BAB I PENDAHULUAN
1.6 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum dan khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, pendapat hukum dan lain-lain, yang akan dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.4 Sebagai landasan, dimaksudkan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur baar).
Adapun juga Landasan Teori yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini ialah teori yang terdapat dalam ilmu hukum yaitu :
1.6.1 Teori Pemidanaan
Seperti yang kita ketahui teori pemidanaan mempunyai kaitan dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yang dimaksud ialah bagaimana tentang hak negara kaitannya dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang-orang yang melanggar suatu perintah atau larangan dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Seperti yang kita ketahui hak untuk menjalankan hukum pidana subjektif ini hanya boleh dimiliki oleh negara, karena Negara pada dasarnya merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan serta mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Oleh sebab itu untuk melaksanakan kewajiban tersebut, maka dirasa perlu apabila
4Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.68
11
negara melalui alat-alatnya diberikan suatu hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Teori – teori pemidanaan dapat dibagi menjadi tiga golongan , yaitu Teori Absolut atau Pembalasan, Teori Relatif atau Tujuan, dan Teori Gabungan. Akan diuraikan sebagai berikut :
a. Teori Absolut atau Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.5 Negara dalam hal ini berhak untuk menjatuhkan pidana kepada penjahat dalam hal ini orang yang melakukan kejahatan maupun tindak pidana, maka dengan itu ia harus diberikan suatu pidana yang setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya. Terdapat dua arah dari tindakan pembalasan di dalam penjatuhan, yaitu:
1. Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)
2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari adanya perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah
5 Leden Merpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 4
menlakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan
6melakukan kejahatan lagi.
b. Teori Relatif atau Tujuan
Tujuan pidana adalah bukan sekedar melakukan pembalasan, namun juga untuk tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Teori ini dilandasi oleh tujuan (doel), yaitu:
1. Menjerakan
Dengan menjatuhkan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tida mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventie).
2. Memperbaiki pribadi terpidana
Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalankan hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.
3. Membinasakan atau memuat terpidana tidak berdaya
Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.7
6 Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier Di Indonesia, Armico, Bandung, hlm. 20
13
c. Teori Gabungan
Dari dua teori yang dikemukakan diatas, serta adanya keberatan-keberatan terhadap teori absolut dan teori tujuan, maka munculah teori ketiga yang menitik beratkan kepada bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterangkan secara kombinasi dengan mendasarkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang ada. Pada teori ini menitikberatkan kepada pelaku dan pada berat atau ringannya suatu tindak pidana yang dilakukan, karena bukan saja berkaca pada masa lalu si pelaku namun juga berkaca pada masa depan si pelaku tindak pidana tersebut dan yang terpenting adalah memperbaiki pelaku tindak pidana tersebut.
1.6.2 Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dan terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat (KUHP) yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu”. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.
7 Op.cit, hlm. 4
Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.8
1.6.3 Kesengajaan
Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. KUHP tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan atau dolus intent opzet. Tetapi Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan) mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki dan mengetahui.
Kesengajaan harus memiliki ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) tahun 1809 dijelaskan pengertian,”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”.
Menurut sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan
8 Moeljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 23 (Selanjutnya disebut Moeljatno I)
15
atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881 yang mulai berlaku 1 September 1886 tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu.9
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willen en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah :
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.”10
Secara umum, para pakar hukum pidana telah menerima adanya 3 (tiga) bentuk kesenjangan (opzet), yakni :
a. Kesenjangan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
b. Kesenjangan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) c. Kesenjangan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)11
1.6.4 Kealpaan
Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Menurut
9 R. Abdoel Djamali, 2010, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.
219
10 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 184
11 Leden Merpaung, Op.cit, hlm. 15
D. Simons “Kealpaan” sebagai “Kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu”.
Dalam Memorie van Toelichting selanjutnya disingkat (M.v.T) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat :
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
3. Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.
Pada umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas :
1. Kealpaan dengan kesadaran (bewestu schuld). Dalam hal ini si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, toh timbul juga akaibat tersebut.
2. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewustu schuld). Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.12
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerap kali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat.
12 Ilbid, hlm. 26