• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG TERJADINYA SENGKETA

B. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Gugatan Pembatalan

Seperti yang telah diuraikan bahwa apabila dilihat di lapangan selain daripada begitu banyaknya perbuatan melawan hukum atau pelanggaran yang dilakukan terhadap merek terdaftar seperti praktek peniruan merek dagang, dan lain sebagainya, salah satu permasalahan yang sering menimbulkan sengketa antara pemegang merek yang satu dengan yang lain adalah menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya antara merek yang satu dengan merek yang lain yang telah sama-sama terdaftar, sehingga

mengakibatkan harus adanya suatu pembatalan terhadap salah satu merek yang dipersengketakan tersebut.

Bila mengacu pada ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, maka Undang-Undang Merek tersebut sebenarnya telah memberikan penegasan, bahwa apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga. 98 Sedangkan mengenai pelaksanaan pembatalan suatu merek, sebagaimana juga permohonan pendaftaran suatu merek kewenangannya berada pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek, kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Berikut beberapa kasus yang digelar pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memperlihatkan tentang praktek pelangaran merek atas dasar persamaan pada pokoknya, sehingga salah satu pihak melakukan gugatan pembatalan merek pada Pengadilan Niaga, adapun garis besar posisi perkaranya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Perkara Nomor 01/Merek/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dimana PT. LAUTAN LUAS, Tbk., yang bertindak sebagai Penggugat melawan Tuan Utaya Yososudarmo sebagai Tergugat. Penggugat berkeberatan atas didaftarkannya merek SUNSEA BRAND dengan Logo “LTL” dan lukisan “Matahari Terbit” dikarenakan Penggugat merasa sebagai pemilik dan pemakai serta pendaftar pertama dari merek dagang dengan kata Lautan Luas dan logo “LTL” dengan lukisan “Matahari Terbit” untuk melindunggi jenis barang yang termasuk dalam kelas barang yang sama dengan milik Tergugat,

98

yakni kelas barang 1, 2 dan 3, yang memiliki persamaan pada pokoknya antara merek Penggugat dengan merek Tergugat. Sehingga Penggugat menyakini perolehan hak Merek milik Tergugat dilandasi dengan suatu itikad tidak baik, sehingga dengan demikian Pihak Penggugat menginginkan pembatalan terhadap merek Tergugat. Adapun yang menjadi landasan dasar gugatan dari Pihak Penggugat adalah Pasal 68 ayat (1), Pasal 4, 5, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

2. Perkara Nomor 06/Merek/2001/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dimana AUDEMARS PIGUET HOLDING S.A., suatu perusahaan yang didirikan dan tunduk pada ketentuan hukum Negara Switzerland, yang bertindak sebagai Penggugat melawan PT. ADI PERKASA BUANA sebagai Pihak Tergugat I, dan Pemerintah Republik Indonesia; Cq. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; Cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual; Cq. Direktorat Merek dan Rahasia Dagang sebagai Pihak Tergugat II. Penggugat berkeberatan atas didaftarkannya merek “AP AUDEMARS PIGUET” MILIK Tergugat I, dikarenakan pendaftaran merek-merek dagang Tergugat I tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek dagang terkenal milik Penggugat, yakni terdapat adanya kesamaan bunyi ucapan dan tulisan, dan juga untuk melindunggi jenis barang yang termasuk dalam kelas barang yang sama dengan milik Tergugat, yakni kelas barang 14. Sehingga Penggugat menduga pengajuan pendaftaran merek “AP AUDEMARS PIGUET” milik Tergugat I didasari pada pertimbangan telah adanya ketenaran dan keberhasilan perdagangan produk-produk yang menggunakan merek “AUDEMARS PIGUET” milik Penggugat sebagai suatu merek dagang yang terkenal diberbagai negara di dunia, sehingga dengan demikian

sikap Tergugat I tersebut jelas merupakan sikap yang tidak beriitikad baik, sehingga dengan demikian Pihak Penggugat menginginkan pembatalan terhadap merek Tergugat. Adapun yang menjadi landasan dasar gugatan dari Pihak Penggugat adalah Pasal 68 ayat (1), Pasal 4, 5, dan Pasal 6, serta juga Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997.

3. Perkara Nomor 04/Merek/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dimana PT. PRIMAJAYA PANTES GARMENT, yang bertindak sebagai Penggugat melawan MOHINDAR H.B., sebagai Tergugat. Penggugat berkeberatan atas didaftarkannya merek kata POLOPLEYER oleh Tergugat dikarenakan Penggugat merasa merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek POLO milik Penggugat, karena bunyi ucapan kata dan suara serta tulisan kata POLO pada merek milik Tergugat tersebut sama pada pokoknya dengan merek POLO milik Penggugat yang sudah jauh lebih dahulu terdaftar, dan untuk melindungi barang yang sama dan sejenis yaitu pakaian, dalam satu kelas barang yaitu 25. Penggugat juga merasa maksud dari Tergugat untuk mendaftrakan merek POLO dengan tambahan PLAYER dengan niat untuk membonceng pada ketenaran merek POLO milik Penggugat, sehingga Penggugat dengan demikian menginginkan pembatalan terhadap merek Tergugat. Adapun yang menjadi landasan dasar gugatan dari Pihak Penggugat adalah Pasal 68 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

4. Perkara Nomor 08/Merek/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dimana IGN HERRY SUYANTO, yang bertindak sebagai Penggugat melawan Drs. YUSUF DINATA sebagai Tergugat. Penggugat berkeberatan atas didaftarkannya merek GLORIA oleh Tergugat, dikarenakan Penggugat merasa sebagai satu-satunya pemilik dan pemegang serta pendaftar pertama dari merek GLORIA tersebut untuk melindunggi jenis barang yang termasuk dalam kelas barang yang sama dengan milik Tergugat, yakni kelas barang 29, kemudian juga antara merek Penggugat dengan merek Tergugat memiliki persamaan secara keseluruhannya atau persamaan pada pokoknya. Sehingga Penggugat menyakini maksud dari Tergugat untuk mendaftarkan merek GLORIA tersebut dengan suatu itikad tidak baik, sehingga dengan demikian Pihak Penggugat menginginkan pembatalan terhadap merek Tergugat. Adapun yang menjadi landasan dasar gugatan dari Pihak Penggugat adalah Pasal 68 ayat (1) jo. Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

5. Perkara Nomor 10/Merek/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dimana PT. MERDEKA JAYA SENTOSA, yang bertindak sebagai Penggugat melawan PT. GUMAS AGUNG sebagai Tergugat I, dan PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq. DEPARTEMEN KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Cq. DIREKTORAT HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, Cq. DIREKTORAT MEREK, sebagai Tergugat II, Penggugat berkeberatan atas didaftarkannya merek KRESNATEL oleh Tegugat I, dikarenakan Penggugat merasa sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama atas merek KRESNATEL di Indonesia untuk melindunggi jenis barang alat/peralatan telekomunikasi, kemudian antara merek KRESNATEL milik Tergugat I dengan merek KRESNATEL milik Penggugat mempunyai persamaan pada pokoknya

maupun keseluruhannya. Sehingga Penggugat menyakini pendaftaran merek KRESNATEL oleh Tergugat I dilandasi dengan suatu itikad buruk, sehingga dengan demikian Pihak Penggugat menginginkan pembatalan terhadap merek Tergugat. Adapun yang menjadi landasan dasar gugatan dari Pihak Penggugat adalah Pasal 68 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Maka dengan demikian berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa persoalan pembatalan merek terdaftar hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau pemilik merek terdaftar, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, ataupun dengan cara melakukan gugatan kepada Pengadilan Niaga.99 Sedangkan yang menjadi latar belakang terjadinya suatu sengketa gugatan pembatalan atas pendaftaran merek pada Pengadilan Niaga bila disimpulkan secara garis besar dari uraian beberapa kasus yang terjadi Pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah terdapatnya suatu merek yang didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis, lalu kemudian juga terdapatnya suatu merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, sehingga dengan demikian pihak yang telah mendaftarkan mereknya terlebih dahulu merasa hak atas merek yang dimilikinya atau hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepadanya yang telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu telah dilanggar dengan suatu itikad yang tidak baik dengan

99

bentuk peniruan atau menjiplak, yang tentunya akan membingungkan dan mengacaukan serta memperdaya/menyesatkan masyarakat atau khalayak ramai dalam hal ini konsumen, tentang asal usul dan kualitas barang, dan akhirnya tentu berimbas pada suatu kerugian.

Mengenai apa yang menjadi latar belakang terjadinya suatu sengketa gugatan pembatalan atas pendaftaran merek pada Pengadilan Niaga tersebut, sebenarnya bila diperhatikan dasar terjadinya suatu gugatan pembatalan tersebut, tidak terlepas dari apa- apa yang telah ditegaskan pada Pasal 68 ayat (1) joncto Pasal 4, 5, dan Pasal 6 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : “Gugatan pembatalan pendaftaran Merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6”.100

Sedangkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menyebutkan bahwa : “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik”.101

Selanjutnya pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menegaskan bahwa :

Merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini :

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

b. tidak memiliki daya pembeda;102

100

Lihat Pasal 68 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

101

Lihat Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

102

Suatu merek harus memiliki daya pembeda dikarenakan pendaftaran merek berkaitan dengan pemberian monopoli atas nama atau simbol (atau dalam bentuk lain), para pejabat hukum di seluruh dunia enggan memberikan hak eksklusif atas suatu merek kepada pelaku usaha. Keengganan ini disebabkan karena pemberian hak eksklusif tadi akan menghalangi orang lain untuk menggunakan merek tersebut. Oleh karena itu, sebuah merek harus mengandung daya pembeda yang dapat membedakan barang atau jasa dari pelaku usaha tersebut dengan barang atau jasa pelaku usaha pain yang sejenis, lihat dalam Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pty Ltd dan PT. Alumni, Bandung, 2002, hal 135-136.

c. telah menjadi milik umum; atau

d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.103

Ketentuan yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ini apabila diperhatikan sudah merupakan suatu syarat yang bersifat absolut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imran Nating bahwa :

“Ketentuan ini dianggap sebagai syarat absolut, yang tidak memungkinkan suatu merek didaftarkan, karena bersifat universal dan alasannya bersifat objektif yang harus diketahui dan dimengerti oleh setiap pemeriksa merek, dan atau karena ketentuan itu selalu tercantum dalam setiap perundang-undangan merek dibanyak negara, walau diatur dalam bahasa yang berbeda”.104

Selanjutnya pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ini menyebutkan bahwa :

(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek

milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;

b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut :

a. merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;

b. merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem Negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;

103

Lihat Pasal 5 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

104

Imran Nating, Merek Terkenal Dihubungkan Dengan Pasal 6 bis Konvensi Paris, http://www.solusihukum.com/page.php?p=artikel, diakses tanggal 9 Juni 2007.

c. merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh Negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.105

Bila mengacu pada apa yang telah ditegaskan oleh Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek di atas, maka dapat dipahami bahwa Undang-Undang merek ini sebenarnya telah berusaha secara maksimal agar sengketa antara pemegang merek yang satu dengan yang lain tidak terjadi, khususnya menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhan, antara merek yang satu dengan merek yang lain, hal ini dikarenakan Undang-Undang Merek telah memberikan penegasan agar Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DITJEN HAKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai institusi yang mempunyai kewenangan di dalam menerima permohonan pendaftaran merek harus menolak permohonan atas suatu merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek lain yang telah terdaftar terlebih dahulu. Sehingga bila hal ini berjalan secara maksimal tentu suatu persengketaan berupa gugatan pembatalan suatu merek pada Pengadilan Niaga tidak akan terjadi. Namun amat disayangkan dalam prakteknya dilapangan masih sering terjadi sengketa antara pemegang merek, menyangkut mengenai adanya persamaan pada pokoknya tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata berikut ini:

“Pasal 6 ini jelas tidak menginginkan adanya kekeliruan. Jadi, permohonan yang menyerupai itu harus ditolak oleh Direktorat Jenderal bersangkutan. Bagaimana dalam praktek akan berlangsung, ternyata masih ada yang “lolos” dan dalam hal demikian maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan”.106

Maka dengan demikian jika diamati secara seksama dari beberapa kasus yang terjadi yang menyangkut praktek pelangaran merek atas dasar persamaan pada pokoknya

105

Lihat Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

106

atau keseluruhannya, dapat dipahami bahwa aparatur Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia belum memiliki cara kerja yang optimal dengan mempergunakan metode dan teknik yang memadai, sehingga dirasakan aparatur Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia belum memiliki komitmen yang tinggi terhadap pembenahan hukum Hak Kekayaan Intelektual khususnya hukum merek di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kurang profesionalisme aparatur terkait dengan kemampuan untuk dapat mengetahui dan menyelidiki sebelumnya apakah terdapat suatu pengulangan merek dengan sedikit perubahan spesifikasi, atau apakah suatu merek yang dimintakan pendaftarannya tersebut telah ada yang didaftarkan sebelumnya baik memiliki persamaan pada pokoknya ataupun keseluruhan. Sehingga ketidakprofesionalan tersebut berimbas kerugian yang diderita pihak pengusaha yang mereknya ditiru, seperti hilangnya kesempatan untuk menjual produk kepada konsumen, dikarenakan adanya suatu itikad yang tidak baik dari pihak peniru pelanggar merek, yang ini semua jelas akan membingungkan serta mengacaukan atau memperdaya/menyesatkan masyarakat khalayak ramai atau konsumen tentang asal usul dan kwalitas barang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Anton M. Moeliono, yang menegaskan bahwa :

“Sangat disesalkan Ditjen HaKI tidak cermat dan teliti ketika menerima pendaftaran atas merek produk yang sebelumnya telah didaftarkan oleh produsen lain. Demi kepastian hukum, instansi pemerintah itu harus menolak pendaftaran izin merek yang menggunakan kata sama pada produk sejenis, sebab menurut ketentuan hukum tidak dibenarkan ada kata sama dan berkonotasi serupa antara badan usaha ketika mengurus izin”.107

107

S. Hadysusanto, Kasus Extra Joss dan Upaya Pembatalan Merek,

http://www.bisnis.com/pls/portal30/url/page/bisnis_indonesia_web_detail_opini?p_ared_id=519154&p_are d_atop_, diakses tanggal 9 Juni 2007.

Hal senada juga dikemukakan oleh Insan Budi Maulana yang menegaskan bahwa : “Ditjen HaKI terutama Direktorat Merek merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan implementasi penegakan hukum merek berada di persimpangan. Meskipun persyaratan untuk diterima atau ditolaknya suatu merek telah jelas diatur dalam Undang-undang merek baru (vide Pasal 4 sampai dengan Pasal 6)...”108

Lebih lanjut Insan Budi Maulana mengemukakan bahwa :

“Salah satu penyebab terjadinya sengketa merek adalah didaftarkannya merek- merek yang tidak sepatutnya didaftar, misal: karena merek itu sama atau serupa dengan merek terkenal, atau merek itu telah didaftar lebih dulu oleh pihak lain ternyata diterima pula pendaftarannya oleh Direktorat Merek. Berdasarkan data Berita Resmi Merek, terdapat jumlah yang cukup banyak merek-merek yang sama atau serupa dengan kelas barang atau jenis barang yang sama dan merek-merek itu diterima pendaftarannya. Padahal koeksistensi (saling berdampingan terdaftar) merek-merek itu bukan didasarkan adanya saling persetujuan di antara para pemilik merek terdaftar. Atau merek yang seharusnya diterima pendaftarannya, karena sesungguhnya pemohon itu yang berhak atas merek tersebut ternyata permohonannya ditolak sehingga pemohon merek itu mengajukan banding, bahkan tidak tertutup kemungkinan mengajukan gugatan terhadap Ditjen HaKI. Beberapa alasan mengapa hal-hal di atas dapat terjadi karena sistem pemeriksaan masih bersifat manual, pemeriksa merek tidak ahli di bidangnya, atau tidak cermat, dan sarana yang terbatas, serta pemahaman sistem merek yang masih rendah atau dengan sengaja melakukan penyimpangan terhadap undang-undang merek. Karena faktor-faktor itupula terdapat pihak yang memanfaatkannya untuk melakukan konspirasi, atau melakukan pelanggaran terhadap undang-undang merek antara pemohon dengan pemeriksa merek atau pihak terkait di Direktorat Merek”.109

Dengan tidak profesionalismenya aparatur pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan berupa implementasi kebijakan untuk menanggulangi pelanggaran hukum merek, sehingga walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Merek yang cukup baik dari segi peraturannya, namun selama belum

108

Insan Budi Maulana, Imlementasi Undang-Undang Merek Dan Undang-Undang Desain Industri: Quo Vadis, dalam Bianglala HaKI (Hak Kekayaan Intelektual), PT. Hecca Mitra Utama berkerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal 248.

109

ada politicall will yang sangat baik dan tinggi pada tingkat implementasi di lapangan baik dari pihak Pemerintah maupun tidak terlepas dari pelaku usaha itu sendiri untuk secara bersama-sama dan konsisten menciptakan suatu kondisi mekanisme hukum merek yang mampu menjawab tantangan dan perkembangan ekonomi, maka selama itu pula berbagai masalah pelanggaran merek akan terus terjadi, baik berupa duplikasi merek maupun bentuk pelanggaran berupa pendaftaran merek terkenal yang dilakukan oleh pengusaha nasional.

Dokumen terkait