• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang yang Mempengaruhi Soe Hok Gie dalam Gerakan Mahasiswa 1960-1966

HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang yang Mempengaruhi Soe Hok Gie dalam Gerakan Mahasiswa 1960-1966

1. Latar belakang Kehidupan Soe Hok Gie

Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942 di daerah Kebon Jeruk Jakarta. Ayahnya bernama Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan seorang penulis dan ibunya Ni Hoei An. Soe Hok Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara yang sejak kecil Soe Hok Gie mempunyai mempunyai kegemaran membaca, menulis dan memelihara binatang. Kegiatan menulis dilakukan dengan menulis catatan hariannya dan surat-menyurat dengan teman-temannya. Saudara laki-laki satu-satunya adalah Soe Hok Djien atau Arief Budiman yang juga merupakan pelopor gerakan mahasiswa era 70`an (www. Intisari. Co. Id).

Pada umur lima tahun Soe Hok Gie masuk sekolah dasar Sin Hwa scholl, sebuah sekolah khusus untuk keturunan Cina. Setelah menyelasaikan sekolah dasar, melanjutkan sekolah ke SMP Strada yang diasuh para Broeder Katolik, dan masuk ke sekolah menengah atas di SMA Kanisius Jakarta sebuah sekolah yang termasuk terbaik untuk warga Jakarta yang tidak sembarangan menerima siswa. Sebagai seorang yang remaja di masa ini Soe Hok Gie melewatkan masa penuh kenangan, namun Soe Hok Gie tidak tenggelam dalam romantisme kenangan semacam itu. Soe hok Gie melawan perasaan itu dengan mengutip salah satu hafalannya yang berasal dari Injil: let the dead be dead (yang mati biarlah tetap mati) (Soe Hok Gie, 1983 : 32).

Semakin dewasa Soe Hok Gie semakin berani menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, pernah pada suatu saat Soe Hok Gie berdebat dengan seorang guru SMP. Hal itu terjadi ketika guru tersebut salah menyebut nama pengarang suatu buku, Soe Hok Gie mencoba memberikan penjelasan mengenai hal itu namun guru tersebut justru memberikan keterangan untuk membenarkan pendapatnya. Dalam perdebatan tersebut timbul pemikiran dalam hatinya bahwa guru tidaklah selalu yang paling benar maka juga harus bisa menerima kritik apabila melakukan kesalahan, sebaiknya murid harus selalu selalu menaggapi suatu masalah dengan kritis (www. Intisari. Id).

Pada saat duduk di SMP, Gie telah menjadi pembaca koran yang rajin. Di rumahnya di Kebon Jeruk sepanjang dasawarsa 1950-an selalu ada Keng Po, surat kabar yang berhati-hati dalam pemberitaannya, tetapi populer di kalangan Cina Indonesia (Kompas, 20 April 1968). Soe Hok Gie selalu membaca halaman-halaman koran yang berisi pandangan kritis dan lebih terbuka terhadap kebijakan pemerintah. Dua koran lain yang khusus dicari Soe Hok Gie adalah Indonesia Raya dan Pedoman. Koran Indonesia Raya sebuah harian yang berciri provokatif dan kadang-kadang sensasional, yang dipimpin Muchtar Lubis. Koran Pedoman adalah harian yang dipimpin Rosihan Anwar yang berasosiasi yang luas dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ciri khas koran ini adalah kritik yang tidak terlalu pedas namun mempunyai analisis yang tajam (John Maxwell, 2003 : 46-47).

Pada tahun 1955 bersama kakaknya Soe Hok Djin (Arief Budiman) menyelesaikan sekolah dasar Sin Hwa Scholl. Kedua bersaudara ini tidak melanjutkan pada sekolah yang sama Hok Djin melanjutkan SMP ke Kanisius dan Hok Gie melanjutkan ke SMP Strada. Kedua bersaudara tersebut tidak melanjutkan pada sekolah yang sama karena disebabkan beberapa hal yaitu persaingan mendapatkan bea siswa untuk memasuki sekolah Kanisius dengan biaya lebih rendah sangatlah ketat dan tampaknya Soe Hok Gie dan tampaknya nilai Soe Hok Gie tidak cukup tinggi untuk mendapatkan meskipun nilai pada sekolah dasar sebenarnya juga memuaskan. Permasalahan lain

yang muncul juga karena persaingan yang terjadi diantara keduanya, perbedaan pandangan menyebabkan percekcokan yang menyebabkan keduanya berselisih. Perbedaan karakter yang terjadi pada kedua anak yang memang jalas sangat cerdas, tingkat sensitifitas dan keinginan keduanya kuat untuk bersaing.

Soe Hok Gie berada di lingkungan sekolah pilihan SMA Kanisius, meskipun demikian tetap dekat dengan lingkunganya masyarakat dan teman-temannya di Kebon Jeruk. Soe Hok Gie mempunyai ketertarikan yang tinggi di bidang politik meskipun sang ayah Soe Lie Piet tidak begitu tertarik dengan bidang politik. Dalam hal ini pengaruh ibu sangat besar terhadap pertumbuhan Soe Hok Gie. Ketika Hok Gie mulai memperlihatkan ketertarikannya terhadap isu-isu politik , ikatan dengan ibu sudah terjalin dengan kuat. Meskipun tidak mempunyai pengetahuan yang baik tentang dunia politik namun Nio Hoei An selalu mengontrol Soe Hok Gie, pendapat ibunya selalu didengarkan dengan rasa hormat (John Maxwell, 2001 : 45).

Kesadaran Soe Hok Gie terhadap dunia dan sekelilingnya mulai terwujud dalam ekspesi politiknya semasa di SMA. Kritik-kritik tajam di alamatkan kepada Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lain yang tertulis dalam catatan harianya tanggal 10 Desember 1959, pernyataan eksplisit yang pertama dalam catatannya tentang pemahamannya tentang dunia politik. Pengalaman melihat orang kelaparan yang mencari sisa-sisa makanan di tumpukan sampah di dekat rumah di Kebon Jeruk, yang membuat Soe Hok Gie meluncurkan kecaman pedas pada penguasa.Dalam catatan hariannya dituliskan bahwa:“Siang tadi aku bertemu dengan seseorang (bukan pengemis) tengah memakan kulit mangga. Rupannya ia sedang kelaparan. Ini merupakan gejala yang mulai nampak di ibukota. Dan kuberikan uang Rp 2,50 dari uangku dan kusisakan Rp 15,- untuk cadangan. Dua kilometer dari sini paduka (yang dimaksud Presiden Soekarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Timbul dalam hatiku kebanggaan bahwa generasiku ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, yaitu koruptor-koruptor tua seperti Iskak, Djodi, Dadjar, dan Ibnu Sutowo. Kitalah yang dijadikan generasi yang memakmuran Indonesia. Yang berkuasa sekarang adalah orang-orang yang dibesarkan zaman Hindia Belanda alamrhum. Mereka adalh pejuang-pejuang kemerdekaan yang gigih lihatlah Sukarno, Hatta, Syahrir, Ali dan sebagainya. Tetapi kini mereka telah menghianati apa yang dperjuangkan. Sukarno telah berkhianat terhadap kemerdekaan. Yamin telah memalsukan (atau masih dalam zaman romantik) sejarah indonesia. Hatta tak berani menyatakan kebenaran (walaupun kadang-kadang ia menyatakan). Dan rakyat makin lama makin menderita “ (Soe Hok Gie, 1983 : 91-92).

Tulisan yang memeprlihatkan dengan jelas mengenai sikap kritis oleh seorang anak muda yang mempunyai wawasan yang mendalam atas situasi yang ada. Bagian tulisan yang luar biasa seminggu sebelum ulang tahun Soe Hok Gie yang ketujuh belas dan beberapa bulan sebelum memasuki tahun kedua di SMA. Tulisan yang mengungkapan tidak hanya antipatinya terhadap para pemimpin bangsa yang telah berjuang merebut kemerdekaan tetapi juga menunjukan keyakinan yang kuat dan keteguhan moral yang luar biasa, bahwa generasinyalah yang kelak akan menjadi pemecah segala permasalahan yang dihadapi bangsanya. Soe Hok Gie mampu mematahkan pandangan stereotip secara umum yang berpandangan bahwa etnis Cina yang ada di Indonesia sebagai kelompok materialistik yang hanya mengejar keuntungan untuk kepentingan pribadinya. Soe Hok Gie telah menunjukan bahwa latar belakang keturunan tidak berpengaruh pada idealisme dan kesadaran sosial seseorang.

Pada bulan September 1961 Soe Hok Gie mengikuti tes masuk universitas. Soe Hok Gie ditolak dari Fakultas Psikologi karena merupakan pilihan kedua dan diterima dau Fakultas yaitu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Fakulas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Ketika memasuki bangku kuliah, Universitas Indonesia menjadi ajang pertarungan intelektual antara yang mendukung Soekarno dan kalangan yang kadang menentang Soekarno seperti Sumitro Djoyohadikusumo dan anak buahnya. Seperti pada umumnya mahasiswa pada tahun-tahun 1960`an menjadi mahasiswa serta merta menjadi menjadi bagian organisasi mahasiswa yang menurut kosakata politik mahasiswa sering disebut organisasi ekstra universiter, seperti HMI, GNNI, CGMI.

Meskipun demikian, Soe Hok Gie tidak tertarik untuk masuk masuk dalam salah satu organisasi mahasiswa yang berbau agama. Soe Hok Gie masuk Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSos) yang mungkin diwarisi dari pihak ayahnya yang meskipun tidak menganut suatu ideologi yang jelas dan partai yang jelas tetapi mengidentifikasikan dirinya dengan Partai Sosialis Indonesia (Soe Hok Gie, 1983 : 33).

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakukan aksi Tritura, Gie termasuk di barisan paling depan. Konon, Gie juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966. Hari-harinya diisi dengan program demonstrasi, termasuk rapat penting di sana-sini. Soe Hok Gie ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas.

Sampai 1967 Soe Hok Gie dipandang sebagai mahasiswa senior yang menonjol dan populer di Rawamangun. Perannya dalam peristiwa dalam gerakan mahasiswa awal tahun 1966 telah meningkatkan reputasinya di kalangan mahasiswa. Pemilihan senat mahasiswa yang diselengarakan September 1967 membuat pencalonannya berjalan dengan mudah untuk menang atas lawannya dari GMKI dan HMI. Posisi ketua senat merupakan jembatan yang bisa dilakukan untuk dekat dengan lingkup yang lebih tinggi dan dapat memperlancar tujuan untuk mengadakan semua kegiaatan yang positif di kalangan mahasiswa (John Maxwell, 2001: 289).

Tahun antara 1967-1969 merupakan masa yang produktif bagi Soe Hok Gie. Pada saat itu Indonesia mengalami masa transisi pada tingkat elit kekuasaan dari era Orde Lama ke era Orde Baru. Pada masa transisional situasi kondusif bagi muncul banyak pemikiran-pemikiran baru disebabkan belum adanya penguasa yang mengatur secara penuh, belum adanya sentralisasi dan penyeragaman produksi. Sebagai seorang yang mempunyai kesadaran sosial yang tinggi Soe Hok Gie tidak melewatkan masa kondusif tersebut begitu saja. Ketika rekan-rekan mahasiswa larut untuk berebut kekuasaan dalam kancah politik Gie menunjukan konsistensinya dengan tetap pada jalur idealisme yang dimiliki. Soe Hok Gie tetap melakukan kritik pada pemerintah ketika terjadi pembantaian besar-besaran terhadap tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung, tidak langsung maupun yang hanya dicurigai terlibat peristiwa Gestapu di Jawa dan Bali (Kuntowidjoyo dalam Soe Hok Gie,1995 : 1). Pembantaian yang dilakukan dengan alasan sebagai reaksi atas kekejaman PKI terhadap para Jendral Angkatan Darat. Pimpinan-pimpinan PKI mulai melakukan manuver politik guna mencari keselamatan untuk diri mereka sendiri. Sedangkan yang tidak selamat menjadi ajang balas dendam massa. Sebagai contohnya kejadian di Bali dimana sekurang-kurangnya delapan puluh ribu manusia menjadi korban pembantaian yang dilakukan tanpa proses peradilan (Mahasiswa Indonesia, No. 2 dan No. 3 Desember 1969)

Soe Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian KAMI, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun masa awal berdirinya Orde Baru. Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1909 dengan judul “ Di Bawah Lentera Merah “. Sebelumnya, skripsi S1 Soe Hok Gie yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun dengan judul “ Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan “ disusun tahun 1969. Karya Soe Hok Gie dalam bentuk sajak mencapai puluhan judul sebab Soe Hok Gie bergaul akrab dengan penyair-penyair angkatan tahun 66` seperti Taufik Ismail, WS Rendra, dan Satyagraha Hoerip (www. Intisari. Co. Id).

Pada pertengahan tahun 1968 merupakan masa akhir bagi Soe Hok Gie sebagai seorang mahasiswa. Masa dimana Gie mengalami kekecewaan atas kemunduran yang dialami mahasiswa atas peran sebagian dari pimpinan mahasiswa yang memasuki institusi pemerintahan yang ditawarkan Orde Baru. Melalui kritik-kritiknya di media massa segala pemikiran kritisnya tersalurkan dan banyak mendapatkan perhatian. Gie yang tetap pada pendirianya yaitu kritis atas

segala perkembangan politik yang terjadi membuat terasing dari teman-teman seperjuanganya dulu (John Maxwell, 2001: 318).

Soe hok Gie adalah seorang yang mempunyai hobby mandaki gunung beberapa gunung di pulau Jawa telah ditaklukan. Kegiatan dilakukan untuk ajang pelepas enat dari kegiatan politik yang terus menyita waktu dan pemikirannya. Bahkan merencanakan akan memperingati hari ulang tahun yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember 1959, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe Hok Gie yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta teman-temannya menyanyikan lagu-lagu spiritual negro Nobody Knows sampai berulang-ulang. Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPRGR, Soe Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe Hok Gie ini membuat mereka terperangah sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie terlanjur tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru pada tanggal 16 Desember 1969 tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya (www. Intisari. Co. Id).

2. Perkembangan Politik Pada Masa Demokrasi Terpimpin

Pertarungan ideologi di antara partai politik dalam sidang-sidang Konstituante untuk menentukan Undang-Undang Dasar yang baru mengalami jalan buntu. Presiden Soekarno segera mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya: 1) Menetapkan pembubaran Konstituante, 2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), dan 3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Inisiatif politik Presiden Soekarno tersebut dilakukan dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin (Yozar Anwar, 1984 : 258).

Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin pada kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Presiden Soekarno menjalin hubungan yang lebih erat dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk dijadikan elemen pendukung Demokrasi Terpimpin. Hal tersebut terbukti pada tanggal 9 Juli 1959 Presiden Soekarno mengangkat 43 menteri, 11 di antaranya diberikan pada militer dan mengangkat 45 anggota DPAS yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Dibentuk pula sebuah lembaga baru yang bertanggung jawab menyusun strategi dan tujuan pembangunan nasional, yaitu Badan Perencanaan Nasional (BPN) yang diketuai oleh Muhammad Yamin (John Maxwell, 2001 : 69).

Presiden Soekarno berusaha mendominasi kehidupan politik dengan pidato-pidato kepresidenan dan pernyataan-pernyataan publiknya yang memainkan peranan utama dalam pembentukan simbol dan paham ideologis. Pidato presiden yang berjudul “Penemuan Kembali

Revolusi Kita” disampaikan pada Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1959 kemudian dijadikan sistem ideologi dan bahan indoktrinasi yang dikenal dengan “Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional” atau disingkat “Manipol-USDEK” (Herbert Feith, 1995 : 79). Demokrasi Terpimpin yang seharusnya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ternyata belum bisa seluruhnya sesuai. Presiden Soekarno membentuk MPR Sementara (MPRS) pada tanggal 22 Juli 1959 berdasarkan Penetapan Presiden dengan batasan tugas serta anggota-anggota yang ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Mengingat MPRS dibentuk oleh Presiden, maka ketetapan-ketetapan yang diambil tidak bisa lepas dari pengaruh kekuasaan Presiden Soekarno, seperti halnya pada Sidang MPRS tahun 1960 yang menetapkan Manipol-USDEK menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dan pada Sidang Umum MPRS tahun 1963 yang membuat ketetapan “Mengangkat Dr. Ir. Haji Soekarno menjadi Presiden seumur hidup” (Nugroho Notosusanto, 1985 : 103).

Kebijaksanaan tersebut ditempuh oleh Presiden Soekarno sebagai solusi alternatif sampai MPR dan GBHN sesuai dengan UUD 1945, yaitu sampai MPR hasil Pemilihan Umum (Pemilu) terbentuk. Namun hal tersebut justru dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno untuk memperbesar dan memperkuat kekuasaannya. Tanda-tanda kekuasaan absolut pada Presiden Soekarno mulai terlihat. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan pemerintah, akhirnya dibubarkan dan digantikan dengan DPR Gotong Royong (DPR-GR) dengan komposisi anggota sesuai dengan kehendak presiden, yaitu terdiri dari 44 orang dari PNI, 36 orang dari Nahdlatul Ulama (NU), 30 orang dari PKI, 118 orang dari Golongan Fungsional non-ABRI, dan 35 orang dari ABRI. Akhirnya kekuasaan presiden menjadi tidak terbatas (Nugroho Notosusanto, 1985 : 103).

Masyarakat mulai dibanjiri dengan slogan “Manipol-USDEK” yang terlihat pada coretan di tembok-tembok dan atap-atap rumah. Indoktrinasi Manipol-USDEK berusaha dipaksakan sebagai ideologi pada instansi pemerintah, instansi pendidikan ormas, parpol dan pers. Pada Parpol dan Ormas yang tidak mau merubah anggaran dasarnya dengan mencantumkan “Manipol-USDEK” akan dibubarkan. Hal ini terjadi pada partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Media pers juga harus berdasarkan ideologi “Manipol-USDEK” dan harus berperan sebagai alat perjuangan untuk penyelesaian revolusi, sedangkan yang melanggar akan diadakan pembredelan dan pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Dalam lingkungan universitas, Manipol-USDEK mengalami hambatan karena universitas merupakan tempat berkumpulnya mahasiswa yang memiliki kesadaran berpolitik yang tinggi. Di kalangan militer, Manipol-USDEK diterima dengan baik, tetapi ditafsirkan sendiri sebagai ideologi yang anti liberal dan anti komunis (Herbert Feith, 1995 : 81-86).

Presiden Soekarno sebenarnya telah merintis perlunya persatuan antara Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme sejak tahun 1926 demi tercapainya tujuan perjuangan kemerdekaan. Soekarno muda yang juga sebagai ketua Algemene Studieclub di Bandung sudah menggagas persatuan Indonesia dengan membentuk “Komite Persatuan Indonesia” yang merupakan kerja sama Studieclub dengan Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond (JIB), Pasundan, Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat Madura. Usaha tersebut kemudian dilanjutkan pada 4 Juli 1927 oleh Soekarno dengan membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI), di mana pada Konggres kedua, 18 – 20 Mei 1929 mengambil keputusan untuk mengambil ajaran sosialisme, komunisme dan agama (Islam) untuk memperkuat nasionalisme (A.K. Pringgodigdo, 1984 : 62). Menjelang akhir 1960 Presiden Soekarno mulai melontarkan gagasan untuk membawa PKI masuk ke kabinet sesuai dengan ajaran Nasakom, yaitu prinsip kerja sama antara kelompok Nasionalis, Agama dan Komunis yang dianggapnya penting untuk mencapai persatuan nasional (John Maxwell, 2001:75).

Berkat kepandaian PKI, Nasakom diidentikkan dengan Pancasila. Siapa yang menerima Pancasila berarti menerima Nasakom. Prinsip Nasakom sangat menguntungkan PKI. Partai ini mendapat dalih untuk me-Nasakom-kan segala bidang kelembagaan yang belum ada orang PKI-nya, seperti kabinet, pimpinan universitas dan ABRI. Menjelang akhir 1963 terbukti bahwa taktik PKI sebagai pengembangan dari strategi “persatuan nasional” yang telah lama dijalankannya ternyata membawa hasil, karena Presiden Soekarno mulai menggeser keseimbangan kekuatan dalam Demokrasi Terpimpin ke arah kelompok kiri. Presiden Soekarno memang menghendaki orang-orang PKI duduk dalam kabinet sebagai kekuatan pendukung dalam menjalankan Demokrasi Terpimpin agar ikut bertanggung jawab atas kegagalan atau kesalahan pemerintah (G. Moedjanto, 1988:138).

Menjelang tahun 1965, prinsip Nasakom ditetapkan sebagai elemen fundamental politik Demokrasi Terpimpin. Mempermasalahkan Nasakom beresiko dituduh “communist-phobia”. PKI mulai memanfaatkan keunggulannya dengan mendesak lawan politiknya agar tersingkir dalam pemerintahan, misalnya aktivis Partai Murba yang dipimpin Menteri Perdagangan Adam Malik dan Ketua Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) Chaerul Shaleh yang berusaha melemahkan kebijakan Nasakom dicopot dalam perombakan kabinet pada tahun 1964. Selain itu para pemimpin PKI melancarkan serangan gencar terhadap orang-orang yang dicap kapitalis-birokrat di tubuh ABRI dan mengutuk pihak-pihak yang mereka anggap elemen kontra revolusi dalam masyarakat, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (John Maxwell, 2001:86).

Nasakomisasi dalam lingkungan universitas dan ABRI belum berhasil, karena lingkungan universitas adalah lingkungan para akademisi yang memiliki kesadaran politik yang tinggi.

Sedangkan di tubuh ABRI belum berhasil karena dalam ABRI sangat menentang politisasi yang bisa berakibat perang antar sesama ABRI. Kegagalan Nasakomisasi di tubuh ABRI menyebabkan PKI pada tahun 1965 menempuh jalan lain dengan mengajukan usul kepada Presiden Soekarno tentang pembentukan dewan penasihat Nasakom di setiap angkatan dan pembentukan Angkatan kelima (sesudah AD, AL, AU dan Kepolisian) yang terdiri dari buruh dan petani yang dipersenjatai dengan dalih untuk menghadapi konfrontasi Malaysia. Namun usulan tersebut berhasil dicegah Men.Pangab Jendral Ahmad Yani (G. Moedjanto, 1988 : 138).

Hidup pada iklim Nasakom membuat perbedaan sikap dan pertentangan di sana-sini, dari kebijakan “Ganyang Malaysia”, konsep Deklarasi Ekonomi (Dekon), sampai pada pelarangan buku-buku dan musik-musik barat bergaya Neo Kolonialisme Imperialisme atau “Nekolim”. Pertentangan tersebut sangat terasa khususnya pada percaturan politik pada tingkat organisasi mahasiswa. Pada satu pihak terdapat golongan yang mendukung kebijakan Presiden Soekarno termasuk kecenderungannya pada PKI, pada pihak lain terdapat perlawanan dengan gaya khas masing-masing, ada yang terselubung dan ada yang terang-terangan (Yozar Anwar, 1984 : 269).

Pada tahun 1964, Partai Murba membongkar dokumen rahasia PKI tentang adanya “Program Jangka Panjang PKI” yang menjelaskan tujuan PKI mendirikan suaru negara yang 100% dikuasai proletar dan kaum buruh dengan dasar manifesto komunis seperti yang dicita-citakan oleh Karl Marx, Lenin dan Mao Tse Tung. PKI mulai melancarkan “ofensif revolusioner” di segala bidang, baik bidang politik dalam negeri maupun bidang luar negeri. Di dalam negeri PKI mulai meningkatkan aksi-aksinya dengan menghantam saingannya Partai Murba, Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dianggap kontra revolusi (Yozar Anwar, 1984:276). Sedangkan dalam politik luar negeri, Indonesia meningkatkan konfrontasi dengan Malaysia dengan slogan “Ganyang Malaysia” dan makin meninggalkan politik bebas aktif, terbukti semakin jauh dari negara-negara barat dan condong ke negara-negara komunis. Indonesia membentuk persekutuan dengan RRC, yang kemudian berkembang menjadi poros “Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang” sebagai suatu konstelasi politik dunia baru. Sebagai puncaknya, Indonesia pada tanggal 7 Januari 1965 menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Rosihan Anwar, 1981 : 503).

Pada Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan buid-up mental terutama di