• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori .1 Teori Agensi .1 Teori Agensi

Dasar untuk membahas corporate governance adalah teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara agent (manajer) dengan principal (investor). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost).

Karena teori keagenan merupakan konsep dasar dari corporate governance, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana mereka (investor) yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri, menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana atau kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer (shleifer dan Vishny dalam Sam’ani, 2008). Dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan corporate governance dapat menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost).

Teori agensi dilandasi oleh tiga asumsi sifat manusia menurut Eisenhardt (1989) yaitu :

1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest).

2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality).

3. Manusia selalu menghindari resiko (risk averse).

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004). Asumsi keorganisasian menurut Arifin (2005) adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asymetric information (AI) antara prinsipal dan agen. Sedangkan asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.

Kebutuhan informasi antara manajer dan investor adalah berbeda. Asymmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan agen (dikutip dalam Arifin, 2005). Hal ini yang menyebabkan kurangnya transparansi kinerja agen dan dapat menimbulkan manipulasi yang dilakukan oleh agen.

Informasi yang tidak seimbang (asimetri), dapat menimbulkan kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol tindakan terhadap agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :

a. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.

b. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar- benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

Karena timbulya agency problem sehingga biaya keagenan (agency cost) juga timbul, yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :

a. The monitoring expenditures by the principle. Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen.

b. The bonding expenditures by the agent. Biaya yang dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal setelah adanya agency relationship.

c. The residual loss. Merupakan penurunan kesejahteraan prinsipal dan agen yang disebabkan oleh tindakan agen sendiri.

Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan.

Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna terutama eksternal, karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya (Ali,2002).

Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymetry). Asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earning managements) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Sam’ani,2008).

2.1.2 Corporate Governance

2.1.2.1 Pengertian Corporate Governance

Corporate governance muncul karena terjadi pemisahan antara kepemilikan dengan pengendalian perusahaan, atau seringkali dikenal dengan istilah masalah keagenan. Permasalahan keagenan dalam hubungannya antara pemilik modal dengan manajer adalah sulitnya pemilik dalam memastikan bahwa dana yang ditanamkan tidak diambil alih atau diinvestasikan pada proyek yang tidak menguntungkan sehingga tidak mendatangkan return, sehingga dibutuhkan corporate governance untuk mengurangi permasalahan keagenan antara pemilik dan manajer (Macey dan O’Hara, 2003).

Komite Nasional Kebijakan Governance (dalam Bayu, 2010) mendefinisikan corporate governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham, dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

Forum Corporate Governance In Indonesia (FCGI) mendefenisikan corporate governance sebagai perangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Di kalangan pebisnis, secara umum, CG diartikan sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Corporate Governance (CG) diartikan pula sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks, 2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder (Sam’ani, 2008).

Dalam praktiknya CG berbeda di setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan beberapa versi yang menyangkut prinsip-prinsip CG, namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan (Arifin, 2005).

2.1.2.2 Penerapan Prinsip-Prinsip Corporate Governance Untuk Pengembangan Perusahaan Publik

Sebagai acuan praktik sistem tata kelola yang baik, komite nasional kebijakan corporate governance mengacu pada prinsip yang diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang merupakan salah satu lembaga yang memegang peranan penting dalam pengembangan Good Governance baik untuk pemerintah maupun dunia usaha. Pertama kali OECD mengeluarkan prinsip-prinsip corporate governance. Prinsip dasar corporate governance yang dikeluarkan OECD dalam Herwidayatmo (2000) adalah :

Dokumen terkait