• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS

LATAR BELAKANG PEMBREDELAN PERS DI MASA ORDE

BARU

A. Lahirnya Orde Baru

Pasca peristiwa September 1965, situasi politik menjadi tidak stabil sehingga kekuatan pemerintah Orde Lama semakin melemah. Keadaan politik tersebut mengakibatkan perpecahan antara Presiden Soekarno dan Angkatan Darat. Situasi ketidakstabilan politik dikarenakan perubahan keanggotaan kabinet yang diumumkan Presiden Soekarno untuk mempertahankan kembali kekuasaanya di Indonesia. Tindakan Presiden Soekarno yang mengakibatkan hubungannya dengan kalangan tentara khususnya Angkatan Darat menjadi berubah karena memberhentikan Nasution dan beberapa menteri yang pro Angkatan Darat.60

Sikap Presiden Soekarno mengubah kabinet barunya mendapat kritik dari pihak Angkatan Darat, karena dianggap menteri-menteri yang dipilih hanya orang-orang pro-Soekarno, seperti Soebandrio karena Presiden Soekarno menolak nama-nama yang diusulkan oleh Jenderal Soeharto untuk dikeluarkan dari kabinet.61 Setelah di tolak usulan Jenderal Soeharto, Angkatan Darat menggunakan strategi dukungan terhadap aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi pasca diumumkan perubahan kabinet baru Presiden Soekarno.

Demonstrasi yang sering terjadi di Ibukota Jakarta dipelopori oleh beberapa organisasi mahasiswa seperti KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia dan

60

Harold Crouch, 1999, Militer & Politik di Indonesia, Jakarta, Surya Usaha Ningtias, hlm. 200. 61

KAPPI (kesatuan aksi mahasiswa dan pemuda Indonesia). KAMI mulai melakukan demonstrasi kembali pada saat pelantikan kabinet yang dirombak tanggal 24 Februari 1966. Aksi demonstrasi mahasiswa mengakibatkan Presiden Soekarno melantik kabinet barunya dalam keadaan marah, karena slogan KAMI menuduh Presiden Soekarno mengangkat kabinet Gestapu atau kabinet komunis.62

Aksi demonstrasi mahasiswa kembali berlanjut ketika sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966, keadaan di luar istana sangat mencekam oleh beberapa pasukan yang tidak dikenal yang mengakibatkan Presiden Soekarno langsung meninggalkan sidang kabinet. Melihat situasi politik yang semakin tidak stabil dan aksi demonstrasi semakin meningkat, Presiden Soekarno memutuskan untuk menandatangani “Surat Perintah 11 Maret”, berisikan Presiden “memerintahkan” Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggapnya perlu demi menjamin keamaan, ketenangan, stabilitas pemerintahan dan revolusi, serta juga menjamin keselamatan pribadi serta kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi kesatuan Republik Indonesia dan untuk meneruskan segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”. Mayor Jenderal Soeharto tidak menyia-nyiakan waktu untuk menggunakan kekuasaan yang baru diterimanya. Pada tanggal 12 Maret 1966 Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah harian ditujukan kepada seluruh jajaran angkatan bersenjata dan rakyat Indonesia. Ia mengumumkan bahwa perintah Presiden Soekarno kepadanya kemarin telah menunjukan bahwa “suara hati nurani rakyat sungguh-sungguh telah dilihat, didengar oleh Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno yang amat kita cintai,

62

juga membuktikan kecintaan Pemimpin Besar Revolusi kepada kita sekalian.63 Pada hari yang sama Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah pertama sebagai “pemegang Surat Perintah 11 Maret”, atas nama Presiden Soekarno, ia memerintahkan pembubaran PKI dengan segala organisasinya di seluruh tanah air, dan tetap harus berpegang teguh kepada Panca Azimat Revolusi Indonesia. Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat mulai memegang kendali pemerintahan secara perlahan.

Selama bebarapa bulan sesudah 11 Maret suasana politik di Jakarta mengalami perubahan derastis. Pemerintahan yang didominasi oleh Angkatan Darat itu melakukan kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan pokok Presiden Soekarno dalam bidang ekonomi dan politik luar negeri, seiring meningkatnya kegiatan yang penuh semangat dari para pemuda yang bergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi yang telah bangkit melawan Presiden Soekarno, dan menyatakan lahirnya Orde Baru dengan di keluarkannya surat perintah 11 Maret 1966 untuk menggantikan Orde Lama.

B. Sikap Pemerintah Orde Baru terhadap Pers

Pada periode awal Orde Baru, persepsi sikap dan perlakuan penguasa terhadap pers, terutama pers non/anti komunis, telah berubah secara berarti. Pemerintah Orde Baru memandang dan memperlakukan pers non/komunis sebagai

Partner of power-nya untuk “mengganyang” PKI dan simpatisan-simpatisan, serta sebagai alat konsolidasi kekuasaan Presiden Soekarno. Pers menjadi alat konsolidasi untuk membangun pemerintahan Orde Baru secara penuh, setelah

63

runtuhnya rezim Orde Lama setelah pemerintahan Orde Baru berdiri secara kokoh, maka sikap pemerintah terhadap pers mulai berubah secara perlahan, karena sikap kritis pers semakin tumbuh dan pemerintah merasa pemberitaan surat kabar mulai dapat mengancam keamanan dan kestabilan politik.

Awal Orde Baru pers khususnya surat kabar, sempat menghirup angin segar dengan terbitnya. Beberapa surat kabar yang pernah dibredel pada masa Orde Lama dan diperbolehkan terbit kembali seperti harian Nusantara (Maret 1967), Indonesia

Raya (Oktober 1968), Pedoman (Novomber 1968) dan Abadi (Desember 1968).

Sejak pertengahan 1966 peta ideologi pers berada dalam keadaan seimbang (balance), artinya tidak ada kelompok pers khususnya surat kabar yang mendominasi penciptaan opini publik dan politik. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang peta ideologi politik dikutip dari sebuah pemetaan yang dilakukan Agasi sebagai berikut: 64

1. Pers Militer, yaitu harian Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera,

Api Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian. Empat surat kabar ini

adalah surat kabar yang punya hubungan khusus dengan militer, namun satu sama lain tidak selalu satu pendapat tentang hal-hal tertentu dan tidak jarang saling bertentangan. Hal ini merupakan refleksi dari belum terintegrasinya pandangan dan sikap militer dalam menghadapi beberapa peristiwa politik tertentu.

2. Pers Nasionalis (pers PNI), yaitu Suluh Marhaen dan El-Bahar. Pers ini bukan pers yang beraliansi dengan PNI tetapi lebih kepada hubungan baik dengan kelompok pers kiri partai tersebut, serta selalu mendukung dan mengekspresikan pandangan-pandangan Soekarno, walaupun terbit di zaman Orde Baru.

3. Pers kelompok intelektual, yaitu harian KAMI,Mahasiswa Indonesia

Nusantara, Indonesia Raya dan Pedoman.

4. Pers kelompok Muslim, yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara

Islam, Mercusuar dan Abadi.

5. Pers kelompok Kristiani, yaitu harian Kompas (Katolik) dan Sinar

Harapan (Kristen Protestan).

64

6. Pers kelompok Independen, yaitu harian Merdeka, Jakarta Times serta

Revolusioner.

Peta di atas berdasarkan dengan ekspresi kultural (nilai-nilai, aliran atau ideologi) yang ditampilkan dalam pemberitaan dan editorialnya. Seperti pers militer adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis kelompok militer, yang walaupun tidak selalu sama, namun sejumlah persoalan politik krusial selalu terdapat kesamaan pandangan, seperti dalam soal stabilitas, ketertiban politik nasional, ideologi negara, kepentingan nasional, dan lain-lain. Sedangkan pers nasionalis adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologi kaum radikal dan Soekarnois. Pers kelompok intelektual biasanya di hubungkan dengan ekspresi ideologis kaum intelektual di dalam dan luar kampus yang menginginkan perubahan atau pembaharuan politik nasional. Pers Muslim adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologi kaum muslimin pada umumnya. Pers kelompok Kristiani adalah pers yang mengekspresikan pandangan ideologis umat baik Katolik maupun Kristen Protestan. Sedangkan pers kelompok independen adalah pers yang tidak mengekspresikan pandangan ideologis manapun dalam masyarakat.

Kebebasan pers pada awal Orde Baru sempat dirasakan insan pers, khususnya surat kabar, hal ini terlihat dari pemerintah yang memberikan ruang bagi pers untuk bekerjasama dalam membangun pemerintahan Orde Baru secara penuh. Surat kabar berperan penting dalam konsolidasi kekuasaan Orde Baru, hal ini terlihat dari surat kabar yang menyuarakan anti PKI setelah peristiwa September 1965 dan usaha tersebut mendapat dukungan dari pemerintah, oleh sebab itu sering dikatakan bahwa pers adalah unsur penting lahirnya Orde Baru. Kebebasan pers pada masa Orde Baru tidak berlangsung lama, setelah Orde Baru mendapat

dukungan secara penuh dengan Jendral Soeharto diangkat sebagai Presiden secara resmi bulan Maret 1968, ketika Sidang Umum MPRS V mengangkatnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua. 65

Semboyan pemerintah terhadap pers dimasa Orde Lama adalah pers terpimpin, maka semboyan pemerintah bagi pers dimasa Orde Baru ialah “pers bebas dan bertanggung jawab”. Era Orde Baru pers boleh bebas membemberitakan isu-isu terkini, tetapi harus bertanggung jawab. Bebas dalam pengertian ini bukanlah makna yang sebenarnya, ini terlihat dari sikap pemerintah terhadap pers yang mulai kritis, bayang-bayang bredel di masa Orde Baru semakin menghantui mereka setiap saat ketika mereka memberitakan isu-isu terkini, apakah hal tersebut bisa dikatakan kebebasan pers. Seperti yang dikatakan Mochtar Lubis bahwa hubungan baik pemerintah terhadap pers bulan madu yang singkat66.

“Media massa memperlihatkan kesegaran bersikap dan berpikir, serta keberanian untuk berterus terang. Kemunafikan yang selama ini amat menonjol di bawah rezim Soekarno seakan telah dihilangkan. Alangkah segarnya membaca kembali media massa Indonesia selama beberapa tahun pertama Orde Baru. Akan tetapi “bulan madu” hanya berlangsung beberapa tahun saja, penguasa bertambah peka terhadap kritik-kritik dalam pemberitaan media massa. Dikalangan penguasa semakin banyak diperlihatkan sikap kurang senang dengan terus terangnya kritik-kritik yang diberitakan media massa khususnya surat kabar dan majalah.”

Setelah PKI dan rezim Demokrasi Terpimpin berakhir, sikap dan perlakuan penguasa Orde Baru terhadap pers mulai berubah. Hal ini terutama disebabkan kekuasaan Orde Baru semakin bertambah kuat dan besar setelah rezim Presiden Soekarno tumbang, tidak ada lagi penghalang atau pun lawan politik Angkatan Darat atau ABRI pada umumnya untuk memperkuat kekuasaanya. Sejak tahun

65

Harold Crouch, op.cit, hlm. 244.

66

1966, pers Indonesia mulai lebih kritis terhadap kekuasaan Orde Baru, terutama ditujukan pada fenomena korupsi dalam birokrasi negara Orde Baru.67

Sorotan surat kabar terhadap korupsi semakin sering mewarnai isi berita dalam surat kabar harian yang sangat dikenal kritis terhadap perkembangan isu terkini pemerintahan. Sikap pemerintah yang mulai berubah mengakibatkan pemerintah semakin berhati-hati terhadap pers dan mulai melakukan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan anti pers, seperti imbauan atau peringatan agar pers lebih bertenggang rasa dalam melakukan kritiknya terhadap penguasa. Selain itu juga penguasa melakukan intropeksi diri sebagai reaksi positif dari kritik yang dilontarkan terhadap dirinya.68

Sementara itu pemerintah yang menghadapi suasana pers yang kritis terus berkembang tampak merisaukan pemerintah, karena pers sempat diberikan kebebasan dalam memberitakan isu-isu politik, tetapi sikap pers yang kritis tidak lagi bisa dibiarkan oleh pemerintah, kebebasan atau keterbukaan ruang bagi pers dalam memberitakan isu-isu politik, membuat pemerintah menjadi khawatir dapat membahayakan kestabilan politik yang masih diperlukan untuk melaksanakan pembangunan Orde Baru.69 Sikap pemerintah yang memperlakukan pers terkadang sangat sulit untuk mencari perubahan secara fundamental, tetapi perubahan sikap pemerintah dalam memperlakukan pers dapat kita lihat seiring dengan dinamika politik yang sedang berkembang.

67

Akhmad Zaini Abar, op.cit,hal. 69. 68

Ibid, hlm.68. 69

Alfian, 1991, Komunikasi Politik dan Sistem Politik di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 65.

Menghadapi sikap pers yang kritis mulai bangkit kembali, pemerintah tidak langsung melakukan tindakan anti pers, hal ini masih ditanggapi secara toleransi oleh pemerintah masih bermanfaat untuk mengintropeksi diri sesuai dengan harapan masyarakat70.

Pada periode awal pemerintahan Orde Baru tindakan anti pers yang dilakukan oleh pemerintah masih dianggap dalam batas-batas yang bisa ditoleransi. Misalnya saja, sebagian besar beberapa surat kabar yang dibredel dimasa Orde Baru adalah dengan alasan pornografi. Begitu pula, beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan pers telah diselsaikan lewat jalur hukum dan pengadilan bukan diselesaikan secara politis lewat pembredelan. Sebagai contoh, harian Nusantara yang dituduh “menghina pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soeharto”, kemudian penanggung jawab redaksionalnya diajukan ke pengadilan, sedangkan hariannya tetap boleh terbit. Pada periode tersebut penguasa Orde Baru cenderung menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers. Bahkan pemerintah masih tetap memberikan suasana kondusif bagai kebebasan pers.

Pada mulanya pers dianggap pemerintah Orde Baru sebagai partner dan masih memberikan ruang yang bebas tapi pemerintah tidak lagi bisa menahan diri untuk melakukan tindakan anti pers yang lebih keras terhadap surat kabar yang sangat kritis terhadap segala isu-isu terkait dengan rezim Orde Baru, pers yang begitu bebas menurut pemerintah dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan politik. Sikap kritis pers inilah yang dianggap pemerintah harus dibatasi agar tidak menggangu kestabilan politik akibat pemberitaan yang kritis.

70

Peristiwa 15 Januari 1974 menjadi titik tolak rezim orde baru melakukan politik represif terhadap pers seperti yang dikatakan oleh Rizal Mallarangeng dalam program Melawan Lupa Metrotv71 :

“Pada tanggal 15 Januari 1974 pemerintah Orde Baru dikejutkan dengan demonstrasi mahasiswa berujung kerusuhan massa. Para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah telah menyimpang, kebijakan pemerintah tidak ditujukan untuk mensejahterakan rakyat. Peristiwa 15 Januari atau lebih dikenal sebagai peristiwa MALARI menjadi titik tolak politik represif rezim Orde Baru.”

Sikap pemerintah yang mulai melakukan sikap represif terhadap pers semakin dirasakan oleh insan pers, seperti yang juga dikatakan oleh Asvi Warman Adam dalam program Melawan Lupa bahwa peristiwa Malari menjadi tonggak perubahan sikap pemerintah Orde Baru terhadap pers:72

“ Pasca Peristiwa tersebut beberapa surat kabar dibredel oleh pemerintah, kondisi keamanan menurut hemat saya mulai berubah dalam arti Presiden Soeharto benar-benar sangat waspada, didalam memilih para pembantunya atau yang sering disebut dengan Asisten Pribadi (ASPRI) & melakukan represi yang sangat keras terhadap mereka yang bersifat kritis terhadap pemerintah. Rezim Presiden Soeharto juga mulai bertindak represif terhadap setiap bentuk demonstrasi dan gerakan sipil serta terhadap para tokoh yang bersikap kritis terhadap pemerintah, politik keluarga, aktivitas bisnis dan krabat Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru yang nyaris tanpa kontrol dan anti kritik ini dalam perkembangannya juga menyebabkan timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme akibatnya dalam bidang ekonomi pembangunan nasional tidak merata dan gagal mensejahterakan rakyat. Gerakan-gerakan yang sifatnya kritis dihadapi dengan sangat keras oleh pemerintah pasca peristiwa Malari 1974 sejak tahun tersebut, peristiwa Malari bukan hanya sekedar kerusuhan tapi merupakan tonggak Pemerintahan Presiden Soeharto bersikap lebih represif.”

71

Melawan Lupa, 16 Januari 2016.

Melawan lupa adalah sebuah program acara documenter di Metro Tv yang akan mengulas berbagai peristiwa bersejarah yang turut membentuk mengenai sebuah entitas yang hari ini dikenal sebagai Indonesia. Tayangan ini, seperti judulnya, sedikit banyak berupaya menjadi narasi tanding atas apa yang selama ini mendifinisikan diri sebagai sejarah nasional Indonesia dengan menyajikan narasi-narasi kecil di balik peristiwa-peristiwa besar yang terjadi, melawan lupa ditunjukan bagi siapa saja yang menolak lupa atas segala hal yang pernah terjadi dalam riwayat Indonesia.

72 Idem.

C. Kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Pers

Upaya memahami pola dan gaya pers dan kebijakan pemerintah terhadap pers pada suatu negara, banyak dilatari falsafah dan ideologi negara tersebut. langkah ini dilaksanakan bertolak dari anggapan bahwa falsafah mengejawantah dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur sistem sosial politik dan kebijaksanaan informasi negara.

Selanjutnya ketentuan dalam undang-undang tersebut dijabarkan dalam peraturan-peraturan pelaksanaan secara langsung mengatur dan mempengaruhi budaya politik dan kehidupan pers. Demikian juga prinsip-prinsip yang terdapat dalam undang-undang tersebut, tidak selalu mengejawantah dalam peraturan-peraturan pelaksanaanya secara menyeluruh. Acapkali terjadi, ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan undang-undang, hanya menjadi bagian tertentu saja. Sedangkan bagian lain yang mungkin kurang menguntungkan bagi pemegang otoritas kekuasaan, tetap dibiarkan hanya bersifat formal dan tidak mempunyai kaitan dengan praktik kehidupan pers itu sendiri.73

Tidak sedikit negara menyatakan diri sebagai negara demokratis, tetapi dalam kenyataannya mempraktikkan cara berbangsa dan bermasyarakat yang justru bertentangan dengan asas-asas demokrasi. Banyak negara mempunyai konstitusi dan undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, tetapi dalam praktik pemerintahannya menerapkan tindakan otoriter,

73

melakukan pengekangan terhadap kebebasan berpendapat, bahkan pembrangusan pers yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemegang otoritas kekuasaan.74

Keadaan semacam itulah yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru atau kurun waktu tahun 1966-1998. Konstitusi memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan pers, tetapi dalam kenyataan, kebebasan pers yang terwujud hanya terbatas pada hal-hal yang tidak mendasar. Terlihat dari kebijakan pemerintah yang represif terhadap pers, semakin membuat ruang gerak pers menjadi terbatas dan kebijakan pers tersebut menggambarkan bahwa pers yang diterapkan oleh penguasa adalah tindakan otoritarian. Kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pers masa Orde Baru dapat diuraikan sebagai berikut yang terdapat dalam UU PP No.11 tahun 1966, UU PP No.4 tahun 1967 penambahan UU No. 1 tahun 1966, UU PP No.21 tahun 1982 perubahan atas UU PP No.11 tahun 1966, adapun beberapa kebijakan terhadap pers yang terdapat dalam Undang-Undang pokok pers yang beberapa kali mengalami perubahan pada masa Orde Baru tersebut dapat diuraikan di bawah ini:

1. Surat Izin Terbit (SIT)

UU Pokok Pers No.11 tahun 1966, Pasal 20 (1) a. dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit masih berlaku sampai keputusan pencabutannya oleh pemerintah atau DPR (GR).75 Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Pers diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Penerangan No.03/Per/Menpen/1969.76 Didalam peraturan ini dikemukakan secara terperinci syarat-syarat untuk mendapatkan SIT beserta cara-caranya. Juga mengenai soal

74

Ibid, hlm. 92. 75

T. Atmadi, Sistem Pers Indonesia, Jakarta, Gunung Agung, hlm. 131. 76

pencabutannya antara lain ditegaskan bahwa permohonan SIT harus disertai

“pernyataan bahwa penerbitan pers tersebut mengutamakan idiil dengan

menguraikan mission-nya dalam bentuk usaha pengabdiannya terhadap negara dan bangsa”.

Kesanggupan yang perlu di tanda tangani sebelum mendapatkan izin tertuang dalam sembilan belas yang perlu disetujui oleh penerbit surat kabar di tahun 1960 sebagai beriktu:

1. Kami sanggup mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan/ atau akan dikeluarkan/diberikan oleh penguasa perang Tertinggi dan lain-lain instansi pemerintah yang berwenang mengenai penerbitan.

2. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Manifesto Politik Republik Indonesia secara keseluruhan.

3. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela program pemerintah.

4. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

5. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela UUD 1945. 6. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Pancasila.

7. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Sosialisme Indonesia.

8. Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela Demokrasi Terpimpin.

10.Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela kepribadian nasional indonesia

11.Penerbitan kami wajib menjadi pendukung dan pembela martabat negara Republik Indonesia.

12.Penerbitan kami wajib menjadi pendukung alat untuk memberantas imperialisme dan kolonialisme, liberalisme, federalisme dan sparatisme. 13.Penerbitan kami wajib menjadi pembela/ pendukung dan alat pelaksana dari

politik bebas dan aktif negara Republik Indonesia serta tidak menjadi pembela/pendukung dan alat dari pada perang Dingin antara blok negara asing.

14.Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap Pancasila.

15.Penerbitan kami wajib menjadi alat untuk memupuk kepercayaan rakyat Indonesia terhadap manifesto politik Republik Indonesia.

16.Penerbitan kami wajib membantu usaha penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum serta ketenangan politik.

17.Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambar yang bersifat sensasional dan merugikan akhlak.

18.Penerbitan kami tidak akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambara yang mengandung penghinaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara asing yang bersahabat dengan Republik Indonesia.

19.Penerbitan kami akan memuat tulisan-tulisan, lukisan-lukisan atau gambar-gambar yang mengandung pembelaan terhadap organisasi yang dibubarkan atau dilarang berdasarkan penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960.

Juga harus disertai dalam permohonan itu, susunan pengasuh penerbitan pers yaitu: pimpinan umum, pimpinan perusahaan dan pimpinan redaksi, dilengkapi dengan riwayat hidup masing-masing dan riwayat hidup ini harus telah disahkan oleh Komando Daerah Angkatan Kepolisian bagian Intel, beserta clearance dari pihak berwenang, yang menyatakan “tidak berindikasi tersangkut Gestapu/PKI atau aksi-aksi kontra revolusi lainnya dan tidak melakukan tindak pidana yang dapat dijatuhi hukuman tambahan sebagaimana tersebut dalam pasal 33 KUHP”.

Beberapa ketentuan lain yang juga harus dipenuhi yaitu: mendapat rekomendasi tertulis dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) baik daerah maupun pusat mengenai bidang kewartawanannya, rekomendasi tertulis dari Serikat Penerbitan Surat kabar (SPS) daerah dan pusat mengenai bidang perusahaannya, pernyataan tertulis dari percetakan tentang kesanggupannya mencetak surat kabar harian atau penerbitan berkala yang bersangkutan, dengan mengemukakan kapasitas cetaknya.77

Mengenai SIT dalam UU Pokok Pers No.11 tahun 1966 ada ketentuan yang semu yaitu ketentuan pasal (8) untuk ini tidak diperlukan izin terbit, ketentuan tersebut dikaburkan dengan pasal 20 (1) a. seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pada masa peralihan SIT diperlukan. Sampai masa Orde Baru hampir

Dokumen terkait