• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6.1 Konsep Kepastian Hukum

Pada dasarnya kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma itu sendiri adalah pernyataan yang menekankan pada aspek “seharusnya” atau “das sollen”, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.

Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan-aturan itu dan pelaksanaan aturan-aturan tersebutlah yang akan menimbulkan kepastian hukum nantinya.4

4 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), h.158.

Gustav Radbruch berpendapat bahwa hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yakni :

- Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), yang dimana Asas ini meninjau dari sudut yuridis;

- Asas keadilan hukum (gerectigheit), yang dimana Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;

- Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility).

Menurut Utrecht, kepastian hukum pada dasarnya mengandung dua pengertian, yaitu : pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.

Kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.5

Dalam hukum pidana sendiri jiwa kepastian hukum tersebut tertuang atau tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, atau yang lebih akrab disebut dengan Asas Legalitas. Asas legalitas sejatinya memang menghendaki agar terciptanya suatu kepastian hukum dengan memberikan batasan bahwa tidak akan pernah ada suatu perbuatan yang

5 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h.23.

dapat dipidana jika tidak ada undang-undang atau peraturan yang mengaturnya.

Hal tersebutlah yang pada dasarnya menjadi suatu kelemahan dalam Undang-undang No. 9 Tahun 2008, karena undang-undang tersebut tidak mengatur dan seolah-olah memberi ruang kepada setiap orang untuk dapat melakukan tindakan penyalahgunaan bahan-bahan kimia berbahaya dalam suatu tindak pidana.

1.6.2 Tindak Pidana

Pada dasarnya banyak istilah yang digunakan untuk kata tindak pidana. Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata tindak pidana/delik. Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit cakupannya dari pada “perbuatan”. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret.6

Dipihak lain E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Adapun Mr.

Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata

“tindak pidana”, sedangkan Leden Marpaung sendiri menggunakan istilah

“delik”.7

6 Leden Marpaung, 2009, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cet Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, h.7

7 Ibid.

Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro dalam hal ini menggunakan istilah “Tindak Pidana”. Menurut Wirjono, Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana.

Bagi pelaku tindak pidana ini dapat dikatakan sebagai “subjek” tindak pidana.8 Dari berbagai istilah yang dikemukakan oleh para ahli, dalam penulisan ini, istilah yang digunakan untuk menunjukkan kata delik, peristiwa pidana, dan perbuatan pidana adalah kata “Tindak Pidana”, hal ini dikarenakan istilah tindak pidana lah yang digunakan dalam istilah perundang-undangan di Indonesia.

Terlepas dari pandangan para ahli mengenai berbagai istilah yang tepat untuk menunjukkan kata “tindak pidana”, dalam doktrin hukum pidana terdapat dua ajaran yang dijadikan acuan untuk menarik unsur-unsur tindak pidana, yakni :

a. Ajaran Monisme

Dalam ajaran ini secara garis besar memasukkan pengertian pertanggungjawaban pidana kedalam pengertian tindak pidana. Konsep pertanggungjawaban pidana, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab, dan alasan pemaaf menjadi satu kesatuan atau tidak dapat terpisahkan dengan konsep tindak pidana. Para ahli yang dalam memberikan pengertian tindak pidana yang di dalamnya memasukkan keempat hal tersebut, sesungguhnya berpandangan bahwa antara tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana/ kesalahan tidak dapat dipisahkan. Implikasinya, pembuktian unsur objektif (tindak pidana) dan unsure subjektif (kesalahan) tidak dipisahkan.9

8 Wirjono Prodjodikoro, 2014, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. Keenam, PT Refika Aditama, Bandung, h.59

9 Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bima Aksara, Jakarta, (selanjutnya disebut Moeljatno II), h.11

b. Ajaran Dualisme

Dalam, ajaran ini pengertian tindak pidana semata-mata menunjukkan kepada perbuatan baik secara aktif maupun secara pasif.

Sedangkan apakah pelaku ketika melakukan tindak pidana patut dicela atau memiliki kesalahan, tidak lagi merupakan wilayah tindak pidana tapi sudah masuk pada diskusi pertanggungjawaban pidana/ kesalahan.

Dengan lain perkataan, apakah inkonkreto yang melakukan perbuatan tadi sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu sudah di luar arti tindak pidana.10

Menurut Moeljatno, jika memakai ajaran dualisme maka perbuatan pidana atau tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.11

Sedangkan menurut Mr. D. Simons, jika memakai ajaran monisme maka definisi strafbaaf feit (terjemahan harfiah: peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal

10 Ibid.

11 Moeljatno I, Op.cit, h. 59

liability) yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.12

Van Hamel yang juga menganut ajaran monisme memberikan definisi tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en ann schuld te wijten).13

Sedangkan menurut R. Achmad Soemadipradja yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia, yang termasuk dalam batas-batas perumusan suatu delik yang melawan hukum, dan disebabkan karena kesalahan dari pada si petindak.14

Berdasarkan beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli, maka dapat dimaknai bahwa unsur-unsur tindak pidana sejatinya adalah berbeda-beda, namun pada umumnya terdapat unsur-unsur yang sama yakni unsur perbuatan aktif/ positif atau pasif/ negative, unsur akibat, unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil, dan unsur tidak adanya dasar pembenar.15

Dipihak lain para ahli membedakan unsur-unsur tindak pidana menjadi 2 bagian, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.

12 Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, Cet. Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, h. 225 13 Ibid.

14 R. Achmad Soemadipradja, 1982, Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, h. 65

15 Zainal Abidin Farid, Op.cit, h.221

a. Unsur Subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan.

b. Unsur Objektif, merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :

- Perbuatan Manusia;

- Akibat (result) Perbuatan Manusia;

- Keadaan-keadaan (circumstances) baik keadaan saat perbuatan dilakukan maupun keadaan setelah perbuatan tersebut dilakukan;

- Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.16

Menurut Lamintang unsur subjektif dan unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Unsur-unsur Subjektif :

- Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

- Maksud (Voornemen) pada suatu percobaan atau poging;

- Berbagai maksud (Oogmerk);

- Merencanakan terlebih dahulu (Voorbedachte raad);

- Perasaan takut b. Unsur-unsur Objektif :

- Sifat melawan hukum

- Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.17

Dipihak lain, Moeljatno secara sederhana menyebutkan bahwa pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur kelakuan dan akibat, hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum obyektif dan unsure melawan hukum subjektif.18 Wirjono Prodjodikoro menguraikan bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari Subjek tindak

16 Leden Marpaung, Op.cit, h. 10

17 Lamintang, 1983, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sumur Batu, Bandung, h. 184 18 Moeljatno I, Op.cit, h. 69

pidana, perbuatan dari tindak pidana, hubungan sebab akibat, sifat melanggar hukum, kesalahan pelaku tindak pidana, kesengajaan, culpa, dan kelalaian.19

1.6.3 Pertanggungjawaban Pidana

Konsep “Liability” atau “Pertanggungjawaban pidana” pada dasarnya dapat dilihat dari segi falsafah hukum. Seorang Filsaf besar Roscou Pound secara sistematis mengartikan liability sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa pembalasan sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran ganti rugi bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu hak istimewa kemudian menjadi suatu kewajiban.20

Ukuran ganti rugi tersebut tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan. Oleh karena itu, konsepsi “liabilty” diartikan sebagai “reparation”, sehingga terjadilah perubahan arti konsepsi “liabilty”, dari “composition for vengeance”

19 Wirjono Prodjodikoro, Loc.cit.

20 Romli Atmasasmita, 1989, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet. Pertama, Yayasan LBH, Jakarta, h. 80

menjadi “reparation for injury”. Perubahan bentuk wujud ganti rugi dengan sejumlah uang kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awal dari “liabilty” atau

“pertanggungjawaban”.21

Dalam hukum pidana konsep pertanggungjawaban merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/ perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/

tercela (mens rea).22

Roeslan Saleh mengartikan pertanggungjawaban pidana sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena pebuatannya itu.23 Maksud celaan objektif disini adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang

21 Ibid.

22 Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana (Perkembangan dan Penerapan), Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.

23 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), Cet. Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, (Selanjutnya disebut Roeslan Saleh I), h. 75.

dilarang. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum materiil.

Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak mungkin ada.

Chairul Huda menegaskan bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.24

Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya.

Adanya kesalahan pada diri pelaku, harus dipenuhi unsur-unsur berikut :

24 Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Kedua, Kencana, Jakarta, h. 68

a) Kemampuan bertanggungjawab yaitu kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan bertanggungjawab seseorang yaitu faktor akal yang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum dan perbuatn yang tidak diperbolehkan oleh hukum, dan faktor kehendak yaitu seseorang dapat menyesuaikan tingkah laku dengan kesadaran akan sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

b) Hubungan kejiwaan antara pelaku dengan perbuatannya, hal ini berkaitan dengan keadaan batin pelaku yang normal yang ditentukan oleh faktor akal yang dapat membedakan antara perbuatan yang boleh dilakukan dengan perbuatan yang tidak boleh dilakukan.

c) Dolus atau culpa berkaitan dengan hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya. Kesengajaan (dolus) adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud yang sebenarnya dari tindakan yang dilakukan tersebut. Sedangkan kealpaaan (culpa) adalah keadaan batin pembuat yang bersifat ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatannya dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi.25

Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu :

a) Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;

b) Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;

c) Adanya pembuat yang mampu bertanggung jawab;

d) Tidak ada alasan pemaaf.26

Hal senada pun disampaikan oleh Moeljatno, untuk adanya suatu kesalahan pada terdakwa, maka terdakwa harus melakukan perbuatan

25 M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h. 129.

26 Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit, h. 22

pidana (sifat melawan hukum), diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab, mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, tidak adanya alasan pemaaf.27

Berdasarkan uraian diatas, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika sebelumnya orang tersebut telah terbukti melakukan perbuatan yang dilarang. Merupakan hal yang tidak mungkin jika terdapat seseorang yang dimintai pertanggungjawaban pidana sementara dia sendiri tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum. Jika terjadi demikian, loncatan berpikir tidak dapat dielakkan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia juga tidak dapat dihindari.

1.6.4 Teori Penemuan Hukum

Penemuan Hukum menurut Sudikno Mertokusumo diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lain yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang konkret, artinya penemuan hukum merupakan proses konkretisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret (das sein).28 Ada Beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni :

27 Moeljatno I, Op.cit, h. 177

28 Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.4

- Aliran Legisme

Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang, karena undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum. Kedudukan hakim ada dibawah undang-undang sebagai pelaksana sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi undang-undang.

- Aliran Historis

Aliran ini berpandangan bahwa undang-undang sebagai sumber hukum saja tidak lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam Undang-undang, oleh karena itu hakim dapat membuat hukumnya (judge made law). Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi undang-undang dan dianggap sebagai unsure system hukum.

- Begriffjurisprudenz

Aliran ini member kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada bunyi Undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam Undang-undang. Kesalahan dari aliran ini adalah terlalu menjunjung rasio dan logika dalam meluaskan Undang-undang sampai terbentuknya hukum. Penganut aliran ini secara terbalik memandang alat sebagai tujuan sehingga keadilan dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.

- Penemuan Hukum Modern

Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada system perundang-undangan, tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. Tujuan pembentuk Undang-undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.29

Dari keempat aliran yang melandasi dalam hal terjadinya penemuan hukum, terlebih kaitannya dengan pertanggunggjawaban pidana bagi setiap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya, maka aliran penemuan hukum modern yang paling tepat untuk dapat digunakan dalam hal ini. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran hukum modern, tidak hanya berpatokan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja akan tetapi melihat pada kenyataan yang ada bahwa Undang-undang No. 9 Tahun 2008, belum mampu memberikan kepastian hukum dalam hal penjatuhan pidana terhadap orang yang menyalahgunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Berdasarkan hal tersebut besar harapan pembuat Undang-undang dapat merancang dan menetapkan aturan yang baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian bagi masyarakat.

Dokumen terkait