• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR

A. Latar Belakang

MenurutNational Health and Nutrition Examination Survey(NHANES) tahun 2007, pengukuran antropometrik merupakan suatu metode sederhana yang sangat mudah dilakukan dan menggambarkan distribusi lemak tubuh yang dapat menentukan pencapaian status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan pengukuran obesitas.

Pengukuran antropometri banyak digunakan secara luas dan digunakan untuk berbagai macam tujuan tergantung pada indikator yang diukur (Cogill, 2003). Metode antropometri memiliki kelebihan antara lain aman (tidak invasif), sederhana dan biaya murah serta tidak harus membutuhkan pihak yang ahli di dalam pengukurannya (Supariasa, Bakri,andFajar, 2002).

Pengukuran antropometri meliputi pengukuran body mass index

(BMI), berat tubuh ideal, rasio lingkar pinggang panggul, skinfold thickness, persentase massa lemak, dan massa muskuler total (Tarnus and Bourdon, 2006). Melalui pengukuran tersebut dapat diperoleh rasio ataupun indeks pengukuran yang sesuai dengan indikator antropometrik yang diinginkan (NHANES, 2007), seperti body mass index (BMI), abdominal skinfold thickness, lingkar pinggang dan rasio lingkar pinggang-panggul.

Body mass index(BMI) merupakan salah satu cara penentuan status gizi yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang dikatakan obesitas atau

tidak. Cara mengukur BMI yaitu dengan mengukur berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m2). BMI merupakan parameter obesitas secara umum.

Metode antropometri lain yang dapat menentukan pencapaian status gizi yang baik dengan cara pengukuran obesitas adalah pengukuranskinfold thickness

(tebal lipatan kulit). Pengukuran skinfold thickness dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi tingkat obesitas, untuk mengukur akumulasi lemak tubuh, dan perkiraan penyimpanan lemak tubuh.

Menurut NHANES (2007), pengukuran skinfold thickness dapat menggambarkan akumulasi jaringan lemak subkutan. Pengukuran ini membutuhkanskinfold caliperyang digunakan untuk menentukan jumlah jaringan adipose. Pengukuran tebal lemak subkutan banyak digunakan untuk memprediksi densitas tubuh. Keakuratan pengukuran dengan menggunakan skinfold caliper dipengaruhi oleh tekanan pada kulit. Pengukuran abdominal dan suprailiac skinfold thickness lebih tepat untuk memprediksi kejadian obesitas dibandingkan

triceps skinfold thickness pada individu Jepang dewasa (DemuraandSato, 2007). Berdasarkan penelitian tentang validasi pengukuran lemak tubuh menggunakan

skinfold caliper yang dilakukan oleh Budiman (2008), memperoleh hasil bahwa dengan pengukuran skinfold thickness pada beberapa bagian tubuh mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan prediksi percent body fat (persentase lemak tubuh), dengan nilai r= 0,8. Untuk memperoleh persentase lemak tubuh menggunakan metode skinfold thickness dapat menggunakan rumus. Peningkatan

tubuh atau dapat dikatakan mengalami obesitas dan hal ini berisiko terjadi penyakit diabetes mellitus tipe II (Baumgartner, Jackson, Mahan, and Rowe, 2007).

Obesitas dapat didefinisikan sebagai penyakit dimana terdapat kelebihan lemak tubuh yang terakumulasi sehingga kesehatan tubuh dapat terpengaruh (Kopelman, 2000). Pada saat ini, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan berlebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta diantaranya obesitas (WHO, 2004). Menurut penelitian penelitian ChukwunonsoandIfeoma (2012) di Nigeria, usia berpengaruh pada terjadinya obesitas, dimana dewasa muda dilaporkan cenderung mengalami obesitas dalam peralihannya dari anak-anak atau remaja ke dewasa. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi obesitas umum di Indonesia pada penduduk berusia≥15% tahun adalah

10,3%, terdiri dari laki-laki 13,9% dan perempuan 23,8%. Usia dewasa, dalam hal ini mahasiswa dan mahasiswi yang berada pada rentang usia 18-24 tahun. Obesitas yang terjadi pada usia dewasa ini terjadi akibat pola hidup yang tidak teratur antara lain terkait dengan pola makan yang tidak sehat seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan dengan kandungan lemak yang tinggi dan kurangnya aktifitas fisik seperti berolahraga. Menurut penelitian Faris (2009), obesitas pada dasarnya disebabkan karena tidak ada keseimbangan antara makanan yang masuk atau suplay energi yang masuk ke dalam tubuh dengan jumlah energi yang dikeluarkan.

Menurut Pateda and Tirtamulia (2011), obesitas menyebabkan peningkatan risiko sindrom metabolik, salah satunya adalah peningkatan kadar glukosa darah puasa karena terjadi resistensi insulin, yaitu ketidakmampuan insulin untuk menghasilkan fungsi biologik secara normal (menurunnya sensitivitas insulin). Pernyataan ini didukung oleh penelitian Faris (2009), hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan erat antara obesitas dan sindrom metabolik, salah satunya peningkatan kadar glukosa darah puasa yang dapat berkembang menjadi penyakit diabetes melitus tipe II. Terdapat penelitian lain yaitu penelitian yang dilakukan oleh Lipoeto, Yerizel, Edward, and Widuri (2007), menjelaskan bahwa obesitas sangat berperan pada kejadian sindrom metabolik. Salah satu teori dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa sel-sel lemak yang mengalami hipertrofi menurunkan jumlah reseptor insulin. Teori lain menyebutkan tingginya asam lemak, peningkatan hormon resistin dan penurunan adiponektin akibat penumpukan lemak. Pada penderita obesitas mempengaruhi kerja insulin sehingga dapat menyebabkan tingginya kadar glukosa darah. Berdasarkan penjelasan tersebut maka terdapat hubungan antara besarnya akumulasi lemak dengan peningkatan kadar glukosa darah.

Glukosa darah adalah jumlah atau konsentrasi glukosa yang terdapat dalam darah. Pada keadaan normal, glukosa diatur sedemikian rupa oleh hormon insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas. Pada orang sehat, kadar glukosa darah <100 mg/dl pada keadaan puasa (International Diabetes Federation, 2006). Konsentrasi tersebut akan meningkat sampai 120-140 mg/dl setelah makan. Kadar glukosa darah di dalam darah dimonitor oleh pankreas. Apabila konsentrasi

glukosa menurun, misalnya untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas akan melepaskan hormon glukagon ke dalam aliran darah supaya dapat berfungsi meningkatkan kadar glukosa darah. Sebaliknya jika kadar glukosa darah di dalam darah meningkat, misalnya setelah makan, insulin akan disekresikan untuk menurunkan dan mengembalikan konsentrasi kadar glukosa darah ke keadaan normal (Rizky, 2010).

Pada tahap awal sindrom metabolik, kadar glukosa darah puasa di atas nilai normal. Lama-kelamaan terjadi kegagalan pankreas dalam mengatur kadar insulin yang cukup, sehingga homeostasis glukosa terganggu, menghasilkan toleransi glukosa terganggu dan hiperglikemia, kemudian berakhir pada diabetes mellitus tipe 2 (Appel, JonesandKennedy-Malone, 2004).

Berdasarkan survey WHO, Indonesia termasuk salah satu negara dengan penderita diabetes mellitus cukup tinggi, jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia sekitar 17 juta orang (8,6% dari jumlah penduduk) atau urutan terbesar keempat setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. International Diabetic Federation(2003) mengestimasikan jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun ke atas menderita diabetes mellitus sebanyak 5,6 juta orang pada tahun 2001 dan akan meningkat 8,2 juta pada 2020.

Penelitian Ohnishi, Saitoh, Takagi, Katoh, Chiba, Akasaka et al. (2006) yang dilakukan pada 348 pria dan 523 wanita. Hasil penelitian menyatakan bahwa risiko diabetes mellitus tipe II secara signifikan lebih tinggi didalam kelompok obesitas dibanding kelompok berat badan normal.

Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran dua paramater (body mass index dan percent body fat, dimana pengukuran parameter ini dilakukan pada Mahasiswa dan Mahasiswi Kampus III Universitas Sanata Dharma. Tujuan dari dilakukannya pengukuran yaitu untuk melihat pengaruh body mass index

(parameter obesitas umum) dan percent body fat (persentase lemak tubuh) terhadap kadar glukosa darah puasa. Dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti mengharapkan terdapat korelasi yang bermakna antara body mass index dan

percent body fat terhadap kadar glukosa darah puasa pada Mahasiswa dan Mahasiswi Kampus III Universitas Sanata Dharma.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat oleh peneliti dalam penelitian ini adalah :

Apakah terdapat korelasi antara body mass index (BMI) dan percent body fat

terhadap kadar glukosa darah puasa pada mahasiswa dan mahasiswi Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta?

2. Keaslian penelitian

Penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu: 1. Korelasi Body Mass Index(BMI) dan Abdominal Skinfold Thicknessterhadap

Kadar Glukosa Darah Puasa (Pika, 2011).

Penelitian ini dilakukan di kampus I, II, dan III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan 57 responden yang terlibat dalam pengukuran

parameter dengan usia 39±50 tahun. Hasil analisa korelasi diperoleh Body Mass Indexmempunyai korelasi positif berkekuatan sangat lemah (r=0,197) namun tidak bermakna dengan kadar glukosa darah puasa (p=0,141) dan

abdominal skinfold thicknessmempunyai korelasi positif berkekuatan lemah (r=0,236) namun tidak bermakna dengan kadar glukosa darah puasa (p=0,077).

2. Skinfold-Thickness Measurements Complement Conventional Anthropometric Assessments in Predicting Glucose Tolerance (Sievenpiper, Jenkins, Josse, LeiterandVuksan, 2001).

Penelitian ini dilakukan terhadap 35 responden dengan mengukur truncal skinfold thickness yang merupakan penjumlahan dari subscapular, iliac, dan abdominal skinfold thickness dan mengkorelasikan truncal skinfold thickness ini terhadap kadar glukosa darah puasa. Hasil penelitian menyatakan adanya korelasi positif bermakna dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,52 (p<0,01) antara truncal skinfold thickness dengan kadar glukosa darah puasa.

3. Hubungan Antara Nilai Antropometri Dengan Kadar Glukosa Darah (Lipoeto

et al., 2007).

Penelitian ini dilakukan di kabupaten Padang Pariaman dengan jumlah responden sebanyak 70 orang penduduk dewasa yang berusia di atas 20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan jumlah penderita obesitas berdasarkan Index Massa Tubuh (IMT) (lebih dari 25 kg/m2) sebanyak 34,3%, berdasarkan lingkar pinggang (LP) berjumlah 38,6% dan berdasarkan

rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) berjumlah 24,4%. Hasil analisa korelasi didapatkan nilai korelasi (r) kadar glukosa darah dengan IMT adalah 0,101 (p>0,05), dengan LP sebesar 0,168 (p>0,05) dan dengan RLPP adalah sebesar 0,186 (p>0,05).

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai korelasi

body mass index (BMI) dan percent body fat (%BF) terhadap kadar glukosa darah puasa pada mahasiswa dan mahasiswi Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Data yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak terkait mengenai korelasi body mass index (BMI) dan percent body fat

(%BF) terhadap kadar glukosa darah puasa pada mahasiswa dan mahasiswi Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengukuran BMI dan %BF diharapkan mampu memberikan gambaran awal kadar glukosa darah sehingga diharapkan masyarakat dapat memantau kesehatan fisiknya secara lebih intensif dan sebagai deteksi dini akan kecenderungan risiko penyakit diabetes mellitus tipe II. Selain itu juga memberi gambaran bahwa pengukuran BMI dan %BF merupakan pengukuran antropometri yang murah dan praktis serta dapat dilakukan oleh segala lapisan masyarakat tanpa memerlukan keahlian khusus.

Dokumen terkait