• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.1

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus diselesaikan menurut tata cara

1

Eman Suparman, 2004, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta, Tata Nusa, h. 18

formal yang diatur dalam hukum acara serta memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum.

Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan. Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis dan biaya mahal.

Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri, disamping pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang keberadaannya diakomodir oleh Negara melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang

mengacu pada pranata adat dan agama. Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tapi juga hukum yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal dari ajaran-ajaran agama (hukum agama).

Di samping peradilan sebagai lembaga formal penyelesaian sengketa, terdapat juga lembaga alternatif penyelesaian sengketa nonformal yang keberadaannya mengacu kepada hukum adat. Hukum adat yang umumnya berlaku dalam masyarakat yang diliputi semangat komunal memandang manusia atau individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Setiap individu harus berupaya mencegah timbulnya disharmoni, dalam arti membina hubungan yang seimbang antara pasangan-pasangan dalam kehidupan, baik antar individu dalam masyarakat atau sebaliknya, atau antara dunia nyata dengan dunia gaib. Tetapi dalam kenyataannya selalu terbuka kemungkinan munculnya sengketa yang terjadi diantara para individu (warga masyarakat). Keadaan ini dapat mengakibatkan terganggunya system keseimbangan hubungan dalam masyarakat.

Dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti peradilan desa atau yang disebut dengan peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan ulama. Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua

bidang hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata, publik,2 dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.3

Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang, dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak.

Hampir diseluruh Indonesia terdapat lembaga peradilan ini, walaupun dengan nama yang berbeda-beda, seperti di Tapanuli, Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain. Di Tapanuli, pada masyarakat Batak Karo terdapat lembaga musyawarah desa yang disebut runggun adat yang berfungsi memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Lembaga ini beranggotakan anak beru, senina, dan kalimbubu. Di daerah Toraja, masyarakat biasanya mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang berfungsi menyelesaikan

2

Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar Maju, h. 40.

3

Moh. Koesnoe, 1974, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Surabaya, Erlangga University Press, h. 44-45.

sengketa, yang disebut hadat. Dewan tersebut beranggotakan orang-orang yang menjadi pimpinan dalam suatu desa. Berkaitan dengan sengketa yang diajukan, dewan tersebut sidang untuk menentukan siapa yang harus dipersalahkan dan hukuman apa yang dijatuhkan. Di Bali, terdapat Desa Adat yang kekuasaannya diwujudkan dalam Sangkepan (rapat) desa adat, yaitu suatu forum yang membahas masalah-masalah tertentu yang sedang dihadapi desa secara musyawarah. Di Minangkabau dikenal lembaga peradilan desa yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Sementara di Aceh juga dikenal Lembaga Adat Aceh.

Lembaga sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan tertentu yang oleh masyarakat tertentu dianggap penting. Sistem norma mencakup gagasan, aturan tata cara kegiatan, dan ketentuan sanksi (reward system). Sistem norma merupakan hasil proses berangsur-angsur menjadi suatu sistem yang terorganisasi. Artinya sistem itu telah teruji kredibilitasnya, dipercaya sebagai sarana mencapai tujuan tertentu.

Bila ditelusuri jejak sejarah Aceh, akan ditemukan bahwa lembaga agama dan lembaga adat istiadat sangat dalam berakar dalam masyarakatnya. Semboyan

Hukom ngon adat han jeuet cre, lagee zat ngon sifeut”4

syariat (hukum) dan adat tidak dapat dipisahkan seperti zat tuhan dengan sifatnya. Pandangan dunia etnis Aceh tentang hal tersebut tercermin dari tulisan seorang ulama besar pada abad XIX, Sheikh Abbas Ibnu Muhammad alias Teungku Chik Kutakarang yang menulis dalam kitabnya Tadhkirad a rakidin (1889), antara lain sebagai berikut ”adat ban adat

4

hukom ban hukom, adat ngon hukom sama keumba. Tatkala mufakat adat ngon

hukom, nanggroe seunang hana goga”. Maknanya ”Adat menurut adat, hukum

syariat menurut hukum syariat. Adat dengan hukum syariat tidak dapat dipisahkan. Tatkala mufakat adat dengan hukum, negeri senang tanpa huru hara”

Dalam masyarakat Aceh sebutan adat sangat populer untuk keseluruhan tatanan kehidupan, baik yang menyangkut dengan fungsi hukum adat maupun berkenaan dengan fungsi adat istiadat. Dalam pengertian adat istiadat atau reusam yang berlaku pada suatu tempat, biasanya berbeda antara satu dengan lainnya ataupun dapat sama.

Menurut Ter Haar5 dalam buku Badruzzaman, lembaga hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan –

perbuatan hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan itu tidak bertentangan dengan keyakinan hukum.

Dalam peraturan daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 2 Tahun 1990, pasal 1 angka d, menjelaskan: ”Gampong/desa” adalah suatu wilayah yang

ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya

sendiri”.

5

Badruzzaman Ismail, 2007, Mesjid dan Adat Meunasha Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh, MAA, h. 150.

Dalam tatanan kehidupan perilaku masyarakat Aceh Besar, terdapat dua gambaran sebagai komponen penentu tentang masih berfungsi atau tidak hak-hak adat yang menjadi pendukung kekuatan dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam masyarakat Gampong.

Gambaran kedua komponen penentu itu merupakan bagian kesinambungan perilaku kehidupan masyarakat Gampong dalam era kejayaan masa lalu, dimana landasan pembinaan adat berada di bawah kendali lembaga yang menempatkan

fungsinya dibawah rujukan ”Adat bak Poteumereuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,

Qanun Bak Putrou Phang, Reusam Bak Lakseumana”.

Pada masa itu berbagai persoalan, terutama menyangkut dengan sengketa-sengketa yang dihadapi oleh masyarakat dapat diselesaikan, melalui rapat musyawarah orang-orang patut sebagai fungsionaris, dengan menggunakan norma-norma hukum adat sebagai pedoman hukum yang diperoleh dari hasil pembahasan Keputusan Musyawarah perangkat Gampong yang dipilih oleh masyarakat itu sendiri (dumpee but ta mupakat, beek meularat oh wayee dudoe). Keputusan musyawarah semacam itu menjadi norma hukum dan mengikat masyarakat, sehingga secara langsung dapat diterapkan untuk penyelesaian masalah hukum adat, berarti memberikan bentuk kepada apa yang dibutuhkan sebagai keputusan hukum yang berlaku.

Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, telah memberikan bentuk-bentuk baru bagi pengembangan hak-hak otonomi daerah, termasuk keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar

hukum adat dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat desa, sebagaimana penjelasan pasal 122 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang antara lain menegaskan bahwa pengakuan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya, berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat dan pendidikan serta memperhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Ketentuan itu berarti membuka peluang untuk membangun kembali regulasi/aturan formal kedalam berbagai hak-hak adat masyarakat. Salah satunya yang harus direkonstruksikan adalah fungsi lembaga adat. Bila hukum adat diterapkan, dengan itu pula dilakukan penerapan hukum / syariat Islam. Kondisi sosiologis dan perubahan nilai-nilai yuridis bagi masyarakat merupakan kondisi dinamis yang sangat dikehendaki agar ketentuan-ketentuan hukum adat semacam itu dapat segera dilaksanakan. Karena ketentuan semacam itu dapat dipandang dalam

panutan budaya Aceh, berupa serapan nilai dari narit maja ”adat dengan hukum (agama) seperti ”zat dengan sifeut”. Narit maja ini, mengandung makna bahwa pelakanaan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, bahkan sebaliknya penerapan hukum adat yang paling cocok adalah yang mengandung nilai-nilai hukum Islam. Jadi peranan hukum adat disini memperkuat penegakan nilai-nilai syariat dalam membangun ketertiban, ketentraman, kedamaian, kerukunan bagi kesejahteraan masyarakat.

Khusus berkenaan dengan pengaturan terhadap syariat Islam itu sendiri telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat

Islam, sebagai implementasi Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Perlu menjadi catatan bahwa tuntutan pelaksanaan Syariat Islam dan pelaksanaan hukum adat, sebagai bagian dari tatanan budaya ke Aceh, sangat dikehendaki oleh masyarakat Aceh. Tuntutan itu dapat disimak dari berbagai reaksi elemen masyarakat, baik melalui media cetak/elektronik, melalui seminar, diskusi, ceramah, sepanduk maupun melalui lembaga-lembaga formal yang terus berkembang dalam rangka mengangkat kembali harkat dan martabat masyarakatnya.

Lahirnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, telah memberikan landasan yuridis yang lebih konkrit kepada pemerintah daerah Aceh, terhadap wewenang pengaturan keistimewaan Aceh. Wewenang pengaturan dan berbagai kebijakan itu, terutama berkenaan dalam hal untuk penyelesaian (hukum) adat bagi masyarakat. Antara lain konsepsi rumusan kerangkanya dapat diimplimentasikan berasaskan kepada dasar-dasar pertimbangan sebagai berikut:

1. Otonomi daerah Aceh, merupakan kewenangan khusus dan istimewa, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakatnya sendiri, dapat mengatur dan menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan keikutsertaan ulama dalam berbagai kebijakan daerah.

2. Daerah dapat menetapkan kebijakan dalam pelestarian dan pengembangan adat serta lembaga adat yang dijiwai oleh Syariat Islam dan dapat membentuk

lembaga-lembaga yang sudah ada itu, baik di propinsi, kabupaten / kota, kecamatan, kelurahan dan di desa-desa / Gampong (UU No. 44 Tahun 1999). Tindak lanjut dari amaran Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, antara lain merujuk pada penafsiran rumusan-rumusan tersebut, pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah melahirkan peraturan daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, yang sekaligus dapat berfungsi dan berkedudukan sebagai peraturan pelaksanaan yang sederajat dengan peraturan pemerintah (PP) dalam konteks dengan Undang-undang lain.

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang itu, pemerintah Daerah Istimewa Aceh melalui Perda Nomor 7 Tahun 2000 telah menetapkan beberapa rumusan untuk pedoman, antara lain sebagai berikut:

1. Masyarakat hukum adat dapat membentuk lembaga adat Aceh, sebagai organisasi kemasyarakatan adat dalam wilayahnya serta memiliki kekayaan sendiri, untuk berhak dan berwenang mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.

2. Tuha Peut, Tuha Lapan dan Mukim, merupakan badan kelengkapan Gampong, dan unsur pemerintah, agama pimpinan adat, cerdik pandai, unsur pemuda/wanita dan unsur kelompok masyarakat.

3. Gampong adalah suatu wilayah yang menyelenggarakan rumah tangga sendiri dibawah pimpinan Geuchik (Keuchik ) dan Imeum Meunasah serta berwenang menyelesaikan segala sengketa di Gampong, berdasarkan hukum adat6

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perda dimaksud, telah mengisyaratkan bahwa perangkat Gampong dan fungsi-fungsinya, berkewajiban menyelenggarakan pemerintahan di Gampong serta berhak dan berwenang pula untuk menggunakan lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan segala sengketa dalam masyarakatnya. Dengan demikian atas landasan Perda, lembaga adat dapat melaksanakan fungsinya sebagai pusat pengendali kehidupan masyarakat, dengan menggunakan hukum adat menjadi pegangan yang berfungsi sebagai hukum positif dalam masyarakat. Penataan perangkat Gampong, seperti Keuchik / wali Keuchik (Geuchik istilah Perda), Teungku Sago / Wali Teungku (Imum Meunasah istilah Perda), Tuha Peut danTuha Lapan, termasuk fungsi Meunasah sebagai realisasi hak-hak adat masyarakat dapat terus naik, sebagai upaya penegakan harkat dan martabat masyarakat Aceh yang berlandaskan norma-norma (hukum) adat yang hidup dan berkembang.

Berkenaan dengan hak-hak adat dan kewenangan serta tanggung jawab Gampong dalam menata kehidupan masyarakat, lebih lanjut dijelaskan oleh sumber

hadih maja, ”Lampoh mupageu, Umong meu ateung, Nanggroe meu syara’, maseng

6

maseng na Raja7. Maksudnya setiap negeri ada peraturan dan mempunyai kekuasaan / raja masing-masing.

Beberapa produk adat itu merupakan sumber hukum yang bernilai yuridis normatif dan Islamis reseptif (receptio in complexu) serta sumber-sumber normatif kebiasaan lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat8.

Dengan demikian pemerintah provinsi kabupaten / kota, kecamatan, kelurahan dan desa-desa / Gampong diberi amaran oleh undang-undang itu untuk melaksanakan kaedah-kaedah hukum adat dalam rangka reaktualisasi hak-hak adat masyarakat.

Hak-hak masyarakat itu adalah sesuatu tatanan yuridis normatif yang dapat digunakan sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan masyarakat, sebagai tatanan

dalam mengembangkan hubungan (antar hak). Adapun pengertian ”masyarakat”

menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah merupakan sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Berkenaan dengan pemahaman masyarakat hukum itu, Lili Rasjidi memberi penjelasan, bahwa masyarakat hukum adalah himpunan kesatuan hukum yang satu sama lain terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara dan kesatuan-kesatuan lainnya. Sedangkan alat yang dipergunakan

mengatur hubungan antar kesatuan hukum disebut ”hukum”, yaitu suatu kesatuan

7

Majalah Jeumpa, 1999, penerbit LAKA h.8

8

sistem hukum yang tersusun atas berbagai komponen9 . Dengan demikian masyarakat Gampong sebagai suatu persekutuan yang terikat berdasarkan hukum adat merupakan suatu sistem hukum yang dapat membentuk dan membina kesatuan Gampongnya dengan hukumnya secara tertib dan teratur.

Perkembangan tatanan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh sosiologis kehidupan masyarakat, sebab itu apabila masyarakat dilihat dari pranata-sosial, maka pengertiannya menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat sebagai sesuatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, yang menjadi ciri pada lembaga itu10.

Berdasarkan pandangan ini, dapat dipahami bahwa pranata sosial dapat di fungsikan sebagai:

1. Pedoman bagi anggota masyarakat tentang bagaimana mereka harus bertingkah laku dan bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakatnya, terutama yang menyangkut dengan masalah-masalah pokok.

2. Pemeliharan keutuhan daripada masyarakat bersangkutan

3. Pegangan bagi masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial dan sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah lakunya11

Lembaga adat berfungsi sebagai pranata sosial, sehingga prinisip-prinsip keadilan hukum yang dikandungnya (hukum adat), dapat ditegakkan kembali sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat itu sendiri, sebagai bagian dari tuntutan sosial.

9

Lili Rasyidi, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, h.105

10

Soerjono Soekanto, 1969, Subjek Hukum, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Yayasan Universitas Indonesia, h.73.

11

Sehubungan dengan itu, maka “hak-hak masyarakat” dapat di rumuskan dari aspek

hukum, sebagai norma-norma prilaku yang hidup dalam masyarakat serta berhak, dan berwenang mengatur, menguasai berbagai kepentingan untuk kebersamaan dalam wilayahnya, melalui fungsi lembaga adat sebagai paradigma adat yang memiliki otoritas tanggung jawab pengendalian dan pengawasan terhadap hak-hak masyarakat itu sendiri.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh Besar adalah hukum non-statutair yang sebagian besar meliputi hukum kebiasaan dan sebagian lagi hukum Islam. Hukum adat dengan hukum Islam dalam prilaku orang Aceh sudah berkembang menyatu secara integral mendarah

daging “lagee zat ngon sifeu / zat dengan sifat” sebagaimana disebutkan diatas.

Perkembangan menurut Savigny yang dikutip oleh R. Soepomo, menyatakan bahwa sesuai dengan fitrahnya, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang di tengah-tengah pergaulan masyarakat12. Dari proses perkembangan itu menunjukkan bahwa hukum adat di Gampong – Gampong erat kaitannya dengan fungsi Meunasah, yang dengan fungsinya itu dapat menerapkan hukum adat dalam kehidupan masyarakat.

Perkara-perkara yang diselesaikan di Meunasah dalam hal sengketa keperdataan misalnya; menyangkut dengan tanah, ternak, gangguan pertanian, hutang piutang, masalah kekeluargaan, harta pustaka, dan lain-lain yang timbul dalam masyarakat Gampongnya. Sedangkan penyelesaian menyangkut dengan perbuatan

12

kejahatan / kepidanaan di lingkungan warga maupun antar warga, misalnya perbuatan pertengkaran, penganiayaan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya yang bersifat delik-delik hukum yang menganggu kehidupan kerukunan dan ketentraman serta keseimbangan (equilibrium) Gampong, juga diselesaikan di Meunasah. Apabila sengketa keperdataan atau delik-delik pidana adat terjadi dalam masyarakat, maka norma-norma hukum adat yang hidup dan berlaku akan muncul dengan sendirinya melalui fungsionaris perangkat Gampong, sehingga lembaga musyawarah yang dipimpin oleh Keuchik akan dengan cepat dapat mengatasinya.

Khazanah hukum adat keberadannya mengendap dalam masyarakat dan hanya melalui fungsionaris-fungsionaris hukum, seperti Keuchik , Tengku Sago, Tuha Peut, Tuha Lapan dan orang-orang tua patut lainnya (karena pengalaman hidup) yang mampu mengangkatnya, bila suatu saat diperlukan, misalnya bila terjadi sengketa / pertengkaran dalam masyarakatnya, maka saat itu pula hukum adat itu akan muncul dengan sendirinya. Dengan demikian melalui keputusan-keputusan musyawarah Gampong itu akan mampu menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, secara cepat, tegas dan sederhana dengan penuh wibawa serta dipatuhi oleh masyarakatnya secara serta merta demi harkat dan martabat para pihak yang berkepentingan.

Sudah menjadi suatu kelaziman / adat dalam masyarakat, bahwa bila pada warga Gampong terjadi sengketa, misalnya masalah tanah (perdata /pidana), maka masalah itu diserahkan pada Keuchik untuk diselesaikan. Keuchik membawa masalah tersebut kedalam musyawrah Gampong / desa di Meunasah, dimana

komponen perangkat Gampong (Teungku, Tuha Peut) diikutsertakan untuk membahas dan menyidangkan sengketa-sengketa tersebut yang pada umumnya berhasil diselesaikan dengan baik, menggunakan sumber hukum adat yaitu hasil keputusan musyawarah yang sangat berwibawa, murah, cepat dan sederhana.

Peranan Keuchik untuk menyelesaikan sengketa-sengketa semacam itu, tidak hanya berlaku untuk internal antar anggota masyarakat suatu Gampong, melainkan berlaku pula secara eksternal untuk sengketa anggota dan atau masyarakat antar Gampong dengan Gampong lainnya. Keuchik sebagai pimpinan Gampong memegang peran kunci di bidang hukum adat untuk kesejahteraan komunitasnya.

Dengan demikian, bila terjadi pertengkaran / sengketa antar Gampong, peranan Keuchik amat penting, karena sesuai dengan kebutuhan sifat masyarakat hukum adat yang berada dalam kesatuan yang homogen, tidak sama dengan masyarakat kota. Perasaan masyarakatnya yang berada dalam wawasan kosmo

Dokumen terkait