BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Analisis Faktor
2.3.4 Langkah-langkah Analisis Faktor
Menurut Supranto (2004), langkah-langkah yang diperlukan dalam analis
a. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah faktor analisis dan mengidentifikasi/mengenali
variabel-variabel asli yang akan dianalisis faktor.
Merumuskan masalah meliputi beberapa hal :
(1). Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi.
(2). Variabel yang akan dipergunakn di dalam analisis faktor harus
dispesifikasi berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan
dari peneliti.
(3). Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau ratio.
(4). Banyaknya elemen sampel (n) harus cukup/ memadai sebagai petunjuk
kasar, kalau k sebagai banyaknya jenis variabel (atribut) maka n=4 atau 5
kali k. Artinya kalau variabel 5, banyaknya responden minimal 20 atau
25 orang sebagai sampel acak.
b. Membentuk Matriks Korelasi
Proses analisis di dasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel
pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar
analisis faktor bisa tepat dipergunakan, varaiabel-variabel yang akan dianalisis
harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar-variabel terlalu kecil,
hubungan lemah, analisis faktor tidak tepat.
Prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi-asumsi
(1) Besar korelasi atau korelasi independen variabel yang cukup kuat,
misalnya > 0,5 atau bila dilihat tingkat signifikansinya adalah < dari 0,5.
(2) Besar korelasi partial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap
variabel dengan mengganggap variabel lain adalah tetap (konstan) harus
kecil. Pada SPSS deteksi korelasi parsial diberikan pada Anti Image
Correlation.
Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Barlett’s
Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis
nol harus ditolak (berarti ada korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel).
Kalau hipotesis nol terima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.
Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur
kecukupan sampling (sampling adequancy). Indeks ini membandingkan besarnya
koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO
yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh
variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.
(1). Harga KMO sebesar 0,9 adalah sangat memuaskan
(2). Harga KMO sebesar 0,8 adalah memuaskan
(3). Harga KMO sebesar 0,7 adalah harga menengah
(4). Harga KMO sebesar 0,6 adalah cukup
(5). Harga KMO sebesar 0,5 adalah kurang memuaskan
Measure of Sampling Adequacy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh matriks korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada
analisis faktor. Nilai MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk
membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya (Wibisono,
2003). Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis
lebih lanjut (Wibowo, 2006).
(1) MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel
lain.
(2) MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih
lanjut.
(3) MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih
lanjut.
c. Menentukan Metode Analisis Faktor
Segera setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan tekhnik
yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian
ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara
metode yang bisa digunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk
menghitung timbangan atau koefisien skor faktor, yaitu principal components
analysis dan common factor analysis.
Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam data
dipertimbangkan. principal component analysis direkomendasikan kalau hal
memperhitungkan faktor maksimum tersebut dinamakan principal
components.
Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi didasarkan pada
common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi. Metode ini dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/
mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan common variance yang
menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring
(Supranto,2004).
Communalities ialah jumlah varian yang sumbangkan oleh suatu variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut
proporsi atau bagian varian yang dijelaskan common factor , atau besarnya
sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar
communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan faktor yang dibentuknya.
Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing
faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).
d. Rotasi Faktor-Faktor
Suatu hasil atau out put yang penting dari analisis faktor ialah apa
yang disebut matriks faktor pola (faktor pattern matrix). Matriks faktor berisi
dinyatakan dalam faktor. Koefisien ini disebut muatan faktor, mewakili
korelasi antar-variabel dan faktor.
Di dalam melakukan rotasi faktor, kita menginginkan agar setiap
faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signif ikan
untuk beberapa variabel saja. Guna rotasi ini adalah untuk mengontrol/
memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan
dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap
variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa
saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi beberapa faktor
mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk
membuat interpretasi tentang seluruh varian (dari seluruh variabel asli)
mengalami perubahan.
e. Interpretasi Faktor
Interpretasi faktor dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang
muatannya besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa
diinterpretasikan, dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi
padanya. Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti
berkorelasi dengan kedua faktor tersebut.
f. Menghitung Skor dan Nilai Faktor
Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu
variabel oleh masing masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu
faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan. Sebenarnya analisis
faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor atau nlai faktor, sebab
tanpa menghitungpun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi
variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel
aslinya.
g. Memilih Surrogate Variabels
Surrogate variabel adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih untuk digunakan di dalam analisis selanjutnya.
h. Proses Analisis Faktor
Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut
Supranto (2004) dan Santoso (2010) :
(1). Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor.
(2). Menguji variabel yang ditentukan, menggunakan metode Barlett Test of
Sphericity Sera pengukuran MSA (Measure Sampling Adequacy).
(3). Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel
tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor.
(4). Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan
perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan
mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara
(5). Kemudian interpretasikan hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut
mewakili variabel yang mana saja), dan memberi nama atas faktor yang
terbentuk.
(6). Validasi atas hasil faktor untuk mengetahui apakah faktor yang terbentuk
telah valid. Validitas dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti :
a. Membagi sampel awal menjadi dua bagian kemudian membandingkan hasil
faktor sampel satu dengan sampel dua. Jika hasil tidak banyak perbedaan,
bisa dikatakan faktor yang terbentuk telah valid.
b. Dengan melakukan metode Comfirmatory Faktor Analysis (CFA) dengan
cara Structural Equation Modelling (SEM). Proses ini bisa dibantu dengan
Software khusus, seperti Lisrel atau Amos.