• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Letak Geografis Dusun Wonokerto Desa Wonokerto

Dusun Wonokerto Desa Wonokerto merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang ± 15 km arah utara dari Kota Salatiga.

Adapun desa-desa yang berbatasan dengan Desa Wonokerto sebagai berikut.

1. Sebelah utara berbatasan dengan Dusun Pelem Desa Wiru Kec. Bringin. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Hutan.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Boto.

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sendang Kecamatan Bringin. Luas Desa Wonokerto ± 1237 ha yang terdiri dari tanah sawah, tanah pekarangan, tanah pemukiman, jalan serta sungai. Dilihat dari kondisi geografis, Desa Wonokerto merupakan desa yang berada pada ketinggian ± 224 meter dari permukaan laut, sehingga desa ini termasuk dataran sedang.

Berdasarkan data di Kantor Kepala Desa Wonokerto pada bulan April 2012, Desa Wonokerto terdiri dari 5 dusun yaitu Dusun Wonokerto, Dusun Santren, Dusun Galeh, Dusun Jetis, dan Dusun Jumbleng.

33

Menurut Data monografi bulan April 2012, penduduk Desa Wonokerto terdiri dari 880 Kepala Keluarga dengan jumlah 3190 jiwa, dikelompokkan berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 0-1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun 60 tahun ke atas 69 74 179 132 264 157 116 264 121 134 30 65 158 175 237 190 232 118 110 127 160 70 134 232 354 369 454 389 234 374 248 294 108 Jumlah 1548 1642 3190

Sumber: Kepala Desa Wonokerto

Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Wonokerto adalah sebagai berikut:

34 Tabel 3.2 Data Pemeluk Agama

No Agama Jumlah Prosentase

1 2 3 4 5 Islam Kristen Katholik Budha Hindu 3190 - - - - 100% - - - - Sumber: Kepala Desa Wonokerto

Taraf pendidikan dan mata pencaharian warga Desa Wonokerto

Walaupun letaknya cukup jauh dari ibu kota kabupaten dan berdekatan dengan kota Salatiga, namun masyarakat Desa Wonokerto memiliki motivasi untuk memperoleh pendidikan sangat besar, hal ini terbukti bahwa masyarakat Desa Wonokerto telah dinyatakan Bebas dari Tiga Buta sejak 1990. Hal ini berarti bahwa para orang tua memiliki kemauan yang tinggi untuk memasukkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi walaupun harus ke luar kota.

Menurut tingkat pendidikan yang ditempuh oleh penduduk Desa Wonokerto dapat digambarkan sebagai berikut.

35 Tabel 3.3.

Pendidikan Masyarakat Desa Wonokerto

No Jenis Pendidikan Jumlah

1 2 3 4 5 6 7

Tamat Perguruan Tinggi Tamat SMA Tamat SMP Tamat SD Belum Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak Sekolah 80 654 780 502 584 319 271 Sumber: Kepala Desa Wonokerto

Adapun Sarana Pendidikan yang Ada di Desa Wonokerto. Tabel 3.4.

Sarana Pendidikan

No Jenis Sarana Jumlah Jumlah Murid

1 2 3 4 PAUD Taman Kanak-Kanak Sekolah Dasar/MI SMP 1 3 3 - 32 78 270 - Sumber: Kepala Desa Wonokerto

Perekonomian masyarakat Desa Wonokerto dapat digolongkan maju, terbukti sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, pegawai negeri, pedagang, buruh dan pengemudi.

36

Melihat dari letak geografis Desa Wonokerto masih jauh dari pusat kota dan mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar petani, maka pola pikir masyarakat Desa Wonokerto masih dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan Jawa yang sudah turun temurun, antara lain mereka masih melaksanakan budaya wiwit dan tingkeban yang dilaksanakan secara rutin tiap akan menanam padi dan saat padi akan mulai berisi.

B. Upacara Wiwit dan Tingkeban di Dusun Wonokerto Desa Wonokerto Upacara wiwit dan tingkeban, dalam pengertian sebagai sebuah upacara yang mempunyai makna rasa syukur atas panen yang diberikan dan bagaimana masa tanam yang akan datang diberi keselamatan dengan berjalan waktu memberikan dampak terjadinya akulturasi dari masa Hindu Budha dan beralih ke Islam, dimana bentuk ritual semacam wiwit dan tingkeban, tetap namun maknanya sebagai ucapan rasa syukur itu kepada Allah SWT. Ini merupakan perpaduan alam dan Hindu Jawa.

Kebiasaan yang dilaksanakan masyarakat terutama berkaitan dengan ritual semacam itu memang berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang masih dilaksanakan mengingat saat pengaruh Islam masuk ke wilayah Jawa Tengah, khususnya ke Desa Wonokerto, tidak semua adat kebiasaan yang ada dihilangkan, namun memakai filosofinya Sunan Kalijaga dan Walisongo yang lain dengan tetap melestarikan budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang didalamnya dilakukan dengan cara-cara yang bersifat islami.

37

Seiring dengan banyaknya warga Desa Wonokerto yang menempuh pendidikan di pondok pesantren, tradisi wiwit dan tingkeban yang dahulunya rutin dilaksanakan, bagi sebagian masyarakat sudah tidak dilakukan lagi. Selain karena factor pertimbangan masalah biaya, juga ada factor kalau hal tersebut dilakukan kurang sesuai dengan ajaran Islam. Namun demikian, masyarakat Desa Wonokerto yang merupakan nahdliyin atau warga Nahdlatul „Ulama, masih ada yang melaksanakan tradisi wiwit

dan tingkeban sampai dengan sekarang.

Desa Wonokerto era modernisasi dalam dunia petani baik segi penanaman, pengolahan dan pemanenan serba praktis cepat dan tidak memerlukan banyak tenaga. Seperti adanya mesin-mesin pertanian untuk lebih mempermudah seperti traktor yang bertenaga, penggilingan padi mencetak beras dan bertenaga masih dengan kelebihan mempermudah dan mempercepat pekerjaan. Tidak banyak memakai orang dalam pekerja ini. Dalam modernisasi pendidikan sangat dibutuhkan dalam masyarakat dan pendidikan ini petani didesa Wonokerto memanfaatkan alat-alat tani yang bertenaga mesin, yang sebelum alat-alat bertenaga hewan untuk pengolah tanahnya. Dipasang pada bajak biasa, karena bisa dipakai pada tanah agak lunak dan ringan karena mengandung abu gunung berapi. Sehingga kurang cocok untuk dikerjakan dengan bajak biasa. Hasil wawancara dengan Kepala Desa Wonokerto Bapak Muh Zuhdi

“Alat yang dipakai petani waktu derep (panen padi) mulai dari ani

-ani berkembang menjadi sabit didalam panen sendiri banyak nilai-nilai kebersamaan seperti gotong-royong dimana ini ada karena masyarakat agraris dengan berkembangnya dan di era modernisasi nilai-nilai inipun

38

pudar di desa Wonokerto. Dituntut harus lebih efisien mungkin menghemat tenaga yang dipakai dan hasil lebih banyak karena tidak memakan tenaga. Bibit unggul pun dipakai petani dimana petani bisa panen setahun 2 kali dan

padi yang dihasilkan lebih banyak.”

Petani di Jawa, namun dalam fakta bertani dalam era modern di desa Wonokerto justru ketergantungan pada pupuk kimia. Belum musim yang mulai tidak dapat diperhitungkan. Petani dituntut lebih inovatif mengatasi segala hal dalam masalah yang ada. Pembentukan kelompok tani di desa Wonokerto untuk mengatasi satu masalah kelangkaan pupuk.

Namun dalam era modernisasi gejolak para petani semakin banyak dimana musim hujan dan musim kemarau mulai tidak menentu, bahkan ketika hujan lebat terlalu banyak air melimpah dan adanya angin merusak tanam padi. Belum faktor pupuk, hama dan factor paling krusial adalah harga pasar yang mendukung. Petani semakin terhimpit dimana tanah yang subur belum tentu menjadi jaminan petani desa bertahan, makin lama lahan pertanian desa Wonokerto dengan bertambah penduduk yang pesat pembangunan rumah-rumah tinggal semakin banyak. Tekanan petani semakin komplek. Banyak peralihan profesi dimana dia akan kerja diluar kota dimana ketika bekerja menjadi petani sebagai mata pencaharian pokok hanya bisa memenuhi kebutuhan pokok saja. Terjadi urbanisasi desa Wonokerto, salah satu dampak dunia pertanian mengalami tekanan.

Tekanan yang ada diantaranya adalah masalah lapangan pekerjaan yang ada di Desa Wonokerto, yang menyebabkan banyak penduduk yang mengadu nasib dengan meninggalkan pekerjaan sebagai petani dan buruh tani. Masyarakat sebagian urbanisasi ke wilayah perkotaan dengan menjadi

39

buruh bangunan atau transmigrasi ke Pulau Sumatra. Hal tersebut menjadikan tradisi yang secara turun menurun menjadi terputus karena banyak yang meninggalkan Desa Wonokerto.

Dimulai dari banyak tekanan ini dilihat dari makna upacara wiwit dan tingkeban dalam dunia pertanian dimana di era modernisasi ini upacara wiwit dan tingkeban. Di desa Wonokerto dari segi pola bahasa masih tetap menggunakan bahasa Jawa dalam segi makna mulai bergeser dimana dalam kemajuan teknologi ini petani menggunakan mesin yang mulanya dari tenaga hewan dimana masyarakat Wonokerto mengadakan ritual hanya sebagai bentuk upacara yang makna, agar nanti musim tanam sampai panen tidak ada halangan.

Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Wiwit adalah tradisi leluhur keluarga petani, yang dilaksanakan menjelang panen atau di awal musim panen padi. Secara etimologi wiwit artinya memulai, maksudnya memulai

panen. Disebut sebagai „wiwitan‟ karena arti „wiwit‟ adalah „mulai‟, jadi

memulai memotong padi sebelum panen diselenggarakan.Sejatinya wiwit bermakna ungkapan doa dan syukur atas limpahan hasil panen yang telah diberikan oleh Tuhan Sang Rabbi Illahi (SRI). Dari kaca mata yang berbeda, dari sisi sosiologis dalam prosesi wiwit terdapat interaksi sosial. Wiwit merupakan simbol hubungan yang harmonis sebagai wujud interaksi sosial antarapara petani, serta hubungan keselarasan antara petani pemilik lahan dengan alam yang telah menyediakan dan mencukupi kebutuhan petani padi.

40

Hal yang sama juga bisa dilihat dalam konteks orang Jawa memaknai tradisi wiwit sebagai wujud terimakasih dan wujud syukur kepada bumi sebagai sedulur sikep dan Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang telah menumbuhkan padi yang ditanam sebelum panen.

Dewi Sri (Sinansari) sendiri merupakan tokoh dalam kepercayaan umat Hindu / Jawa yang dipercaya memberika kenikmatan berupa tanaman padi / beras, dikenal dengan Dewi Padi. Maka tak heran jika terdapat varietas padi, merk kemasa beras, nama usaha penggilingan padi maupun usaha dagang toko sembako memberi nama dengan “ SRI” atau “Dewi Sri”.

SRI sendiri bisa dimaknai sebagai “Sang Rabbi Illahi”, sehingga niat untuk memanjatkan wujud syukur atas limpahan nikmat panen padi yang sudah di depan mata tetap lurus, hanya untuk Tuhan Yang Maha Esa.

Yang disebut bumi adalah sedulur sikep bagi orang Jawa karena bumi dianggap sebagai saudara manusia yang harus dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan. Dalam tradisi Jawa, konsep meminta kepada sedulur sikep tidak ada atau tidak sopan, kepada sedulur sikep kita harus memberi sekaligus menerima, bukan meminta. Jika hormat kita berkurang kepada bumi, atau kita tidak menjaga kelestarian alam, maka bumi akan memberi balasan dengan situasi yang buruk yang disebut pagebluk, ditandai dengan hasil panen yang buruk, padi tidak berisi (gabug) kekeringan, cuaca tak menentu, dll. Hasil wawancara dengan Bapak Modin Miftahudin

“Tradisi Wiwit merupakan wujud kebudayaan turun temurun leluhur masyarakat Jawa. Wiwit adalah adalah tradisi petani yang diadakan

41

menjelang panen padi saat bulir padi menguning dan siap panen (Jawa : mekatak). Dalam tradisi wiwit dan tingkeban terdapat ubarampe (perlengkapan) yang harus disiapkan (biasa disebut sesaji / sajen). Sesaji atau orang Jawa menyebutnya dengan sajen adalah sarana/ perlengkapan yang ditujukan dalam rangka permohonan kepada Sang Pencipta Yang Maha Pemberi atas dasar kepercayaan kepada “Yang Berkuasa“ di tempat

tersebut atau “Yang Menjaga” dan yang menguasai daerah tersebut”

Sedangkan menurut R.Suwardanijaya (2009), bagi kita sebagai makhluk yang percaya dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebenarnya ada hubungan dan interaksi antara Kula ( Saya, manusia), Alam Donya (Dunia) dan Allah. Hubungan tersebut diwujudkan oleh masyarakat Jawa dengan sarana / perlengkapan berupa sesaji tersebut. Sehingga orang

– orang memperbanyak sesaji sebagai salah satu sarana penghubung kepada Sang Pangeran yang tidak terlihat mata ( ghaib). Dengan kata lain, sesaji bertujuan untuk memohon pertolongan supaya apa yang diharapkan lancar dan berhasil tanpa ada gangguan maupun hambatan.

Sarana / sesaji tersebut pun berbeda – beda tergantung tujuannya untuk apa. Dalam hal wiwit dan tingkeban ini, sesaji / persembahan kepada Yang Maha Kuasa berbeda dengan sesaji dalam gamelan, prosesi pernikahan, dll. Adapun wujud sesaji antara lain berwujud tumpeng, nasi, jenang ( bubur ), jajan pasar, makanan kecil, buah – buahan, bahkan binatang ternak. Sesaji dalam tradisi wiwit dan tingkeban berupa makanan dan lauk pauk serta ubarampe lainnya yang ditujukan kepada Dewi Sri. Prosesi wiwit dan tingkeban biasanya diawali dengan membuat sesaji yang nantinya dibawa ke sawah yang siap panen. Berikut ubarampe/sesaji didominasi oleh makanan antara lain :

42

1. Makanan dalam pelaksanaan wiwit dan tingkeban a. Nasi Gudhangan Bumbu Megono

Nasi dicampur gudhangan bumbu megono (campuran sayur- sayuran yang direbus) yang dibumbui. Sayur- sayurannya terdiri dari kacang panjang, wortel, kubis, bayam, kangkung dan tauge. Sedangkan bumbu megono terdiri dari parutan kelapa muda, cabai, bawang merah, bawang putih, garam, terese ( campuran petai dan rese), dan sedikit gula, serta ikan asin/ gereh/teri. Bumbu – bumbu tersebut dihaluskan, dibungkus daun pisang kemudian dikukus. Setelah matang, bumbu dicampurkan dengan sayur rebus tadi. Gudhang adalah tempat menaruh beraneka barang, sehingga karena banyaknya sayur dan bumbu, maka disebut dengan gudhangan. Ada sebagian nasi yang dibentuk menjadi tumpeng / gunungan. Tumpeng bermakna tumekaning penggayuh, yang artinya keinginan yang ingin diraih. Tumpeng berbentuk kerucut / piramida, dengan puncak seperti gunung. Hal ini bermakna keinginan yang memuncak/tinggi tadi yang harus diraih.

b. Lauknya terdiri dari telur rebus dan gereh ( ikan asin atau teri). Biasanya nasi gudhangan dan lauk ditempatkan pada suatu wadah / bejana yang disebut dengan basi. Kemudian ditutup dengan daun pisang.

c. Sambel Gepeng, merupakan campuran kacang tholo (kacang tanaman lembayung) yang digoreng, kemudian dihaluskan bersama

43

kencur dan sedikit gula jawa. Sambel Gepeng ditempatkan dalam wadah bernama suru (dari daun pisang).

d. Ubarampe lainnya yaitu dedak ( bubuk kulit padi sisa hasil penggilingan padi yang masih kasar dan biasanya dimanfaatkan untuk ternak ), cabai merah, bawang merah dan bawang putih serta uang receh yang ditempatkan dalam bathok ( tempurung kelapa). e. Keris yang terbuat dari cabai merah panjang, bawang putih, telur

rebus. Bahan – bahan tersebut disusun dan ditusuk menggunakan lidi sedemikian rupa sehingga menyerupai keris. Lebih mirip dengan sate cabai, bawang putih dan telur. Keris tersebut diletakkan jadi satu dengan nasi gudhangan.

f. Dedaunan yang teridiri dari daun pulutan, daun turi, daun janur kuning (daun kelapa), daun salak, daun dadap sirep. Dedaunan tersebut diuntai/diikat jadi satu seperti untaian bunga.

g. Jadah jenang (makanan khas terbuat dari ketan).

h. Kembang setaman (mawar merah, mawar putih, kenangan, melati, kanthil)

i. Kemenyan, cempol ( serabut kelapa), korek api. j. Air dadap sirep yang ditempatkan dalam kendhi.

k. Untuk sawah plungguh (sawah milik Kas Desa/Kelurahan yang dikelola oleh perangkat desa/pamong/dukuh, Carik (Sekretaris Desa) dan Kepala Desa / Lurah, biasanya ditambah dengan tukon pasar yaitu makanan seperti buah- buahan misal pisang, jambu, salak atau

44

yang lainnya dan makanan kecil/snack. Selain itu nasi ditambah sega gurih (nasi uduk) dan ingkung (olahan daging ayam). Dalam kembang setaman ditambah injet.

2. Waktu Pelaksanaan Wiwit dan Tingkeban

Pelaksanaan wiwit untuk memulai menanam atau pun memulai memanen dilaksanakan pada hari Minggu Legi. Dipilih hari tersebut dikarenakan hari Minggu di Desa Wonokerto dimaknai hari dimana masyarakat dapat berkumpul. Hasil wawancara dengan Bapak Modin Miftahudin

“Wiwit biasanya dilaksanakan tiap Minggu legi saat akan tandur

atau menanam padi dan saat akan memanen hasil panenan. Namun, sekarang ini yang masih banyak dan sering dilakukan masyarakat adalah untuk upacara wiwit nya menjelang musim tanam, sedangkan untuk wiwit saat akan panen sudah jarang sekali dilaksanakan masyarakat Desa

Wonokerto”

Wiwit biasanya diselenggarakan menjelang panen padi saat sore hari (sebelum petang). Jadi, ketika hari ini wiwit dilaksanakan, keesokan harinya atau beberapa hari kemudian padi dipanen. Namun, seiring perkembangan pola perilaku masyarakat karena kepraktisannya, tradisi wiwit sering dibarengkan dengan beberapa saat sebelum panen.

Tingkeban biasa dilaksanakan ketika umur padi sudah mulai aka nada buahnya (meteng). Pelaksanaan tingkeban ini merupakan upaya wujud syukur bahwa tanamannya sudah mulai berisi dengan harapan isinya berbulir banyak sehingga hasil panennya melimpah ruah. Hasil wawancara dengan Bapak Miftahudin

45

Tingkeban dilaksanakan saat padi sudah akan berbuah, istilah jawanya meteng yang dimaksudkan agar buah yang dihasilkan berkualitas. Masyarakat Desa Wonokerto berharap dengan adanya tingkeban ini hasil panen dapat melimpah ruah dan dapat menjadi rezeki bagi warga yang menanam padi

3. Prosesi Wiwit dan Tingkeban

Ubarampe yang telah disiapkan dibawa ke sawah. Rombongan keluarga petani dan anak–anak biasanya mendominasi dan ikut serta dalam wiwit. Biasanya dipilih tempat dipinggir sawah/di pinggir batas sawah (Jawa : galengan). Beberapa tanaman padi dibuka untuk menempatkan ubarampe dan ada yang dijadikan satu. Di sini terdapat prosesi kenduri dalam skala kecil. Kenduri diartikan kekendelan ingkang diudhari (keberanian yang dibuka, disampaikan). Pemilik sawah duduk bersila atau lenggah kenduri (duduk bersila, posisi duduk saat prosesi kenduri dan berdoa).

“Amit pasang paliman tabik, Ilo-ilo dino linepatno saking siku Gusti kang hakaryo bhawono Danyang Sri Semara Bumi kang mbaureksi

sabin … (nama sawah atau desa)

Mbok Dewi Sri pepitu, Kang lumpuh gendongen, kang wuto tuntunen, kulo aturi nglempak saklebeting sabin, ingak sampun kulo ancer-anceri sak pucuking blarak. Sak sampunipun nglempak, kulo caosi daharan ngabekti; sekul petak gandha arum, gereh pethek sambel gepeng, untub-untub lan sak panunggalanipun. Gandeng anggen kulo titip wiji gugut sewu, wonten ing tegal kabenteran sampun wancinipun sepuh, badhe kulo boyong wonten soko domas bale kencono.

Kaki markukuhan, Nyai markukuhan, kukuhana kang dadi rejekiku. Nyai pakeh lan kaki Pakeh, akehono kang dadi rejekiku, yen ana

kekurangane, tukuo neng pasar, lan seksenono ing dino … (nama hari)

minggu legi punika” (Wawancara dengan Bapak Asmui)

Setelah memanjatkan doa, tanaman padi disiram air kendhi yang dicampur daun dari pohon dadap sirep sebagai simbol untuk menenangkan

46

hati dan pikiran setelah sekian lama berjuang menumbuhkan padi. Rep kedhep dadap sirep. Juga menyebar beberapa makanan ke tengah sawah. sebagian nasi gudhangan dan lauk diambil kemudian ditempatkan dalam wadah/dibungkus dari daun pisang atau dipincuk sebanyak empat buah.Bungkusan empat bungkusan hidangan yang akan ditaruh di empat sudut sawah, itu adalah simbol kiblat papat siji pancer; kakang kawah, adi ari-ari, getih, lan puser, kang nyawiji dadi siji.

Setelah itu, beberapa helai padi dipotong dengan ani-ani untuk dibawa pulang. Biasanya potongan padi tadi digantung di atas pintu. Nasi gudhangan dan lainnya pun dibagi-bagikan ke rombongan keluarga petani yang ikut tadi beserta anak– anak yang ikut serta dalam wiwit dan tingkeban. Piring daun pisang menjadi wadah untuk tempat nasi gudhangan. Secara bersama–sama menikmati hidangan wiwit dan tingkeban di pematang sawah.

Sedangkan dalam acara tingkeban dilaksanakan hampir sama dengan acara wiwit, namun untuk di Desa Wonokerto untuk tingkeban hanya lebih menekankan pada berdoa di sawah kepada Allah, mendoakan leluhur dan tanamannya agar dijaga dari serangan hama dan ucapan rasa syukur atas tanamannya yang mulai berbuah agar panennya dapat berlimpah ruah.

47

C. Tanggapan Masyarakat Desa Wonokerto terhadap tradisi Wiwit dan Tingkeban

Seiring dengan berkembangnya keadaan, baik informasi maupun teknologi, pelaksanaan tradisi wiwit dan tingkeban mendapatkan berbagai penilaian dari masyarakat. Hasil wawancara dengan Bapak Miftahudin misalnya

“Wiwit dan tingkeban sekarang berbeda dengan wiwit dan

tingkeban sewaktu saya kecil dulu. Dahulu wiwit dan tingkeban dilaksanakan oleh setiap pemilik atau penggarap sawah dan tidak dilakukan bersama-sama, karena tanam maupun panennya tidak pada hari yang sama. Namun karena perubahan zaman, maka untuk menghemat waktu dan biaya dilaksanakan secara bersama-sama, namun tidak mengurangi maksud dan tujuan diadakannya selametan wiwit dan

tingkeban tersebut”.

Hasil wawancara lainnya dengan Bapak Sukandar menyatakan bahwa

“Untuk wiwit dan tingkeban di Wonokerto masih dilaksanakan

dan terjaga dengan baik, namun masalah pelaksanaannya lebih banyak mempertimbangkan factor biaya pelaksanaan, sehingga sekarang dilaksanakan secara bersama-sama, karena apa-apa sekarang biayanya lebih mahal sedangkan harga jual beras atau gabah dari petani masih

rendah”

Hasil wawancara dengan Bapak Miftahudin mengenai pelaksanaan tradisi wiwit dan tingkeban masih ada dalam masyarakat Wonokerto

“tradisi ini masih ada dalam masyarakat Wonokerto karena nilai

aqidahnya adalah meyakini kekuatan do‟a. Perbedaan yang paling

mencolok yaitu pada doanya, jika pada masa Hindu-Budha doa ditujukan kepada tokoh Sri atau Dewi Sri, maka setelah Islam menjadi agama masyarakat Jawa, doa tersebut berubah menjadi doa syukur kepada Allah SWT. Dan ditambah juga dengan membagi-bagikan nasi wiwit yang diberikan kepada para petani lainnya, yang itu merupakan bentuk rasa kesosialan antar petani dan sebagai bentuk syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberikan rizqi berlimpah.”

48

Namun dengan berubahnya pelaksanaan wiwit pada masa Hindu-Budha dibanding dengan setelah Islam masuk ke wilayah Nusantara, tujuan wiwit itu tetap sama, yaitu agar mendapatkan hasil panen yang baik dan banyak. Oleh karena itu upacara ritual wiwit tetap berlangsung sampai saat ini di masyarakat Wonokerto.

Berdasarkan hal tersebut dapat dimaknai bahwa pelaksanaan tradisi wiwit dan tingkeban pertanian masih dilestarikan oleh masyarakat Wonokerto dan diyakini sebagai sebuah ucapan permohonan atau syukur terhadap tanaman yang akan ditanam maupun yang akan dipanen, hanya dalam pelaksanaanya sudah mengalami perbedaan baik dari segi jenis makanan maupun tatacara pelaksanaannya.

49 BAB IV PEMBAHASAN

Pelaksanaan tradisi wiwit dan tingkeban di Desa Wonokerto Kecamatan

Dokumen terkait