• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Bahasa daerah selain merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia juga merupakan pembeda bahasa daerah lain. Dengan kata lain, bahasa daerah merupakan ciri pengenal kepada daerah lain. Oleh sebab itu perlu diadakan pelestarian atau pembinaan terhadap bahasa daerah agar jangan sampai hilang dari masyarakat pemakai bahasa. Agar hal ini tidak terjadi perlu kiranya digalakkan penelitian terhadap bahasa daerah di Indonesia oleh mahasiswa sastra Daerah khususnya dan masyarakat pecinta bahasa umumnya.

Rasa cinta terhadap bahasa daerah sendiri oleh masyarakat pemakai bahasa sangat perlu agar kemurnian dari bahasa tersebut dapat dipertahankan terus sampai generasi berikutnya.

Penelitian terhadap bahasa daerah (Bahasa Melayu) ini khususnya mengenai kata tugas semoga dapat menjadi suatu langkah awal yang baik bagi semua pihak untuk melakukan penelitian di bidang yang sama demi mencapai kesempurnaan dalam hal penganalisisannya, juga penelitian di bidang yang lainnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keputakaan yang Relevan

Mempertanggungjawabkan hasil penelitian bukanlah pekerjaan mudah. Seorang penulis harus mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya disertai data- data yang kuat serta buku-buku acuan yang relevan dengan objek yang diteliti. Untuk dapat mempertahankan hasil dari suatu penelitian, seorang penulis akan lebih mudah mempertanggungjawabkannya dengan menyertai data-data yang kuat serta buku- buku acuan yang relevan atau yang ada hubungannya dengan apa yang diteliti. Penelitian ini didukung referensi yang sesuai seperti buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, karangan Hasan Alwi, ditambah beberapa buku pendukung lainnya seperti Morfosintaksis karangan H. Abdul, dan Kajian Morfologi karangan Ida Bagus.

Sesuai dengan judul yang penulis bicarakan ”Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan”, tentunya tidak terlepas dengan apa yang disebut kata. Untuk itu penulis akan menguraikan beberapa pendapat tentang pengertian kata sebagai berikut:

Ramlan (1996), mengatakan, ”Kata adalah dua macam satuan, yaitu satuan fonologis dan satuan gramatis”.

Alisyahbana (1978), mengatakan, ”Kata adalah kesatuan kumpulan fonem atau huruf yang terkecil yang mengandung pengertian”.

Bloomfield (1996), mengatakan, ”Kata adalah minimal free form, yaitu sebagai suatu bentuk yang dapat diujarkan tersendiri dan bermakna, tetapi bentuk

tersebut tidak dapat dipisahkan atas bagian-bagian yang satu di antaranya (bermakna)”.

Kridalaksana (1985), mengatakan, ”Kata adalah sebagai satuan fonologis”. Parera (1994), mengatakan, ”Kata adalah satu kesatuan sintaksis dalam tutur atau kalimat”.

Crystal (1980), mengatakan, ”Kata adalah satuan ujaran yang mempunyai pengenalan intuitif universal oleh penutur asli, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulisan”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kata adalah bentuk bebas terkecil yang mempunyai kesatuan fonologis dan kesatuan gramatis yang mengandung suatu pengertian.

2.2 Teori yang Digunakan

Setiap penelitian selalu menggunakan teori yang sesuai dengan penulisan tersebut. Penelitian akan lebih praktis metode kerjanya apabila teori yang digunakan mempunyai hubungan langsung dengan penelitian yang diadakan.

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori diperlukan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis.

Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori linguistik struktural. Teori linguistik struktural berangkat dari anggapan dasar yang mengatakan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah ujaran atau speech (Bloomfield,

1993:6). Sejalan dengan maksud anggapan dasar ini diambil ujaran-ujaran yang dipakai oleh masyarakat pemakai bahasa Melayu Serdang masa kini.

Teori struktural digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan berbagai unsur dipandang dari segi sruktur formal, yaitu unsur-unsur yang membentuk suatu satuan dan hubungan antarunsur itu dalam sebuah satuan. Teori ini meninjau aspek bahasa berdasarkan sudut bahasa itu sendiri serta menelaah unsur-unsur dan fungsinya dalam bahasa yang akan diteliti. Teori ini menganalisis bahan berdasarkan pada stuktur atau berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan makna, walaupun segi makna tidak dikesampingkan.

Adapun sistematika pembahasan dan penyajian unsur-unsur yang dikemukakan dalam penelitian ini terutama didasarkan pada pendapat para pakar bahasa Indonesia tentang kata tugas yang terdapat dalam buku Tata Bahasa Baku Indonesia (1988). Alwi (1998:287) mengatakan, ”Kata Tugas adalah hanya mempunyai arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat”.

Jika dilihat dari segi bentuk kata tugas umumnya tidak dapat mengalami perubahan bentuk. Kata-kata, seperti: dengan, telah, dan, tetapi tidak bisa mengalami perubahan. Jika dari verba datang kita dapat menurunkan kata lain, seperti mendatangi, mendatangkan, dan kedatangan, tidak demikian halnya dengan kata tugas, seperti dan, serta, dari. Bentuk-bentuk, seperti menyebabkan dan menyampaikan tidak diturunkan dari kata tugas sebab dan sampai, tetapi dari nomina sebab dan verba sampai yang bentuknya sama, tetapi kategorinya berbeda.

Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

(1) preposisi (2) konjungtor (3) interjeksi (4) artikula

(5) partikel penegas.

Preposisi yang juga disebut kata depan, menandai berbagai hubungan makna antara konstituen di depan preposisi tersebut dengan konstituen di belakangnya. Dalam frasa pergi ke pasar, misalnya, preposisi ke menyatakan hubungan makna arah antara pergi dan pasar. ”Ditinjau dari segi bentuknya, preposisi ada dua macam, yaitu (1) preposisi tunggal, seperti di, ke, dari, pada, akan, antara, bagi, buat, demi, dengan, hingga, kecuali, lepas, lewat, oleh, pada, peri, sampai, sejak/semenjak, seperti, serta, tanpa, tentang, untuk; serta (2) preposisi majemuk, seperti daripada, kepada, oleh karena, sampai ke, sampai dengan, dan selain dari (Alwi, et. al, 1998:288)”.

(1) Preposisi Tunggal Contoh:

1. Kampongnye di sanan. ’Kampungnya di sana’.

2. Akhirnye tibelah ie ke gubuknye. ’Akhirnya sampailah ia ke gubuknya’. 3. Katanye ie dari kampung nin. ’Katanya ia dari kampung ini’.

(2) Preposisi Majemuk Contoh:

1. Anak tēnan pē diberikenye kepade bininye si Ijah. ’Anak itu pun diberikannya kepada isterinya si Ijah’.

2. Esok harinye berangkatlah Panglime Bukit Ceremin dengan diantarke oleh segenap rakyatnye sampai ke perbatasan kampongnye. ’Keesokan harinya Panglima Bukit Cermin berangkat diantarkan segenap rakyatnya sampai ke perbatasan kampungnya’.

”Konjungtor yang juga dinamakan kata sambung, adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat: kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa (Alwi, et. al, 1998:296)”. Kata seperti dan, serta, dan kalau adalah contoh konjungtor.

Contoh:

1. Pak Kolok dan ibu Ijah pē lenjar sibuk dibuatnye. ’Pak Kolok dan bu Ijah pun semakin sibuk dibuatnya’.

2. Sesampainye di kerajaan seberang mereka pe disambut oleh raje, permaisuri

serte pembesar kerajaan. ’Sesampainya di kerajaan seberang mereka pun disambut oleh raja, permaisuri serta pembesar-pembesar kerajaan’.

3. Ie pē selalu ingat kate-kate ayahandenye dulu, kalau ie endak jadi orang make betapelah dulu. ’Ia pun selalu teringat kata-kata ayahandanya dahulu, kalau ia hendak jadi orang seharusnya ia bertapa dahulu’.

”Interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara, seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata tertentu di samping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud (Alwi, et. al,

1998:303)”. Untuk menyatakan betapa cantiknya seorang teman yang memakai pakaian baru, misalnya, kita tidak hanya berkata, ”Cantik sekali kau malam ini”, tetapi kita awali dengan kata seru aduh yang mengungkapkan perasaan kita. Dengan demikian, kalimat Aduh, cantik sekali kau malam ini tidak hanya menyatakan fakta, tetapi juga rasa hati pembicara.

Interjeksi biasanya dipakai di permulaan kalimat dan diikuti oleh tanda koma. Umumnya, interjeksi mengacu ke sikap yang (1) negatif, contohnya: cih, cis, dan ih, (2) positif, contohnya: amboi, alhamdulillah, dan insya Allah, (3) bernada keheranan, contohnya: ai, astagfirullah, dan masyaallah, dan (4) netral atau campur, bergantung pada makna kalimat yang mengiringinya, contohnya: nah, ah, oh, dan aduh.

Contoh:

1. Ih, engkau anak siape? ’Ih, engkau anak siapa?’.

2. Ah, paling handal!, jinye orang tuhe tēnan. ’Ah, paling sakti!, kata orang tua tersebut’.

3. Oh, wak ape name kampong nin wak? ’Oh, wak apa nama kampung ini wak?’. 4. Aduh, mohon ampun tuanku, patēk ndak tau! ’Aduh, mohon ampun tuanku,

hamba tidak tahu!’.

”Artikula adalah kata tugas yang membatasi makna nomina (Alwi, et. al, 1998:304)”. Dalam bahasa Indonesia ada tiga kelompok artikula, yaitu (1) yang bersifat gelar: sang, sri, hang dan dang, (2) yang mengacu ke makna kelompok: para, dan (3) yang menominalkan: si.

Contoh:

1. Sang Puteri menjerit serte menutup wajahnye. ’Sang Puteri menjerit dan menutupi matanya’.

2. Make Sultan pē memanggil pare dayang untuk menukari pakaian si Nayan dan

si Awang dengan pakaian yang mendai-mendai. ’Maka Sultan pun memanggil para dayang untuk segera menukar pakaian si Nayan dan si Awang dengan pakaian yang cantik-cantik’.

3. Si Bukit pē besarlah sudah. Si Bukit pun sudah besar’.

”Partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diiringinya. Ada empat macam partikel penegas: -kah, -lah, -tah, dan pun. (Alwi, et. al, 1998:307)”.

Contoh:

1. Awang endak kau pulang?, jinye Nayan. ’Awang apakah engkau tidak akan pulang?’.

2. Akhirnye tibelah ie ke gubuknye. ’Akhirnya sampailah ia ke gubuknya’.

3. Merēka so lame tiade mempunyai seorang seorang pē si jantung hati, baēk puteri apatah putere. ’Mereka lama sekali belum dikaruniai anak, baik anak lelaki maupun anak perempuan’.

4. Ie mulailah memerikse pohon tēnan. ’Ia pun mulai memeriksa pohon itu’. Kata tugas berfungsi untuk menunjukkan penanda hubungan: (1) tempat, (2) peruntukan, (3) sebab, (4) kesertaan atau cara, (5) pelaku, (6) waktu, (7) ihwal peristiwa, (8) penanda hubungan milik.

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Betapa pentingnya bahasa bagi manusia kiranya tidak perlu diragukan. Hal itu tidak saja dapat dibuktikan dengan menunjuk pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dapat dibuktikan dengan melihat banyaknya perhatian para ilmuwan dan praktisi terhadap bahasa.

Pentingnya peranan bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia tercermin pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: ”Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang- Undang Dasar 1945 pasal 36 yang di dalamnya dinyatakan ”bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Ikrar Sumpah Pemuda 1928 menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional atau bahasa kebangsaan, sedangkan hakikat bahasa negara dalam UUD 1945 tidak lain dari menegaskan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara Republik Indonesia.

Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang mempunyai latar belakang kebudayaan serta bahasa sendiri-sendiri. Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat komunikasi antar suku bangsa, baik dalam situasi formal maupun nonformal. Bahasa daerah dipergunakan sebagai alat komunikasi intrasuku bangsa yang biasanya dalam suasana nonformal untuk menunjukkan penghargaan rasa hormat, dan rasa intim terhadap lawan bicara yang berasal dari kelompok yang sama.

Seminar Politik Bahasa Nasional di Jakarta bulan Februari 1975 menyimpulkan bahwa bahasa daerah berkedudukan sebagai bahasa di suatu daerah, dan merupakan kebudayaan yang dilindungi oleh negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa suatu daerah, bahasa daerah juga berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, dan alat penghubung dalam keluarga dan masyarakat. Jika dikaitkan dengan fungsi bahasa Indonesia, maka bahasa daerah berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional dan alat pengembang serta pendukung kebudayaan daerah.

Dalam buku Politik Bahasa Nasional 1 (Halim, 1984:22), menekankan perlunya bahasa daerah dalam rangka pengembangan bahasa nasional, yakni:

1. Bahasa daerah tetap dibina dan dipelihara oleh masyarakat pemakaiannya, yang merupakan bagian kebudayaan Indonesia yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar 1945.

2. Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahasa nasional serta untuk pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa itu sendiri.

3. Bahasa daerah berbeda dalam sruktur kebahasaannya, tetapi juga berbeda jumlah penutur aslinya.

4. Bahasa-bahasa daerah pada kesempatan tertentu dipakai sebagai alat penghubung baik lisan maupun tulisan sedangkan daerah tertentu ada yang hanya dipakai secara lisan.

Dari sisi kebudayaan, Indonesia merupakan negara yang kaya. Salah satu dari kekayaan budaya tersebut adalah bahasa daerah, yang digunakan oleh berbagai suku bangsa di Indonesia. Jumlah bahasa daerah di Indonesia, menurut Barbara (Danie, 1987), bahkan mencapai 516 bahasa. Salah satu di antaranya adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia sejak masa dahulu. Pada daerah-daerah tertentu, sampai sekarang bahasa ini tetap dipertahankan oleh sebagian besar penduduknya. Dahulu bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) oleh sebagian

besar penduduk Indonesia dan tanah Semenanjung Malaya. Bahasa itu terutama digunakan oleh para pedagang.

Bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan karena pada umumnya penduduk yang berada di daerah pesisir menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Melayu merupakan bahasa asli sebagian besar penduduk Indonesia pada masa itu, misalnya masyarakat pesisir timur Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian besar Kepulauan Maluku. Selain itu, daerah Semenanjung Malaya, Serawak, dan Brunei Darussalam pun menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.

Pada umumya, para tatabahasawan menentukan satuan kata berdasarkan tiga ukuran, yaitu: (1) kata sebagai satuan fonologis, (2) kata sebagai satuan gramatis, dan (3) kata sebagai satuan arti. Dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk serta perilakunya. Kata yang mempunyai bentuk serta perilaku yang sama atau mirip, dimasukkan ke dalam satu kelompok. Di sisi lain, kata yang bentuk dan perilakunya sama atau mirip dengan sesamanya, tetapi berbeda dengan kelompok yang pertama dimasukkan ke dalam kelompok yang lain. Dengan kata lain, kata dapat dibedakan berdasarkan kategori sintaksisnya. Kategori sintaksis sering pula disebut kategori atau kelas kata (Alwi, 1998).

Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, 1998), membagi kelas kata ke dalam lima kelas. Kelas kata tersebut adalah: (1) kata benda (nomina), (2) kata kerja (verba), (3) kata sifat (ajektiva), (4) kata keterangan (adverbia), dan (5) kata tugas. Kridalaksana (1994), membagi kelas kata berdasarkan perilaku sintaksis atas tiga belas kata dalam bahasa Indonesia. Ketiga belas kata tersebut adalah: verba, ajektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, dan interjeksi.

Di dalam penelitian ini akan dibahas Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan. Kata tugas merupakan unsur yang

penting dalam pembentukan frase dan kalimat. Tanpa kata tugas makna kalimat tidak jelas. Kata tugas mempunyai peranan penting dalam kalimat. Arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata tersebut secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frase atau kalimat. Pada nomina seperti buku dapat diberikan arti berdasarkan kodrat kata itu sendiri, yaitu benda yang terdiri atas kumpulan kertas yang bertulisan. Akan tetapi, kata tugas tidak dapat diperlakukan sama. Kata tugas seperti dan atau ke akan mempunyai arti apabila dirangkai dengan kata lain, misalnya ayah dan ibu dan ke pasar.

Penelitian bahasa daerah yang dilakukan masih kurang terutama dalam kata tugas bahasa Melayu. Bahasa Melayu mempunyai hak yang sama untuk mendapat pembinaan karena kedudukan dan fungsi bahasa tersebut masih relevan digunakan. Bahasa Melayu pada hakikatnya adalah sama dengan bahasa-bahasa yang lain yaitu mempunyai unsur-unsur kebahasaan. Adapun unsur-unsur kebahasaan itu terdiri atas struktur bunyi bahasa yang bidangnya disebut fonologi, struktur kata yang namanya morfologi, struktur antar kata dalam kalimat yang disebut sintaksis, masalah arti atau makna yang namanya semantik. Morfologi dan sintaksis bersama-sama lazimnya disebut tata bahasa tersebut menyangkut kata, struktur internal di dalamnya atau morfologi dan struktur antarkata yang namanya sintaksis dan keduanya dibedakan dengan leksikon dan perbendaharaan kata. Penelitian leksikon itu disebut leksikologi. Hal-hal di atas dalam bahasa Melayu penelitiannya belum banyak dilakukan. Untuk itu, penulis memberanikan diri mencoba untuk mengangkat sebahagian kecil dari morfologi yaitu mengenai kata tugas. Adapun penelitian tentang kata tugas bahasa Melayu yang pernah dilakukan adalah diantaranya penelitian Chairani Nasution (2000), Kata Tugas Bahasa Melayu Sei Kepayang, kemudian Zulkifli (1986), Kata

Tugas Bahasa Melayu Langkat. Penelitian lainnya yang secara seintifik berkaitan dengan topik penelitian penulis adalah yang dilakukan oleh Djeinnie Imbang (2014), Bentuk- Makna dan Fungsi Kata Tugas dalam Bahasa Melayu Manado.

Mengingat hal ini penulis merasa perlu mengadakan penelitian terhadap bahasa Melayu demi kelestarian bahasa tersebut. Penulis memilih judul Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan, sebab kata tugas akan selalu terdapat dalam komunikasi sehari-hari. Melalui penelitian ini akan dapat diketahui kata tugas tersebut dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan hingga dapat pula menjadi tambahan pengetahuan bagi para pecinta bahasa, khususnya bahasa daerah.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah sebenarnya merupakan batasan-batasan dari ruang lingkup yang diteliti. Suatu rumusan masalah dilakukan karena adanya suatu permasalahan. Agar tidak terjadi pembahasan yang lebih terfokus tentang Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan ini maka diperlukan suatu rumusan masalah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja jenis Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan?

2. Bagaimana fungsi Kata Tugas dalam Cerita rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan?

3. Bagaimana analisis kesalahan penggunaan Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dalam hal ini tujuan penelitian ini antara lain untuk:

1. Menjelaskan jenis Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan.

2. Menjelaskan fungsi Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan.

3. Menjelaskan analisis kesalahan penggunaan Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat umum penelitian ini adalah sebagai berikut:

Hasil penelitian tentang kata tugas dalam cerita rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam upaya melestarikan dan pengembangan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan terhadap bahasa Melayu dalam cerita rakyat.

2. Menambah wawasan pengetahuan dan informasi tentang bahasa nusantara khususnya bahasa Melayu dalam cerita rakyat.

3. Menambah bahan bacaan dan kepustakaan di Departemen Sastra Daerah, khususnya Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

4. Inventarisasi dan dokumentasi khasanah budaya lokal yang hampir punah akibat modernisasi.

5. Melengkapi salah satu syarat ujian dalam menempuh sarjana sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

ABSTRAK

Judul Skripsi: Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan

Penelitian ini mengenai Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja jenis Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan, 2. Bagaimana fungsi Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan, 3. Bagaimana analisis kesalahan penggunaan Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Pangliam Nayan. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan jenis Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan, 2. Menjelaskan fungsi Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan, 3. Menjelaskan analisis kesalahan penggunaan Kata Tugas dalam Cerita Rakyat Panglima Bukit Cermin dan Panglima Nayan. Teori yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penelitian ini adalah teori Hasan Alwi (1988). Metode yang digunakan metode deskriptif. Kata tugas dibagi menjadi lima kelompok yaitu: preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula, partikel penegas. Kata tugas berfungsi untuk menunjukkan penanda hubungan: tempat, peruntukan, sebab, kesertaan atau cara, pelaku, waktu, milik. Analisis kesalahan penggunaan kata tugas dalam penelitian ini yaitu: di, ke, oh, ih, aduh, ah.

Kata Kunci: kata tugas, jenis, fungsi

KATA TUGAS DALAM CERITA RAKYAT PANGLIMA BUKIT CERMIN DAN PANGLIMA NAYAN

SKRIPSI

DIKERJAKAN OLEH: NATALIA SIHITE

NIM : 110702020

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN

KATA TUGAS DALAM CERITA RAKYAT PANGLIMA BUKIT CERMIN DAN PANGLIMA NAYAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh:

NATALIA SIHITE NIM : 110702020

Dosen Pembimbing I,

Dra. Herlina Ginting, M.Hum NIP. 196402121988032001

Dosen Pembimbing II,

Drs. Ramlan Damanik, M.Hum NIP. 196302021991031004

Ketua Departemen Sastra Daerah

Drs. Warisman Sinaga, M.Hum NIP. 196207161988031002

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

Dokumen terkait