B. Faktor yang mempengaruhi Maulana Muhammad Ali Dan M. Quraish
2. Latar Belakang Sosial
175
Maulana Muhammad Ali menggunakan pembagian ruku’ pada setiap
surahnya, seperti dalam QS. An-Naml/27, dibagi menjadi 7 ruku’, terdiri dari
Ruku’ I (ayat 1-14), Ruku’ II (ayat 15-31), Ruku III (ayat 32-44), Ruku IV (ayat
45-58), Ruku V (ayat 59-66), Ruku VI (ayat 67-82), Ruku VII (ayat 83-93). Yang
berbeda bahwa Maulana Muhammad Ali menerangkan hubungan (muna>sabah)
antara ruku’ pada muqaddimah setiap surah.123
Mengapa Maulana Muhammad Ali dan M. Quraish Shihab mempunyai
kesamaan dalam hal adanya muna>sabah antara ayat dan surah, ini bisa
disimpulkan bahwa sumber rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an mempunyai
kesamaan, diantaranya mengambil sumber dari kitab tafsir yang memang
menekankan muna>sabah dalam penafsirannya yaitu Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h}
al-Ghaib karya Fakhruddi>n al-Ra>zi dan Tafsi>r Al-Mana>r karya Muhammad
‘Abduh dan Rashid Ridha. Walaupun M. Quraish Shihab banyak menggunakan
pendapat al-Biqa>’i dalam Naz}m ad-Durar Fi> Tana>sub al-‘A<ya>t wa as-Suwa>r dan
tidak ditemukan Maulana Muhammad Ali menggunakan pendapat al-Biqa>’i
dalam rujukannya.
2. Latar Belakang Sosial
Untuk mengetahui latar belakang munculnya penafsiran yang digunakan oleh
Maulana Muhammad Ali dan M. Quraish Shihab menggunakan metode berpikir
123
176
deskriptif dengan memanfaatkan metode studi tokoh.124 Studi tokoh sebenarnya
merupakan bagian dari sejarah pemikiran, sebab di antara tugas sejarah
pemikiran adalah membicarakan pemikiran-pemikiran besar yang berpengaruh
pada kejadian sejarah, baik pemikiran tokoh maupun pemikiran secara umum.125
Ada tiga wilayah kajian yang dimiliki sejarah pemikiran, yakni kajian teks,
kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya. Di
antara wilayah kajian teks adalah genesis pemikiran, konsistensi pemikiran,
evolusi pemikiran, sistematika pemikiran, perkembangan dan perubahan
pemikiran, varian pemikiran, komunikasi pemikiran, internal dialektis dan
kesinambungan pemikiran. Wilayah kajian konteks adalah konteks sejarah,
konteks politik, konteks budaya, konteks sosial. Wilayah kajian hubungan antara
teks dan konteks meliputi pengaruh pemikiran, implementasi pemikiran,
diseminasi pemikiran, dan sosialisasi pemikiran.126
Untuk mengetahui latar belakang sosial penafsiran Maulana Muhammad Ali
dan M. Quraish Shihab kita harus mengetahui periodesasi kitab tafsir. Ada empat
periode kitab tafsir yaitu: Klasik (Abad III-VIII), Pertengahan (IX-XII), Modern
(XII-XIV), dan Kontemporer (XIV H-Saat ini).127
Dari pembagian di atas, Maulana Muhammad Ali sendiri termasuk mufasir
abad modern, bentuk penafsiran pada abad ini adalah penafsiran yang lebih
124Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Yogyakarta: Teras, 2014), 25.
125Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 189-200.
126Ibid., 189-200.
127M. Isa H Salam dan Rifqi Muhammad Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur’an Pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang Yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2018 (Jakarta : Fakultas Ushuludin, 2011), 21.
177
menekankan pada kajian sosial kemasyarakatan yang mengitari zaman mufasir.
Sehingga lebih menitik beratkan kepada kajian dira>yah (bi al-Ra’y). metode yang
dipakai lebih kepada tah}li>li, walaupun ada juga yang menggunakan metode
maud{u>i (tematik). Sistematika penulisan yaitu dengan menafsirkan ayat dari
awal surat hingga akhir surat (tarti>b mus}h}afi>). Ruang lingkup kajian
penafsirannya lebih banyak dicurahkan untuk mengkaji problem-problem sosial
keagamaan dengan melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan kondisi zaman saat itu.128
Hal ini bisa dilihat tafsir The Holy Qur’a>n menggunakan sumber penafsiran
bi al-ra’y (logika/ijtihad), karena beliau menafsirkan berdasarkan pemahaman
akal namun tidak mengesampingkan makna hakiki. Teknik penulisan adalah
tah}li>li metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan uraian-urain makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an
dengan mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an dan sedikit
banyak melakukan analisis di dalamnya.129 Sedangkan terkait keluasan tafsirnya
menerapkan metode i>ja>zi>/ijma>li> (ringkas dan global).
M. Quraish Shihab termasuk dalam mufasir kontemporer, ini dicirikan
dengan tafsir yang banyak menggunakan penalaran ilmiah (al-Ra’y). Metode
yang banyak digunakan mufasir periode ini adalah metode tematik (maud}u>’i)
seperti Mayor Theme of The Al-Qur’an karya Fazlul Rahman. Walaupun ada
juga yang menggunakan metode tah}li>li> seperti Tafsi>r Al-Mishba>h} karya M.
128
Ibid., 21-22.
129
178
Quraish Shihab. Ruang lingkup tafsir modern lebih kepada wilayah penafsiran
dengan tema-tema modernisasi seperti HAM, Demokrasi, dan Pluralisme.130
M. Quraish Shihab sendiri menulis Tafsi>r Al-Mishba>h} dengan maksud
menginginkan al-Qur’an menjadi fungsional dan hidup di kalangan umat muslim.
Karena memang tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk (hudan li
al-na>s). sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah/2: 78 “Dan di antara mereka
ada ummiyyu>n, tidak mengetahui al-Kita>b tetapi ama>ni> belaka, dan mereka
hanya menduga-duga”. Ibn ‘Abba>s menafsirkan kata ummiyyu>n dalam arti tidak
mengetahui makna pesan-pesan kitab suci, walau boleh jadi mereka
menghafalnya. Ama>ni ditafsirkan oleh Ibn ‘Abba>s dengan “sekadar
membacanya”.131
Dalam ayat yang lain QS. Al-Furqa>n/25 : 30 “Dan berkatalah Rasul: ‘Wahai
Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini suatu yang tidak
diacuhkan.” M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengutip Ibn al-Qayyim
menjelaskan bahwa kata mahju>ran mencakup beberapa hal, antara lain : a). Tidak
tekun mendengarkan al-Qur’an. b). Tidak mengindahkan halal dan haramnya
walau dipercaya dan dibaca. c). Tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan
hukum menyangkut us}ul al-Di>n (Prinsip-prinsip ajaran agama) dan perinciannya.
d). Tidak berupaya memikirkan apa yang dikehendaki oleh Allah swt yang
130Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur’an, 23-24.
131
Shihab, Tafsi>r Al-Misba>h}, Vol. 1, 287. Lihat juga Saifuddin dan Wardani, Tafsir Nusantara: Analisis Isu-Isu Gender dalam Al-Mishba>h} karya M. Quraish Shihab dan Tarjuma>n Al-Mustafi>d karya ‘Abd Al-Ra’uf Singkel (Yogyakarta: LKiS, 2017), 56.
179
menurunkannya. e). Tidak menjadikannya obat bagi semua penyakit-penyakit
kejiwaan.132
Tujuan lain dari Tafsi>r Al-Mishba>h} adalah untuk menjembatani kesenjangan
antara kelompok akademis dan kelompok awam (mayoritas kaum muslimin)
yang terbiasa dengan ritual membaca ayat-ayat al-Qur’an tertentu saja, seperti
Ya>si>n, al-Wa>qi’ah, dan al-Rah}ma>n tapi tidak diiringi dengan pemahaman yang
benar. Dengan menyajikan bahasan tafsir yang tidak terlalu akademis, rumit, dan
bertele-tele, namun tetap memenuhi unsur-unsur validitas kebenaran dengan
mengemukakan argument-argumen dalam bahasa yang mudah dimengerti
sehingga bisa diminati oleh kalangan intelektual dan kebanyakan kaum
muslimin.133