• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1 Teori Perlindungan Hukum

Teori Perlindungan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234, selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) yang menentukan bahwa :

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Pengertian perlindungan hukum dikaitkan dengan asas-asas materi muatan perundang-undangan melekat dalam asas pengayoman. Hal ini disebabkan karena kata perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga Negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain Teori Perlindungan Hukum menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemahaman mengenai Teori Perlindungan hukum menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra yang berpendapat

bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.9

Dengan demikian menurut Teori Perlindungan hukum ini bahwa perlindungan hukum harus bersifat adaptif dan fleksibel serta adaptif dan antisipatif. Adaptif dan fleksibibel berarti harus selalu sesuai dengan perkembangan kondisi dan situasi. Adaptif serta fleksibel mengandung arti bahwa hukum harus dapat membuka kemungkinan akan dapat memberikan perlindungan apabila timbul tindakan yang merugikan pihak-pihak tertentu.

1.7.2 Teori Pertanggunngjawaban Hukum

Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subyek resposibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility)10. Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak

9Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, h. 118.

10 Hans Kelsen, 1967, Pure Theory Of Law. Translation from the Second (Revised and Enlarged) German Edition. Translated by: Max Knight. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, h. 119.

memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau di-lakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup bahwa perbuatannya telah membawa efek yang dinyatakan oleh legislator sebagai harmful, yang berarti menunjukkan hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan ter-sebut. Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban absolut. Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika tindakan individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek tertentu dari per-buatan tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu membawa akibat harmful tanpa direncanakan atau dimaksudkan demikian oleh pelaku. Ide keadilan indi-vidualis mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada tindakan individu hanya jika harmful effect dari perbuatan tersebut telah direncanakan dan dimaksudkan demikian oleh individu pelaku, dan maksud tersebut merupakan perbuatan terlarang. Akibat yang oleh legislator dianggap sebagai harmful mungkin secara sengaja di-lakukan oleh individu tanpa maksud menyakiti individu lain. Sebagai contohnya, seorang anak mungkin membunuh ayahnya yang sakitnya tidak sembuh-sembuh dengan tujuan untuk menghentikan penderitaan. Maka maksud anak atas kematian ayahnya tersebut adalah bukan tindakan yang terlarang (malicious). 11 Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang salah tidak sepenuhnya diterima dalam

11 Kelsen, Hans, 1961, General Theory of Law and State. Translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, h. 65.

hukum modern. Individu secara hukum bertanggungjawab tidak hanya jika secara obyektif harmful effect dilakukan secara terlarang, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya maksud atau direncanakan oleh individu pelaku. Namun sanksinya mungkin berbeda dalam kasus yang berbeda-beda.

Suatu sikap mental deliquent tersebut, atau disebut mens rea, adalah suatu elemen delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam arti lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on fault atau culpability). Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan adalah suatu delik omisi, dan per-tanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan perper-tanggungjawaban absolut dari pada culpability.

1.7.3 Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini, terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan “ persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu

seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan. Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatuhan dan kesusilaan.

1.7.4 Prinsip Keterbukaan

Pengertian Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk pada undang undang nomor 8 tahun 1995 tentang pasar modal untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap putusan pemodal terhadap efek dimaksud dan atau harga dari efek tersebut. Sedangkan informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pda bursa efek dan atau keputusan pemodal, calon pembeli atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. Dan mengenai perusahaan terbuka sebagai mana dijelaskan dalam peraturan Bapepam LK nomor IX.H.1 tentang pengambilalihan perusahaan terbuka, angka 1 huruf a. adalah perusahaan publik atau perusahaan yang telah melakukan penawaran umum saham atau efek bersifat ekuitas lainnya.12

Prinsip keterbukaan menjadi persoalan inti dalam pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa dari pasar modal itu sendiri. Keterbukaan informasi merupakan salah

12Pompe, Sebastian & Reksodiputro, Marjono, 2010, Ikhtisar Ketentuan Pasar Modal, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), Jakarta, h. 25

satu karakteristik khusus yang dikenal dalam bidang pasar modal. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengamanatkan kepada setiap pelaku kegiatan pasar modal terutama pada Emiten dan/atau Perusahaan Publik agar senantiasa menjalankan prinsip keterbukaan dalam menjalankan kegiatan pasar modal dengan baik. Yang mana pelaksanaan prinsip keterbukaan tersebut dapat diimplementasikan melalui penyampaian informasi atau fakta material terkait usaha atau efeknya. Hal tersebut juga dapat dijadikan suatu pertimbangan bagi nasabah untuk melakukan penanaman modal di suatu perusahaan tertentu, sehingga secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan efek.

Dalam perjalanannya emiten dan atau perusahaan publik pasti melakukan bentuk-bentuk aksi korporasi (Corporate Action). Aksi korporasi tersebut baik berupa pembagian deviden, penerbitan saham bonus, dan lain sebagainya. Bapepam LK dan Bursa Efek telah mengatur agar dalam menjalankan aksi korporasinya emiten dan/atau perusahaan publik tetap memperhatikan prinsip keterbukaan guna mencegah adanya kerugian bagi pemangku kepentingan (stakeholders). Kepatuhan melaksanakan prinsip keterbukaan merupakan kunci utama dalam menciptakan pasar modal yang adil dan efisien. Prinsip keterbukaan menjadi persoalan yang sangat penting di pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri.

Penegasan dan pengertian mengenai prinsip keterbukaan juga telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang mana menyatakan :

“Prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut.”

Tujuan dari prinsip keterbukaan ini perlu dilakukan untuk menciptakan efisiensi dalam transaksi efek agar dapat memberikan informasi secara transparan, adil, dan bijaksana. Tanpa kewajiban keterbukaan ini mustahil tercipta pasar efisien. Keterbukaan dalam transaksi efek menyangkut seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan yang akan melakukan emisi saham di bursa.

Dokumen terkait