BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Landasan Teori
Pengertian Usahatani
Usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai
modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya (Suratiyah, 2009).
Sarana Produksi dalam Usahatani Padi Sawah
Sarana produksi yang diperlukan dalam usahatani padi sawah selain lahan, dan tenaga kerja umumnya adalah bibit, pupuk, dan obat-obatan agar produksi padi baik sehingga keuntungan yang maksimum dapat tercapai perlu dilakukan pemberian input yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, cara pemberian, waktu pemberian dan dosis juga harus tepat. Semuanya itu juga ditambahkan dengan pemilihan bibit, penyemaian, pengolahan tanah, penyiangan, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Semua hal tersebut diatas lazimnya disebut dengan teknologi. Penggunaan input produksi dengan teknologi yang ada dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan produksi yang diinginkan. Tujuan produksi tersebut adalah tingkat keuntungan yang maksimum. Proses produksi usahatani
padi diperlukan beberapa macam masukan yang biasa disebut sarana produksi
(Daniel, 2002).
Sarana produksi yang digunakan dalam usahatani padi sawah adalah sebagai berikut :
- Lahan
Menurut Hanafie (2010), penggunaan lahan/tanah dalam usahatani tanaman padi
adalah berupa lahan sawah. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-
petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk
menahan/menyalurkan air yang biasanya ditanami padi sawah. Lahan sawah dibedakan menjadi :
a) Lahan sawah irigasi (berpengairan), yaitu lahan sawah yang mendapatkan air dari sistem irigasi, baik bangunan penyadap dan jaringannya yang dikelola oleh instansi pemerintah seperti Dinas Pengairan maupun oleh masyarakat.
b) Lahan sawah tanpa irigasi (tak berpengairan) yang meliputi sawah tadah hujan
(sawah yang pengairannya tergantung pada air hujan), sawah pasang-surut (sawah yang pengairannya tergantung pada air sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surutnya air laut), dan sawah lainnya (misalnya, lebak, polder, lahan rawa yang ditanami padi, dan lain-lain).
Luas lahan sawah di Sumatera Utara setiap tahunnya cenderung menurun. Hal ini terbukti pada data tabel 5 perkembangan luas lahan sawah di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009-2013. Semakin menurunnya luas lahan sawah di Sumatera Utara mempengaruhi produktivitas padi sawah di Sumatera Utara.
Tabel 5. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Sumatera Utara Tahun 2008- 2012
Tahun Luas Lahan Sawah
(Ha) 2008 478.521 2009 464.256 2010 468.724 2011 468.442 2012 423.19
Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekertariat Jenderal Kementerian Pertanian, 2013
- Pupuk
Pupuk merupakan kunci dari kesuburan tanah karena berisi satu Pemberian pupuk dengan komposisi yang tepat dapat menghasilkan produk kualitas. Pupuk yang
sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik (Firdauzi, 2013).
Dewasa ini perkembangan produksi dan produktivitas padi di Sumatera Utara
cukup memprihatinkan. Menurut data BPS (2007) produksi padi Sumatera Utara
selama periode 1998-2006 mengalami penurunan rata-rata sebesar 23% per tahun. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya produksi padi sawah (rata-rata 1,13% per tahun), sedangkan produksi padi ladang menurun rata-rata sebesar 3,14% per tahun. Rendahnya produksi padi di Provinsi Sumatera Utara antara lain disebabkan oleh kelangkaan faktor produksi, di antaranya adalah pupuk. Masalah yang sering terjadi menjelang musim tanam adalah langkanya pupuk tunggal dan
penggunaan pupuk yang tidak berimbang (Ramija, dkk., 2010).
Sejak empat tahun terakhir, penggunaan pupuk bersubsidi di Sumatera Utara juga terus meningkat, yaitu 200.000 ton pada tahun 2007, menjadi 298.299 ton pada tahun 2008, lalu 300.000 ton pada tahun 2009 dan kemudian sebanyak 300.000
Berbagai pihak sering menyatakan bahwa ada keterkaitan yang erat antara permasalahan produksi padi dengan kebijakan subsidi pupuk, baik yang terkait dengan harga, distribusi maupun dosis penggunaan. Dosis penggunaan pupuk, terutama Urea untuk tanaman padi, telah banyak rekomendasi, namun banyak petani di beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti kabupaten Karo, Simalungun, Langkat dan Deli Serdang, yang menggunakan dosis pupuk melebihi anjuran yaitu sekitar 400-500 kglha, padahal yang direkomendasikan adalah
sekitar 250-300 kg/ha (DISTAN Sumut, 2009). Kelebihan dosis penggunaan
pupuk dapat menimbulkan rendahnya efektifitas dan efisiensi biaya input produksi, sehingga pendapatan petani dalam usahatani padi kurang maksimal
(Ramija, 2010).
- Benih
Menurut Hakim (2004), benih padi adalah gabah yang di hasilkan dengan cara dan tujuan khusus untuk disemaikan menjadi pertanaman. Kualitas benih itu sendiri akan ditentukan dalam proses perkembangan dan kemasakan benih. Berdasarkan mutu benih padi dibagi dua antara lain benih bersertifikasi (yang dibeli) yaitu sistem perbenihan yang mendapatkan pemeriksaan lapangan dan pengujian laboratoris dari instansi yang berwenang memenuhi standar yang telah ditentukan dan benih tak bersertifikasi (bibit yang dibuat sendiri) yaitu bibit yang dikelola petani yang biasanya petani menyisihkan hasil panen yang lalu untuk bibit tanaman berikutnya. Kalau tidak petani membeli gabah dari petani yang lain untuk bibit. Bibit yang dibuat petani kurang berkualitas dan kadang hasil produksinya kurang standar (jika dilihat dari luas lahan).
- Pestisida
Semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk
memberantas atau mencegah penyakit pada tanaman dan hasil pertanian
(Hakim, 2014).
- Air
Air merupakan faktor lain yang juga penting dalam usaha peningkatan produksi. Air dapat berasal dari air hujan atau irigasi (pengairan yang diatur oleh manusia). Bila masalah irigasi ini dapat diatasi dengan baik, misalnya dengan pembuatan waduk beserta saluran-salurannya maka ada kemungkinan frekuensi penanaman dapat ditingkatkan, yang semula hanya dapat ditanami sekali setahun, akhirnya dapat ditanami dua atau bahkan tiga kali dalam setahun. Dengan kemajuan teknologi, masalah air pada lahan-lahan pasang-surut, rawa, serta lahan tadah hujan dapat diatasi. Dengan jaringan irigasi yang sesuai, tanah rawa yang semula hanya dapat ditanami pada musim kemarau kini dapat ditanami sepanjang tahun. Ini akan memperluas area persawahan secara keseluruhan yang dapat meningkatkan produksi pangan dan menyukseskan pembangunan pertanian. Usaha ini memerlukan biaya, waktu, tenaga dan keterampilan yang tinggi
(Hanafie, 2010).
Ketersediaan air irigasi untuk pengairan pada usahatani padi sawah akan mempengaruhi penggunaan masukan-masukan produksi, seperti penggunaan benih, pupuk, obat-obat kimia pengendali hama, penyakit dan gulma, tenaga kerja dan biaya usahatani lainnya. Secara agronomis benih padi varietas unggul sangat responsif terhadap pemupukan, dengan syarat apabila tersedia air yang cukup. Hal
ini berarti, tersedianya air irigasi yang cukup akan mampu meningkatkan produktivitas padi (Puspito, 2011).
Ketersediaan air sangat berpangaruh dalam biaya operasional pengairan. Lahan sawah dimana air irigasi dapat diperoleh dari jaringan irigasi, seperti di bagian hulu jaringan irigasi, petani cukup membayar iuran irigasi sedangkan jika air irigasi sulit atau tidak dapat diperoleh dari jaringan irigasi maka petani harus menggunakan pompa air untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan iuran irigasi (Puspito, 2011).
- Tenaga Kerja
Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, ketrampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari
kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP (Hermanto, 1989).
Biaya Produksi dalam Usahatani
Biaya produksi dapatlah didefinisikan sebagai semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi perusahaan tersebut (Sukirno, 2013).
Menurut Sukirno (2013), biaya produksi di bagi 2 yaitu :
- Biaya tetap dan biaya variabel
Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang tidak dapat diubah jumlahnya. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang dapat diubah jumlahnya.
- Biaya rata-rata dan biaya marginal
Biaya produksi rata-rata meliputi biaya produksi total rata-rata, biaya produksi tetap rata-rata, dan biaya produksi berupa rata-rata. Biaya rata-rata dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :
AC = TC Q Dimana : AC : Biaya rata-rata TC : Total biaya Q : Jumlah output
Sedangkan biaya produksi marginal yaitu tambahan biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk menambah satu unit produksi. Biaya marginal dapat ditulis dengan rumus sebagai berikut :
MC = ∆TC
∆Q Dimana :
MC : Biaya marginal
∆TC : Perubahan total biaya
Penerimaan
Penerimaan adalah semua penerimaan produsen dari hasil penjualan barang atau outputnya. Penerimaan dalam rumus dapat ditulis sebagai berikut :
TR = P.Q Dimana :
TR = Total Penerimaan petani padi sawah (Revenue) (Rp)
P = Harga beras di pasar lokal (Price) (Rp/Kg) Q = Jumlah beras yang dihasilkan (Quantity) (Kg)
Pendapatan
Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya usahatani. Pendapatan dapat ditulis dalam rumus sebagai berikut :
= TR – TC
Dimana :
= pendapatan/keuntungan petani padi sawah (RP)
TR = Total Penerimaan petani padi sawah (Revenue) (Rp)
TC = Total biaya usahatani padi sawah (Rp)
2.3.2 Konsep Daya Saing
Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah. Sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh harga laba yang mencukupi sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992).
Keunggulan daya saing suatu negara mencakup tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara-negara yang mempengaruhi daya saing ditingkat internasional. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan
(Porter, 1998).
Keunggulan Kompetitif
Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Michael E. Porter pada tahun 1980, bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain didalam perdagangan internasional secara spresifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu subsektor tertentu di suatu negara, dengan meningkatkan
produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada
(Waar, 1994 dalam Suryana, 1995).
Menurut Porter (1990) dalam Halwani (2002), suatu negara secara nasional dapat meraih keunggulan kompetitif apabila memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau prasarana 2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri
tertentu
4. Strategi perusahaan itu sendiri dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan
Selain keempat faktor penentu dalam tingkat persaingan internasional (international competitiveness) tersebut, keunggulan kompetitif nasional juga dipengaruhi oleh faktor kebetulan (penemuan baru, melonjaknya harga, perubahan kurs dan konflik keamanan antar negara) dan tindakan-tindakan atau kebijakan pemerintah. Dimana semakin tinggi tingkat persaingan perusahaan di suatu negara maka semakin tinggi tingkat daya saing internasionalnya. Semakin kaya atau banyak sumber daya alam sebuah negara, semakin besar permintaan domestik serta semakin banyak industri pendukung atau pelengkap di suatu negara, maka semakin kuat daya saing negara tersebut di tingkat internasional (Porter, 1990).
Konsep keunggulan kompetitif yang ditawarkan dapat diciptakan, antara lain melalui akumulasi pekerja berketerampilan dan industri tertentu yang bernilai tambah tinggi. Karena itu pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi menjadi faktor utama dalam menerapkan konsep keunggulan kompetitif
(Halwani, 2002).
Keuggulan Komparatif
Konsep daya saing berpijak dari konsep keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh Ricardo sekitar abad ke-18 (1823) yang selanjutnya dikenal
dengan model Ricardian Ricardo atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law
of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara
kurang efisien dibandingkan (memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi ke-dua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar untuk
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
Analisis keunggulan komparatif adalah analisis ekonomi (sosial). Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif berarti pula efisien secara ekonomi, dimana
perhitungan dengan nilai ekonomi selalu memakai harga bayangan (shodow price)
yang menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya dari unsur biaya atau hasil. Salah
satu alat ukur keunggulan komparatif / komoditas adalah Domestic Recource Cost
(DCR) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) merupakan ukuran biaya alternatif sosial (Social Opportunity Cost) dari penerimaan satu unit marginal devisa bersih suatu aktivitas ekonomi dimana pengukurannya dilakukan didalam bentuk input domestik langsung dan tidak langsung digunakan. Rumusan BSD merupakan penurunan dari Keuntungan Sosial Bersih (KSB). KSB yaitu keuntungan bersih dari suatu aktivitas dinilai berdasarkan harga bayangannya sehingga efek distorsi pasar dan eksternalitas lainnya dapat diminimumkan pengaruhnya. Dalam hal ini seluruh output dan input dinilai berdasarkan harga bayangannya (Rustam 2009).
Keunggulan komparatif suatu negara akan bergeser apabila jumlah, macam dan kualitas sumber daya ekonominya berubah. Keunggulan komparatif juga dapat berubah sebagai akibat “kebijaksanaan pemerintah” dan juga dapat berubah jika
keunggulan komparatif suatu negara bergeser atau berubah sesuai dengan
tahapan-tahapan pembangunan negara tersebut (Halwani, 2002).
Daya Saing Usahatani Padi
Keunggulan komparatif akan dapat dicapai suatu produk dari komoditas yang sama mampu dihasilkan dengan nilai input yang lebih rendah, sedangkan keunggulan kompetitif terjadi manakala dalam suatu luasan lahan yang sama mampu dihasilkan produk yang menghasilkan pendapatan relatif tinggi, yang perlu dipertimbangkan disini fokusnya tidak hanya pada aspek produktifitas saja melainkan juga aspek kualitas, agar nilai jualnya relatif tinggi. Faktor harga input dan harga output menjadi kunci dalam keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif ini (Hendayana, 2003).
Pada hakekatnya, keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor teknis, ekonomis dan sosial- kelembagaan. Beberapa faktor teknis yang mempengaruhi diantaranya : (a) iklim, yang sangat mempengaruhi ketersediaan dan akses petani ke sumberdaya air, (b) infrastruktur irigasi, yang mempengaruhi ketersediaan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya air, (c) aksesibilitas lokasi terhadap sarana dan prasarana ekonomi, dan (d) tingkat adopsi teknologi, seperti penggunaan pupuk berimbang, pestisida dan benih berlabel, yang akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas hasil. Beberapa Faktor ekonomi yang sangat berpengaruh adalah harga input dan output, nilai tukar rupiah, tingkat upah dan tingkat suku bunga, di mana faktor- faktor tersebut sangat terkait dengan mekanisme pasar input, tenaga kerja dan
Tingkat daya saing usahatani padi sangat sensitif terhadap penurunan produktivitas, tingkat harga di pasar dunia, dan perubahan nilai tukar rupiah. Ketiga faktor ini merupakan kendala yang sulit ditangani dalam mempertahankan keunggulan komparatif usahatani padi. Langkah strategis yang perlu dilakukan adalah perbaikan efisiensi usahatani melalui: (a) penerapan teknologi spesifik lokasi, (b) rasionalisasi penggunaan sarana produksi, (c) perbaikan kelembagaan
pasar input dan output, dan (d) perbaikan manajemen usahatani
(Rachman, 2001).
Untuk komoditas padi, meskipun hingga saat ini tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namun keunggulan yang dimiliki semakin rendah dan rentan terhadap perubahan eksternal. Sebagai ilustrasi nilai koefisien DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio) untuk komoditas padi pada berbagai tipe irigasi dibeberapa wilayah memberikan gambaran bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif padi atau beras relatif rendah, keunggulan komparatif tersebut masih dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif karena masih adanya proteksi pemerintah baik berupa subsidi input maupun melalui kebijakan tarif impor beras (Daryanto, 20009; Rachman, dkk., 2004 dalam Susilowati, dkk., 2010).
2.3.3 Kebijakan Pemerintah Definisi Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah adalah pemilihan sebuah alternatif terbaik dari sekian banyak alternatif yang bersaing satu sama lain untuk mendominasi yang lainnya,
kegiatan ini berlangsung terus menerus. Hal ini sangat penting untuk mengatasi
keadaan pemerintah, pembangunan dan kemasyrakatan (Gunawan, 2011).
Menurut Bakti (2011), sesuai dengan sistem administrasi Negara Republik
Indonesia kebijakan dapat terbagi 2 (dua) yaitu :
- Kebijakan internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri.
- Kebijakan eksternal (publik), suatu kebijakan yang mengikat masyarakat
umum. Sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis
Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh PemerintahDaerah akan melahirkan Surat Keputusan (SK), Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain (Bakti, 2011).
Konsep Kebijakan Pemerintah
Menurut Pearson, dkk (2005), terdapat empat komponen utama kerangka
kebijakan (Policy Framework) yaitu pertama tujuan (objectives), tujuan yang diharapkan bisa dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Kedua kendala (constrains), suatu kedaan (ekonomi) yang - membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Ketiga kebijakan (policies), sebuah kebijakan yang efektif akan mengubah perilaku produsen, pedagang dan
konsumen dan menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Keempat
strategi (strategies), seperangkat instrument kebijakan yang yang digunakan oleh
dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Keempat kerangka kebijakan tersebut disajikan pada Gambar 1. di bawah ini.
Tujuan Kebijakan Pemerintah
Tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam tiga tujuan utama yaitu, efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuatan kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui dirtribusi pendapatan yang lebiha baik atau lebih merata. Namun, karena kebijakan merupakan aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijkanlah (secara tidak langsung juga pemilih (voters) dalam sebuah system demokrasi) yang menentukan definisi pemerataan itu. Ketahanan akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen maupun konsumen
meminimumkan biaya penyesuaian (adjustment costs) (Pearson, dkk., 2005).
Strategi Kebijakan Tujuan Kendala Terdiri atas Evaluasi Dilaksanakan Melalui Mendukung atau menghambat
Gambar 1. Grafik Alur Kerangka Kerja (Framework) Kebijakan
Konsep Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanian
Pemerintah perlu campur tangan untuk mempengaruhi keputusan produsen, konsumen dan para pelaku pemasaran agar terlaksana pembangunan pertanian sesuai dengan yang direncanakan. Campur tangan pemerintah inilah yang kemudian disebut sebagai “politik pertanian” (agriculture policy) atau “kebijakan pertanian” (Hanafie, 2010).
Kebijaksanaan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi produksi naik, tingkat hidup petani lebih tinggi dan kesejahteraan menjadi lebih merata (Hanafie, 2010).
Tujuan umum politik pertanian di Indonesia meliputi peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian, peningkatan produksi pertanian dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan petani serta pemerataan tingkat pendapatan. Ruang lingkup politik pertanian meliputi kebijakan produksi (production policy), kebijakan subsidi (subsidy policy), kebijakan investasi (investment policy), kebijakan harga (price policy), kebijakan pemasaran (marketing policy) dan kebijakan konsumsi (consumption policy) (Hanafie, 2010).
Kebijakan Pertanian di Sektor Pangan
Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan sangat diperlukan, khususnya
kebijakan dalam ketersediaan beras. Menurut Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (2006), beras merupakan tumpuan utama ketahanan pangan nasional yang sebagian besar (>90%) dipasok dari lahan sawah di 18
provinsi penghasil utama padi. Setelah tahun 1984, Indonesia kembali berswasembada beras pada tahun 2004 dan diharapkan dapat terus dipertahankan. Meskipun demikian, produksi padi nasional berfluktuasi akibat berbagai hal, terutama anomali iklim, gangguan hama penyakit, inovasi teknologi, ketersediaan sarana produksi.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2006), salah satu
sarana produksi yang sangat vital peranannya dalam mendukung upaya peningkatan produksi padi nasional adalah pupuk, terutama N, P dan K. Varietas unggul (modern) yang kini mendominasi areal pertanaman padi nasional umumnya responsif terhadap ketiga pupuk makro tersebut. Namun efisiensi dan efektivitasnya tergantung pada lokasi setempat. Hingga saat ini rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah masih bersifat umum, sehingga pemupukan belum rasional dan efisien. Sebagian petani menggunakan pupuk dengan takaran yang berlebihan, dan sebagian lainnya dengan takaran yang lebih redah sehigga produksi padi tidak optimal.
Permasalahan pangan di Indonesia muncul karena adanya ciri-ciri di bidang produksi dan konsumsi. Ciri produksi pangan Indonesia antara lain adanya ketimpangan antara tempat yang berkaitan dengan kerumitan dalam pemasaran dan distribusinya. Selain produksi pangan tidak merata menurut tempat, juga tidak merata menurut waktu, yang pada akhirnya akan menimbulkan kendala tambahan dalam struktur distribusi, serta secara langsung akan berpengaruh terhadap harga yang akan diterima petani dan yang harus dibayarkan oleh konsumen. Produksi pertanian, khususnya produksi padi-padian setiap tahun selalu berfluktuasi,
dipengaruhi oleh kondisi cuaca, serangan hama dan penyakit, banjir, bencana alam, dan lain-lain. Produksi berada di tangan jutaan petani kecil yang tersebar tidak merata dan umumnya mereka hanya mengusahakan lahan relative sempit yaitu kurang dari 0,5 Ha, sehingga menyulitkan dalam pengumpulan untuk didistribusikan ke daerah lain yang membutuhkan (Hanafie, 2010).
Sementara itu, konsumsi pangan di Indonesia mempunyai ciri-ciri yaitu adanya perbedaan dalam pola konsumsi antar tempat. Secara umum pola konsumsi pangan di Indonesia digolongkan menjadi 2, yaitu daerah yang masyarakatnya merupakan konsumen beras utama atau mengarah ke beras dan daerah yang masyarakatnya disamping mengkonsumsi beras juga mengkonsumsi bahan bukan beras sebagai bahan pokoknya. Tingkat konsumsi yang berbeda antar tempat lebih mempersulit keadaan dalam alokasi dan distribusi pangan. Konsumsi pangan