar tentang surat kabar itu dan langsung menulis kepada

gubernur jenderal isi surat tersebut “Karena kami telah menemukan akibat-akibat

yang membahayakan di negeri ini dalam mencetak dan menerbitkan surat kabar

di Batavia yang mulia pada saat menerima surat ini akan segera melarang

percetakan dan penerbitan surat kabar yang terkait”.3

Perkembangan pers Belanda dalam bidang penerbitan surat kabar resmi dan

penyebarannya masih sangat terbatas dibeberapa daerah besar seperti Batavia,

Yogyakarta, Semarang, Sumatera, dan Kalimantan, yang hanya penting bagi

administrasi ataupun sebagai pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda.

Isi dari pers Belanda sudah tentu berorientasi pada pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial tidak peduli dengan keadaan masyarakat Indonesia

kerena dianggap tidak memberikan keuntungan, bahkan untuk mengetahui tentang

surat kabar yang ditulis rakyat pribumi dirasa tidak perlu.4 Oleh sebab itu,

pemerintah kolonial hanya mementingkan perkembangan surat kabar Belanda

karena berguna dalam memonopoli berita perdagangan untuk mendapatkan

keuntungan. Bahasa yang digunakan pers Belanda yaitu bahasa Belanda sehingga

pembaca surat kabar tersebut sangat terbatas hanya kalangan tertentu saja yang

bisa membaca surat kabar berbahasa Belanda, seperti keturunan Indo-Belanda.

2

Abdurrachman Surjomihardjo, 2002, Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia, Jakarta, Kompas Media Nusantara, hlm. 25.

3

Smith Edward Cecil,1986,Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia,Jakarta,Grafiti Pers, hlm.1. 4

(18)

Peraturan pertama mengenai pers di zaman Hindia Belanda tahun 1856

dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie, yang diperbaharui

tahun 1906, disesuaikan dengan tuntutan keadaan, dapat dikatakan bahwa

Undang-Undang Pers (Drukpersreglement) tahun 1856 lebih bersifat preventif,

sedangkan ketentuan perundang-undangan tahun 1906 mengenai pers bersifat

pengawasan represif.5 Peraturan itu, antara lain disebutkan bahwa sebelum

diterbitkan, satu eksemplar dari semua karya cetak harus dikirimkan terlebih

dahulu kepada kepala pemerintah setempat, pejabat justisi dan Aglemeene

Sectretarie.6 Bila ketentuan ini tidak dipatuhi karya cetak bisa disita, bahkan disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat peyimpanan cetakan tersebut.

Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan apa yang

kemudian dikenal sebagai Persbreidel Ordonnantie, dan disebutkan bahwa

Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbitan tertentu yang dinilai bisa

“mengganggu ketertiban umum”. Pasal 2 peraturan ini menegaskan bahwa

Gubernur Jenderal berhak melarang percetakan, penerbitan dan penyebaran surat

kabar, paling lama delapan hari. Namun, jika sesudah diperbolehkan terbit

kembali surat kabar yang bersangkutan dinilai mengganggu ketertiban umum,

larangan terbit bisa lebih lama, walaupun tidak lebih dari 30 hari berturut-turut.7

Selain Persbreidel Ordonnantie, pada zaman pemerintahan Belanda juga

dikenal tindakan terhadap pers yang disebut Haatzai Artikalen, yaitu pasal-pasal

yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan rasa

5

Ibid, hlm. 172. 6

Aglemene Secretarie adalah sebutan untuk sekretaris Jenderal. 7

(19)

permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau

Hindia Belanda, yang diatur dalam pasal 154-157 dari Wetboek van Strafrecht.8

Perkembangan pers Melayu-Tionghoa yang muncul di Indonesia mula-mula

dalam bahasa Melayu-Tionghoa karena perantauan Tionghoa yang menetap di

Jawa secara turun-menurun, kebanyakan tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi,

bahkan kebiasaan mereka pun berbeda dengan totok Tionghoa. Bahasa sehari-hari

yang mereka gunakan ialah Bahasa Indonesia setempat. Oleh karena itu bahasa

yang digunakan dalam surat kabar ialah bahasa yang mereka kenal, yaitu sejenis

bahasa Melayu yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Hokkian, kemudian dikenal

sebagai bahasa Melayu-Tionghoa. Surat kabar peranakan Tionghoa menggunakan

bahasa Melayu seiring bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda.9

Pers Melayu-Tionghoa memenuhi fungsi untuk berkomunikasi di antara

kaum peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi yang menggunakan Bahasa

Indonesia pada umumnya. Bebarapa surat kabar Melayu-Tionghoa muncul setelah

bangkitnya Nasionalisme, seperti: di pulau Jawa, Li Po (1901), Pewarta

Soerabaja (1902) dan Perniagaan (1903), Sin Po (1910), Keng po (1923).10

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pers Belanda dan pers

Tionghoa diambil alih Jepang. Beberapa penerbitan pers Indonesia masih tetap

bisa terbit, tetapi di bawah pengawasan militer Jepang. Edward Cecil Smith

mengutip dari Indonesian Historiography tentang beberapa surat kabar selama

kependudukan Jepang seperti berikut: “Indonesia terbagi dalam dua bagian: Jawa

dan Sumatera dikuasai Angkatan Darat Jepang, sementara Kalimantan, Sulawesi,

8

Ibid. hlm. 173. 9

Ibid. hlm. 73. 10

(20)

dan daerah sebelah timurnya dikuasai Angkatan Laut. Sebagai media komunikasi

di daerah-daerah tersebut, ada lima surat kabar yang diterbitkan di bawah

pengawasan pemerintahan militer. Surat kabar itu adalah Jawa Shinbun (Jawa),

Sumatera Shinbun (Sumatera), Ceram Shinbun (pulau Seram), Borneo Shinbun

(Kalimantan), dan Celebes Shinbun (Sulawesi).11 Surat kabar berbahasa Indonesia

yang diterbitkan pemerintah Jepang untuk pulau Jawa : Asia Raya (Batavia),

Pembangoenan, Pemandangan, Kung Yung Pao, Tjahja (Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baroe (Semarang), Pewarta Perniagaan (

Surabaya). Selain surat kabar berbahasa Indonesia, beberapa surat kabar Belanda

masih diperbolehkan terbit, yaitu: Soeabajaasch Hendelsblad dan Soeara Asia.12

Peraturan mengenai pers zaman pendudukan Jepang untuk mengatur sarana

publikasi dan komunikasi tertuang dalam Osamu Sereirei (Undang-undang No.16,

tahun 1942). Dengan terbitnya peraturan ini, dikatakan bahwa setiap artikel,

termasuk iklan-iklan yang akan diterbitkan terlebih dahulu harus mendapat cap

dari badan sensor meskipun beritanya berasal dari kantor berita Jepang (Domei).13

Dalam Undang-Undang No.16, terdapat dua segi yang menarik perhatian

yaitu, berlakunya sistem izin terbit dan sensor preventif. Pasal (1) menyatakan

bahwa semua jenis barang cetakan harus memiliki publikasi atau izin terbit. Pasal

(2) melarang semua penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang, untuk

meneruskan penerbitanya. Penerbitan yang dilarang itu meliputi semua surat

11

Edward Cecil Smith. op.cit. hlm. 71. 12

Abdurrachman Sosromiharjo. op.cit. hlm. 101. 13

(21)

kabar Belanda, Indonesia yang anti Jepang, dan juga surat kabar berbahasa Cina

yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok.

Di bawah kekuasaan Jepang, aturan hidup sangat keras, namun rakyat

Indonesia memperoleh pengalaman yang tak ternilai harganya. Mereka bekerja

sebagai pemimpin pemerintahan dan teknisi yang tadinya dipegang Belanda.

Rakyat Indonesia dijadikan satuan-satuan tempur dan diberi latihan militer,

persiapan yang tidak disengaja untuk revolusi menuju kemerdekaan Indonesia.

Pers setelah kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden

Soekarno yang dipercaya menjadi Presiden pertama Republik Indonesia, pers

mulai mengalami perubahan seiring dengan perkembangan politik. Pers nasional

ikut dalam arus politik sehingga mempengaruhi watak pers nasional dari pers

perjuangan menjadi pers partisan sebagai sarana partai politik. Pergolakan politik

terus terjadi selama era demokrasi Liberal. Pergantian kabinet silih berganti masa

Demokrasi Liberal mengakibatkan kondisi politik negara tidak stabil sehingga

Presiden Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku, pada 28 Oktober 1956

dari sistem pemerintahan demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.

Ketika itu situasi politik tidak stabil, karena pemberontakan yang terjadi di

berbagai daerah menentang kabinet baru yang dipilih oleh Presiden Soekarno

yaitu kabinet Djuanda Kartawidjaja. Selama masa jabatan kabinet Djuanda,

Presiden Soekarno memperkokoh kekuasaannya dengan ungkapan-ungkapan

kharismatik yang sangat populer ialah: Manifesto politik, Nasakom, Ganefo, Nefo

dan Oldefo.14 Situasi krisis politik yang terjadi karena aksi pemberontakan yang

14

(22)

gagal mencapai kesepakatan perdamaian semakin membuat situasi semakin tidak

terkendali. Karena melihat situasi semakin rumit Presiden Soekarno

memberlakukan keadaan darurat perang (SOB).15 Dalam keadaan tersebut

penguasa mengeluarkan berbagai peraturan untuk mengontrol pers dan upaya

Presiden Soekarno untuk mengkonsolidasi kekuasaannya melalui ungkapan

revolusi belum selesai.

Pada tanggal 12 Oktober 1960, sebagai Penguasa Perang Tertinggi

(Peperti), Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan bahwa setiap penerbitan

harus mendaftarkan diri untuk mendapat surat izin terbit (SIT). Agar izin terbit

diperoleh, pers harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu, seperti setia

kepada manifesto politik, serta turut berjuang menentang imperialisme,

kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme16

Penguasa Demokrasi Terpimpin memandang pers semata-mata dari sudut

kemampuannya dalam memobilisasi massa dan opini publik. Pers dianggap

sebagai alat revolusi yang besar pengaruhnya untuk menggerakan atau

meradikalisasi massa untuk menyelesaikan sebuah revolusi. Oleh karena itu,

rezim Demokrasi Terpimpin merasa perlu menguasai pers, yang dalam praktik

bukannya untuk memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat

tetapi untuk alat revolusi kekuasaan rezim Orde Lama.17 Dalam sejarah pers

Indonesia, salah satu masalah yang menarik adalah pelarangan terbit atau

pembredelan terhadap surat kabar. Ada surat kabar yang dilarang terbit untuk

sementara dan selamanya. Pelarangan terbit itu sering disertai pula penahanan

15 Idem. 16

Peraturan Panglima Perang Tertinggi, No. 10 diterbitkan tahun 1960. 17

(23)

terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan dan juga penahanan tanpa

pengadilan terhadap wartawan terkait pembredelan.

Periode pembredelan dalam penelitian ini difokuskan pada 1966-1998,

dengan analisis berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan

Undang-Undang Pokok Pers No. 21 tahun 1982. Setelah peristiwa G 30 S tahun

1965, Jenderal Soeharto melakukan pembredelan terhadap semua surat kabar PKI

dan yang diduga terkait dengan ormas tersebut. Namun sikap kritis pers terhadap

pemerintahan telah tumbuh mulai dari tahun 1966 dan semakin meningkat ketika

pemerintahan di dominasi oleh Angkatan Darat, serta isu-isu korupsi mulai

merajalela, tetapi pemerintah masih memberikan toleransi terhadap kritik pers,

dan menahan diri untuk melakukan tindakan pemberdelan. Hal ini terlihat dari

data pembredelan menunjukan pemerintah baru melakukan pembredelan tahun

1971, namun Ini artinya pemerintah mulai meletakkan tali kekang untuk

mengendalikan pers. Dapat ditemukan juga pemerintah lebih represif pasca Malari

1974, surat kabar yang di larang terbit (harian dan mingguan) serta majalah, yaitu

harian Nusantara, Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, harian KAMI, The Jakarta

Times, mingguan Wenang, Pemuda Indonesia dan Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indoesia yang (Bandung), Suluh Berita yang terbit di Surabaya, serta Pos Indonesia yang (Ujung Pandang),18 dan Sinar Harapan.19

18

Ahmad Zaini Abar, 1995, 1966-1974 Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta,Lkis, hlm. 1. 19

(24)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan

sebagai berikut.

1. Apa latar belakang pembredelan pers di masa Orde Baru?

2. Bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh pemerintah

Orde Baru?

3. Apa dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan kehidupan pers?

C.Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan latar belakang pembredelan pers pada masa Orde Baru.

2. Menjelaskan bentuk dan alasan pembredelan pers yang dilakukan oleh

pemerintah Orde Baru.

3. Menjelaskan dampak dari pembredelan pers bagi perkembangan pers

pasca Orde Baru.

D.Manfaat Penelitian

1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Untuk melaksanakan salah satu Tridharma perguruan tinggi khususnya

bidang penelitian yaitu untuk ilmu pengetahuan sosial. Penulisan ini juga

dapat dimanfaatkan sebagai sumber referensi bagi rekan-rekan mahasiswa.

Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk contoh dalam penulisan skripsi

bagi mahasiswa selanjutnya.

2. Bagi Dunia Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan sejarah Indonesia pada era

(25)

3. Bagi Masyarakat Luas

Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pembredelan pers

di masa Orde Baru dan menjadi bahan refleksi tentang kebebasan pers di

masa Orde Baru.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini disusun dengan menggunakan sumber primer berupa

Undang-undang Pokok Pers, surat kabar, dan sumber sekunder berupa buku, jurnal ilmiah

dalam penulisan skripsi ini banyak menggunakan sumber sekunder berupa

buku-buku pokok yang menunjang penulisan skripsi ini.

Beberapa buku yang digunakan antara lain: Beberapa Segi Perkembangan

Pers di Indonesia, karya Abdurrachman Surjomihardjo, et.al. Buku ini

memberikan gambaran tentang sejarah pers di Indonesia, yang memiliki ciri-ciri

khusus yang berhubungan dengan keadaan masyarakat, kebudayaan dan politik.

Buku ini juga menguraikan jenis-jenis pers yang berkembang di Indonesia

yaitu pers Belanda, pers Melayu-Tionghoa, pers Indonesia dan pers daerah.20

Selain memaparkan tentang beberapa jenis-jenis pers yang berkembang pra dan

pasca kemerdekaan Indonesia, ditegaskan pula bahwa kontrol terhadap pers yang

tertuang dalam peraturan berupa Undang-undang pers sudah ada sejak zaman

penjajahan Belanda di nusantara. Oleh sebab itu, semakin memberikan

pemahaman tentang sejarah pers Indonesia hingga saat ini.

Pembredelan Pers di Indonesia tulisan Edward Cecil Smith, semakin

memperlengkap tentang dinamika Pers Indonesia. Meskipun banyak cobaan yang

20

(26)

dihadapi pada awal sejarahnya, justru karena cobaan itulah, pers dapat bertahan

sebagai sistem komunikasi. Pers Belanda, pers Tionghoa dan pers Indonesia, yang

saling beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan satu sama lain, meskipun

terdapat sensor dan undang-undang yang melarang mengkritik pemerintah, namun

pers masih tetap dapat bertahan terus di pasaran yang masih terbatas karena

besarnya jumlah penduduk yang buta huruf dan masih sangat kecil mendapat

penghasilan ketika Indonesia baru merdeka.21

Kisah Pers 1966-1974, ditulis Ahmad Zaini Abar 22 yang bermula dari kajian untuk skripsi, tugas akhir pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ahmad Zaini Abar

telah memadukan antara kegemaran dengan disiplin keilmuan formalnya,

sehingga melahirkan karya ini. Buku ini berpretensi mengenali fenomena

sosio-politik dengan difokuskan kepada kekuasaan Orde Baru. Buku karya Ahmad Zaini

Abar memaparkan tentang faktor-faktor politik yang menyebabkan daya kritis dan

kebebasan pers tumbuh dan berkembang, lalu kemudian kehilangan maknanya,

perubahan sikap kritis pers serta sikap pemerintah terhadap pers, dapat dilihat dari

Peristiwa Malari 1974 sebagai tolok ukur.

Pers pra-Malari adalah pers idealis, pers yang menyuarakan hati nurani dan

aspirasi rakyat, berani dan kritis melakukan kontrol sosial. Singkatnya pers

pra-Malari adalah pers yang bebas, merdeka serta akumulatif. Sebaliknya, pers

Post-Malari pers menjadi kurang idealis, cenderung mewakili kepentingan penguasa,

21

Edward.C.Smith, op.cit, hlm. 3. 22

(27)

pemerintah atau negara serta tidak lagi pernah melakukan kontrol sosial secara

kritis. Pers post-Malari adalah pers yang tidak bebas.

David T.Hill dengan bukunya yang berjudul Pers di Masa Orde Baru23

memperlengkap tentang perkembangan pers setelah merdeka khususnya masa

pemerintahan Orde Baru. Orde Baru membangun relasi saling terkait yang pelik

antara kendali keamanan dan undang-undang tangan besi yang mengendalikan

pers. Pers di bawah pemerintahan Presiden Soeharto yang berusaha untuk

menghilangkan organ-organ partai dan surat kabar-surat kabat yang kritis,

menjinakkan pers pembuat kegaduhan, dan memastikan bahwa para pekerja dan

pihak manajemen pers bertanggung jawab secara mutlak pada pemerintah. 24

Dalam buku ini juga dipaparkan tentang periode-periode pemerintah

melakukan tindakan anti pers atau lebih sering dikatakan sebagai pembredelan

terhadap pers, kebebasan pers yang pernah dijanjikan oleh pemerintahan Presiden

Soeharto dengan Orde Baru-nya hanya sebagai kebebasan semu. Ini terbukti dari

adanya pembredelan terhadap surat kabar maupun majalah karena dianggap

memuat berita yang dapat mengganggu kestabilan politik.

Humanisme dan Kebebasan Pers, editor buku St.Sularto25, memberikan gambaran tentang kebebasan pers yang ada di Indonesia serta peraturan-peraturan

pasca Indonesia merdeka menjadi semakin mempersempit kebebasan pers yang

sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28.

Pada masa Orde Baru dikenal adanya keharusan mendapatkan izin untuk

menerbitkan surat kabar, namun proses untuk mendapatkan izin cukup sulit,

23

David.T.Hill, 2011, Pers di Masa Orde Baru, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 24

Ibid,hlm. 7. 25

(28)

ditambah kebabasan pers hampir dikatakan tidak ada ketika dalam

Undang-Undang Pers 1982 mencantumkan pasal keharusan mendapatkan Surat Izin Usaha

Percetakan Pers (SIUPP), meskipun Surat Izin Terbit dihapus, dengan munculnya

SIUPP sebagai alat kontrol terhadap pers oleh pemerintah. Peraturan ini lebih

berat dirasakan oleh industri pers karena ketika surat kabar dan majalah dianggap

memberitakan isu-isu yang dapat menganggu kestabilan keamanan dan politik

serta kehidupan Presiden Soeharto, maka Menteri Penerangan dapat membatalkan

SIUPP yang diberikan. Tindakan tersebut memberikan dampak yang sangat

merugikan bagi industri pers karena surat kabar dan majalah dibredel dan tidak

ada sumber rezeki dari industri pers yang selama ini menjadi sumber kehidupan

bagi para karyawan.

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai dasar landasan teori.

Konsep-konsep tersebut antara lain adalah sistem pemerintahan otoriter, teori

totaliter, pers, sistem pers, kebebasan pers, pembredelan dan bahasa dalam pers.

1. Sistem Pemerintahan Otoriter/Fasis

Fasisme berasal dari bahasa Latin Fasces yang berarti „ikatan‟. Pada masa

Roma kuno, petugas hukum mengenakan tanda berupa seikat sambuk dan kapak

sebagai simbol, wewenang dan keadilan. Di tahun 1920 Mussolini mengadopsi

simbol ini dengan memberi nama yang mirip, „Fasci’ untuk kelompok bersenjata

yang dia harapkan dapat membawanya kepada kekuasaan.26

26

(29)

Mussolini ditiru seorang Jerman bernama Adolf Hitler. Pengikut -pengikut

Hitler yang revolusioner merupakan anggota Partai Buruh Sosialis Jerman

(National Socialist German Worker’s Party/NSDAP). Dari nama partai inilah

istilah Nazi Jerman dan Fasis Italia cukup memiliki kesamaan antar keduanya,

hingga kata „fasis‟ patut dilekatkan bagi kedua gerakan revolusioner itu. Slogan

Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuehrer, dapat digunakan untuk menympulkan apa arti

sebenarnya Fasisme.27

Ein Reich (Negara Totaliter). Menurut doktrin fasis, negar harus totaliter. Ini

berarti negara harus memiliki kekuasaan total atas seluruh aspek kehidupan

rakyatnya. Di negara totaliter rakyat ada untuk kepentingan negara. Hanya ada

satu partai politik dimana setiap orang memberikan suaranya, dan partai ini adalah

pemerintah. Pemerintah mengontrol semuanya: pendidikan dan media massa,

industri dan perdagangan, rekreasi dan agama, bahkan kehidupan berkeluarga.

Ein Volk ( Rasialisme dan Nasionalisme). Kaum fasis percaya bahwa

manusia adalah predator, tetapi hal ini bukan satu-satunya pembenaran mereka

mendukung negara kuat. Secara sederhana, seorang rasialis percaya bahwa rasnya,

entah berasal dari Inggris, Jerman, Cina atau manusia keturunan manapun, adalah

superior atas ras lainnya. Rasialisme berkaitan erat dengan nasionalisme. Seorang

nasionalis adalah seorang yang memiliki kebanggaan atas bangsanya, hingga

terkadang sampai pada taraf memujanya. Yang dimaksud dengan „bangsa‟ di sini

adalah istilah kolektif yang mencakup negara (sebuah sistem pemerintahan),

27

(30)

masyarakat (sebuah kelompok ras yang disatukan oleh ikatan darah), serta budaya

dan tradisi yang telah berkembang berabad-abad.28

Ein Fuehrer (Prinsip Kepemimpinan). Jika fasisme adalah agama maka

pemimpinnya (Fuehrer) adalah Tuhannya atau God Given ( keturunan Tuhan).

Pada tahun 1920-1945, pemimpin kaum fasis adalah para diktator. Dua dari

mereka Hitler dan Mussolini yang memiliki kekuasan total, menggunakan

alat-alat demokratik pemilihan umum dan tawar-menawar politik mendapat

kekuasaan. Namun sekali mereka mengambil alih pemerintahan, mereka

menggengam seluruh kekuasaan di tangan mereka. Kata-kata mereka adalah

hukum. Mereka menjadi diktator tidak hanya berkat kualitas kepemimpinan

mereka. Seorang fasis mendukung negara totaliter yang dipimpin seorang

diktator yang populer. Ia selalu yakin dengan superioritas rasnya dan kebesaran

bangsanya. 29

Untuk semakin menjelaskan ciri pemerintahan yang otoriter/fasis teori

totaliterisme yang telah berkembang dapat memberikan gambaran ringkas sebagai

berikut:Rezim totaliter dimanapun bermaksud mengarahkan masa rakyat untuk

membangun suatu masyarakat baru, suatu sistem nilai baru dengan cara-cara yang

revolusioner dengan prinsip tujuan menghalalkan segala cara, di samping

mengontrol semua kekuasaan sosial. Menurut Zbigniew Brzezinki (di samping

Hannah Arendt, Karl Popper, Raymond Aron,dll.) Masyarakat totaliter

mempunyai unsur pokok, yaitu:30

28

Ibid, hlm. 7. 29

Ibid, hlm. 14-15. 30

(31)

1) Suatu ideologi yang menjelaskan dunia, masyarakat manusia dan sejarah,

merupakan ideologi yang harus ditaati, dipropagandakan dan diterima oleh

semua warga negara.

2) Pemusatan kekuasaan sosial dan politik di tangan satu partai (biasanya

didominasi oleh satu orang pemimpin)

3) Intimidasi atas rakyat melalui ketidakpastian hukum teror politis yang

sewenang-wenang.

4) Monopoli negara atas sarana-sarana informasi dan komunikasi

5) Perekonomian yang terpusat dan serba terencana.

Dengan unsur-unsur yang dimilikinya, maka rezim totaliter ternyata

mengandung unsur paradoksial di dalam dirinya, tidak efisien dan kontra

produktif. Hal ini dapat dicermati dari:

1) Ideologi

Memberlakukan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi negara, berarti

setiap warga negara harus menerimanya, membuat tidak ada

kemajemukan/pluralisme dalam berbagai hal termasuk pendapat, ide, gagasan,

pikiran, dll. Semua harus seragam. Berbeda berarti menentang, dan mati. Kendati

diindoktinisasikan, ideologi seperti itu tidak akan meresap dalam hati dan dihayati

warga masyarakat. Jika dipelajari maka hal itu hanya lahiriah sifatnya, tetapi

ideologi itu akan dibenci di dalam hati sanubari, kemunafikan merajalela.

Memaksakan ideologi yang hanya dilegitimasikan kekuasaan justru kontra

(32)

2) Sistem partai tunggal

Jika dalam suatu negara hanya ada satu atau non multi partai, tetapi satu

partai memonopoli semua kekuasaan negara, maka konsekuensi logisnya adalah

partai dan birokrasi negara tumbuh menjadi sesuatu yang berukuran raksasa dan

tidak dapat tidak menjadi tidak becus dan korupsi, nepotisme maupun kolusi akan

berkembang subur. Sistem partai tunggal menjadi buta kritik, saran dan

penyegaran. Keangkuhan, kesombongan dalam segala hal mengantar partai secara

pelan tapi pasti masuk dalam kehancuran.

3) Teror

Ciri lain pemerintahan totaliter adalah menindas kelompok minoritas

(agama, ras, budaya, sosial, dll) secara sistematis. Di samping itu tidak ada

kepastian hukum sebab hukum untuk mengabdi penguasa dan situasi ini akan

berdampak struktur masyarakat lambat laun akan lumpuh. Ketakutan yang

ditimbulkan oleh penguasa (polisi, tentara, jaksa, hakim, dll), lambat laun akan

berubah menjadi rasa jijik dan benci yang meluas di kalangan rakyat terhadap

penguasa.

4) Kontrol informasi

Radio, TV, Surat Kabar, internet dan alat-alat komunikasi modern amat

membantu propaganda pemerintah. Di pihak lain alat-alat tersebut kendati

dibungkam dibredel, akan tetap menjadi alat komunikasi bagi setiap orang untuk

melawan pemerintah. Dengan kata lain pemerintah totaliter pada dasarnya tidak

akan dapat membungkam rakyatnya dengan memanipulir informasi atau

(33)

memblokir informasi, pembredelan surat kabar, internet dll. Justru mendorong

rakyat mencari dan mempercayai informasi dari luar dan membenci informasi

pemerintahnya.

5) Perekonomian berencana yang terpusat.

Perekonomian berencana yang terpusat terus menerus lambat laun tidak

efisien sebab melenyapkan prinsip-prinsip persaingan sehat. Akibat motivasi

untuk bertindak secara ekonomis hilang. Produktivitas dan kreativitas lenyap demi

mengutamakan loyalitas, komitmen pada partai dan ideologi. Dalam keadaan

seperti ini ekonomi tidak saja stagnan tetapi mundur dan akhirnya runtuh. Dengan

melihat struktur paradoksal totalitarianisme maka hasil akhirnya adalah kekacauan

ekonomi dan hilangnya kredibilitas rakyat terhadap penguasa sebab ideologi yang

dipaksakan demi legitimasi penguasa akan berguna.

Penulis memaparkan teori tentang fasisme dan totalitarisme sebagai suatu

gambaran sejarah ketika negara dipimpin oleh seorang otoriter,gambaran inilah

yang di masa Orde Baru dapat kita lihat, bagaimana seorang pemimpin secara

penuh menggunakan kekuasaanya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Menurut Ashadi Siregar31 rezim Orde Baru digerakan oleh budaya negara

berdasarkan norma militerisme dan/ atau fasisme dengan menjalankan prinsip

monopoli mulai dari pengendalian secara fisik, sampai penguasaan alam pikiran

warga. Pengendalian fisik dilakukan antara lain dengan tindakan-tindakan,

sementara penguasaan alam pikiran dilakukan dengan monopoli wacana melalui

penguasaan alat-alat komunikasi dalam masyarakat.

31

(34)

Militerisme dan fasisme dapat berjalan bersamaan, tetapi dapat juga berjalan

terpisah. Militerisme pada dasarnya secara sederhana dapat diartikan sebagai

tindakan dengan menggunakan metode militer dalam kehidupan sipil. Metode

militer yang digerakkan dengan norma fasisme dapat menjadi sangat eksesif jika

budaya negara ini digerakan oleh pimpinan negara yang memiliki kecendrungan

psikopatologis. Kehidupan era Hitler di Jerman dapat menjadi studi mengenai

pola fasisme. Struktur negara Orde Baru tidak memberi tempat kepada struktur

alternatif atau oposisi karena digerakakkan oleh budaya negara dengan norma

militerisme dan fasisme. Dengan norma semacam ini, biasanya terbentuk pula

struktur gelap atau bayangan (hidden Structure) yang berasal dari dalam struktur

resmi negera. Struktur gelap ini di gunakan untuk menjalankan tindakan secara

fisik dan metode lainnya di luar hukum oleh penguasa negara untuk mematikan

setiap tindakan yang dianggap sebagai oposisi. Teror terhadap warga, penculikan

dan penahanan tanpa prosedur hukum, bahkan sampai penembakan misterius

(petrus) yang disebut tindakan shock theraphy dapat menjadi contoh tindakan dari

struktur gelap rezim Orde Baru.32

Demikialah era Orde Baru ditandai oleh struktur sosial dengan kekuasaan

negara bersifat hegemonik dan korporatis ala fasisme. Selain adanya

tindakan-tindakan yang berlangsung melalui struktur negara (resmi dan gelap), penguasaan

alam pikiran warga masyarakat dilakukan dengan mengendalikan media massa.

Media massa dijadikan oleh penguasa negara sebagai sarana pengendalian

masyarakat. Dalam norma otoritarianisme umumnya dan fasisme khususnya

32

(35)

media massa pada dasarnya hanya menjadi alat bagi kekuasaan, bukan sebagai

sarana masyarakat untuk mendapat fakta dan mengekspresikan dirinya. Lebih

jauh, pengendalian masyarakat adalah kata kunci dalam struktur negara fasis dan

militeristis yang bersifat totalitarian.33

2. Pers

Setelah berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno dengan Orde

Lama-nya dan digantikan dengan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto salah

satu perubahan yang dilakukan pemerintah yaitu dengan memperbaharui

Undang tentang pers yang beberapa kali mengalami perubahan seperti:

Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No.11 1966 tentang

Ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.4

1967.

Pasal 1 a. Pengertian tentang pers diubah sebagai berikut alat revolusi

diubah menjadi alat perjuangan. Setelah mengalami perubahan kata dalam

pengertian pers, menurut Undang-undang No.21 1982 tentang perubahan atas

Undang-Undang No.11 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers

sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 4 1967 yang dimaksud

dengan pers adalah lembaga kemasyarakatan dan alat perjuangan nasional yang

mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat

umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, dilengkapi dengan alat-alat

foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.34

33

Ibid, hlm, 179. 34

(36)

Perumusan pers menurut Undang-Undang tersebut di atas sangat sesuai

dengan perumusan yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, tentang pers dalam

arti sempit yaitu “Pers yang menjelma dalam surat-surat kabar, majalah-majalah,

buku-buku dan lain-lain”.35 Kalau kita telaah lebih dalam kedua perumusan di

atas, maka yang dimaksudkan dengan pers adalah semua alat komunikasi yang

bersifat umum dan terbit secara teratur berupa majalah-majalah, surat kabar,

buku-buku, dan lain sebagainya yang berfungsi sebagai penyebar luas informasi

dan sarana perjuangan untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional.

3. Sistem Pers

Pers umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku di mana sistem itu

hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk kepada sistem politik

pemerintahan yang ada. Bersama dengan lembaga kemasyarakatan lainnya, pers

berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara. Oleh karenanya, pers

dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara di mana

pers itu berada. Singkat kata, perkembangan dan perkembangan dan pertumbuhan

sistem politik di mana pers itu berada, dan merupakan subsistem politik yang ada.

Menurut Fred S. Siebert, dkk dalam buku yang berjudul Four Theories of

the Press, terdapat empat teori pers yang mendukung sistem pers di dunia:36 Pertama Teori Pers Otoriter. Ciri utama dari sistem pers otoriter adalah

fungsi pers sebagai kepanjangan tangan pemerintah yang sedang berkuasa dan

melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor langsung dan

peraturan organisasi media, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik

35

Oemar Seno Adji, 1977, Pers Aspek-aspek Hukum, cet.2, Jakarta, Erlangga, hlm.79. 36

(37)

pemerintah yang berkuasa. Dalam sistem otoriter, pers dapat dimiliki baik secara

publik ataupun perorangan, namun tetap menggunakan pers sebagai alat untuk

memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan pemerintah.

Teori pers otoriter muncul pada zaman Renaissance (pencerahan) abad 17

setelah ditemukannya mesin cetak. Teori ini berkembang dari filsafat kekuasaan

monarki absolut dan kekuasaan pemerintah absolut. Di beberapa negara di dunia,

teori pers otoriter masih di praktikan sampai sekarang. Teori ini muncul dari

filsafat kekuasaan monarki absolut.37

Kedua Teori Pers Liberal. Sistem pers ini merupakan suatu bentuk

perlawanan dari pandangan otoriter. Ciri teori pers Liberal Pers membantu

menemukan kebenaranan dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media

yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan. Penguasa tidak

punya hak untuk mengatur isi berita media. Penguasa dalam sistem ini juga tidak

berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menerbitkan media. Pada

sistem ini, siapapun sebenarnya punya hak untuk menerbitkan media asalkan

mempuyai kemampuan ekonomis. Tidak ada izin atau lisensi khusus untuk

menerbitkan media. Apa yang baik dan tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi

ditentukan oleh khalayak. Dalam sistem ini, penguasa tidak mempunyai hak untuk

menutup (bredel) media. Teori ini muncul dari filsafat umum tentang rasionalisme

dan hak asasi manusia, teori liberal semula berkembang di Inggris dan digunakan

setelah tahun 1688.

37

(38)

Ketiga,Teori Pers Tanggung Jawab Sosial. Ciri teori ini yaitu media selain

bertujuan untuk memberikan informasi, menghibur, mencari keuntungan, juga

harus dapat memberikan individu hak untuk mengemukakan masalahnya di dalam

forum media, dan jika media tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ada

pihak yang harus memaksanya. Teori ini, media dikontrol oleh pendapat

masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan penyiaran, dikontrol

oleh badan pengatur penyiaran. Pengembangan dari teori liberal menghasilkan

teori tanggung jawab sosial, yang dikembangkan pada abad ke 20 di Amerika

Serikat.

Keempat, Teori Pers Totaliter-Soviet. Ciri teori ini yaitu kebebasan pers

yang sebenarnya akan ada dalam masyarakat tanpa kelas kebebasan pada sistem

ini adalah bebas dari kapitalisme, individualisme, burjuasi dan bukan bebas untuk

menyatakan pendapat. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari

pemerintah dan badan pengawas, dan hanya anggota partai yang loyal dan

anggota partai ortodoks saja yang dapat menggunakan media secara reguler.

Media dalam sistem Soviet dimiliki dan dikontrol oleh negara dan hanya sebagai

kepanjangan tangan negara. Tujuan teori ini adalah membantu keberhasilan dan

klan kelangsungan sistem Soviet.

Teori ini dikembangkan berdasarkan ideologi Marxis dan nilai kebersamaan

antar kelas maupun antar partai/golongan, yaitu selama kelas kapitalis mengawasi

fasilitas fisik media, kelas buruh tidak mempunyai akses pada saluran komunikasi.

Menurut penulis masa Orde Baru menganut Teori Pers Otoriter. Hal ini

(39)

ketika diperbaharui menjadi UU PP No.21 1982 digantikan dengan surat izin

usaha penerbitan pers, mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan pers

dikendalikan oleh pemerintah, suatu bentuk pengabdosian terhadap teori pers

otoriter. Pada masa Orde Baru, pers dinyatakan sebagai salah satu media

pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk isi pers Indonesia perlu

mencerminkan pembangunan. Hingga timbul istilah pers pembangunan, dari

kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia tidak mempunyai kebebasan karena

pers harus mendukung program pemerintah Orde Baru.38

Pers Indonesia masa Orde Baru selain menganut teori pers otoriter juga

menganut teori pers tanggung jawab sosial, hal ini digambarkan dari sebutan pers

nasional adalah pers bebas dan bertanggung jawab, pers diberikan kebebasan

dalam memberitakan isu-isu terkini namun pers harus tetap bertanggung jawab

atas berita yang ditulis. Pertanggung jawaban pers di jabarkan dalam

Undang-Undang Pokok Pers, Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Kode Etik Jurnalistik,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sesuai dengan ciri khas teori pers

tanggung jawab sosial ialah media bisa dimiliki oleh perorangan tetapi tidak

berarti perorangan begitu saja mendiktekan keinginannya melalui media.39

Fungsi dan peranan pers berangkat dari beberapa teori pers yang sudah

dikembangkan sejak lama, fungsi pers akhirnya dikaitkan dengan pembangunan

dan kepentingan masyarakat. Dalam pembangunan, Schramm menyebutkan,

fungsi media massa minimal tiga bentuk; meliputi memberitahu rakyat tentang

pembangunan nasional, memusatkan perhatian masyarakat supaya berubah,

38

Inge Hutagalung, op.cit, hlm. 56. 39

(40)

kesempatan menimbulkan perubahan, metode/ cara menimbulkan perubahan, jika

mungkin memunculkan aspirasi.

Kusumaningrat mengemukakan, fungsi pers tersebut meliputi : 40

a. Fungsi informatif merupakan fungsi memberi informasi melalui berita

secara teratur kepada khalayak. Pers menghimpun berita yang dianggap

berguna dan penting bagi orang banyak dan kemudian menulisnya. pers

juga memperingatkan khalayak tentang berbagai peristiwa diduga akan

terjadi, seperti perubahan cuaca dan bencana alam.

b. Fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab tentu akan masuk ke balik “

panggung” kejadian, menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan.

Pers harus memberitakan perkembangan yang berjalan baik dan tidak

berjalan dengan baik. Fungsi kontrol ini harus dilakukan pers dengan lebih

aktif daripada kelompok masyarakat lainnya. Pers dengan kelebihannya

yang mampu menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang yang

baik dan tidak baik, supaya segera mendapat perhatian dan penanganan

sebagaimana perlunya.

c. Fungsi interpretatif pers memberikan bimbingan bagi masyarakat. Pers

harus menjelaskan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Ini

dapat dilakukan pers melalui tulisan pada tajuk rencana (editorial) atau

tulisan-tulisan latar belakang.

d. Fungsi menghibur, para wartawan atau reporter menulis atau menuturkan

kisah-kisah dunia dengan hidup dan menarik. Mereka menyajikan humor,

40

(41)

drama dan musik. Mereka menceritakan kisah lucu untuk diketahui,

meskipun kisah itu tidak terlalu penting.

e. Fungsi regeneratif, pers berfungsi menceritakan bagaimana sesuatu

dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang,

bagaimana sesuatu diselesaikan dan apa yang dianggap dunia itu benar dan

salah. Jadi pers menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru supaya

terjadi regenerasi.

4. Kebebasan Pers

Konsep kemerdekaan pers di sini adalah sebagai terjemahan dari the

freedom of the press, yang secara sederhana dapat dianalogikan dengan arti free from the dom, atau bebas dari penguasa. Dalam perspektif sejarah, pengakuan dan

perlindungan hak untuk merdeka dari pengaruh atau tekanan penguasa sudah di

mulai sejak deklarasi Magna Charta tahun 1215. Khusus dalam bidang pers,

secara eksplisit ditetapkan di dalam pasal 12 Virginia Bill of Right pada 15 Mei

1776 tentang kemerdekaan persurat kabaran.41

Piagam Virginia ini kemudian dimasukan ke dalam Konstitusi Amerika

Serikat 1787, pada tahun 1789, piagam itu diadopsi pula oleh Prancis menjadi

Declaration de droits de I’homme et du citoyen, atau naskah pernyataan Hak

Asasi Manusia (HAM) dan warga negara. Di Indonesia masalah kemerdekaan/

kebebasan pers adalah apakah sudah sesuai dengan konstitusi serta

undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan peranan pers dalam kehidupan

demokrasi. Hal ini sangat penting dirumuskan, mengingat pengalaman selama ini,

41

(42)

hampir setiap sistem politik menyebut dirinya demokratis dan menjamin adanya

kebebasan pers, tetapi dalam praktiknya otoriter dan membelenggu pers.42

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila,

dengan demikian semua perilaku warga negara Indonesia diatur, dan dibatasi oleh

hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut ketentuan pasal pasal 28

Undang-undang dasar 1945, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan

undang-undang. Dari ketentuan ini nyatalah bahwa kebebasan pers diakui dan

dijunjung tinggi. Bahkan jika dilihat dari Undang-Undang Pokok Pers No.11

tahun 1966, tentang ketentuan dari UU pokok pers sebagaimana telah diubah

dengan UU No.4 tahun 1967 dan diubah lagi menjadi UU No.21 Tahun 1982,

kebebasan pers dijamin sesuai dengan hak asasi warga negara Indonesia.

Ketentuan ini diatur dalam pasal 5 dari undang-undang berbunyi: (1.) kebebasan

pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. (2). Kebebasan pers ini

didasarkan atas dasar tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal

3 Undang-undang ini.43

Kebebasan ini di dalam prakteknya memang sangat diperlukan, terutama

dalam pelakasanaan fungsi pers sebagai barometer, kritik dan koreksi terhadap

kebijaksanaan pemerintah. karena tanpa adanya kebebasan, akan sangat sulit

untuk pers untuk memberitakan kejadian yang sesungguhnya yang terjadi di

42

Ibid, hlm.132. 43

(43)

masyarakat.Menurut Oemar Seno Adji, berdasarkan asas demokrasi Pancasila

maka dapat digambarkan kebebasan pers di Indonesia adalah sebagai berikut44:

(1). Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk

mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk

memperoleh alat-alat dari expression seperti dikemukakan oleh negara-negara

sosialis. (2). Ia tidak mengundang lembaga sensor preventif. (3). Kebebasan ini

bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya. (4). Ia

merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan

syarat-syarat limitatif dan demokrasi, seperti oleh hukum nasional, hukum internasional

dan ilmu hukum. (5). Kemerdekaan pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab,

dan membawa kewajiban-kewajiban untuk pers sendiri. (6). Ia merupakan

kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif

dalam karakternya juga positif sifatnya. (7). Aspek positif diatas tidak

mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya adalah

subordinate, tehadap penguasa. (8). Kebebasan adalah suatu kenyataan, bahwa

aspek positif ini jarang ditentukan oleh kaum libertarian sebagai suatu unsur

esensial dalam persoalan mass-communication. (9). Pernyataan bahwa pers itu

tidak subordinated kepada penguasa politik berarti, bahwa konsep autoritarian

adalah tidak acceptable bagi pers Indonesia. (10). Kekebasan pers dalam

lingkungan batas limitatif dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif

adalah lazim dalam negara Demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan

ide pers merdeka.

44

(44)

Demikian garis-garis besar di dalam Demokrasi Pancasila yang

dikemukakan Oemar Seno Adji Jelaslah bahwa kemerdekaan pers di Negara

Indonesia mempunyai batas-batas tertentu, dalam arti terbatas oleh pandangan

hidup bangsa Indonesia serta tujuan yang ingin dicapai pembangunan nasional

yang sedang kita laksanakan. Ketentuan yang sesuai dengan ini dapat kita lihat

dalam Ketetapan MPR Nomor : II/MPR/1983, bagian penerangan dan media

massa yang berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan peranan pers dalam

pembangunan perlu ditingkatkan usaha pengembangan pers yang sehat, pers

bebas dan bertanggung jawab, yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya

sebagai penyebar informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang

konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan

partisipasi masyarakat. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara

pers, pemerintah dan masyarakat”.45

Menurut Harmoko, prinsip kebebasan pers di Indonesia adalah bekerja bahu

membahu bersama apa saja yang disepakati masyarakat dengan penuh rasa

tanggung jawab. Pers Indonesia mengabdi kepada kepentingan nasional seperti

yang telah ditetapkan sendiri oleh rakyat. Soemono Mustofa mengatakan

sesungguhnya tidak ada kebebasan pers yang mutlak di dunia ini. Kebebasan pers

pun tunduk pada hukum lingkungan. Tak ada kebebasan pers yang berlaku

sembarang waktu dan di semua negeri, hanya ada ialah kebebasan pers untuk

45

(45)

suatu masyarakat pada suatu masa tertentu dan kebebasan pers di Indonesia ialah

kebebasan yang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.46

Beberapa konsep kebebasan pers yang berlaku di Indonesia memberikan

kesimpulan bahwa kebebasan pers yang bertanggung jawab, dalam artian pers

diberikan kebebasan dalam memberitakan kejadian-kejadian yang terjadi namun

tetap harus diingat bahwa kebebasan yang diberikan terikat oleh beberapa aturan,

oleh sebab itu dikatakan tidak ada kebebasan mutlak. Dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara tidak ada kebebasan yang mutlak sifatnya.

Kebebasan seorang berhenti apabila melanggar kebebasan orang lain ataupun

melanggar kepentingan umum seperti pada masa Orde Baru pers dianggap sebagai

suatu ancaman jika memuat berita-berita yang dapat menganggu stabilitas

nasional.

5. Pembredelan Pers. a. Pembredelan.

Undang-Undang Pokok Pers No.11 tahun 1966 dan diperbaharui dengan

UU PP No.21 tahun 1982, penjelasan mengenai istilah pembredelan tidak ada,

setelah berakhirnya Orde Baru dan UU PP No.21 tahun 1982 diperbaharui dengan

UU PP No.40 tahun 1999, dijelaskan dalam BAB I tentang ketentuan umum,

pasal 1 ayat (9) berbunyi: pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah

penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan

hukum.

46

(46)

Namun selama Orde Baru tindakan pembredelan sering terjadi bahkan

ketika larangan sensor dan pembredelan tercantum dalam UU PP No.11 Tahun

1966, bab II tentang fungsi, kewajiban dan hak pers, pasal 4 berbunyi: terhadap

pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Serta perturan mengenai

izin terbit yang memiliki makna ganda dalam UU PP No.11 Tahun 1966, Bab IV

tentang hak penerbitan dan fasilitas pers, pasal 8 ayat (1) berbunyi: setiap warga

mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekatnya

Demokrasi Pancasila dan Pasal 8 ayat (2) berbunyi: untuk ini tidak diperlukan

Surat Izin Terbit (SIT). Namun ketentuan ini di kaburkan dengan Bab IX tentang

peralihan pasal 20 ayat (1) a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat

Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah

atau DPR(GR).

Pasal 20 (1) b. Ketentuan-ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa

peralihan diatur oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers. selama

berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966, selain peraturan mengenai SIT peraturan

lain yang digunakan untuk membredel pers adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang

dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan

Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda).

Ketentuan mengenai SIT dalam masa peralihan di atur dalam, peraturan

Menteri Penerangan Republik Indonesia No.03/PER/MENPEN/1969 tentang

Lembaga Surat Izin Terbit dalam masa peralihan bagi penerbitan pers yang

bersifat umum. Bab III tentang pencabutan surat izin terbit.47 Pasal 7 berbunyi:

47

(47)

Surat Izin Terbit dicabut akibat dari larangan terbit terhadap penerbitan pers

sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 UU PP No.11 Tahun 1966 yang dikenakan

kepada: (a). Penerbitan pers yang bertolak dari ajaran

Komunisme/Marxisme-Leninisme. (b). Penerbitan pers yang cenderung kepada pornografi. (c).

Penerbitan pers yang cenderung kepada sadisme dan lain-lain. (d). Penerbitan pers

yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertentangan dengan

nilai-nilai agama dan moral kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan

sosial yang menyangkut tanggung jawab moral terhadap keselamatan generasi

muda bangsa.

Berdasarkan Undang-Undang Pokok Pers 1966 dan Undang-Undang PP

No.21 tahun 1982 maka bentuk atau larangan penerbitan dapat dirinci sebagai

berikut:

a) Pencabutan Surat Izin Cetak.

Bentuk pembredelan dengan bantuk pencabutan SIC terhadap surat kabar

seperti harian Indonesia Raya. Dapat kita lihat dari surat Pelaksana Khusus

Panglima Komando dan Ketertiban Daerah Keamanan dan Ketertiban Daerah

Jakarta Raya dan Sekitarnya, SK No:KEP-007-PK/1/1974 tentang pencabutan izin

cetak surat kabar harian Indonesia Raya.48 dengan pertimbangan. Bahwa

dipandang perlu untuk mengambil tindakan terhadap surat kabar harian Indonesia

Raya dengan pencabutan SIC No.KEP.063.PK/1C/VIII/1973 tanggal 1 Agustus

1973 yang diberikan kepada PT.Badan penerbit “Indonesia Raya” Jln.Veteran I

No.28 Jakarta. Tindakan pencabutan Surat Izin Cetak tersebut atas

48

(48)

pertimbangan sebagai beritkut: (a). Surat kabar harian Indonesia Raya telah

melanggar semangat dan jiwa dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam TAP.MPR.No.IV/MPR/1973 dan UU No.11 tahun 1966. (b). Surat kabar

harian Indonesia Raya telah memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan &

kepercayaan kepemimpina nasional.

b) Pencabutan Surat Izin Terbit.

Pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966 dilakukan

dengan pencabutan SIC, setelah itu dilanjutkan dengan pencabutan SIT. Harian

Indonesia Raya setelah dicabut SICnya oleh Pangkopkamtibda, harian Indonesia Raya SITnya dicabut oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, surat

keputusan Menteri Penerangan RI No.20/SK/DIRJEN-PG/K/1974 tentang

pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) surat kabar harian Indonesia Raya. Bahwa

tindakan pencabutan SIT tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan

sebagai berikut: 49

(i). Surat kabar harian Indonesia Raya telah melanggar semangat dari

ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPR

No.IV/MPR/1973 dan Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966,di mana

dijelaskan bahwa mass media umumnya dan sarana pers khususnya harus menjadi

sarana pembinaan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan sebagai saluran

pendapat rakyat yang konstruktif. (ii). Surat kabar harian Indonesia Raya telah

memuat tulisan-tulisan:

49

(49)

1. Pada hakekatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan

sendi-sendi kehidupan negara dan/atau ketahanan nasional. Dengan jalan mengobarkan

isu-isu seperti modal asing,korupsi, dwifungsi, kebobrokan-kebobrokan aparat

pemerintah, masalah asisten pribadi (Aspri), Kopkamtib. 2. Merusak kepercayaan

masyarakat terhadap kepemimpinan nasional. 3. Mendengungkan

kepekaan-kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang tepat dan positif, yang dapat

diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil

tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan

terhadap ketertiban dan keamanan negara. 4. Menciptakan peluang untuk

mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar.

Bahwa perbuatan harian Indonesia Raya bertentangan dan merupakan

pelanggaran terhadap fungsi dan tanggung jawab pers sebagai mana dimaksud

dalam TAP MPR No.IV/MPR/1973, UU PP No.11 Tahun 1966, Kode Etik

Jurnalistik dan Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/1963. Bab III pasal (7d).

Bahwa tindakan pencabutan surat izin terbit terhadap penerbitan yang

bersangkutan tidak bertentangan dengan kebebasan pers, melainkan justru

menegakan kebebasan pers dalam arti sebenarnya dalam rangka tertib demokrasi

Pancasila, dimana pers yang sehat dicita-citakan oleh rakyat Indonesia telah

dirumuskan dalam konsensus nasional, TAP MPR No.IV/MPR/73, yaitu pers

yang bebas dan bertanggung jawab.

Bentuk pembredelan selama berlakunya UU PP No.11 Tahun 1966 seperti

surat izin cetak maupun surat izin terbit merupakan kontrol terhadap pers oleh

(50)

dimana sebuah surat izin cetak serta izin terbit dapat dicabut hanya dengan

peraturan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang Pokok Pers yang

lebih tinggi kedudukannya menjadi tidak berarti, seperti pasal 4 sudah jelas

mengatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan

pembredelan, pasal tersebut menjadi tidak bermakna, karena masih saja terjadi

pelarangan terbit dalam bentuk pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit.

c) Pencabutan SIUPP.

Undang-Undang Pokok Pers No.21 Tahun 1966 tentang perubahan atas

Undang-Undang Pokok Pers No.11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Pokok Pers No.4 Tahun 1967. Peraturan mengenai izin terbit di

hapus seperti yang tercantum dalam UU PP No.21 tahun 1982 pasal 8 ayat (2)

dihapus diganti dengan keterangan cukup jelas. Dan pasal 20 ayat (1) dihapus.

Kedua ayat yang dihapus dalam UU PP No.21 tahun 1982 peraturan mengenai

surat izin terbit yang digunakan selama berlakunya UU PP No.11 tahun 1966.

Peraturan mengenai surat izin terbit dihapus dan digantikan dengan

peraturan baru yang ditambahkan dalam Bab V tentang perusahaan pers, pasal 13

ditambah ayat (5): setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan

pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP

yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan

diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan pers.50

Peraturan mengenai SIUPP juga dikeluarkan oleh Menteri Penerangan RI

No.01/PER/MENPEN/1984. Tentang surat izin usaha penerbitan pers. Bab I

50

(51)

tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (a) Surat izin usaha penerbitan pers

selanjutnya disingkat SIUPP adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri

Penerangan kepada perusahaan/penerbit pers untuk menyelenggarakan penerbitan

pers. Bab II tentang persyaratan umum pemberian SIUPP pasal 2 berbunyi: setiap

penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan/ penerbitan pers harus

memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan.

Bab VII tentang Sanksi, pasal 13 berbunyi SIUPP yang telah diberikan

kepada perusahaan/penerbit pers dapat dibatalkan oleh Menteri Penerangan

setelah mendengar Dewan Pers apabila: (a). Perusahaan/penerbitan pers

melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut dalam bab IV tentang

permodalan dan pemilikan persuahaan/penerbitan pers. (b). Perusahaan pers

melakukan tindakan-tindakan yang tanpa persetujuan Menteri Penerangan

menyalahi ketentuan-ketentuan adsministratif sebagaimana ditetapkan oleh

Menteri Penerangan.

Pembredelan yang dilakukan oleh Menteri Penerangan dapat diambil

contoh dari pencabutan SIUPP majalah mingguan Tempo (Surat Keputusan

Menteri Penerangan RI No.123/KEP/MENPEN/1994,Tgl.21 Juni 1994). Adapun

salah satu yang menjadi pertimbangan pencabutan majalah Tempo ialah seperti

yang tercantum dalam bagian (f) bahwa penilaian terhadap isi penerbitan Tempo

selama ini ada beberapa kasus pemberitaan Tempo yang menunjukan itikad tidak

sejalan dengan pengarahan Dewan harian Dewan Pers tgl.13 Mei 1982 yang telah

diketahui dan ditandatangani oleh Direktur Utama PT.Grafiti Pers dan Pemimpin

Gambar

gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan
Tabel di atas menjelaskan beberapa hal terkait pembredelan yang dilakukan
Tabel 2 di atas mencoba menjelaskan tindakan anti pers yang dilakukan
Tabel. 3 Tenaga kerja Kompas 275.000 setiap terbit

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis

Berdasarkan analisis keragaman pada lampiran 8 diketahui bahwa penggunaan pakan berbasis ubi kayu dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot karkas

Oleh karena itu penulis mencoba untuk membuat suatu aplikasi dengan menggunakan program Microsoft Visual

The inclusion of palm oil solid waste in the diet of murrah buff alo signi fi cantly improved milk yield and.. calve

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dan pembahasan, menunjukkan bahwa penerapan model Make a Match berhasil meningkatkan pemahaman konsep IPS ten- tang

Kata yang tepat untuk melengkapi kutipan puisi tersebut agar berima sama dengan baris sebelumnya adalah

Aplikasi ini diharapkan dapat membantu penelitian terdahulu yaitu “Aplikasi Transliterator dan Tanslator Bahasa Indonesia ke Bahasa Korea dan Bahasa Korea

Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui isi serta susunannya, sehingga dapat diajukan dalam ujian sidang Karya Tulis Ilmiah pada Program Studi D3