• Tidak ada hasil yang ditemukan

Famili Collembola Yang Terkumpul

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat disertai dengan peningkatan kualitas hidup yang semakin baik menyebabkan ketergantungan manusia terhadap sumberdaya alam semakin meningkat. Pertambangan adalah salah satu sektor yang memberikan kontribusi nyata dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Pertambangan merupakan sektor pembangunan yang sangat penting karena keberadaanya dapat menunjang pendapatan nasional dan daerah serta masyarakat sekitar tambang. Hasil laporan Price Waterhouse Cooper kontribusi industri pertambangan kepada GDP Indonesia tahun 1999 Rp 31.208,50 milyar dan tahun 1997 Rp 11.121,9 milyar. Tingkat pertumbuhan kontribusi industri pertambangan tahun 1999 14.4 %, tahun 1998 22.8 % dan tahun 1997 22.3 %. Kontribusi pada ekonomi Indonesia tahun 1999 Rp 11.477 milyar, tahun 1998 Rp11.263 milyar dan tahun 1997 Rp 3.745,0 milyar (Coutrier 2001).

Bahan tambang secara alami seringkali berada dalam kawasan yang masuk kriteria hutan. Luas hutan Indonesia yang tersisa tahun 2002 hanya 98 juta hektar, dari luasan tersebut 11,4 juta hektar digunakan untuk kepentingan pembukaan wilayah pertambangan (Anonim, 2003). Aktifitas pertambangan di dalam kawasan hutan menyebabkan fungsi hutan (produksi, proteksi dan konservasi) terganggu dan berdampak pada seluruh organisme yang hidup di dalamnya. Pembukaan hutan menyebabkan hilangnya tutupan lahan, mengakibatkan kenaikan intensitas erosi dan aliran permukaan (run-off), sedimentasi dan rusaknya wilayah penangkapan air (watershed areas) serta terganggunya tingkat stabilitas lahan dan kesuburan tanah.

Perusahaan tambang diwajibkan melakukan revegetasi lahan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat aktifitas pertambangan di dalam kawasan hutan. Revegetasi adalah kegiatan penanaman kembali pohon-pohon yang pernah ada, dimana pohon-pohon-pohon-pohon tersebut ditebang atau musnah karena adanya kegiatan manusia. Menurut Setiadi (2006) merehabilitasi lahan yang terdegradasi terdapat beberapa model revegetasi diantaranya adalah restorasi, reforestasi dan agroforestri. Aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi

(i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii) program monitoring.

Kegiatan revegetasi memiliki banyak keuntungan diantaranya,

memperbaiki kondisi lahan yang labil dan mengurangi erosi tanah, dalam jangka panjang dapat memperbaiki kondisi iklim mikro, menyediakan tempat perlindungan bagi satwa liar dan keanekaragaman jenis-jenis lokal, meningkatkan produktivitas dan kestabilan tanah, sehingga kondisi lahan meningkat ke arah yang lebih protektif dan konservatif (Setiadi 2006).

Pemantauan keberhasilan revegetasi merupakan langkah penting selanjutnya yang harus dilakukan. Indikator yang biasa digunakan untuk memantau keberhasilan revegetasi adalah ketahanan hidup, pertumbuhan tanaman, pertumbuhan akar, tajuk, produksi serasah, rekolonisasi jenis lokal dan perbaikan habitat (Setiadi 2002). Indikator lainnya adalah landscape function analysis (Tongway et al. 2001), ecosystem function analysis (Randall 2004), populasi semut (Andersen & Sparling 1997), dan Collembola sebagai indikator kesuburan tanah (Hopkin 1997; Suhardjono 2004).

Keberadaan Collembola tanah sebagai bagian dari komunitas fauna tanah belum pernah dilaporkan sebagai indikator keberhasilan revegetasi di area tambang PT Newmont Nusa Tenggara. Menurut Suhardjono (1985) ukuran populasi Collembola akan berbeda pada keadaan tanah yang berbeda, karena prilaku hidupnya yang unik sehingga Collembola dapat dipakai sebagai indikator tingkat kesuburan tanah. Menurut Nurtjahyadi et al. (2007) populasi Colembolla tanah berpotensi dijadikan indikator kesuburan di area revegetasi tailling timah. Collembola juga dikenal sebagai indikator keadaan tanah (Christiansen 1964

dalam Rahmadi et al. 2004). Memonitor tingkat pencemaran dalam tanah (Suhardjono 1985). Peran lain Collembola adalah membantu perombak bahan organik atau detrivor (Greenslade 1996; Hopkin 1997).

Collembola sebagai bagian dari kelompok invertebrata, memiliki peranan yang sangat penting dalam memantau kesuburan tanah dan berpotensi sebagai indikator yang dapat memperkaya parameter keberhasilan revegetasi, maka kajian terhadap pemanfaatan kelompok invertebrata sebagai pemantauan

keberhasilan revegetasi diperlukan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kelompok invertebrata memiliki keunggulan tersendiri, diantaranya lebih hemat biaya dan menghasilkan informasi kondisi lingkungan yang lebih tinggi dibanding kelompok vertebrata dan tanaman (Bisevac & Majer 1998). Sangatlah strategis melakukan penelitian terhadap peranan Collembola untuk memantau keberhasilan revegetasi pada lahan pasca tambang, dengan pendekatan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), yang tengah berkembang saat ini, sehingga dapat dibangun model terbaik untuk memantau keberhasilan revegetasi.

Hasil dari pemodelan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor–

faktor lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan Collembola dalam rangka mempermudah pengambilan keputusan, sekaligus dapat digunakan untuk memantau keberhasilan revegetasi dengan pendekatan kesuburan tanah.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah faktor-faktor lingkungan abiotik (sifat fisik dan kimia tanah) dan lingkungan biotik (komposisi vegetasi, ketebalan sarasah dan predator) mempengaruhi kelimpahan Collembola tanah ?

2. Apakah umur vegetasi hasil penanaman di lahan tambang mempengaruhi kelimpahan Collembola tanah ?

3. Apakah kelimpahan Collembola tanah dapat digunakan untuk menduga keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah?

4. Apakah model kelimpahan Collembola tanah dapat digunakan untuk memantau keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membangun model spasial pemantau keberhasilan revegetasi dengan pendekatan aspek kesuburan tanah dan kelimpahan Collembola tanah. Penelitian ini juga mempunyai tujuan khusus yaitu untuk mengidetifikasi indikator dan peubah kunci biofisik yang mempengaruhi keberhasilan revegetasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak baik ditinjau dari aspek keilmuan maupun dari aspek guna laksana:

1. Aspek keilmuan: penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal dalam upaya pengembangan dan mengoptimalkan peranan Collembola tanah sebagai salah satu indikator kesuburan tanah.

2. Aspek guna laksana: penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam proses monitoring keberhasilan revegetasi dari aspek kesuburan tanah di area revegetasi tambang yang sejenis.

1.5. Kerangka Pemikiran

Karakteristik hutan alam umumnya dicirikan oleh keanekaragaman jenis yang tinggi, memiliki stratifikasi tajuk yang lengkap, selalu hijau, terjadi proses suksesi yang dicirikan dengan adanya mekanisme yang berjalan, adanya regenerasi, adanya penambahan jenis dan adanya siklus hara tertutup yang merupakan pabrik kehidupan di dalam hutan. Siklus hara tertutup merupakan suatu sistem yang memiliki jumlah kehilangan hara lebih rendah dibandingkan dengan jumlah masukan hara yang diperoleh dari penguraian serasah pada lapisan tanah dalam. Siklus hara tertutup berhubungan dengan kesuburan tanah, menyebabkan campur tangan manusia tidak diperlukan lagi di dalam hutan alam. Kesuburan tanah dapat diindikasikan dari adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh organisme tanah salah satunya Collembola. Hutan alam dijadikan acuan dalam melakukan revegetasi karena di dalam hutan alam terdapat karakteristik atau struktur yang menyebabkan hutan dapat menjalankan fungsinya (produksi, proteksi dan konservasi). Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Adanya aktifitas penambangan di dalam hutan menyebabkan rusaknya struktur hutan sehingga fungsi hutan terganggu, jika hutan tidak dapat menjalankan fungsinya maka dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Degradasi lahan berdampak pada menurunnya kesuburan tanah, diikuti dengan menurunnya aktivitas dan keragaman biotik dalam tanah. Mengembalikan kesuburan tanah seperti semula membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut salah satunya adalah revegetasi atau penanaman kembali hutan yang terganggu.

Gambar 1 Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian

Revegetasi yang dilakukan pertahun diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kesuburan tanah termasuk bahan organik tanah, serta meningkatnya aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah termasuk kelimpahan Collembola tanah sebagai dekomposer. Collembola merupakan salah satu kelompok mesofauna tanah potensial. Kelompok mesofauna dan makrofauna lebih berperan penting dalam transformasi bahan organik (Hanafiah et al. 2007).

Collembola juga dapat meningkatkan sumber makanan secara langsung di dalam pembusukan akar atau secara tidak langsung di dalam pembentukan hifa fungi dekomposer (Sinka et al. 2007).

Collembola tanah merupakan salah satu bagian dari kelompok invertebrata. Menurut Bisevac & Majer (1998) pemanfaatan kelompok invertebrata sebagai pemantauan keberhasilan revegetasi memiliki keunggulan tersendiri, diantaranya lebih hemat biaya dan menghasilkan informasi kondisi lingkungan yang lebih tinggi dibanding kelompok vertebrata dan tanaman.

HUTAN ALAM SIKLUS HARA

AKTIFITAS PERTAMBANGAN DEGRADASI LAHAN KESUBURAN TANAH REVEGETASI: t1 INDIKATOR: KELIMPAHAN COLLEMBOLA FAKTOR BIOTIK FAKTOR ABIOTIK REVEGETASI: t.. REVEGETASI: tn

Penggunaan Collembola tanah sebagai salah satu indikator pemantau keberhasilan revegetasi merupakan hal yang sangat menarik, mengingat peranan Collembola tanah yang besar dalam membantu kesuburan tanah serta mudah dalam pengambilan sample dan identifikasi. Pemanfaatan Collembola tanah diharapkan dapat memperkaya parameter keberhasilan revegetasi, terlebih memadukannya dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG), yang saat ini tengah berkembang sehingga dihasilkan model-model spasial yang praktis, cepat dan akurat.

1.6. Hipotesis

Kesuburan suatu ekosistem yang bervegetasi sangat erat hubungannya dengan kelimpahan Collembola tanah, dimana kelimpahannya sangat berkaitan dengan indikator dan peubah kunci sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, komposisi vegetasi, ketebalan serasah dan predator.

1.7. Kebaruan (Novelty) Penelitian:

1. Fokus (Focus) dari penelitian ini adalah kajian terhadap kelimpahan Collembola tanah di area pasca tambang hasil revegetasi, dimana populasi Collembola tanah dijadikan sebagai salah satu parameter kesuburan tanah di area tambang yang di revegetasi.

2. Terdepan di bidang ilmu (Advance) karena di Indonesia penelitian mengenai permodelan dan distribusi spasial kelimpahan Collembola tanah di areal tambang yang di revegetasi belum pernah ada.

3. Ilmiah (Scholar) terletak pada pendekatan yang berbasis spasial kuantitatif untuk menghasilkan model terbaik, dimana modelnya dibangun secara empiris terukur dan dievaluasi secara kuantitatif.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Reklamasi dan Revegetasi Lahan Tambang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya energi dan mineral, baik berupa minyak dan gas bumi, emas, tembaga, nikel, dan lain-lain. Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sangat penting sehingga pengembangannya secara berkelanjutan perlu dilakukan karena berhubungan dengan pendapatan nasional dan daerah serta memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang. Perubahan lingkungan di sekitar pertambangan dapat terjadi setiap saat, sehingga manajemen pengelolaan yang efektif menjadi indikator keberlanjutan pertambangan. Menurut Sumantri et al.

(2008) pengelolaan limbah pertambangan mineral (emas dan tembaga) yang telah dilakukan oleh perusahaan pertambangan masih belum mampu mengatasi degradasi kualitas lingkungan bio-fisik dan masalah sosial kemasyarakatan, meskipun beberapa kegiatan pertambangan telah berorientasi pada industri bersih yang berwawasan lingkungan.

Kegiatan penambangan di Indonesia umumnya dilakukan dengan teknik penambangan di permukaan (darat). Penambangan seperti ini menerapkan teknik penambangan terbuka (open pit mining) yang diawali dengan pembukaan lahan, pengikisan lapisan tanah atas, pengerukan dan penimbunan. Aktivitas ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi hutan terutama hutan lindung. Dampak yang ditimbulkan terhadap fungsi hutan lindung adalah menghancurkan ekosistem hutan (termasuk penghilangan vegetasi), meningkatnya laju erosi, aliran permukaan (run-off), sedimentasi dan rusaknya wilayah penangkap air (watershed areas) serta terganggunya tingkat stabilitas lahan dan berubahnya iklim mikro. Dampak lainnya berupa gangguan terhadap status biodiversity jenis-jenis tanaman lokal, habitat satwa dan rusaknya bentang alam yang asli (fragmentasi habitat) (Setiadi 2006). Menurut As‟ad (2005) kegiatan

penambangan dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi tanah melalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian serta pembuangan tailing. Penambangan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dengan bahaya erosi dan tanah

longsor karena hilangnya vegetasi penutup tanah. Hilangnya vegetasi hutan akibat pertambangan dapat meningkatkan aliran permukaan (run off), vegetasi dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungannya dengan air, dapat

mempengaruhi kondisi permukaan tanah, sehingga mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan (Asdak, 2004). Menurut Lau (1999) adanya aktivitas pertambangan dapat memunculkan lahan terganggu, rusaknya drainase dan habitat alami serta menimbulkan polusi.

Upaya mencegah kerusakan lingkungan yang lebih buruk dan berlanjut, maka perlu dilakukan rehabilitasi, reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang. Kepmenhutbun : 146/Kpts-II/1999 dijelaskan mengenai rehabilitasi lahan yaitu usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan. Reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan 1997).

Kegiatan reklamasi dan atau rehabilitasi lahan wajib dilakukan oleh pengusaha tambang, sebagai tanggung jawab terhadap lingkungan. Hal ini berdasarkan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Produk hukum tersebut diantaranya UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan: 146/Kpts-II/1999 tentang, Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kendala utama dalam melakukan kegiatan rehabilitasi dan revegetasi pada lahan-lahan terbuka pasca penambangan adalah kondisi lahan yang marginal. tanah yang memadat, minimnya kandungan unsur hara, potensi keracunan mineral, miskinnya bahan organik, status KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang

rendah dan minimnya populasi dan aktivitas mikroba tanah potensial, merupakan faktor-faktor penyebab buruknya pertumbuhan tanaman dan rendahnya tingkat keberhasilan rehabilitasi (Setiadi 2006).

Strategi menyeluruh dalam merehabilitasi lahan bekas tambang sangat diperlukan diantaranya adalah perbaikan kondisi tanah yaitu dengan melakukan perbaikan ruang tumbuh, pemberian top-soil dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Strategi dalam memilih spesies dimana secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Diperlukan studi awal untuk melihat apakah spesies tersebut cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh. Menurut Lugo (1997) penanaman pohon-pohon akan memberi keuntungan bagi kegiatan rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan

terjadinya suksesi “Jump-start” (permulaan yang sangat cepat), memberikan naungan dan modifikasi ekstrim dari kerusakan lahan. Keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang ditunjang oleh usaha-usaha seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang sesuai, aplikasi teknik silvikultur yang benar dan penggunaan pupuk biologis.

Menurut Setiadi (2006) revegetasi mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar,

biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air. Ada beberapa model revegetasi lahan yang terdegradasi diantaranya adalah restorasi (memiliki aksentuasi pada fungsi proteksi dan konservasi serta bertujuan untuk kembali ke kondisi awal), reforestasi dan agroforestri (Setiadi 2006). Aktivitas dalam kegiatan revegetasi meliputi beberapa hal yaitu (i) seleksi dari tanaman lokal yang potensial, (ii) produksi bibit, (iii) penyiapan lahan, (iv) amandemen tanah, (v) teknik penanaman, (vi) pemeliharaan, dan (vii) program monitoring.

Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adaptif, tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim dan kegiatan pasca penambangan. Adapun vegetasi yang cocok untuk tanah berbatu adalah vegetasi yang termasuk dalam klasifikasi herba, pohon dan rumput yang cepat tumbuh, sehingga dapat

mengendalikan erosi tanah. Famili Leguminoceae termasuk salah satu contoh vegetasi lahan pacsa tambang yang mampu bersimbiosis dengan mikroorganisme tanah dan memfiksasi nitrogen (Vogel 1987).

Pada lahan bekas tambang, revegetasi merupakan sebuah usaha yang kompleks yang meliputi banyak aspek, tetapi juga memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan yang didapat dari revegetasi antara lain, menjaga lahan terkena erosi dan aliran permukaan yang deras, membangun habitat bagi

satwaliar, membangun keanekaragaman jenis-jenis lokal, memperbaiki

produktivitas dan kestabilan tanah, memperbaiki kondisi lingkungan secara biologis dan estetika serta menyediakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis lokal dan plasma nutfah (Setiadi 2006).

2.2. Reklamasi dan Revegetasi Area Tambang PT. Newmont Nusa Tenggara

PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) atau yang dikenal juga dengan nama Tambang Batu Hijau merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar yang berada di Nusa Tenggara Barat tepatnya di sebelah barat daya pulau Sumbawa kecamatan Jereweh dan Sekongkang, kabupaten Sumbawa. PT NNT mulai beroperasi penuh pada bulan Maret 2000 dengan melakukan penambangan terbuka (open pit mine) yaitu bukaan yang dibuat di permukaan tanah, bertujuan untuk mengambil bijih dan akan dibiarkan tetap terbuka (tidak ditimbun kembali) selama pengambilan bijih yang mengandung tembaga-emas. PT NNT menggunakan teknologi flotasi untuk menghasilkan konsentrat yang akan dikapalkan ke pabrik peleburan untuk memperoleh kandungan logamnya. Sejak tambang ini mulai beroperasi, telah melakukan reklamasi permanen secara kumulatif sejak awal operasi tambang Batu Hijau hingga akhir tahun 2009 adalah sebesar 689,43 hektar.

Reklamasi yang dilakukan PT NNT bertujuan untuk mengubah

penggunaan lahan terganggu kepenggunaan yang produktif, sesuai

peruntukannya. Menstabilkan secepatnya permukaan tanah lahan terganggu akibat konstruksi, penambangan, atau penimbunan batuan. Meminimalkan erosi dan sedimentasi dari lahan tereklamasi ke aliran air permukaan. Menumbuhkan kembali vegetasi asli yang lestari, sesuai dengan struktur dan keragaman yang ada

sebelum penambangan. Jika memungkinkan, membantu kembalinya spesies tanaman langka, berharga, atau memiliki arti penting bagi restorasi habitat satwa liar. Dampak positif potensial yang diharapkan adalah kembalinya hutan dan restorasi habitat satwa liar.

Revegetasi dengan operasional persemaian di PT NNT dilakukan dengan cara perbanyakan pohon asli Batu Hijau di persemaian. Semai diperoleh melalui cara generatif yaitu dengan perkecambahan biji dan secara vegetatif melalui pengumpulan semai dengan cabutan dan puteran serta dari produksi stek pucuk. Kegiatan persemaian meliputi pemindahan semai dari nursery shade ke hardening bed, pemupukan dan penyiraman. Sedangkan penanaman dilakukan dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Semai yang di tanam terdiri dari 7 jenis pohon lokal klimaks dan lokal cepat tumbuh. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihkan sekitar tanaman dari gulma untuk mengurangi persaingan antara tanaman pokok dengan tanaman penutup. Pemeliharaan tanaman dengan pemupukan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Kriteria kesuksesan revegetasi adalah penutupan vegetasi > 65% penutupan efektip basal (basal effective cover) species tahunan dan > 85% penutupan vegetasi tajuk (aerial vegetative cover) species tahunan. Kerapatan dan keragaman species jenis pohon (1000 pohon / sampling per hektar dan > 10 species keragaman tanaman lokal (native species) per hektar dengan minimal 2 species A-stratum per hektar). Kegiatan pemantauan di daerah reklamasi meliputi

perhitungan persentase tutupan efektif „basal‟ dan tutupan vegetasi „aerial‟,

potensi permudaan, tiang pancang dan pohon serta jumlah dan keragaman spesies. Pemantauan reklamasi selama periode pelaporan terdiri dari inspeksi dan observasi lanjutan terhadap area yang telah di reklamasi, area kumulatif reklamasi sejak mulainya proyek Batu Hijau, area yang di reklamasi selama triwulan terakhir, lokasi timbunan tanah pucuk dan subsoil serta area reklamasi yang dianggap telah pulih kembali secara fungsional sesuai dengan tujuan program reklamasi yaitu untuk mengembalikan area bekas tambang agar mendekati kondisi semula, sehingga satwa liar setempat dapat kembali ke habitatnya (PT Newmont Nusa Tenggara, 2008).

2.3. Tinjauan Umum Collembola Tanah

2.3.1. Ciri-ciri Umum Collembola

Berdasarkan ukuran panjang tubuhnya, fauna tanah diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu mikrofauna, mesofauna dan makrofauna (Brown 1980

dalam Suhardjono 1985). Diantara ketiga kelompok tersebut mesofauna merupakan kelompok yang terpenting dalam lingkungan tanah. Collembola termasuk kelompok mesofauna yang ukuran panjangnya berkisar 0,25-8,00 mm dan ukuran terbesar yang hidup di tanah adalah ± 5 mm. Sebagai anggota Arthropoda, bagian-bagian tubuh Collembola tersusun atas ruas-ruas dan dapat dibedakan menjadi 3 bagian utama yaitu kepala, toraks dan abdomen. Ciri lainnya berupa antena beruas 4 dengan panjang bervariasi. Antena jantan kadang mengalami modifikasi sebagai organ penjepit. Antena mempunyai seta kemosensorik. Ujung antena bentuknya bervariasi. Toraks dibagi menjadi 3 ruas. Pada toraks terdapat tiga pasang tungkai. Masing-masing tungkai dibagi menjadi subkoksa, koksa, trokanter, femur, tibiotarsus dan pretarsus. Abdomen terdiri dari enam ruas . pada bagian vetral ruas pertama terdapat tabung ventral (kolofor), ruas ketiga terdapat retinakulum dan ruas keempat terdapat furka. Furka terdiri dari bagian basal, manubrium, sepasang dens dan mukro berduri atau berlamela. Celah genital jantan atau betina terdapat pada abdomen kelima, celah anal berada pada abdomen keenam (Greenslade 1996).

Collembola merupakan Hexapoda yang tubuhnya dilengkapi seta tetapi tidak bersayap (Apterigota). Bentuk tubuhnya bervariasi ada yang gilik, oval atau pipih dorsal-ventral. Warna tubuhnya bervariasi, putih, kuning, jingga, merah merona, hitam, abu-abu, dan bahkan ada yang berwarna polos, banyak pula yang berbentik atau bernoda, bergaris-garis warna tertentu pada bagian tubuh tertentu (Suhardjono 1992).

Menurut Greenslade (1991), Suhardjono (1992) dan Hopkin (1997) Collembola telah dikelompokkan ke dalam klas yang berbeda dengan insekta. Klas Collembola memiliki 3 ordo yaitu Arthropleona, Symphypleona dan Neelipleona. Ordo Arthropleona terdiri dari sub ordo Produromorpha dan Entomobryomorpha, sedangkan klasifikasi dua ordo yang lain tidak terdapat sub ordonya (Jordana & Arbea 1989).

Collembola dikenal juga dengan istilah Springtail (Ekor pegas) karena sifat dari ekor Collembola yang seperti pegas. Ekor pegas Collembola mempunyai struktur bercabang (furka) pada bagian ventral ruas abdomen keempat. Saat istirahat furka terlipat ke dapan dan dijepit oleh gigi retinakulum. Retinakulum atau tenakulum merupakan embelan berbentuk capit yang terdapat pada bagian ventral abdomen ke tiga. Ketika otot berkontraksi, furka kembali ke posisi tidak lentur kemudian akan memukul substrat sehingga mendorong Collembola tanah ke udara (Greenslade 1996).

Collembola tidak mengalami metamorphosis sempurna, tetapi hanya terjadi pergantian kulit sebanyak 5-6 kali. Bentuk pradewasa dan dewasa mirip satu dengan yang lainnya. Kedua bentuk stadia tersebut dibedakan oleh ukuran, jumlah seta dan tidak adanya organ genitalia atau bidang genitalia pada stadia pradewasa. Persamaan penampilan ini mempermudah pengenalan sampai taraf takson tertentu. Pergantian kulit tetap berlangsung meskipun telah mencapai kematangan alat reproduksi, Biasanya dapat berlangsung 3-12 kali. Kenyataan ini sering menimbulkan permasalahan dalam taksonomi, karena pergantian kulit