• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam menjawab suatu penelitian diperlukan landasan teori dan kerangka konseptual agar dalam perjalanan penelitian ini tidak melebar dan oleh karena itu perlu dibatasai. Legal theory (teori hukum) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penelitian, karena teori hukum tersebut, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk mengungkap fenomena-fenomena hukum (Salim and Erlies, 2017).

Adapun teori yang relevan untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian hukum ini antara lain:

1. Teori Penegakan Hukum

Hukum merupakan suatu hal yang ada karena adanya masyarakat dimana kemudian perkembangan hukum itu sendiri juga mengikuti perkembangan masyarakat. Salah satu pilar hukum yang sampai saat ini terus menerus berkembang di Indonesia adalah hukum pidana. Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.

Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup (Soekanto, 2008). Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Penegakan hukum adalah penegakan ide- ide serta konsep- konsep yang notabene adalah abstrak. Abstrak dalam hal ini adalah ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.

42

Untuk mewujudkan penegakan hukum, terdapat jawatan hukum atau kantor hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan dan juga Badan Peraturan Perundang- undangan.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian (Soekanto, 2008). Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu (Mertokusumo, 2003) :

a. Kepastian Hukum (rechtssicherheit) :

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, sebagaimana hukum itu harus berlaku, yang mana tidak boleh menyimpang dari prinsip meskipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakkan (fiat justicia et pereat mundus). Hal inilah yang diinginkan dari kepastian hukum.

b. Manfaat (zweckmassigkeit) :

Penegakan hukum yang baik merupakan harapan dari masyarakat, oleh karenanya pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.

Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

c. Keadilan (gerechtigkeit) :

Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, masyarakat memiliki peran penting untuk memantau apakah hukum tersebut adil atau tidak.

Adapun masalah dari penegakan hukum adalah terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut (Soekanto, 2008) :

1. Faktor Hukumnya sendiri, yang ddalam penelitian ini hanya dibatasi pada peraturan perundang-undangan saja.

43

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas huku, yakni pihak-pihak yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyakarat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan yakni sebagi hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum (Soekanto, 2008).

Ke lima faktor tersebut dapat dijelaskan sebagaimana berikut : 1. Faktor Hukum (perundang-undangan)

Hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang memiliki kekuatan yang bersifat memaksa, yakni apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang tegas dan nyata (Masriani, 2004).

Undang-undang merupakan salah satu sumber hukum formil yang merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku, yang mempunyai kekutan hukum, yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. Hukum yang telah dibuat mempunyai fungsi untuk membantu peranan berjalannya Undang-Undang tersebut ke masyarakat, seperti penerbitan peraturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sehingga dapat mengiring masyarakat berkembang.

Adanya permasalahan pengakan hukum yakni bermula dari undang-undangnya itu sendiri yang bermasalah. Penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang itu disebabkan :

a. tidak diikutinya azas-azas berlakunya undang-undang

44

b. belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang

c. Ketidak jelasan arti kata-kata dalam undang-undang yang akan berakibat kesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya. Disamping itu adalah ketidakjelasan dalam kata-kata yang dipergunakan dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Hal itu disebabkan, karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali. Konsekuensi dari peraturan yang memuat pasal dengan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas (multiinterpretasi) dan menyebabkan kesimpang siuran dalam penafsiran atau penerapannya sehingga pada akhirnya menimbulkan konflik.

2. Faktor Penegak Hukum

Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role) (Soekanto, 2008). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi sedang atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan sebuah wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban tertentu.

Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya mempunyai kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demiikian tidaklah mustahil bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of roles) (Soekanto, 2008).

Pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi, penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu golongan panutan ini harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang

45

baru, serta memberikan keteladanan yang baik (Soekanto, 2008).

Hambatan yang dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum ini berasal dari diri sendiri atau lingkungan.

Di dalam berfungsinya hukum, kepribadian dari aparat penegak hukum memainkan peranan penting, jika peraturan telah disusun dengan baik, namun kualitas dari aparat penegak hukum kurang baik, maka hal ini akan menjadikan masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah kepribadian penegak hukum. Fungsi penegak hukum disini adalah memiliki peran untuk menjalankan amanat UU Cukai dalam proses eksekusi pidana denda.

Dengan keadaan demikian ini, maka penegak hukum yang tidak dapat menjalankan UU sebagaimana yang seharusnya telah diamanatkan di dalam UU dan akan berdampak negatif terhadap penegakan hukumnya.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar.

Sarana atau fasilitas tersebut anatara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil. Organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya (Soekanto, 2008). Kepastian dan kecepatan penanganan perkara senantiasa tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam program-program pencegahan dan pemberantasan kejahatan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Tanpa adanya atau dukungan sarana atau fasilitas yang memadai, maka tidaklah mudah penegakan hukum berlangsung dengan baik, yang antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan tinggi dan terampil, organisasi yang baik, peralatan

46

yang cukup memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.

Kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka sulitlah penegakan hukum dapat mencapai tujuannya.

Dengan demikian sarana-fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual (Soekanto, 2008).

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di Kejaksaan Negeri Klaten dan juga di Pengadilan Negeri Klaten, kendala sarana prasarana dalam sanksi pidana denda terhadap pelaku tindak pidana di bidang cukai tidak memadai, khususnya dalam penganggaran anggaran dalam penanganan perkara tindak pidana di bidang cukai.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian masyarakat (Soekanto, 2008). Oleh karena itu dari sudut pandang tertentu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society) terdapat banyak golongan etnik dan kebudayaan-kebudayaan khusus (Soekanto, 2008).

Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat. Untuk mencapai kedamaian harus ada kepatuhan dari masyarakat dan kepatuhan tersebut ditentukan oleh kesadaran hukum. Kesadaran hukum merupakan nilai-nilai yang terdapat didalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan akan ada. Dalam melaksanakan penegakan hukum selain faktor kesadaran hukum masyarakat perlu memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.

47 5. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan sebenarnya satu dengan masyarakat tetapi dalam pembahasan diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiil (Soekanto, 2008). Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.

Hukum tertulis (perundang- undangan) yang ada di Indonesia timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari masyarakat khususnya dalam kebudayaan supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Nilai-nilai tersebut yaitu dalam hal ini nilai keadilan dan nilai ketertiban. Nilai keadilan berfungsi melindungi hak-hak pihak yang lemah.

Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri, yang menentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atau sebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku sosial masyarakatnya, dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidak sangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan (customs), kultur (culture), tradisi-tradisi (traditions), dan norma-norma informal (informal norms) yang diciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan.

Merujuk pada pembahasan di atas, di dalam penegakan hukum tampaklah bahwa kelima faktor tersebut dalam realitas hubungannya akan saling berkaitan erat antara satu dengan lainnya serta akan saling mempengaruhi dalam perjalanan penegakannya. Kelemahan atas satu faktor akan berdampak kepada kendala yang lainnya, karena

48

keseluruhannya menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta dalam rangka mempeoleh tolok ukur dari efektifitas penegakan hukumnya. Dari lima faktor masalah penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri itu menjadi titik sentralnya.

Hal tersebut dilatarbelakangi karena undang-undang atau aturan hukum disusun oleh penegak hukum, begitu juga dengan penerapannyapun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga, merupakan panutan oleh masyarakat luas, sehingga kedudukannya menjadi sangat menentukan di dalam penegakan hukumnya. Meskipun Soerjono Soekanto tidak menjelaskan faktor manakah yang sangat berpengaruh besar dari keseluruhan faktor tersebut secara pasti.

Akan tetapi, dengan memperhatikan sistematikanya dari kelima faktor ini jika difungsikan secara optimal penegakan hukum, maka setidaknya hukum itu dinilai dapat dikategorisasikan efektif.

Yang dimaksudkan adalah bahwa dengan sistematika itu dapat membangun efektifitas penegakan hukum, seharusnya, diawali mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang menunjang, kemudian bagaimanakah masyarakat merespon serta kebudayaan yang terbangun. Artinya, tata urutannya dapat dipredisikan dasar berpikirnya dalam penegakan hukumnya (Riyanto, 2018).

2. Teori Tujuan Pidana dan Pemidanaan

Istilah pidana berasal dari kata starf (Belanda), yang berarti hukuman. Namun oleh beberapa sarjana, istilah starf ini berbeda arti dengan istilah recht yang berarti hukum. Simons sebagaimana dikutip oleh P. A. F. Lamintang, memberikan pengertian terhadap pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh undang – undang, pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang

49

dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah (P.A.F Lamintang, 2014).

Hukum merupakan suatu hal yang ada karena adanya masyarakat dimana kemudian perkembangan hukum itu sendiri juga mengikuti perkembangan masyarakat. Salah satu pilar hukum yang sampai saat ini terus menerus berkembang di Indonesia adalah hukum pidana.

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh menegaskan bahwa pidana merupakan reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara pada pembuat delik itu . Pidana sendiri selalu mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut (Arief Nawawi and Muladi, 2010):

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Sedangkan pemidanaan adalah hukuman. Menurut Moeljatno dalam Pipin Syarifin, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk (Pipin, 2000):

a. Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

50

b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Pidana pada hakikatnya merupakan pengenaan penderitaan terhadap pembuat delik di mana pidana tersebut diharapkan mempunyai pengaruh terhadap orang yang dikenai pidana tersebut.

Pidana ini baru dapat dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan hakim dilaksanakan secara efektif. Pemidanaan di sini diharapkan agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Dengan adanya pemidanaan, maka tujuan pemidanaan baru dapat tercapai.

Di dalam hukum pidana, khususnya hukum pidana yang berlaku di Indonesia, dikenal beberapa jenis pemidanaan Berdasarkan Pasal 10 KUHP jenis pemidanaan terdiri dari :

a. Pidana pokok : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan b. Pidana tambahan :

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim.

Dari seluruh jenis pemidanaan berdasarkan Pasal 10 KUHP, pelaksanaan pemidanaan yang paling sering dipraktekan ialah pidana penjara dan kurungan. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain akibat kedudukan pidana denda dalam KUHP yang berlaku sekarang ini dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Di samping itu tidak dapat dinafikan bahwasanya pidana penjara saat ini telah

51

“mendunia”, seolah-olah kita tidak akan dapat hidup tenteram tanpa jenis pidana itu. Dalam kaitan dengan masalah pemidanaan maka yang dituntut oleh asas keseimbangan ini adalah bahwa pemidanaan itu harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan juga korban. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan, atau pemidanaan tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat saja atau kepentingan pembuat saja, atau juga hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya.

Pemidanaan dalam perspektif keseimbangan adalah ketiga-tiganya kepentingan masyarakat, pelaku dan korban. Hanya menekankan kepentingan masyarakat, akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka.

Pada sisi lain, hanya memperdulikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh sebuah gambaran pemidanaan yang sangat individualistis yang hanya memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya. Sedangkan terlalu menekankan kepentingan korban saja, akan memunculkan sosok pemidanaan yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa dapat mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum. Dengan demikian pemidanaan dalam perspektif keseimbangan harus diarahkan sedemikian rupa agar si terhukum tidak hanya dilihat sebagai objek, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek hukum yang utuh yang mengemban hak dan kewajiban sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai warga negara bangsa masyarakat sekaligus (Saida, 2007).

Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan. Tujuan penjatuhan sanksi pidana sangat dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana.

Filsafat pemidanaan berkaitan erat dengan dengan alasan pembenar (pembalasan, manfaat/utilitas dan pembalasan yang bertujuan) adanya sanksi pidana. Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis

52

untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana yang kuat pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan (retributive justice) dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan (restorative justice), dan KUHP menganut filsafat keadilan lebih condong kepada retributive justice (Wirjono, 2003).

Negara memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menjamin keamanan dan ketertiban di masyarakat. Salah satu sarana untuk digunakan sebagai penjamin hal tersebut adalah dibentuknya ketentuan hukum pidana yang memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Namun hal tersebut tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, misalnya masih adanya orang-orang yang melanggar ketentuan hukum sehingga Negara mengenakan hukuman atau sanksi pidana terhadap pelaku berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Sebelum berbicara tentang teori pemidanaan perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pemidanaan. J. B Mabbot memandang seorang penjahat sebagai seseorang yang sudah melanggar suatu aturan hukum, meskipun seseorang itu bukan orang yang jahat. Menurutnya seseorang yang disebut tidak bersalah adalah oaring yang belum melanggar suatu aturan hukum, meskipun seseorang bisa jadi merupakan orang jahat dan telah melakukan pelanggaran hukum lainnya. Mabbot memandang pemidanaan merupakan akibat yang wajar yang disebabkan bukan dari hukum namun dari pelanggaran hukum sehingga jahat atau tidak jahatnya seseorang jika seseorng telah bersalah melakukan pelanggaran hukum maka orang tersebut harus dipidana (Sholehuddin, 2007).

Teori pemidanaan merupakan teori yang menganalisis (Salim and Septiana, 2019) :

“Pendapat ahli yang berkaitan mengapa negara menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan, apakah

53

karena pembalasan, menakut-nakuti masyarakat atau melindungi atau memperbaiki masyarakat.”

Terdapat 4 (empat) unsur teori pemidanaan yakni (Salim and Septiana, 2019):

1. Adanya pendapat ahli;

2. Menjatuhkan pidana;

3. Adanya subyek, dan 4. Adanya unsur penyebab

Dalam berbagai literatur hukum pidana, beberapa ahli hukum pidana mempergunakan beberapa istilah yang berbeda-beda dalam penyebutan teori pemidanaan. Teori pemidanaan atau tujuan pidana secara garis besar terbagi menjadi 3 (tiga) yakni teori absolut, teori relatif dan teori gabungan.

1. Teori Absolut

Teori absolut lahir pada aliran klasik hukum pidana.

menurut teori ini pembalasan adalah legitimasi pemidanaan (Eddy, 2016). Negara memiliki hak untuk menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak serta kepentingan hukum yang telah dilindungi (Adam, 2007).

Pidana dijatuhkan kepada pelaku karena jus deserts, bahwa mereka dihukum karena mereka layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka. Beberapa ahli menganut teori absolut salah satunya Kant yang berpendapat bahwa pidana adalah etik, praktiknya adalah suatu ketidak adilan oleh karena itu kejahatan harus dipidana (Eddy, 2016). Andi Hamzah juga memberikan pendapatnya bahwa teori pembalasan menyebutkan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”

(Samosir and Djisman, 1992).

54

Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa (Arief Nawawi and Muladi, 2010):

“Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.”

Bahwa teori absolute ini tidak memikirkan bagaimana pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana tersebut juga sebenarnya memiliki hak untuk di bina agar menjadi manusia yang berguna sesuai harkat dan martabatnya. Plato meneyatakan nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur yang artinya sorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa. Upaya mencegah kejahatan dilakukan dengan membuat rasa takut sehingga hukum pidana kuno mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanannya dilakukan di depan umum dengan memberi peringatan pada masyarakat luas (Jan, 2003).

2. Teori Tujuan atau Relatif

Jika dalam teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana adalah pembalasan, namun teori relative ini mencari dasar pemidanaan pada penegkan ketertiban masyarakat dan tujuan pemidanaan sebagai pencegah kejahatan.

Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dan teori tujuan dikemukakan pula secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut (Arief Nawawi and Muladi, 2010) :

a) Pada teori pembalasan:

1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

2) Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; dan

55

4) Pidana melihat kebelakang adalah merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

b) Pada teori tujuan:

1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

2) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu

2) Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu

Dokumen terkait