• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada arah zonal dan pada arah meridional berasal dari Laut Cina Selatan, perairan utara dan selatan Jawa dan perairan barat Australia (Luo et al., 2010). Variabilitas ini juga berinteraksi dengan fluktuasi parameter iklim di atas daratan dan lautan yang akan menentukan kondisi atmosfer di wilayah Indonesia. Pergerakan simpul Sirkulasi Walker dan Hadley ke arah zonal maupun meridional mengikuti pula fluktuasi kandungan bahang yang terkumpul di atas wilayah Indonesia akibat dari variabilitas laut yang besar, dimana perubahan kekuatan dari Sirkulasi Walker dan Hadley ini kembali lagi mempengaruhi dinamika di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya (Chang, 2005). Beragam fenomena laut dan atmosfer yang telah ditemukan sebelumnya semakin memperlihatkan besarnya variabilitas laut dan atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Fenomena-fenomena tersebut memiliki beragam siklus, baik skala ruang maupun waktu. Pada skala ruang, suatu perairan di Asia Tenggara dan sekitarnya dapat dipengaruhi satu atau lebih fenomena dengan siklus waktu yang bervariasi meliputi siklus semi harian (semidiurnal), siklus harian (diurnal), siklus dalam musiman (intraseasonal), siklus musiman (seasonal), siklus semi tahunan (semiannual), siklus tahunan (annual), siklus antar tahunan (interannual), siklus dekadal (decadal), siklus antar dekadal (interdecadal) dan siklus abad (centennial) (Chang, 2005; Saha, 2010). Variasi pada skala ruang dari fenomena yang berbeda terdapat interaksi antar satu perairan dengan perairan lainnya, begitu pula antar skala waktu suatu fenomena yang berbeda akan berinteraksi satu sama lain pada suatu perairan tertentu di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.

Bentuk geografis wilayah Indonesia yang memiliki ribuan pulau dengan pola batimetri yang beragam sehingga dikenal sebagai negara kepulauan akan menambah kompleksitas dari variabilitas laut dan atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Proses percampuran massa air dari Samudera Pasifik,

Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan terjadi di perairan Indonesia pada kedalaman yang beragam dimana proses percampuran ini diperkuat oleh beragam regim pasang surut dan variabilitas curah hujan yang tinggi sebagai sumber massa air tawar sehingga perairan Indonesia dapat dikatakan sebagai pengatur massa air antar samudera. Oleh karena itu dalam melakukan kajian mengenai variabilitas perairan di Asia Tenggara dan sekitarnya perlu penelaahan jauh lebih komprehensif bagaimana interelasi antar suatu fenomena dengan fenomena laut- atmosfer lainnya dan bagaimana interaksinya pada suatu perairan di Indonesia serta proses-proses fisis apa yang mengiringi sebagai respon perubahan yang dialaminya.

Fenomena yang dominan mempengaruhi variabilitas laut-atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya adalah Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) dengan siklus waktu dari musiman sampai antar tahunan (Chang, 2005; Luo et al., 2010; Annamalai et al., 2010). Sementara itu, fenomena dengan siklus dibawah musiman seperti Madden-Julian Oscillation (MJO) lebih berperan mempengaruhi variabilitas cuaca dalam skala lokal dan siklus diatas antar tahunan seperti Pacific Decadal Oscillation (PDO) lebih berperan sebagai indikator fase hangat dan dingin dari perubahan iklim global yang berkaitan dengan pemanasan global (global warming) dalam skala dunia (Waliser et al., 2006; Yon dan Yeh, 2010). Fenomena Muson, DM dan ENSO baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi aktifitas manusia di wilayah Indonesia.

Muson merupakan fenomena iklim yang telah lama dikenal dan berkembang dengan cepat setelah Ramage (1971), Webster (1987) dan Neelin (2007) berhasil mendefinisikan Muson dengan beberapa kriteria tertentu yang dapat diterima oleh kalangan peneliti internasional. Ramage (1971) mendefinisikan Muson dengan kriteria terdapat pembalikan arah angin minimal sebesar 120° diantara bulan Januari dan Juli dengan rata-rata frekuensi arah angin masing-masing sebesar 40% dan kecepatan angin rata-rata pada bulan tertentu minimal sebesar 3 m/s. Pembalikan arah angin tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan penyimpanan bahang antara daratan dan lautan dan rotasi bumi. Webster (1987) menambahkan bahwa terdapat fase basah dan kering didalam siklus Muson dan

Neelin (2007) menguatkan pendapat tersebut dengan memperlihatkan terdapat perubahan kandungan uap air pada fase basah dan kering di atmosfer.

Tujuan sebelumnya dari penelitian mengenai Muson adalah menentukan daerah yang mengalami siklus Muson dan mekanisme yang bekerja pada sistem Muson tersebut (Ramage, 1971; Fein dan Stephens, 1987; Webster, 1987; Yang et al., 1992; Douglas et al., 1993; Hastenrath, 1994; McBride et al., 1995; Tomas dan Webster, 1997; Webster et al., 1998). Pada perkembangannya, saat ini penelitian mengenai Muson mulai mengkaji bagaimana interaksi Muson dengan DM dan kaitannya dengan dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia (Kulkarni et al., 2007; Zhang dan Li, 2008; Ding et al., 2010; Zuluaga et al., 2010; Yang et al., 2010; Rao et al., 2010). Dinamika di Samudera Pasifik yang berkaitan dengan ENSO dan interaksinya dengan Muson, juga mulai dikaji lebih mendalam karena varibilitas yang ditimbulkan oleh ENSO terhadap dinamika Muson sangat besar dan berdampak pada skala luas (Kitoh et al., 1999; Susanto et al., 2001; Kawamura et al., 2003; Terray et al., 2004; Drumond dan Ambrizzi, 2006; Li et al., 2007; Bracco et al., 2007; Annamalai et al., 2007; Xie et al., 2009a; Yadav et al., 2009; Chang et al., 2009; Shaman dan Tziperman, 2010; Wu et al., 2010; Li et al., 2010; Qian et al., 2010; Yun et al., 2010; Yoon dan Yen, 2010; Kim et al., 2011).

Pada awal ditemukan fenomena El Nino, diketahui bahwa fenomena tersebut hanya berdampak di Samudera Pasifik saja. Bjerknes (1969) adalah orang yang pertama mengemukakan mekanisme kerja El Nino dan kaitannya dengan Southern Oscillation yang dikemukakan oleh Walker. Oleh karena itu, fenomena tersebut lebih dikenal dengan sebutan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Secara lebih mendalam, Philander (1990) mengupas lebih lengkap dari mulai sejarah ditemukannya ENSO sampai dengan proses yang terjadi dari hasil interaksi laut-atmosfer pada periode datangnya ENSO dan fase kebalikan El Nino yaitu La Nina.

Pada perkembangannya penelitian mengenai ENSO mulai difokuskan untuk memprediksi datangnya ENSO. Usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis secara kualitatif untuk memprediksi datangnya El Nino dan La Nina pada periode 1997 dan 1998 beberapa bulan sebelumnya. Barnston et al. (1999) dengan

menggunakan pendekatan metode statistik dari luaran model dinamis suhu permukaan laut (SPL) telah berhasil memprediksi 2-3 bulan sebelum datang El Nino 1997 dan La Nina 1998. Begitu pula yang dilakukan oleh Landsea dan Knaff (2000) dengan menggunakan pendekatan metode statistik dari variabilitas angin dan gangguan dinamika Muson telah berhasil memprediksi El Nino dan La Nina kuat di periode 1997 dan 1998 sampai dengan 6 bulan sebelumnya.

Kegagalan memprediksi datangnya ENSO terjadi pada periode 2001 dimana Kirtman dan Min (2009) memperlihatkan kesalahan secara kuantitatif metode kualitatif yang digunakan oleh Barnston et al. (1999) dan Landsea dan Knaff (2000). Kirtman dan Min (2009) kemudian memecahkan kegagalan tersebut dengan berhasil memprediksi ENSO dari anomali SPL di Nino3.4 pada tiga, lima dan delapan bulan sebelumnya menggunakan pendekatan data ensemble beberapa luaran model (multimodel) dari Community Climate System Model versi 3 (CCSM3.0) yang dikeluarkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan data asimilasi dari Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (GFDL), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Nilai koefisien determinasi terbesar pada prediksi 3 bulan sebelum kejadian ENSO yaitu sebesar 0.89 dengan selang kepercayaan antara 0.85-0.92.

Fenomena interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia dengan dinamikanya yang hampir mirip dengan ENSO adalah Indian Ocean Dipole Mode dimana massa air hangat yang biasanya berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (perairan sebelah barat Sumatera) bergerak ke arah barat sampai di perairan sebelah barat Samudera Hindia (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999). Perpindahan massa air hangat ini memperkuat anomali angin ke arah barat yang memicu terjadinya upwelling di pesisir pantai barat Sumatera. Equatorial jets melemah sehingga mengurangi transpor massa air ke arah timur dan mengakibatkan berkurangnya kedalaman lapisan termoklin di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan meningkat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia.

Dampak interaksi yang terjadi antara DM, Muson dan ENSO memperlihatkan korelasi yang signifikan antara suhu udara dan curah hujan di atas laut dan daratan (Saji dan Yamagata, 2003). Hasil penelitian dengan

menggunakan model laut-atmosfer Climate Model versi 2.1 (CM2.1) dari GFDL telah memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh yang besar dari anomali SPL regional di perairan Indonesia terhadap awal pembentukan DM dan ENSO kuat dan disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut lagi untuk melihat kemungkinan pengaruh angin lokal, kehilangan bahang dan penguapan serta terjadinya upwelling di perairan barat dan timur Indonesia sebagai penyebab utama pemicu terjadinya ENSO dan DM (Annamalai et al., 2010). Kemampuan untuk melakukan prediksi ENSO dan DM secara lebih tepat semakin meningkat, dimana Luo et al. (2010) memperlihatkan pengaruh ENSO di Samudera Hindia dan pengaruh DM di Samudera Pasifik akan meningkatkan kekuatan DM dan ENSO serta perubahan dinamika Sirkulasi Walker di atas perairan Indonesia yang akan mempengaruhi kestabilan kondisi Muson di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.

Seperti halnya Muson dan ENSO, mekanisme dinamika laut-atmosfer yang bekerja di dalam DM melibatkan dinamika laut-atmosfer yang terjadi di perairan barat Indonesia, sedangkan ENSO di perairan timur Indonesia dan sistem Muson di perairan utara dan selatan Indonesia. Simpul interaksi dari ketiga fenomena dan kronologis awal proses dari masing-masing fenomena tersebut berada di wilayah Indonesia dimana proses dinamika fisis dan interaksinya di perairan Indonesia belum terkuak dengan jelas. Pendekatan kajian yang dilakukan pada penelitian ini mengharuskan penggunaan metodologi yang tepat, data deret waktu yang panjang dan pemilihan domain (area studi) yang mampu mengisolasi proses dinamika dan interaksi antara ketiga fenomena tersebut sehingga dapat diinterpretasikan dengan tepat.

Kapabilitas untuk memprediksi Muson, DM dan ENSO sangat bermanfaat untuk perencanaan aktifitas manusia dan membantu dalam upaya mitigasi bencana meliputi badai, gelombang besar, banjir, tanah longsor dan kekeringan yang ditimbulkannya. Kemampuan untuk memprediksi harus dimulai dengan cara memahami fenomena yang bersangkutan, bagaimana interaksinya antar satu fenomena dengan fenomena lainnya, interelasinya dengan kondisi perairan di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, proses-proses fisis yang menyertainya dan

potensi dampak yang ditimbulkannya. Pada penelitian ini, akan difokuskan untuk mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.