• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasien KM, perempuan berusia 65 tahun, Hindu, Bali, ibu rumah tangga, beralamat di Seririt datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 8 Juni 2016 dengan keluhan pembengkakan di bawah rahang kiri sampai di bawah dagu.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pembengkakan tersebut dirasakan pasien sejak kurang lebih lima hari sebelumnya. Awalnya pembengkakan muncul dibawah rahang kiri dan semakin lama semakin besar hingga kebawah dagu dan terasa nyeri. Pasien juga sulit membuka mulut dan demam yang timbul kira-kira empat hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak didapatkan nyeri dada maupun sesak nafas. Pasien susah makan terutama makanan padat, tetapi masih bisa makan makanan lunak dan minum.

Gambar 3. Pembengkakan pada daerah submandibula dan submentalis

Sejak dua minggu sebelumnya pasien mengeluh sakit pada pada gigi geraham bawah dan atas lalu pasien berobat ke dokter gigi dan telah dilakukan pencabutan pada 1 gigi namun masih ada beberapa gigi yang berlubang mendapat perawatan tambal gigi. Pasien juga diresepkan obat pereda nyeri dan antibiotika. Tidak ada riwayat kencing manis pada pasien ini.

Keadaan umum pasien sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 80 x/menit, respirasi 20x/menit dan temperatur 37°C. Tidak didapatkan tanda dehidrasi. Telinga dan hidung tampak tenang. Tenggorok sulit dievaluasi karena trismus sehingga pasien hanya bisa membuka mulut kira-kira 2 cm. Oral higiene buruk. Di regio submandibula sinistra hingga regio submentalis tampak edema dan hiperemi.

Pada palpasi teraba hangat, terdapat nyeri tekan dan fluktuasi. Pada aspirasi di daerah tersebut didapatkan pus. Pus yang telah

diaspirasi dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas. Pasien didiagnosis dengan abses submandibula sinistra.dengan perluasan ke submentalis.

Pasien setuju untuk rawat inap dan dilakukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, darah lengkap dan kimia darah. Hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu adalah 104 mg/dL dan leukosit 26.610/µL. Dipasang IVFD NaCl 0,9% dan dekstrosa 5% dengan kecepatan 20 tetes/menit. Dilakukan insisi pada abses submandibula sinistra, keluar pus berbau busuk berwarna kuning dan dipasang drain sarung tangan steril. Pasien tirah baring dalam posisi Trendelenburg. Antibiotika yang diberikan adalah ceftriakson 2x1 g intravena dan metronidazol 3x500 mg intravena. Antiinflamasi yang diberikan adalah metil prednisolon 2x 62,5 mg intravena, pemberian analgetik dengan ketorolak 3x30 mg intravena, anti emetik dengan ranitidin 2 x 50 mg secara intravena dan ondansentron 3 x 8 mg, intravena. Pasien disarankan untuk konsultasi dengan dokter gigi, namun pasien menunda. .

Dilakukan dilatasi, toilet luka dan penggantian drain setiap hari pada luka insisi abses. Pada tanggal 8 juni 2016 dilakukan pemeriksaan rontgent thoraks dimana jantung dan paru pasien tidak tampak kelainan. Pada tanggal 9 juni rasa nyeri di leher mulai berkurang namun pus masih ada.

Pada tanggal 9 juni 2016 dilakukan pemeriksaan CT scan kepala irisan aksial dan koronal ketebalan 2 mm tanpa kontras . Didapatkan lesi hyperdens berbatas tidak tegas dengan muskulus disekitarnya di submandibula sampai submentalis kiri (suspek abses solid).

Edema di regio submandibula sinistra berkurang dan trismus menghilang pada tanggal 10 juni 2016. Tanggal 11 juni keluhan nyeri berkurang dan pus mulai berkurang. Pada tanggal 13 juni 2016 dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang menunjukkan bahwa lekosit sudah turun menjadi 14.800/µL. Pada tanggal 13 juni 2016 produksi pus sudah tidak ada. Hasil kultur dari sampel yang diambil pada tanggal 8 juni 2016 tidak menunjukkan adanya pertumbuhan kuman. Pasien dipulangkan pada tanggal 14 juni 2016 dan diberi obat oral sefiksim 2x200 mg dan parasetamol 3x 500 mg.

Pasien kontrol pada tanggal 16, 20 dan 27 juni 2016 di poliklinik THT-KL RSUD Singaraja dengan tidak ada keluhan. Pada tanggal 27 juni 2016 pasien kontrol ke dokter gigi. dan gigi geraham kiri bawah yang mengalami gigi berlubang telah dicabut.

IV. Pembahasan

Abses submandibula merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi dimana angka kejadian abses submandibula lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo ditemukan bahwa angka kejadian abses submandibula pada laki-laki (51,9%) dan perempuan (48,1%), berusia antara 12 sampai 96 tahun. Pada kasus ini terjadi pada perempuan berusia 65 tahun.

Gejala pada pasien ini adalah bengkak dan nyeri dibawah rahang kiri hingga di bawah dagu yang disertai demam dan trismus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rana dkk6, bahwa gejala berupa bengkak dan nyeri merupakan keluhan utama sebagian besar dari abses leher dalam. Dari 50 pasien abses leher dalam sebanyak 96% pasien mengeluh adanya pembengkakan, sebanyak 92% pasien mengeluh nyeri dan 66% pasien mengeluh demam.6 Paolo Rizzo menyatakan gejala klinis yang sering terjadi pada pasien dengan abses submandibula adalah pembengkakan pada leher (98,8%) dan sulit menelan (35,8%). Gejala lain yang sering ditemukan adalah 23,5% pasien mengeluh demam, 24,7% mengeluh nyeri dan 17,3% pasien mengeluh adanya trismus. 12

Orodental hygiene yang buruk dan adanya infeksi yang berasal dari gigi merupakan faktor predisposisi pada pasien ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo pada tahun 1998-2006 di Rumah Sakit Treviso, Italia, penyebab tersering abses submandibula adalah infeksi pada gigi (46,9%). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rana dkk, bahwa infeksi yang berasal dari gigi merupakan penyebab tersering dari abses leher dalam yaitu 48%.12

Paolo Rizzo menyatakan bahwa pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis. Pada pasien ini terdapat lekositosis dengan jumlah 26.610/µL. Paolo Rizzo juga menyatakan bahwa pada 37% pasien abses submandibula terdapat peningkatan jumlah lekuosit di atas 12.000/µL.12 Pemeriksaan leukosit secara serial merupakan cara yang baik untuk menilai respons terapi.1,14 Pada pasien ini jumlah lekuosit berangsur-angsur menurun mendekati normal.

Dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pasien didiagnosis dengan abses submandibula sinistra.dengan perluasan ke

submentalis. Salah satu penyebaran infeksi pada abses submandibula yang dapat terjadi adalah ke ruang submental. Ruang ini adalah ruang fasia kepala dan leher yang merupakan ruang potensial terletak antara otot milohioid superior , otot platisma inferior, terletak digaris tengah bawah dagu . Ruang ini terletak tepat di wilayah segitiga submental , bagian dari segitiga anterior leher. Abses dari gigi molar mandibula kedua dan ketiga dapat melubangi mandibula dan menyebar ke dalam ruang submandibula dan submental. 21

Sebagian besar penyebab abses leher dalam adalah polimikrobial termasuk bakteri anaerob dan aerob. Namun pada pasien ini tidak terdapat pertumbuhan bakteri pada hasil kulturnya. Hal ini dapat disebabkan karena spesimen berupa cairan pus yang tidak adekuat untuk pemeriksaan kultur bakteri karena hanya mengandung bakteri mati dan jaringan nekrotik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo , terdapat 39 pasien yang hasil kultur bakterinya tidak ditemukan pertumbuhan bakteri, dan hanya pada beberapa kasus yang ditemukan pertumbuhan bakteri anaerob. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikrobiologi yaitu pemberian antibiotika sebelumnya, pemberian antibiotik intravena dengan dosis tinggi sebelum dilakukan drainase, pengumpulan spesimen yang tidak tepat, serta kesulitan dalam kultur anaerob. 12

Pada pasien ini diberikan terapi antibiotika empiris intravena dengan seftriakson 2x1 g intravena dan metronidazol 3x500 mg intravena. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Shih-Wei Yang dkk, dimana didapatkan pemberian antibiotika kombinasi seftriakson dan metronidazol merupakan terapi antibiotika yang disarankan untuk penatalaksanaan abses leher dalam. Cakupan spektrum antimikroba ini terhadap bakteri aerob dan anaerob adalah 70,79%.20

Pada kasus ini pasien responsif terhadap antibiotik tersebut.

Evakuasi abses dilakukan dengan anestesi lokal dimana insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi.3 Diseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam rongga abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses diirigasi dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain.4,12

Dilakukan dilatasi, toilet luka dan penggantian drain setiap hari pada luka insisi abses hingga bengkak dibawah rahang dan dagu hilang serta pus tidak ada lagi.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rana dkk yang mendapatkan sebagian besar pasien abses leher dalam perlu dilakukan insisi dan drainase (78% pasien) dan hanya 22% pasien yang membaik dengan terapi medikamentosa saja.6

Terapi terhadap faktor komorbid adalah salah satu bagian dari penatalaksanaan abses leher dalam.6,12 Pada kasus ini pasien telah menjalani pencabutan terhadap gigi-gigi yang mengalami gangren radiks setelah abses submandibula dan abses ruang submentalis yang dialaminya tertangani. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rana dkk, yang pada penelitiannya mendapatkan penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi dari gigi (40% pasien). Adapun gigi yang sering menjadi sumber infeksi adalah gigi molar mandibula dengan prevalensi 22,7-43% dengan ruang submandibula merupakan tempat infeksi yang paling sering terjadi pada pasien dengan infeksi gigi yaiu 60%.6 Abses submandibula yang disebabkan oleh infeksi odontogenik, berasal dari gigi molar kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas m.

milohioid, dan abses dilokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea milohioid yang terletak di aspek dalam mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya akan menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang submental.23

V. Kesimpulan

Telah dilaporkan pasien perempuan berusia 65 tahun dengan diagnosis abses submandibula sinistra. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perjalanan infeksi dan abses ke ruang leher dalam lainnya seperti ke ruang submental sehingga terjadi abses submental. Pasien pada kasus ini mengalami perluasan ke ruang submental dan menunjukkan perbaikan setelah dilakukan insisi drainase abses dan mendapatkan terapi medikamentosa.

Dokumen terkait