BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.2 Kerangka Teori
2.2.4 Implikatur
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jika hanya mengandalkan teori atau pemahaman semantik saja, makna suatu tuturan atau ujaran tidak bisa dipahami dan dimengerti dengan tepat. Ketidaktepatan pemahaman makna ujaran sangat berimbas pada tercapainya tujuan komunikasi. Tujuan komunikasi adalah agar pesan yang ingin disampaikan oleh penutur dapat diterima dengan benar oleh mitra tuturnya. Jika mitra tutur hanya memahami pesan penutur secara semantis saja, komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik. Untuk dapat memahami dan menangkap maksud penutur, pemahaman mengenai konsep implikatur sangat diperlukan.
Grice membagi implikatur menjadi dua, yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional) dan (2) conversation implicature (implikatur percakapan). Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata dan bukan dari prinsip percakapan. Implikatur konvensional bersifat umum dan konvensional. Semua orang sudah tahu maksud atau pengertian mengenai suatu hal berdasarkan konvensi yang ada. Sedangkan implikatur percakapan makna dan pengertian yang lebih bervariasi karena makna terhadap sesuatu yang dimaksud bergantung pada konteks pembicaraan.
Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat teradinya pelanggaran prinsip percakapan.
Sejalan dengan batas tentang implikasi pragmatis, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Grice,1975:43).
Gunarwan berpendapat bahwa implikatur percakapan terjadi karena adanya
kenyataan bahwa sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi yang
sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu
(Gunarwan,1994:52).
Nababan menjelaskan bahwa implikatur percakapan berkaitan dengan konvensi kebermaknaan yng terjadi dalam proses komunikasi. Konsep ini kemudian digunakan untuk menerangkan perbedaan antara hal yang dituturkan dengan hal yang diimplikasikan. Jika dalam berkomunikasi salah seorang peserta tutur tidak memahami arah pembicaraan maka ia akan berkata “Apa sebenarnya implikasi Anda tadi?” Dengan demikian implikatur digunakan untuk menyelesaikan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh pengetahuan sintaksis dan semantis saja, karena implikatur memberikan piranti yang dapat membantu peserta tutur unutk memahami tuturan secara tersirat dan tersurat dalam sebuah percakapan.
Gunarwan (1994:52) menegaskan ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur. Ketiga hal itu adalah sebagai berikut.
1) Implikatur bukan bagian dari tuturan 2) Implikatur bukanlah akibat logis tuturan
3) Mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan itu bergantung pada konteksnya.
Implikatur percakapan muncul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap prinsip kerja sama yang meliputi bidal kuantitas, bidal kualitas, bidal relevansi dan
bidal cara. Implikatur percakapan juga dapat timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip kesantunan.
2.2.5 Prisip Kerja Sama
Bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lainya, kegiatan-kegiatan dapat berlangsung dengan baik apabila semua peserta pertuturan terlibat aktif dalam bertutur.Apabila ada salah satu pihak yang tidak terlibat aktif di dalam proses bertutur, maka pertuturan itu dapat dipastikan tidak berjalan dengan baik.
Agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip kerja sama. Salah satunya adalah prinsip kerjasama yang disampaikan oleh Grice (1975). Prinsip-prinsip kerja sama itu meliputi 4 maksim, yaitu: 1) maksim kuantitas (maxim of quantity); 2) maksim kualitas (maxim of quality); 3) maksim relevansi (maxim of relevence); 4) maksim pelaksanaan (maxim of manner).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai prinsip kerjasama menurut Grice.
1) Maksim kuantitas
Dalam maksim kuantitas penutur diharapkan memberikan informasi yang cukup, relatif memadai dan seinformatif mungkin. Informasi tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan mitra tutur. Berikut ini adalah contoh percakapan yang melanggar maksim kuantitas.
(26) Yanti: “Kapan kau akan ke rumahku?
Wati: “Nanti. Kalau semua PR-ku yang diberikan oleh guru matematika yang berjumlah 10 soal sudah selesai aku kerjakan.
Informasi Indeksal:
Percakapan dua orang anak ditelepon.
Percakapan ini melanggar maksim kuantitas karena jawaban yang diberikan oleh Wati atas pertanyaan yang diajukan oleh Yanti terlalu berlebihan. Ketika Yanti menanyakan kapan, seharusnya Wati memberikan jawaban berupa informasi mengenai waktu, tanpa memberikan informasi mengenai jumlah PR yang diberikan oleh guru Matematikanya.
2) Maksim kualitas
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta yang sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dengan fakta-fakta yang jelas. Berikut ini adalah contoh tuturan yang melanggar maksim kualitas.
(27) “Kota Mempawah dikenal dengan kota Khatulistiwa.”
Informasi indeksal:
Tuturan (29) dituturkan oleh ibu rumah tangga kepada anaknya yang baru duduk di kelas I SD.
Tuturan ini melaggar maksim kualitas karena tuturan ini memberikan informasi
yang tidak benar dan tidak didukung dengan fakta-fakta. Pada kenyataannya kota Mempawah tidak dilintasi oleh garis Khatulistiwa sehingga tidak tepat jika kota ini mendapat julukan kota Khatulistiwa.
3) Maksim relevansi
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberika kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Berikut ini adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim relavansi.
(28) Yanti: “Bagus sekali baju itu.”
Wati: “Ya. Aku senang dengan
warnanya.”
Informasi indeksal:
Percakapan antara dua orang sahabat ketika mereka melihat pakaian yang dipajang di sebuah toko pakaian.
Percakapan di atas memenuhi maksim relevansi karena tuturan yang diucapkan oleh Wati relevan dengan tuturan yang diucapkan oleh Yanti. Pada percakapan di atas Yanti memberikan pujian pada baju yang dipajang di toko pakaian.
Tanggapkan yang diberikan oleh Wati adalah kesetujuannya dengan tuturan yang diucapkan Yanti dengan menyatakan rasa senang terhadap warna baju tersebut.
4) Maksim Pelaksanaan
Maksim pelaksanaan mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur. Berikut ini adalah contoh percakapan yang melanggar maksim pelaksanaan.
(29) Wanto: “Cepat, kau bawa sekarang!”
Yadi: “Tunggu, masih panas!”
Informasi indeksal:
Percakapan antara abang dan adik.
Percakapan (31) melanggar maksim pelaksanaan karena tuturan yang diucapkan oleh Wanto tidak menyatakan secara langsung apa yang harus dibawa oleh Yadi, sehingga perintah ini menjadi tidak jelas.
2.2.6 Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis dan moral di dalam bertindak tutur (Grice,1991:308). Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan, penutur tidak cukup hanya mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk memenuhi prinsip kerja sama dan mengatasi masalah yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama.
Gunarwan (1995:6) menegaskan bahwa pelanggaran prinsip kerjasama adalah bukti bahwa di dalam berkomunikasi kebutuhan dan tugas penutur tidak hanya
untuk menyampaikan informasi saja, tetapi lebih dari itu. Di samping untuk menyampaikan amanat, kebutuhan dan tugas penutur adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur dengan mitra tutur (walaupun ada peristiwa-peristiwa sosial tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu).
Ada sejumlah ahli yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai konsep kesantunan. Para ahli tersebut diantaranya adalah Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Keempat konsep kesantunan ini muncul sebagai akibat adanya pelanggaran prinsip kerja sama Grice (Gunarwan,1992:14).
Adanya berbagai pendapat ahli mengenai konsep kesantunan menyebabkan timbulnya bentuk prinsip kesantunan dan teori kesantunan. Konsep kesantunan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah membentuk prinsip kesantunan, sedangkan konsep kesantunan yang dirumuskan dalam bentuk strategi membentuk teori kesantunan.
Berikut ini pemaparan keempat konsep kesantunan.
Prinsip kesantunan Lakoff (1972) berisi tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan menjadi santun. Ketiga kaidah itu adalah keformalan, ketidaktegasan dan persamaan atau kesekawanan. Kaidah keformalan mengandung arti ”jangan memaksa atau jangan angkuh.” Konsekuensi dari kaidah ini adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh adalah tuturan yang tidak atau kurang santun. Tuturan (30) adalah tuturan yang memaksa mitra tutur untuk melakukan sesuatu, sehingga tuturan itu dapat dikatagorikan sebagai tuturan yang tidak santun
(30) ”Jangan banyak alasan. Aku ingin kau mengerjakan tugasmu sekarang juga!”
Kaidah yang kedua adalah kaidah ketidaktegasan. Kaidah ini berisi saran agar penutur bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan.
Jadi semakin tidak tegas sebuah tuturan maka tuturan itu dianggap semakin santun.
Tuturan (31) dianggap tuturan yang santun karena memberikan pilihan kepada mitra tutur.
(31) ”Kalau kamu sedang tidak sibuk, kamu boleh mengerjakan pekerjaan itu sekarang!”
Berikutnya adalah kaidah persamaan atau kesekawanan. Makna dari kaidah ini adalah penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang. Tuturan (32) adalah contoh tuturan yang memenuhi kaidah ini karena dengan tuturanya penutur telah membuat mitra tuturnya merasa senang.
(32) “Rapi sekali penampilanmu hari ini.”
Prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Fraser (1978) mendasarkan konsep kesantunannya atas dasar strategi-strategi, yaitu strategi-strategi apakah yang hendaknya diterapkan oleh penutur agar tuturannya menjadi santun. Namun ada hal yang sangat disayangkan, yaitu Fraster tidak membahas bentuk dan strategi kesantunannya. Namun ia membedakan kesantunan dan penghormatan.
Penghormatan adalah bagian aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk
menyatakan penghargaan secara reguler, sedangkan kesantunan adalah properti yang diasosiasikan bahwa menurut pendengar penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak ingkar di dalam memenuhi kewajibannya.
Berikutnya adalah prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (1978). Prinsip kesantunan mereka berkisar pada nosi muka, yaitu nosi muka positif dan nosi muka negatif (Gunarwan, 1992:15). Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai. Sementara itu, muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar dia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Tuturan (33) adalah tuturan yang santun karena melalui tuturanya penutur menghagai pekerjaan yang telah dilakukan oleh mitra tutur, sedangkan tuturan (34) adalah tuturan yang tidak santun karena tidak menghargai pekerjaan mitra tutur.
Kesantunan dan ketidaksantunan tuturan (33) dan (34) merupakan kesantunan positif karena berkenaan dengan muka positif.
(33) ”Saya merasa senang dengan hasil pekerjaan Anda.”
(34) ”Kalau hanya ini yang bisa Anda lakukan, saya akan kerjakan sendiri semua pekerjaan ini.”
Tuturan (35) dan (36) merupakan kesantunan negatif. Tuturan (35) dapat
dikatakan sebagai tuturan yang santun karena penutur membiarkan atau memberikan kebebasan kepada mitra tutur untuk berbuat sesuai dengan keinginan sendiri. Tuturan (36) dianggap tidak santun karena penutur mengharuskan mitra tutur untuk melakukan sesuatu.
(35) ”Silakan Anda kerjakan tugas ini dengan menggunakan cara yang Anda anggap benar.”
(36) ”Jangan Anda sanggah pembicaraan saya!”
Prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan paling komperhensif telah dirumuskan oleh Leech pada tahun 1983.
Prinsip kesantunan Leech berdasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu berisi maksim-maksim yang harus dipatuhi oleh penutur agar tuturan menjadi santun.
Maksim-maksim itu terdiri dari mkasim kebijaksanaan (Tact Maxim), maksim kedermawanan (Generosity Maksim), maksim penghargan (Approbation maxim), maksim kesederhanaan (modesty maxim), maksim permukafakatan (Agreement maxim) dan maksim kesimpatisan (Sympath maxim).
Berikut ini adalah penjabaran keenam prinsip kesantunan menurut Leech.
1) Maksim kebijaksanan (Tact Maxim)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan maksim ini adalah:
Kurangi kerugian orang lain Tambahi keuntungan orang lain
Maksim kebijaksanaan berisi petunjuk agar peserta tutur mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Maksim ini biasanya diungkapkan dengan tuturan imposif dan tuturan komisif (Leech, 1983:132). Berikut adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim kebijaksanaan.
(37) Rudi: “Silakan Anda nikmati kopinya.”
Tamu: “Terimakasih Pak.”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang Bapak kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Percakapan (37) telah memenuhi maksim kebijaksanaan karena tuturan Rudi tidak menekankan keuntungan untuk dirinya sendiri melainkan memaksimalkan keuntungan kepada mitra tuturnya. Hal ini dibuktikan dengan mempersilakan mitra tuturnya untuk menempati menikmati kopi yang telah disediakan.
2) Maksim kedermawanan (Generosity Maksim)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan maksim ini adalah:
Kurangi keuntungan diri sendiri Tambahi pengorbanan diri sendiri
Dengan maksim kedermawaan, para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Berikut adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim
kedermawanan.
(38) Rudi: “Silakan Bapak dan Ibu tidur di kamar depan. Biar kami menepati ruang tamu ini saja. Kami sudah terbiasa dengan cuaca dingin.”
Tamu: “Wah, kami jadi merasa
tidak enak Pak.”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang Bapak kepada tamu yang menginap di rumah mereka.
Percakapan (38) telah memenuhi maksim kedermawanan karena tuturan Rudi tidak menekankan keuntungan untuk dirinya sendiri melainkan menambah kerugian pada diri sendiri. Hal ini dibuktikan dengan mempersilakan mitra tuturnya untuk menempati kamar yang ada di rumah mereka, sedangkan mereka mengalah dengan menepati ruang tamu.
3) Maksim penghargaan (Approbation maxim)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan maksim ini adalah:
Kurangi cacian pada orang lain Tambahi pujian pada orang lain
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan panghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta tutur tidak saling
mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Berikut adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim penghargaan.
(39) X: “Wah, bagus sekali cicin
baru Ibu. Pasti mahal harganya.”
Y: “Ah. Biasa saja. Ini hadiah ulang tahun perkawinan dari suami saya.”
Informasi indeksal:
Percakapan (39) terjadi antara dua orang ibu di sebuah acara arisan.
Percakapan (40) adalah percakapan yang telah memenuhi ketentuan maksim penghargaan. Tuturan X yang memberikan pujian kepada mitra tutur adalah yang menjadi penyebabnya. Melalui tuturan ini mitra tutur menjadi merasa tersanjung, bangga dan mendapat penghargaan dengan cicin yang sedang ia pakai.
4) Maksim Kesederhanaan (modesty maxim)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan maksim ini adalah:
Kurangi pujian pada diri sendiri Tambahi cacian pada diri sendiri
Di dalam maksim kesederhanaan peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan mengurangi pujian terhadap diri sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan
mengunggulkan diri sendiri. Berikut adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim kesederhanaan.
(41) Petani: “Silakan masuk. Maaf rumah orang kampung, seadanya, tidak seperti rumah orang kota.”
Mahasiswa: “Ah, Bapak bisa saja.”
Informasi indeksal:
Percakapan (41) terjadi ketika seorang petani yang tinggal di sebuah desa kedatangan tamu yang berasal dari kota besar. Mereka adalah mahasiswa yang sedang mengadakan kunjungan ke desa tersebut.
Percakapan (41) telah memenuhi maksim kesederhanaan. Tuturan Petani yang menyatakan bahwa rumah yang ia miliki adalah rumah yang seadanya menunjukan bahwa ia seorang yang rendah hati.
5) Maksim Pemufakatan (Agreement maxim)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan maksim ini adalah:
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain
Di dalam maksim permufakatan ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat pemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam pertuturan maka masing-masing dapat dikatakan bersikap santun. Berikut adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim pemufakatan.
(42) Santi: “Besokkan libur, bagaimana kalau kita ke Taman Ria?”
Tati: “Aku setuju.”
Informasi indeksal:
Percakapan antar dua orang sahabat ketika mereka pulang dari sekolah.
Percakapan (42) telah memenuhi maksim pemufakatan karena melalui tuturannya Tati telah berupanya untuk menyesuaikan keinginannya dengan keinginan mintr tutur. Ia tidak melakukan penentangan terhadap usul yang diajukan oleh mitra tuturnya.
6) Maksim simpati (Sympath maxim)
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan maksim ini adalah:
Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain
Di dalam maksim kesimpatisan diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sifat simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainya.
Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakaan tidak santun. Berikut adalah contoh percakapan yang memenuhi maksim simpati.
(43) Tari: “Maaf aku tidak bisa data ke pesta ulang tahunmu. Ibuku sakit”
Suci: “Aku turut prihatin dengan keadaan ibumu. Semoga beliau lekas sembuh.”
Informasi indeksal:
Percakapan (43) oleh seorang anak kepada temannya. Ia tidak dapat menghadiri pesta ulang tahun temannya karena ia harus menjaga ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Percakapan (43) telah memenuhi maksim simpati karena melalui tuturannya Suci telah menunjukan rasa simpatinya terhadap keadaan ibu Tari yang sedang sakit.
Sebaliknya Tari tidak menunjukan antipati kepada Suci karena Suci tidak hadir di pesta ulang tahunnya.
1.7.7 Muka
Menyampaikan pesan dari penutur kepada mitratutur adalah fungsi utama dari komunikasi. Namun ada hal lain yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi, yaitu berkenaan dengan menjaga ’muka’ para peserta komunikasi. Muka atau face adalah imej yang ingin dijaga baik oleh penutur maupun mitra tuturnya. Dengan kata lain, selain untuk menyampaikan pesan, komunikasi juga berfungsi untuk menjaga hubungan sosial dan estetis para partisipannya.
Muka atau face dibagi menjadi dua jenis yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa-apa yang merupakan nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik dan menyenangkan. Semantara itu, muka negatif adalah muka yang mengacu kepada citra
diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan penutur membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu (Rustono,1999:68-69).
BAB III
CARA PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitiaan Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Melayu Sambas adalah pendekatan pragmatik, yaitu sebuah kajian bahasa yang berorientasi pada kegunaan bahasa bagi penggunaanya. Pemilihan pendekatan ini karena yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah tindak tutur yang terikat pada konteks tertentu dan tindak tutur yang terikat pada konteks merupakan bidang kajian pragmatik.
Penelitian mengenai Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Melayu Dialek Sambas menggunakan metode deskriptif, yaitu metode untuk menjelaskan atau memaparkan data dan menguraikannya sesuai dengan sifat alamiah data tersebut, yaitu dengan cara menuturkan, mengklasifikasi dan menganalisisnya. Djajasudarma (1993:8) mengatakan bahwa metode penelitian ini bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data yang sedang diteliti beserta sifat dan hubungan fenomenanya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif karena tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan topik penelitian ini adalah memaparkan atau memberikan gambaran mengenai kesantunan direktif pada bahasa Melayu dialek Sambas. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Djajasudarma (2006:16). Ia mengatakan bahwa deskripsi merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah data itu sendiri.
Paparan dan argumentasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) wujud tuturan direktif dalam bahasa Melayu dialek Sambas, (2) wujud kesantunan tuturan direktif dalam bahasa Melayu dialek Sambas.
Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Kekualitatifan penelitian ini berkaitan dengan data penelitian yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa kualitas bentuk verbal yang berwujud tuturan (Muhajir,1996:29). Tuturan yang menjadi data penelitian ini adalah tuturan lisan dalam bahasa Melayu dialek Sambas.
Data verbal yang berupa penggalan percakapan ini pun tidak dikuantifikasi sehingga di dalam penelitian ini tidak digunakan perhitungan secara statis. Pendapat Muhajir ini didukung oleh Arikunto (1993:195) yang menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh simpulan.
3.2 Penyediaan Data
Pada bagian ini dibahas mengenai data dan sumber data, metode dan teknik yang dipergunakan dalam pemerolehan data serta cara pemilahan data pada penelitian Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Melayu Dialek Sambas.
3.2.1 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Melayu Dialek Sambas adalah tuturan direktif dalam bahasa Melayu dialek Sambas.
Tuturan direktif yang dimaksud adalah bentuk tuturan memerintah (commanding). Penentuan data dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri linguistik tuturan direktif dan memperhatikan situasi tutur yang melatarbelakangi tuturan. Ciri-ciri linguistik tuturan direktif
mengarah pada ciri tuturan berkonstuksi imperatif. Hal ini
dikarenakan tuturan direktif yang dimaksudkan di sini adalah tuturan memerintah (commanding). Ciri tuturan berkonstruksi imperatif adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat imperatif mengharapkan
1. Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat imperatif mengharapkan