• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

a. Landasan Teoritis

Pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu

yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.9 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.10

Menurut Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang terintergrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah

“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and

propositions that present asystematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena”. (Teori adalah suatu rangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistematis dengan menspesifikasikan hubungan antara variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena).11 Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau landasan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian untuk memberikan kebenaran ilmu hukum yang telah ditelusuri (controleur bar). Oleh karena itu, dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil di identifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai.

Landasan teoritis merupakan pikiran untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian penelusuran terhadap teori hukum,

9

Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.

10

Soejono Soegianto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30.

11

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Madar Maju, Bandung, h. 140.

konsep hukum, dan lain-lain yang digunakan untuk membahas permasalahan penelitian. Pada umumnya teori bersumber dari undang-undang.12

Landasan teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlkan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Suatu penelitian harus dilandasi oleh pemikiran yang teoritis, agar adanya timbal balik antara teori yang relevan dengan berbagai kegiatan yang menyangkut pengumpulan dan pengolahan data, baik analisa dan konstruksi data. Dalam menganalisa penulisan ini digunakan, Teori Perlindungan Hukum, Teori Pertanggung Jawaban.

a. Teori Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.13

12

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 73.

13

A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.14

Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.15

Pengaturan kebijakan terhadap kejahatan korporasi faktanya masih sangat minim mengingat tidak ada aturannya dalam KUHP, karena KUHP hanya mengatur hukum antar individu saja dan korporasi sebagai subjek hukum hanya terdapat dalam beberapa undang-undang saja. Pembangunan ekonomi besar-besaran menyebabkan korporasi bersaing dengan ketat untuk menguasai pasar.16

Kebijakan atas pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa yang menguasai dan memonopoli ekonomi Indonesia. Kekuasaan yang luar biasa pada korporasi tahap berikutnya sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan sangat merugikan kepentingan pelaku ekonomi lainnya.17

Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka

14

Abidin, Lit.A.Z., 2010, Pengantar Dalam Hukum pidana Indonesia, Jakarta, h. 56.

15

Muladi dan Dwija Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 31.

16

Ibid., h. 24.

17

Mulyadi, Mahmud & Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Softmedia, Jakarta, h. 3-4.

mengutip tulisan Steven Box, Ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut:

1. Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.

2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).

3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban.

Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan-Cohen,

yaitu: “A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan-Cohen who finds that an organization possesses functional structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision-making structures.”18

Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi menurut Dan-Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi, memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan.

Eratnya keterkaitan antara hukum pidana, persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

18

Jennifer A. Quaid, 1998, Mcgill Law Journal: The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of Corporate Identity: An Analysis, page 79.

Untuk menjawab permasalahan yang pertama mengenai pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga.

Pemerintah sebagai badan hukum memberikan hak kepada pelaku usaha untuk memprodusi produk yang telah didaftarkan kepada pihak dinas kesehatan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah berlaku. Berlakunya ketentuan mencantumkan tanggal kadaluarsa telah ditetapkan, sehingga pelaku usaha wajib dalam produk mencantumkan tanggal kadaluarsa.

Apabila setelah pemberian sertifikat layak produksi, pelaku usaha melakukan pelanggaran maka dari pihak dinas kesehatan akan menarik kembali produk yang telah diproduksi di pasaran. Dan melakukan pembinaan kembali tekait produk yang telah melanggar ketentuan yang berlaku.

Pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan kegiatan usaha demi keuntungan, dan tidak melihat dampak dari produk usahanya dalam kejahatan korporasi disebut Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.

Keamanan pangan, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama sebagai upaya perlindungan konsumen karena berdasarkan pasal 4 (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa dan Pasal 4 (c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa. Sedangkan pemerintah berperan dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai pasal 30 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Pemenuhan pangan yang aman dan bermutu merupakan hak asasi setiap manusia, tidak terkecuali pangan yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan (IRTP). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan/atau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa yaitu pelaku usaha bertanggungjawab dalam hal memberikan ganti kerugian kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan. Ganti kerugian yang dimaksud merupakan

pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis dan setara nilainya, perawatan kesehatan, pemberian santunan sesuai dengan kerugian konsumen.

b. Teori Pertanggungjawaban

Dalam kamus hukum ada dua istilah tentang pertanggungjawaban, yakni liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.19

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

19

Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 335-337.

b. teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.20

Secara umum prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:21

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.

b. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggungjawab, yaitu

20

Ibid., h. 365.

21

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 73-79.

dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan

yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.22

Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

c. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggungjawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.

22

E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, h. 21.

d. Prinsip Tanggungjawab Mutlak

Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.

Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggungjawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggungjawab adalah mutlak.23

e. Prinsip Tanggungjawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

23

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggungjawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar Kantaatmaja, sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggungjawab profesional adalah tanggungjawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggungjawab profesional ini dapat timbul karena mereka (penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.24

Tanggungjawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggungjawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.25 Tanggungjawab dalam arti hukum adalah tanggungjawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan

24

Shidarta, Op.cit., h. 82.

25

Masyhur Efendi, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 121.

dalam arti tanggungjawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Bertanggungjawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggungjawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.26

Untuk menjawab permasalahan yang kedua mengenai akibat hukum terhadap pelaku usaha terkait dengan produk industri rumah tangga yang tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa.

Pasal 4 (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, salah satu sumber informasi adalah label dimana konsumen dapat memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap dari segi kuantitas, isi, kualitas baik masa kadaluarsa ataupun komposisi bahan yang digunakan.

26

Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 60. (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhamad II).

Pada Pasal 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang perlindungan konsumen bertujuan sebagai berikut:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

Pada Pasal 6, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang hak pelaku usaha sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Pada Pasal 7, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang kewajiban pelaku usaha sebagai berikut:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pada Pasal 10, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai berikut:

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untukdiperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam pasal 111 ayat (1) menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut diatas, undang-undang tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan/atau persyaratan kesehatan dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat saling ketergantungan dan membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha, sehingga sudah seharusnya kedudukan konsumen dan pelaku usaha berada pada posisi yang seimbang. Namun dalam kenyataannya, kedudukan

tersebut tidaklah seimbang. Konsumen seringkali berada pada atau kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha.27

Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyaknya hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

27

Zumrotin K Susilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, cet. 1, Puspa Swara, Jakarta, h. 11-14.

b. Kerangka Berpikir Rumusan

Masalah

Latar Belakang Landasan

Teoritis Metode Penelitian Perdagangan pangan yang kadaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan Produk industri rumahyang tidak memiliki izin Dinas Kesehatan jika dikonsumsi oleh konsumen dapat menyebabkan kerugian, baik kerugian secara materi maupun psikis.makanan mengandung bahan pengawet, atauperbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapatmengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia. 1. Bagaimanakah pelaksaaan ketentuan pencantuman tanggal kadaluarsa pada produk industi rumah tangga? 2. Bagaimanakah tindakan

Dokumen terkait