• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Latar Belakang Latar Belakang Latar Belakang

Daftar Isi

1.1 Latar Belakang Latar Belakang Latar Belakang Latar Belakang

1.1 Latar Belakang1.1 Latar Belakang

1.1 Latar Belakang1.1 Latar Belakang

S

ejarawan terkemuka dari Australia, Anthony Reid (2011), menulis buku yang berisi kumpulan karangannya yang diberi judul To Nation by Revolution. Nation atau bangsa yang dimaksud Reid adalah Indonesia. Ide yang ingin dikemukakan di dalam buku itu adalah bahwa untuk menjadi bangsa yang merdeka, Indonesia memperjuangkannya melalui revolusi. Dalam catatan sejarah pasca Perang Dunia Kedua, hanya empat bangsa yang merebut kemerdekaannya dari kekuasaan asing melalui perjuangan panjang, yakni Aljazair, Israel, V ietnam, dan Indonesia. Dengan perjuangan berat dan pengorbanan jiwa dan raga, bangsa Indonesia akhirnya dapat melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Meskipun demikian, penjajahan Belanda di Indonesia bukan 350 tahun lamanya.

Penghitungan penjajahan selama 350 tahun itu adalah sejak kedatangan kapal orang Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman di pelabuhan Banten pada 1596 ditarik ke depan hingga tahun 1945, saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sampai abad ke-19 dalam kajian sejarah hukum yang dilakukan oleh sejarawan Belanda, G.J Resink (2012), masih terdapat kerajaan-kerajaan di Nusantara yang memiliki kedaulatannya. Pengerti-an penjajahPengerti-an atau kolonialisme BelPengerti-anda barulah pada abad ke-19 itu. Meskipun masa VOC tidak dikatakan sebagai masa penjajahan, akar-akarnya sudah terjadi. Penaklukan daerah-daerah di Nusantara terjadi dalam perlawanan dan perang yang digerakkan oleh pemimpin atau penguasa daerah. Proses itu berlangsung bertahap. Jadi, setiap daerah di Nusantara memang tidak berjalan serentak dan merasakan sama akibat penjajahan Belanda.1

Menurut Ricklefs, penjajahan Jawa baru dimulai ketika Mataram terbagi menjadi dua wilayah setelah Perjanjian Giyanti pada 1755. Aceh pula setidaknya baru dikuasai oleh Belanda pada 1904. Meskipun demikian, sesungguhnya masih terjadi apa yang dikenal sebagai “Aceh moorden”, yakni tindak-an secara sporadis ortindak-ang Aceh ytindak-ang melakuktindak-an aksi pem-bunuhan terhadap orang Belanda di mana saja mereka jumpai, di pasar atau di jalan-jalan misalnya. Dalam pada itu, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan baru benar-benar masuk ke dalam wilayah kolonialisme Hindia-Belanda pada 1906.

1G.J. Resink, Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850—1910: Enam

Tulisan Terpilih, Jakarta, KITLV-Djambatan, 1987. Lihat juga G.J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, Depok, Komunitas Bambu, 2012

Meskipun penjajahan Belanda di Indonesia baru dimulai pada abad ke-19, ketika suatu pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda dijalankan, akar-akar penjajahan sesungguhnya sudah ada pada masa VOC. Kongsi dagang bangsa Belanda yang berdiri pada awal abad ke-17 dan beraktivitas di Nusantara ini bertujuan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pelbagai cara. Faktor yang mendorong VOC beraktivitas seperti itu adalah badan itu diberi hak octrooi, yaitu hak sebuah organisasi pemerintahan, antara lain, hak untuk membuat kontrak atau perjanjian dengan penguasa setempat, memiliki angkatan perang, dan mengeluarkan mata uang sendiri.

Dengan kelengkapan kekuasaan yang didukung kemampuan seperti itu, VOC dapat memaksakan kehendak

kepada siapa pun untuk mencapai tujuan memperoleh keutungan sebesar-besarnya. Metode dan sistem dagang yang diterapkan VOC di nusantara adalah hak monopoli, menetap-kan harga pembelian komoditi rempah-rempah sesuai dengan keinginannya. Tidak itu saja metode pendukung berjalannya sistem itu. VOC juga melakukan hongie tochten, suatu pelayar-an dengpelayar-an sejumlah kora-kora untuk memusnahkpelayar-an pohon rempah-rempah dengan maksud untuk menjaga kestabilan harga. Itu dilakukan agar keuntungan tetap di tangan VOC. Umumnya cara VOC berdagang adalah dengan lang-kah diplomatik, melakukan perjanjian atau kontrak dengan penguasa kerajaan setempat. Reinout Vos menggambarkan metode kerja dan strategi yang dijalankan VOC dengan dua sisi: bertindak sebagai pedagang dan sebagai pangeran yang dalam satu f igur diberi nama merchant prince. Begitulah Vos dalam bukunya memaparkan dengan baik sekali bagaimana VOC memainkan peran di antara ketegangan diplomasi meng-hadapi Sultan Riau-Johor dan pesaingnya, orang-orang Inggris dalam English Indian Company (EIC). Penggambaran dalam periode 1740 hingga 1800 merupakan masa-masa tajamnya permusuhan Kesultanan Riau-Johor menghadapi VOC. Kom-pleksitas masalah semain tinggi karena faktor Inggris yang mengahadpi VOC untuk memperjuangkan kepentingannya di Semenanjung Malaya, Selat Malaka, dan Kepulauan Riau.2

2Reinout Vos, Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and The Tightrope of

Diplomacy in The Malay World, 1740—1800, (translated by Beverly Jackson),

Leiden, Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voor Taal -, land-en Volkenkunde, 157, KITLV Press, 1993.

Peperangan laut terjadi ketika Yang Dipertuan Muda Raja Haji memimpin pasukan Riau-Johor melawan VOC. Pertempuran di Teluk Ketapang yang dahsyat itu mengakibat-kan gugurnya Raja Haji Fisabilillah pada 1784.

Tak sebagaimana perjuangan f isik Raja Haji hingga gugur di medan pertempuran, Sultan Mahmud Riayat Syah, yang dalam hal ini hendak diajukan sebagai pahlawan nasional menyusul apa yang diberikan untuk Raja Haji, memang lalu memperlihatkan hal yang kontras. Bagaimanakah menempat-kan peran Sultan Mahmud dalam perjuangan melawan VOC pasca Raja Haji merupakan tantangan tersendiri untuk menjelaskannya. Dari pengalaman pengusulan yang sudah pernah dilakukan, dianggap terlalu luasnya peran Sultan Mahmud Riayat Syah dalam segala aspek kehidupan. Meng-ambil pengalaman dari pengusulan tersebut, maka peran Sultan Mahmud Riayat Syah difokuskan pada strategi perang laut. Dalam konteks itulah suatu penelitian untuk mengangkat fakta adanya perlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah ter-hadap pihak kolonial Belanda yang berusaha menguasai Kerajaan Johor-Riau sejak 1784. Perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah untuk mempertahankan kedaulatannya dimulai sejak 1787, ketika sultan bekerja sama dengan kekuatan bajak laut dari Tempasuk, Sabah, dan dari Kalimantan Barat sejak 1787 sultan memindahkan pusat kekuasaannya dari Riau (Tanjungpinang) ke Kepulauan Lingga. Upaya ini juga merupakan strategi untuk mempersulit Belanda menguasai Johor-Riau. Perjuangan yang tak mengenal menyerah ini dilakukan dengan serangan-serangan bajak laut yang dapat dijadikan sekutu, bahkan yang dipimpin sendiri oleh keluarga

sultan. Upaya mempersulit kegiatan perekonomian dan kekuasaan Belanda tersebut membuahkan hasil, dengan dikembalikannya kekuasaan sultan atas Riau oleh Gubernur Jenderal VOC di Batavia pada 1795. Kedaulatan Sultan Mahmud atas Johor-Riau ini juga diakui oleh Inggris, yang sejak 1795 juga merebut Malaka dari tangan Belanda.

1.2 Permasalahan 1.2 Permasalahan1.2 Permasalahan 1.2 Permasalahan 1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan kerangka yang dibangun dalam paparan di atas, dapat diungkapkan rumusan masalah bahwa posisi Kesultanan Riau-Johor melalui persekutuan dengan Inggris dan para lanun dalam melawan VOC. Dari rumusan di atas diajukan tiga pertanyaan yang hendak dijawab di dalam buku ini.

1. Bagaimanakah dinamika Kesultanan Johor-Riau-Lingga di tengah kekuatan dan persaingan Belanda (VOC) dan Inggris (EIC)?

2. Mengapakah Sultan Mahmud Riayat Syah memilih strategi gerilya laut?

3. Bagaimanakah akhir perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah?

1.3 T 1.3 T1.3 T 1.3 T

1.3 Tujuan Penulisanujuan Penulisanujuan Penulisanujuan Penulisanujuan Penulisan

Ada dua tujuan penulisan tentang perlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah terhadap VOC/Belanda. Kedua tujuan tersebut sebagai berikut:

(1) untuk menambah khasanah kisah album perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan asing.

(2) Untuk menjadi bahan atau naskah akademik yang dapat digunakan untuk pengusulan calon pahlawan nasional dari Provinsi Kepulauan Riau.

1.4 Metodologi Penelitian 1.4 Metodologi Penelitian1.4 Metodologi Penelitian 1.4 Metodologi Penelitian1.4 Metodologi Penelitian

Penelitian ini merekonstruksi peran Sultan Mahmud Riayat Syah secara holistik ke dalam pentas sejarah nasional. Penelitian ini sepenuhnya menggunakan dua tahap, yakni analisis dan sintesis. Tahap analisis meliputi kegiatan pengumpulan sumber atau heuristik dan kritik, terdiri atas kritik ekstern dan kritik intern. Kegiatan sintesis meliputi interpretasi dan penyusunan kisah sejarah.

Kegiatan pertama, heuristik, yaitu pengumpulan data yang relevan dengan topik penelitian. Pada tahap ini peneliti menggunakan teknik perekaman data melalui studi dokumen, mengkaji arsip atau naskah-naskah yang memuat perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama beliau memerintah. Studi dokumen didukung pula dengan metode sejarah lisan, melalui serangkaian wawancara dengan narasumber guna mengumpulkan cerita yang diwariskan secara turun-temurun sebagai memori kolektif masyarakat yang memilikinya. Pengamatan untuk mengkaji tinggalan bersejarah dan budaya yang mempunyai hubungan dengan perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah. Kegiatan kedua, kritik, terdiri atas kritik ekstern dan intern, yaitu melakukan kritik sumber guna memperoleh keabsahan sumber.

Jenis sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber visual (benda).

Sumber tertulis berupa arsip-arsip VOC (Belanda), naskah-naskah perjanjian yang dibuat oleh Belanda dengan kesultan-an Riau, surat-surat sultkesultan-an dengkesultan-an Belkesultan-anda dkesultan-an Inggris, dkesultan-an sumber arsip Inggris yang ada di Pulau Pinang (Penang), Malaysia.

Sumber-sumber artefaktual digunakan pula untuk mem-perkuat keterangan sumber lisan yang diperoleh dari infor-man. Sumber visual berupa benteng, kubu-kubu meriam, istana, foto-foto senjata, tombak, stempel, keramik, keris pusaka, pakaian perang, serta tinggalan bersejarah dan budaya lainnya yang dapat menunjang penulisan.

Tahap terakhir adalah penulisan atau historiograf i, proses penarasian peran Sultan Mahmud Riayat Syah dalam upaya memperjuangkan dan mempertahankan kedaulatannya melalui perang gerilya laut yang dibahas dalam bab-bab selanjutnya.

Bab 2

Dokumen terkait