• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

5. Langkah Pencegahan

No Item Pengetahuan

Benar Salah Tidak Pasti (n) (%) (n) (%) (n) (%)

1. Mengetahui HIV/AIDS bisa

dicegah

70 87,5 5 6,25 5 6,25

2. Mengetahui kondom

merupakan salah satu cara pencegahan IMS

25 31,25 27 33,75 28 35

3. Mengetahui faktor kebersihan

(higen) turut mempengaruhi IMS

Tabel 5.8 6. Komplikasi

No Item Pengetahuan

Benar Salah Tidak Pasti (n) (%) (n) (%) (n) (%)

1. Mengetahui IMS bisa

menyebabkan kemandulan

30 37,5 8 10 42 52,5

2. Mengetahui salah satu

komplikasi IMS ialah kanker serviks

36 45 6 7,5 38 47,5

Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa pengetahuan para remaja yang paling baik adalah mengenai HIV/AIDS dapat dicegah yaitu sebanyak 70 orang (87,5%), sedangkan pengetahuan para remaja yang paling kurang, berdasarkan tabel 5.5 ialah mengenai resiko laki-laki untuk mendapat infeksi Trikomonas hanya seramai 17 orang (21,25%) yang bisa menjawab dengan betul.

Tingkat Pengetahuan Remaja Berusia 17 Tahun Terhadap Infeksi Menular Seksual di Sekolah Menengah Kebangsaan Pendamaran Jaya, Klang, Selangor,

Malaysia

Gambar 5.3

Berdasarkan gambar 5.3. dapat diketahui bahwa pengetahuan responden tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah di peringkat sedang dengan jumlah responden sebanyak 60% dan bagian terkecil adalah responden yang berpengetahuan baik yaitu sebanyak 11.25%. Ini bererti mereka yang berpengetahuan baik masih berada di tingkat yang paling rendah.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Hasil Keseluruhan

Hasil yang didapati daripada penelitian ini ialah tingkat pengetahuan remaja sekolah mengenai IMS berada di peringkat sedang. Ini bererti mereka pernah mendapat informasi mengenai IMS tetapi tidak dengan mendalam. Suatu penelitian yang dilakukan di Pulau Pinang, Malaysia juga menunjukkan tingkat pengetahuan

remaja di situ masih di peringkat sedangdengan hanya 10,6% yang menyatakan tidak

pernah dengar tentang IMS (M. Anwar et al,2010). Berlainan pula hasil daripada penelitian di Vietnam, di mana hasil yang diperolehi masih di peringkat kurang baik di mana sebanyak 78% responden menyatakan bahwa tidak pernah dengar mengenai IMS. Ini kemungkinan dipengaruhi oleh aspek sosioekonomi yang rendah di Vietnam

yang dapat menyekat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pham Thi Lan

et al, 2009).

5.2.2. Kepentingan Pengetahuan Mengenai IMS

Sekitar dua dekad ini, perilaku seksual yang ditonjolkan di kalangan remaja sekolah dan belia berusia di antara 19-24 tahun telah menunjukkan suatu perkembangan yang serius. Di antara isu-isu serius yang sering timbul ialah hubungan seks yang tidak sehat, hubungan seks atas dasar paksaan, remaja hamil, gangguan seksual dan juga peningkatan kasus yang berhubungan dengan Pekerja

Seks Komersil (PSK) (K. D. Mwambete dan Z. Mtaturu, 2006). Ini bererti golongan

remaja dan awal belia beresiko untuk mendapat IMS. Selain itu, suatu penelitian yang dilakukan di Malaysia menunjukkan bahwa kebanyakkan remaja mengetahui tentang istilah IMS, HIV atau AIDS tetapi mereka gagal untuk memberikan penjelasan yang lebih mengenainya (Ng dan Kamal, 2006). Itulah yang membimbangkan kerana mereka telah terdedah dengan seks tetapi tidak tahu kesan buruk yang bakal berlaku di masa akan datang.

Selain itu, komplikasi IMS amat membahayakan. Antaranya bisa menyebabkan kemandulan, kanker serviks dan kematian. Kata pepatah ‘Mencegah itu

lebih baik daripada mengobati’. Oleh itu, pengetahuan yang tepat bukan sahaja dapat mengubah sikap dan perilaku tetapi juga dapat membentuk suatu motivasi di dalam

diri seseorang untuk mengubah perilaku yang buruk (M. Anwaret al, 2010).

Walaupun begitu, kebanyakkan remaja sekolah mengakui kurangnya pengetahuan dan menyatakan keperluan untuk edukasi seksual yang lebih formal termasuklah mengenai IMS sama ada di sekolah mahupun di rumah (A. Trajman et al, 2003).

5.2.3. Program Mengenai IMS Tidak Menyeluruh

Berdasarkan hasil penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa para remaja lebih mengetahui mengenai HIV/AIDS termasuklah langkah pencegahan dan pengobatan tetapi sebaliknya untuk tipe IMS yang lain. Ini menunjukkan program IEC (Information, Education and Communication) lebih memfokuskan terhadap AIDS tetapi sedikit atau langsung tidak ada penekanan terhadap tipe IMS yang lain. Hakikatnya, di Malaysia, HIV/AIDS lebih kerap dipaparkan di media dan lebih sering

menjadi topik perbincangan di sekolah berbanding tipe IMS yang lain (M. Anwaret

al, 2010).

Isu ini juga terjadi di Ghana di mana suatu penelitian telah dilakukan di sana dan didapati bahwa terdapat pemahaman yang salah mengenai tipe IMS yang lain selain HIV/AIDS. Antaranya ialah Gonorrhea bisa terinfeksi dengan berenang di sungai dan Sifilis bisa diobati dengan mencampurkan nira kelapa dan antibiotika (A. Sallar, 2000). Di Australia juga begitu di mana HIV merupakan tipe IMS yang paling diketahui berbanding tipe IMS yang lain di kalangan remaja (Kazhila C. Chinsembu, 2009).

5.2.4. Stigma Negatif Terhadap Isu IMS dan Seks

IMS sering kali dikaitkan dengan perilaku golongan masyarakat yang negatif seperti Pekerja Seks Komersil (PSK), narkoba dan seks bebas. Stigma ini menyebabkan sukarnya langkah-langkah pencegahan untuk dilakukan seperti ujian

HIV secara volunter dan keterbukaan masyarakat untuk membicarakan mengenainya (Kementerian Kesehatan Malaysia, 2004). Dalam erti kata lain, masyarakat cuba menafikan bahwa IMS bisa mengenai siapa sahaja. Selain itu, isu IMS dan seks masih dianggap tabo di Malaysia dan disebabkan sensitivitas ini golongan remaja seringkali menerima edukasi dan bimbingan yang kurang tepat tentang kesehatan reproduksi (Lee L K et al, 2006).

Suatu penelitian di Afrika menunjukkan bahwa memang ramai yang pernah terdengar mengenai IMS tetapi bukan daripada ibubapa atau saudara-mara terdekat. Ini terjadi disebabkan wujudnya ruang di antara ibubapa dan anak-anak apabila membicarakan mengenai hubungan seksual. Kebanyakkan mereka mencari tahu sendiri melalui pembacaan dari buku dan majalah serta melalui filem. Tambahan pula informasi yang tersedia di media massa dan media cetak mempunyai keterbatasan dari aspek agama dan budaya (Kennedy D. Mwambete dan Zephania Mtaturu, 2006). Ini menunjukkan ketersediaan maklumat yang tepat mengenai IMS masih belum optimum.

5.2.5. Pendidikan Seks di Sekolah

Di Amerika Serikat, pendidikan seks telah diperkenalkan sejak tahun 1980’an dan telah bermula sejak di peringkat pra-sekolah. Ini bererti remaja di sana telah diperkenalkan mengenai sodomi, homoseksual, biseksual dan masturbasi seawal usia sebelum persekolahan. Berdasarkan laporan koran Science Daily yang menyatakan tentang hasil penelitian efek pendidikan seksual di US menunjukkan bahwa sebanyak 71% remaja laki-laki dan 59% remaja perempuan tidak melakukan hubungan seks sehingga usia 15 tahun. Penelitian ini dilakukan pada remaja yang berusia 15 sehingga 19 tahun. Ini menunjukkan keberkesanan pendidikan seksual di negara tersebut (Mueller TE, Gavin LE, Kulkarni A, 2008).

Di Malaysia pula, baru-baru ini, laporan koran New Straits Times menyatakan bahwa Menteri Pendidikan Malaysia, Datuk Dr. Wee Ka Siong, telah mengumumkan pelaksanaan pendidikan seks di sekolah akan bermula pada sesi persekolahan tahun

hadapan yang akan diterapkan dalam pendidikan sekolah menengah yaitu pelajar sekolah berusia 13-17 tahun (Sean Agustin, 2010). Sebelum ini, isu pendidikan seks di sekolah mendapat pelbagai tantangan. Antaranya ialah apakah yang akan disampaikan, batas materi, di mana dilakukan, dan siapa yang akan menyampaikan. Kebanyakkan orang masih beranggapan bahwa pendidikan seksual di kalangan remaja hanya akan meningkatkan keinginan mereka untuk melakukan hubungan seks di usia dini. Namun, hakikatnya edukasi seksual ini mampu membina pertahanan dalam diri remaja daripada terjebak dan memberikan ilmu pengetahuan mengenai perilaku seksual yang baik. Tambahan pula sekolah merupakan lokasi yang paling ideal untuk pendidikan kemahiran sosial, seksual dan kesehatan reproduktif kerana pelajar sekolah terdiri daripada golongan remaja. Oleh yang demikian, pendidikan seksual di sekolah perlulah dipertimbangkan (Lee L K et al, 2006).

5.2.6. Kendala

Terdapat beberapa kendala yang terjadi sepanjang penelitian ini dilakukan antaranya ialah :

1) Penukaran teknik sampling yaitu dari simple random sampling menjadi consecutive sampling. Ini disebabkan pihak sekolah tidak mahu proses pembelajaran dan pengajaran menjadi terganggu. Tehnik simple random memerlukan peneliti untuk menggumpulkan semua sample dari kelas yang berbeda pada satu masa yang sama. Ini sukar dilaksanakan kerana jadual pembelajaran mereka tidak sama. Pihak sekolah hanya membenarkan peneliti untuk menggunakan waktu mata pelajaran Sivik untuk melakukan penelitian. Jadi, peneliti telah melakukan pengambilan data sebanyak 3 kali yaitu dengan menggunakan waktu mata pelajaran Sivik di 3 kelas yang berbeda. 2) Pemilihan 3 kelas daripada 11 kelas. Pemelihan ini dilakukan berdasarkan prestasi penilaian akedemik yaitu kelas terbaik, sedang dan paling kurang dengan harapan ia cukup untuk mewakili populasi.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait