• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang 1

Konsep pembangunan yang berkelanjutan berkembang dari berbagai masalah yang menyangkut menurunnya kualitas lingkungan hidup, akibat dari pertambahan penduduk yang tinggi, penggunaan sumberdaya dan tuntutan konsesi lahan yang makin meningkat, industrialisasi, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya. Fenomena ini merupakan lahirnya pemikiran dari pemerhati lingkungan agar negara menyediakan sebagian wilayahnya sebagai kawasan perlindungan atau konservasi yang sangat bermanfaat sebagai penyangga kawasan produktif atau sebagai kawasan penyerap pencemaran dari kawasan yang produktif. Kawasan konservasi juga memiliki peranan penting dalam menjaga proses dalam sistem penopang kehidupan bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, ilmu pengetahuan dan melestarikan plasma nuftah bagi program budidaya, serta menjamin kesinambungan pendayagunaan spesis dan ekosistem oleh manusia untuk mendukung kehidupannya (UU No. 5/1990).

Kawasan konservasi sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang tujuan utamanya agar dapat dicapai kesejahteraan bagi masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan. Sumberdaya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan penopang sistem kehidupan. Hingga saat ini, sumberdaya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka pendek dan menengah. Namun, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga daya dukung dan fungsi lingkungan hidup semakin menurun.

Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumberdaya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam mendorong investasi pembangunan

jangka menengah dan jangka panjang. Prinsip-prinsip tersebut saling sinergis dan melengkapi dengan pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang mendasarkan pada asas partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas yang mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Seiring dengan perkembangan waktu maka kawasan konservasi juga dituntut untuk dapat menghasilkan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, baik itu berupa kegiatan budidaya terbatas dan pariwisata. Namun demikian kegiatan ekonomi juga harus ditunjang dengan pencapaian tujuan sosial, budaya dan lingkungan secara bersama dalam kerangka kerjasama yang tertata dengan baik sehingga semuanya dapat berjalan secara harmonis.

Salah satu bentuk kawasan konservasi adalah taman nasional yang termasuk dalam kategori II kawasan yang dilindungi, yakni kawasan konservasi yang dibentuk dengan tujuan untuk perlindungan areal yang relatif luas dan secara nasional maupun internasional. Taman nasional memiliki nilai bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dan rekreasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menyetujui kesepakatan tersebut dan menindak lanjutinya dengan menetapkan sejumlah kawasan konservasi berupa taman nasional sebanyak 50 buah sampai tahun 2012 dengan luas seluruhnya 16.387.594 hektar. Dari luasan tersebut, taman nasional laut berjumlah 8 buah dengan luas 4.218.749 hektar (KemHut, 2009).

Salah satu Taman Nasional di Indonesia Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat baik, ditinjau dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan manfaat fisik. Namun demikian dalam pengelolaan saat ini masih dijumpai beberapa permasalahan pokok yang merupakan potensi konflik terutama konflik kewenangan. Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 1999 dinyatakan bahwa isu konflik dalam pengelolaan kawasan TNKpS terdiri dari permasalahan kawasan yakni perambahan di zona inti dan zona pemanfaatan serta masih tumpang tindihnya pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan para pihak (BTNKpS, 1999). Hal ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Amanah (2004) adanya tumpang tindih pemanfaatan dan kewenangan antar berbagai pihak dalam

pengelolaan kawasan Kepulauan Seribu. Permasalahan dalam pengelolaan terdiri dari masalah institusional, sumberdaya manusia, sarana/prasarana, pendanaan. Dikemukakan oleh Cadoret (2009) bahwa isu konflik merupakan tantangan dalam pengelolaan baik secara sosial, politik dan lingkungan karena konflik merupakan bagian integral dari semua kegiatan pengelolaan. Pendapat yang agak skeptis menyatakan bahwa: Harmoni, sebagai tujuan dari perencanaan, adalah sebuah ilusi (United Nations 2000 in Foster and Haward, 2003)

Implementasi dari undang-undang yang berkaitan dengan otonomi propinsi dan daerah berimplikasi pada pemberian wewenang lebih besar pada Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengatur dan mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Hal ini dapat memberikan dampak negatif dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di daerah jika dalam implementasinya tidak didasari dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, maka perencanaan dalam pengelolaan sumberdaya secara arif yang ditunjang dengan sumberdaya manusia yang memadai mutlak diperlukan.

Pengelolaan TNKpS semenjak ditetapkan sebagai taman nasional belum terkoordinasi dengan baik antara pihak-pihak yang berkepentingan yaitu, pengelola Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS), Pemerintah Daerah dan stakeholder lainnya. Pada tataran kebijakan pemerintah dan para pihak lainnya belum mempunyai persepsi yang sama berkaitan dengan pengelolaan TNKpS. Hal ini jika tidak dilakukan pembenahan maka permasalahan ini dapat menjadi ancaman terhadap pengelolaan TNKpS yang pada akhirnya akan berdampak pada keberlangsungan sumberdaya. Hilyana (2011) menyatakan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Gili Sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur masih rendahnya sinkronisasi kebijakan lintas sektoral. Gomes et al. (2008), mensinyalir bahwa pemerintah terkadang tidak konsisten dalam perencanaan, lingkungan, pengawasan dan tingkat implementasi kebijakan. Di masa mendatang perlu adanya harmonisasi dalam pengelolaan dan kebijakan sehingga dapat meningkatkan partisipasi setiap stakeholder dalam pengelolaan. (Purwanti, 2008) menunjukkan potensi keanekaragaman hayati semakin menurun dan tingkat pemanfaatan sumberdaya Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) yang kurang terkontrol sehingga dapat mengancam status TNKJ akibat dari rendahnya

partisipasi stakeholder. Berbagai kajian kelembagaan dan kebijakan menunjukkan bahwa peraturan pengelolaan kawasan konservasi lebih terfokus pada kewenangan pemerintah, selain itu terdapat disharmonisasi peraturan dalam hal kewenangan pengelolaan antara para stakeholder sehingga cenderung timbul konflik institusional karena peraturan sulit diterapkan lintas sektor. Konflik yang terjadi dalam pengelolaan taman nasional pada akhirnya mengakibatkan kinerja pengelolaan kurang optimal.

Konsep harmonisasi merupakan suatu alternatif dalam perencanaan kawasan konservasi. Harmonisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai kebijakan sebagai implementasi dari peraturan perundangan-undangan yang telah ada dan yang akan disusun, dalam hal ini untuk mengatur kawasan konservasi. Maksud harmonisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi, saling terkait. Tujuan harmonisasi dalam pengelolaan dan kebijakan adalah guna menjaga kelestarian sumberdaya alam TNKpS dengan menjalankan dan meningkatkan koordinasi antar institusi dan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan TNKpS serta membenahi regulasi yang terkait didalamnya. Teknisnya adalah dengan menentukan faktor-faktor kunci pengelolaan pada masing-masing institusi dan stakeholder untuk selanjutnya dituangkan secara bersama dalam perencanaan dan penyusunan program pengelolaan TNKpS sehingga kegiatan yang dihasilkan merupakan tanggung jawab bersama. Guna memperoleh manfaat dari harmonisasi tersebut, maka perlu dilakukan kajian ilmiah yang dapat merumuskan suatu mekanisme bagi rencana pengelolaan partisipatif TNKpS secara integral meliputi kelembagaan, sumberdaya manusia dan regulasi bagi pencapaian tujuan keberhasilan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.

Dokumen terkait