• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Seni tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah (Soedarsono, 1987:3). Seni tari mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Melalui tari masyarakat dapat mengeksperikan jiwanya. Selain itu, tari dapat berkomunikasi dengan penghayat dan penikmatnya melalui media gerak.

Tari-tarian di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tari rakyat, tari klasik dan tari kreasi baru.

Tari rakyat adalah tari yang lahir serta berkembang di kalangan rakyat. Bentuk peyajiannya sederhana dan terkadang meniru dari tari lainnya Tari klasik adalah tari yang berasal dan berkembang di dalam istana. Bentuk penyajiannya mencapai kristalisasi keindahan yang tinggi. Selain itu, tari klasik mempunyai ciri-ciri yaitu terdapat standarisasi dalam penyajiannya. Tari kreasi adalah bentuk garapan baru dari bentuk-bentuk tari tradisi yang berkembang di masyarakat. Bentuk tarian ini bermunculan sebagai ungkapan rasa kebebasan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 (Soedarsono, 1972:78).

Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada salah satu tari rakyat yang berasal dari DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). DIY mempunyai empat jenis tari rakyat, yaitu jathilan dan reog, tayuban, slawatan, dan drama tari rakyat (Soedarsono, 1976:10). Dari empat jenis tari-tarian rakyat yang ada di Yogyakarta, penulis akan membahas reog atau jathilan dan reog.

Jathilan dan reog digolongkan menjadi satu jenis tari karena reog bermula dari jathilan. Kemunculan reog di DIY berkaitan dengan perkembangan jathilan. Dalam perkembangannya jathilan, menambahkan karakter tokoh Barongan atau Genderuwo, Pentul, Tembem (Bejer) dan Dhadak Merak.

jathilan dalam perkembangan yang lebih lanjut lagi ialah hadirnya tokoh tokoh yang unik sekali yang berwujud binatang mitologi yang disebut reog. Reog ini ditarikan oleh seorang laki-laki yang menggunakan selubung berbentuk kepala singa yang bermakhkota yang berbentuk gunungan yang di daerah Ponorogo disebut dhadhak merak (Soedarsono, 1976:12).

Selanjutnya, reog mulai dikenal sebagai bentuk tari tersendiri. Merujuk dari pendapat masyarakat Bantul yang pada umumnya membedakan antara reog dengan jathilan, maka penulis memisahkan antara jathilan dengan reog. “Pertunjukan jathilan bertema peperangan yang biasanya berdasarkan cerita Panji, dan dengan penampilan tokoh reog ini lazim disebut dengan istilah reog saja” (Soedarsono, 1976:12). Selain itu, kuda kepang yang menjadi ciri khas jathilan, serta Dhadak Merak tidak lagi dipakai dalam pertunjukan reog (1976:12).

Definisi reog, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia IV (Dendy, 2008:1116) memiliki dua makna. Makna pertama mengacu kepada ciri-ciri Reog Ponorogo; ”Tarian tradisional di arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping, yang semuanya laki-laki.”

Makna kedua, definisi reog mengacu kepada ciri-ciri reog yang berada di Jawa Barat: "Reog berarti juga seni tradisional sebagai hiburan rakyat (masyarakat) dengan lagu-lagu segar yang diiringi calung, diselingi sindiran atau pujian dalam bentuk humor”.

Definisi reog dalam KBBI IV tidak mencakup seluruh reog yang berada di Indonesia karena hanya mengacu kepada Reog Ponorogo dan Reog Jawa Barat. Sementara masih banyak reog yang belum tercatat dalam KBBI IV, salah satunya adalah reog khas Bantul, DIY.

Di Bantul terdapat dua jenis reog, yaitu Reog Wayang dan Reog Prajurit (Warsito, wawancara pribadi, November 2011). Dari dua jenis reog tersebut, penulis akan membahas Reog Wayang. Reog Wayang dipilih sebagai bahan penelitian; pertama, saat ini Reog Wayang berkembang pesat di Bantul dibandingkan Reog Prajurit. Kedua, Reog Wayang dapat sebagai ekonomi kreatif masyarakat Bantul.

Pentingnya Reog Wayang sebagai bahan penelitian karena Reog Wayang merupakan Hak Kekayaaan Intelektual (HaKI) kesenian masyarakat Bantul, DIY. Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan kekayaan tidak berwujud (intangible) hasil olah pikir atau kreativitas manusia yang menghasilkan suatu ciptaan atau invensi di bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempunyai manfaat ekonomi (Eddy Damian,2004:2). Oleh karena itu, penelitian ini untuk mengenalkan sekaligus menyatakan bahwa reog tidak hanya Reog Ponorogo.

Reog Wayang merupakan tari rakyat yang bentuk penyajiannya hasil tiruan dari beberapa tari yang telah ada sebelumnya, yaitu jathilan, wireng pethilan, dan wayang orang. Tokoh Pembatak, Genderuwo, alat musik serta kesurupan merupakan unsur jathilan yang dipakai jathilan pada saat itu. Tata busana, tata rias, dan gerak meniru wayang orang. Susunan baris yang menggolongkan barisan hitam dan putih meniru dari wireng pethilan.

Reog Wayang adalah tari berkelompok atau berpasangan yang bercerita tentang pertarungan tokoh-tokoh ksatria dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Bentuk penyajian Reog Wayang tergolong sederhana dan fleksibel. Kesederhanaan itu tampak pada tata busana, tata rias, dan gerak tari, alat musik dan cerita. Unsur tata busana, tata rias, dan gerak tari meniru wayang orang gaya Surakarta atau pun Yogyakarta, tetapi dalam kenyataannya unsur tersebut tidak persis sama dengan wayang orang gaya Surakarta atau pun Yogyakarta. Cerita yang digunakan adalah sekumpulan fragmen pertarungan yang diambil dari berbagai episode Ramayana dan Mahabarata. Alat musik yang digunakan Reog Wayang hanya sebagian dari alat musik gamelan yakni kendang, japan, kempul, dan kecrek. Dalam perkembangannya, Reog Wayang saat ini menambahkan alat musik modern, yaitu drum. Sementara itu, Kefleksibelan yang dimaksud adalah tempat dan waktu pertunjukannya. Reog Wayang dapat digelar di halaman rumah warga, lapangan, atau tempat terbuka lainnya yang memadai. Selain itu, dari segi waktu, Reog Wayang dapat digelar kapan pun sesuai pemesan.

Menurut fungsinya, Reog Wayang termasuk tari rakyat yang berfungsi sebagai hiburan. Reog Wayang digelar apabila ada yang memesan atau nanggap. Umumnya, digelar dalam acara bersih desa, sunatan, hari kemerdekaan, syukuran, lebaran, dan ulang tahun.

Pesatnya perkembangan Reog Wayang di Bantul, memunculkan banyak kelompok reog. Berdasarkan penelitian penulis terdapat lebih dari delapan kelompok reog yang tergolong dalam jenis Reog Wayang. Di antaranya adalah kelompok Reog Glodogan, Reog Mudo Prakoso, Reog Kridha Beksa Lumaksana, Reog Gagak Rimang, Reog Bhineka Muda, Reog Sanden, Reog Kridha Bhakti Lumampah, dan Reog Sekar Budaya.Tiap-tiap kelompok reog tersebut memiliki bentuk penyajian yang berbeda.

Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk penyajian Reog Wayang berdasarkan kelompok reog, maka penulis akan menggunakan penelitian komparatif. Penulis memilih dua kelompok reog yang telah dipaparkan di paragraf sebelumnya, yaitu Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana sebagai bahan penelitian perbandingan atau komparatif.

Terdapat tiga alasan, penulis memilih kedua kelompok reog tersebut. Pertama, memiliki karakterisitik yang berbeda dalam bentuk penyajian. Kedua, dari segi jarak wilayah tidak berdekatan, sekitar 20 KM. Reog Glodogan berada di Dusun Glodogan, sedangkan Reog Kridha Beksa Lumaksana yang berada di Dusun Mangiran. Ketiga, Reog Kridha Beksa Lumaksana adalah salah satu reog yang terkenal di Bantul, sedangkan Reog Glodogan tidak begitu terkenal.

Penelitian ini akan membahas cerita, susunan baris, tata busana, tata rias, desain lantai, alat musik dan properti pada Reog Glodogan dan Reog Kridha Beksa Lumaksana. Sementara itu, gerakan tari tidak dibicarakan di sini karena gerakan tari dapat dibicarakan secara sendiri.

Dokumen terkait