• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim global akibat meningkatnya suhu bumi menjadi isu yang ramai dibicarakan di kalangan masyarakat dunia. Selama akhir abad ini suhu bumi meningkat 0.6 ºC. Faktor utama yang dianggap sebagai penyebab pemanasan global adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yaitu karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan N2O. Dalam dekade terakhir ini emisi CO2 meningkat dua kali lipat dari 1.400 juta ton/tahun menjadi 2.900 juta ton tahun-1.

Pada tahun 1998 konsentrasi CO2 di atmosfer adalah 360 ppm dengan laju peningkatan per tahun 1.5 ppm (Brown et al 1996). Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 diakibatkan oleh aktivitas manusia terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfer yang disebabkan oleh manusia, tetapi dampak yang terjadi saat ini mempunyai rasio 3:1. Pada aktivitas pembakaran bahan bakar fosil berarti karbon yang telah diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfer.

Dampak kegiatan konversi lahan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomassa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke atmosfer melalui pembakaran ("tebas dan bakar") atau dekomposisi bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C ke atmosfer tergantung pada penggunaan kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990 - 1999, perubahan penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 Gt tahun-1 dari total emisi CO2 (Watson et al., 2000).

Menyadari akan adanya permasalahan perubahan iklim akibat kegiatan manusia (antropogenik), maka konferensi Rio de Jeinero tahun 1992

2 mengidentifikasi bahwa emisi CO2 ke atmosfer merupakan salah satu isu lingkungan global yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, maka Konferensi Rio de Jeinero tahun 1992 mengidentifikasi bahwa emisi CO2 ke atmosfer merupakan salah satu isu lingkungan global yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, maka dibentuklah The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang menangani kerangka kerja sama antar pemerintah dalam kaitannya dengan perubahan iklim.

Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia akan berkembang menjadi kota Megapolitan dengan berbagai fasilitas dan infrastruktur serta asesoris sebagaimana layaknya kota besar dunia lainnya. Layaknya sebuah ibukota negara berkembang, Jakarta merupakan daya tarik dan menjadi tempat tujuan utama untuk mengadu peruntungan dari masyarakat wilayah sekitar Jakarta, bahkan dari daerah diseluruh Indonesia.

Kotamadya Jakarta Timur adalah salah satu dari 5 (lima) wilayah Kotamadya di Propinsi DKI Jakarta yang mempunyai karakteristik cukup menarik dimana memiliki faktor dominan yang merupakan ciri khas yang tidak dimiliki Kotamadya lain, diantaranya adalah keberadaan Cagar Budaya Condet, TMII, Monumen Pancasila Sakti dan Camping Ground di Cibubur menjadikan Kotamadya Jakarta Timur sebagai kota tujuan wisata. Selain itu Kodya Jakarta Timur juga terkenal sebagai Basis Kawasan Militer dengan keberadaan Markas Besar TNI di Cilangkap dan juga terkenal sebagai pusat industri berskala Nasional seperti Kawasan Industri Pulogadung, dll.

Kemajuan teknologi yang dicapai oleh manusia dalam upaya untuk meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup serta memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga menimbulkan efek sampingan yang merugikan manusia. Salah satu bentuk kerusakan akibat aktivitas manusia adalah pencemaran lingkungan.

Pesatnya pembangunan di wilayah perkotaan seperti Kodya Jakarta Timur telah membawa akibat yang bersifat positif dan negatif bagi lingkungan. Pengaruh pembangunan kota terhadap lingkungan pada umumnya mengubah keadaan fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah dapatkah fungsi lingkungan alam diambil alih oleh

lingkungan buatan manusia. Jika ruang terbuka hijau berfungsi memberi kebersihan udara bagi kehidupan manusia, habitat satwa, tata air dan penyangga kehidupan lainnya maka pembangunan lingkungan buatan manusia harus tetap mengusahakan agar fungsi tersebut dapat dilaksanakan oleh pohon-pohon yang tumbuh di ruang terbuka hijau tersebut.

Masalah pencemaran lingkungan yang penting terutama di daerah perkotaan adalah pencemaran udara. Sumber pencemaran udara berasal dari kendaraan bermotor, industri dan rumah tangga. Pencemaran udara dapat berakibat kepada kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha yang mengarah pada tindakan pencegahan dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pencemaran udara adalah penghijauan atau pengadaan hutan kota (ruang terbuka hijau). Vegetasi dalam suatu kota atau pinggiran kota berbentuk taman, jalur hijau, kebun dan pekarangan serta hutan dapat berfungsi sebagai paru-paru kota. Disamping itu tumbuhan dapat menyediakan oksigen yang diperlukan oleh manusia dan menurunkan kadar beberapa pencemar udara (Grey dan Deneke, 1978).

Pencemaran udara sendiri dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Dengan adanya permasalahan yang ada maka penelitian ini mencoba untuk mengkaji jumlah cadangan karbon pada pohon dalam upaya untuk mempertahankan cadangan karbon pada ruang terbuka hijau (RTH) yang telah ada dan menyerap karbon dari atmosfer untuk kelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan (sustainable).

Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pengelolaan taman dan ruang terbuka hijau harus dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip kelestarian (sustainable principles). Data yang diperlukan untuk mengkaji karakteristik taman dan ruang terbuka hijau dalam rangka memberikan informasi secara tidak langsung terhadap pengelolaan yang berprinsip kelestarian adalah biomassa untuk kajian hara dan Leaf Area Index/LAI untuk kajian fotosintesis.

Dari segi ekologis, data biomassa diperlukan untuk pengkajian aliran energi, siklus hara dan produksi primer taman dan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

4 (Hasse et.al, 1985) dan data biomassa ini juga sangat penting di ekosistem alami karena menyediakan molekul organik dan sumber energi untuk semua tingkatan tropik (Roberts et.al, 1993).

Teknologi penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam bidang kehutanan, tata lingkungan dan planologi (Lillesand dan Kiefer, 1990; Sutanto, 1994; Howard, 1996; Lo, 1996). Hal ini dikarenakan sarana ini memberikan keuntungan yaitu mampu memberikan keuntungan yaitu mampu memberikan data yang unik yang sulit diperoleh dengan menggunakan sarana lainnya, mempermudah pekerjaan lapangan dan mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah.

Aplikasi penginderaan jauh satelit dalam bidang tata lingkungan secara efektif dimulai dengan peluncuran teknologi satelit sumber daya bumi Amerika Serikat (Earth Resources Technological Satellite/ERTS-1) pada tahun 1972, kemudian satelit tersebut diberi nama Landsat (Howard, 1996). Sedangkan menurut Jaya (1997), secara garis besar aplikasi penginderaan jauh satelit dalam bidang tata lingkungan dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu untuk kegiatan pemetaan, inventarisasi tata kota dan manajemen tata lingkungan.

Pada taman dan ruang terbuka hijau (RTH), aplikasi penginderaan jauh dapat dibagi menjadi 3 tingkatan perencanaan, yaitu tingkat nasional, tingkat lokal dan tingkat operasional (FAO, 1993). Dengan menggunakan data penginderaan jauh, vegetasi taman dan ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan menurut keadaan rapat, normal dan jarang berdasarkan perbedaan tone-nya (Ishaq-Mirza et.al, 1996) dan juga diklasifikasikan berdasarkan jenisnya (Chaudhury, 1986). Pendugaan biomassa dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh belum banyak dilakukan. Pengukuran biomassa dengan cara penebangan akan bersifat merusak, memerlukan waktu yang lama, keterbatasan pengulangan unit contoh dan tidak mencakup areal vegetasi yang luas, maka penggunaan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan data lapangan akan semakin berkembang (Scurlock and Prince, 1993).

1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk mengestimasi kandungan cadangan karbon pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kodya Jakarta Timur khususnya pada Taman dan Jalur Hijau.

1.2.2 Menentukan model terbaik untuk menduga cadangan karbon pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota yang dikelola oleh Suku Dinas Pertamanan Kodya Jakarta Timur.

1.3 Hipotesa Penelitian

Semakin banyak daerah hijau yang terdeteksi pada Citra Landsat TM maka akan diperoleh Digital Number (DN) yang tinggi dan akan memberikan informasi kandungan cadangan karbon. Hal ini disebabkan karena resolusi radiometrik pada Citra Landsat TM akan memberikan informasi mengenai vegetasi Ruang Terbuka Hijau (RTH).

1.4 Kerangka Pikir Penelitian

Akibat aktivitas manusia disamping menimbulkan dampak positif yaitu adanya kemajuan teknologi untuk peningkatan kualitas dan kenyamanan hidup tetapi juga menimbulkan dampak negatif yaitu pencemaran. Pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi CO2 di Atmosfer.

Adanya peningkatan konsentrasi gas di atmosfer karena penglepasan karbon yang telah diikat oleh tanaman maka diperlukan suatu kajian Pendugaan Cadangan Karbon (C) pada Pohon. Pendugaan Cadangan Karbon (C) pada Pohon dapat diukur dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1. Langsung (Penebangan) dan 2. Tidak Langsung (Teknologi Pengindraan Jauh). Teknologi pengindraan jauh telah banyak digunakan dalam bidang tata lingkungan karena mempunyai data yang unik, mempermudah pekerjaan dilapangan dan biaya yang relatif murah serta perlu waktu yang lebih singkat.

Pendugaan cadangan karbon (C) pada pohon menggunakan teknologi Pengindraan Jauh yang dikombinasikan dengan data lapangan akan semakin

6 berkembang untuk menuju kelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan (sustainable). Secara ringkas kerangka pikir penelitian ditunjukan oleh Gambar 1 berikut ini:

Aktivitas Manusia yang Berdampak pada Pencemaran Pemanasan Global

(dampak Efek Gas Rumah Kaca)

Perubahan Iklim Global

Adanya Peningkatan Konsentrasi Efek GRK di Atmosfer Karena

Penglepasan Karbon

Kajian Pendugaan Cadangan Karbon (C) pada Pohon

Langsung (Dengan Cara Penebangan)

Tidak Langsung (Teknologi Pengindraan Jauh)

Jumlah Cadangan Karbon Pada Vegetasi RTH

Menuju Lingkungan yang Nyaman dan Sehat

2.1 Biomassa

Biomassa di atas tanah adalah jumlah bahan organik per unit area pada suatu waktu tertentu yang berhubungan dengan fungsi sistem produktivitas, umur tegakan dan alokasi bahan organik serta strategi pemindahan (Citron dan Navelli,

1984). Ditambahkan oleh Roberts et.al (1993) bahwa biomassa tanaman adalah berat bahan tanaman hidup yang terdiri dari atas dan bawah area permukaan tanah pada suatu waktu tertentu.

Pendugaan biomassa bagian pohon di atas tanah tidak hanya menyediakan alat untuk membuat perbandingan di antara ekosistem seperti evaluasi produktivitas (Rodin dan Bazilevich, 1967) tetapi juga sangat penting untuk aspek fungsional hutan seperti produktivitas primer, siklus nutrient dan aliran energi (Hasse et.al, 1985).

Chapman (1976) membagi dua kelompok metode pendugaan biomassa di atas tanah, yaitu: (1). metode pemanenan, yang terdiri dari: metode pemanenan individu tanaman, metode pemanenan kuadrat dan metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata dan (2). metode pendugaan tidak langsung, yaitu metode yang terdiri dari metode alometrik dan metode crop meter. Menurut (Eong et.al, 1983), biomassa pohon dapat diduga oleh peubah-peubah bebas seperti diameter setinggi dada (Dbh) yang berhubungan dengan biomassa total pohon. Kusmana (1992) telah menginventarisasi penelitian biomassa di atas permukaan tanah dan LAI (Leaf Area Index) pada hutan mangrove subtropik dan tropik.

Studi dari proyek Alternatives to Slash and Burn (ASB) di Sumatera menemukan bahwa cadangan karbon pada hutan primer mencapai 300 Mg C/Ha (Hairiyah dan Murdiyarso, in press). Hutan di Indonesia diperkirakan mempunyai cadangan karbon berkisar antara 40-250 Mg C/Ha untuk vegetasi dan 50-120 Mg C/Ha untuk tanah. Pada studi inventarisasi gas rumah kaca, IPCC merekomendasikan suatu nilai cadangan karbon 138 Mg C/Ha (atau 250 Mg/Ha dalam berat kering biomassa) untuk hutan-hutan basah di Asia (Lasco, 2002).

8

2.2 Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2001 dan tercantum juga dalam RUTR 2005 terdiri atas Kawasan Hijau Lindung dan Kawasan Hijau Binaan. Dan secara khusus jenis RTH tersebut untuk Kawasan Hijau Lindung terdiri dari (1) Cagar alam, dengan bagian (a) Daratan dan (b) Kepulauan. (2) Hutan Lindung yang menurut data hanya terdiri dari 1 lokasi dan (3) Hutan Wisata.

Untuk kawasan Hijau Binaan terdiri dari (1) Ruang Terbuka Hijau Fasilitas Umum dengan sub bagian (a) Hutan Kota, (b) Taman Kota, (c) Taman Rekreasi dan (d) Lapangan Olah Raga. (2) Ruang Terbuka Hijau Pemakaman. (3) Ruang Terbuka Hijau Fungsi Pengaman dengan bagian-bagian (a) Tegangan Tinggi, (b) Jalur Jalan Tol dan Median Jalan, (c) Sungai atau Tepian Air dan (d) Daerah khusus. (4) Penghijauan pulau dan (5) Ruang Terbuka Hijau Budidaya Pertanian dengan bagian-bagiannya yang terdiri dari (a) Kebun Bibit, (b) Sawah, dan (c) Pertanian Darat/Pekarangan.

Dalam Instruksi Mendagri No 14 Tahun 1988 yang dimaksud dengan ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan ataupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam Ruang Terbuka Hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Berdasarkan sifatnya menurut Dinas Pertamanan DKI (2001), ruang terbuka dibagi menjadi: (1) Ruang terbuka pasif yaitu ruang terbuka yang berfungsi untuk menunjang ekosistem, sedangkan kegiatan manusia relatif kecil. Contohnya taman sebagai sumber pengudaraan atau keindahan, hutan buatan, dan penghijauan tepi sungai. (2) Ruang terbuka aktif yaitu ruang terbuka yang digunakan untuk kebutuhan kegiatan manusia, contohnya adalah taman kota, plaza, lapangan olahraga, taman lingkungan, dan kebun binatang.

Peran ruang terbuka dalam suatu perkotaan yaitu: (1) merupakan unsur keindahan disebabkan menciptakan harmoni tata lingkungan perkotaan. (2) Menyediakan ruang terbuka hijau yaitu berupa tanaman yang dapat mengurangi

pencemaran. (3) Memberikan ruang gerak bagi segenap masyarakat yang membutuhkannya.

Berdasarkan Inmendagri No. 14 /1988 dapat disebutkan tujuh ruang terbuka hijau ditinjau dari segi tujuan, yaitu: (1) Ruang Terbuka Hijau yang berlokasi pasti karena ada tujuan konservasi. (2) Ruang Terbuka Hijau untuk keindahan kota. (3) Ruang Terbuka Hijau karena adanya tujuan tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya untuk lingkungan sekitar pusat kegiatan olah raga yang dibiarkan hijau. (4) Ruang Terbuka Hijau untuk pengaturan lalu lintas. (5) Ruang Terbuka Hijau sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan perumahan. (6) Ruang Terbuka Hijau untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang. (7) Ruang Terbuka Hijau untuk halaman bangunan.

2.3 Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan membutuhkan suatu lingkungan yang sehat dan bebas polusi untuk hidup dengan nyaman. Peran RTH untuk memenuhi kebutuhan ini adalah sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, dan sebagai unsur pendidikan (Simonds, 1983). Karena keterikatannya dengan alam, manusia juga membutuhkan kehadiran lingkungan hijau di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu manfaat RTH di sini menurut Carpenter, Walker dan Lanphear (1975) adalah sebagai pelembut suasana keras dari struktur fisik, menolong manusia mengatasi tekanan-tekanan dari kebisingan, udara panas dan polusi di sekitarnya serta sebagai pembentuk kesatuan ruang.

Salah satu penjabaran fungsi dan manfaat penghijauan pada Ruang Terbuka Hijau adalah sebagai berikut:

1. Estetika, penghijauan melalui penanaman tanaman/pohon sebagai elemen keindahan kota.

2. Ekologi, penghijauan sebagai penyangga lingkungan kota dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna.

3. Produksi, penghijauan melalui penanaman pohon produktif sebagai upaya peningkatan budidaya pertanian.

10

4. Pelayanan Umum, penghijauan sebagai upaya memberikan kenyamanan dan keteduhan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatannya atau berinteraksi atau berekreasi pada areal-areal Ruang Terbuka Hijau fasilitas umum seperti taman, jalur hijau, tempat pemakaman serta tempat/lapangan olah raga.

5. Konservasi, kegiatan penghijauan untuk perlindungan terhadap daerah-daerah hutan lindung, pesisir pantai dan pulau-pulau.

6. Edukasi, Penghijauan untuk menumbuhkan kesadaran berlingkungan dan membangun berwawasan lingkungan.

Salah satu penjabaran manfaat RTH yang menjadi jiwa dari penjelasan manfaat RTH oleh Inmendagri No. 14/1988 dan Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta (1988) yang sesuai dan menunjang fungsi RTH pemukiman antara lain:

1. Sebagai pengaman lingkungan hidup terhadap berbagai macam pencemaran, baik darat, air maupun udara.

2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan.

3. Sebagai sarana rekreasi.

4. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki lingkungan. 5. Sebagai sarana pendidikan informal.

6. Sebagai pengatur tata air.

2.4 Lokasi dan Bentuk-bentuk RTH

Lokasi Ruang Terbuka Hijau terbagi menjadi enam kawasan-kawasan peruntukan ruang kota sebagaimana tercantum dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI Jakarta 2005, yaitu: (1) kawasan pusat perdagangan meliputi taman lingkungan sekitar pusat perdagangan. (2) Kawasan perkantoran meliputi taman lingkungan kantor, dan jalur hijau jalan. (3) Kawasan pendidikan (sekolah/kampus) meliputi jalan lingkungan kampus, pusat lingkungan dan taman. (4) Kawasan industri dan fasilitasnya meliputi jalur hijau jalan, taman lingkungan pabrik. (5) Kawasan pertanian dan perkebunan meliputi kebun, ladang, sawah, hutan, cagar alam, daerah rawan erosi, bantaran sungai dan konservasi pesisir pantai (Inmendagri No.14/1988). (6) Kawasan permukiman meliputi halaman

rumah, taman lingkungan, fasilitas perumahan, bantaran sungai, daerah rawan erosi, jalur hijau jalan raya dan jalan lingkungan.

Bentuk-bentuk Ruang Terbuka Hijau yang ada, yaitu: (1) Pertamanan kota meliputi “Pocket Park”. “Highway”, “Pedestrian Park”, taman kota. (2) Hutan kota sebagai rekreasi dan konservasi. (3) Rekreasi kota. (4) Lapangan olahraga seperti golf, sepak bola dan lain-lain. (5) Pemakaman. (6) Pertanian. (7) Jalur hijau meliputi koridor-koridor utilitas. “Bank” atau tebing, “Blue way” meliputi bantaran sungai, kanal, daerah banjir, “Water-Front” meliputi pantai, danau, reservoir, tepi air. (8) Pekarangan dan lain-lain meliputi taman lingkungan, taman pertetanggaan, “Play ground”.

2.5 Citra Landsat Thematic Mapper (TM)

Landsat TM merupakan salah satu citra hasil dari Landsat 5 yang sampai saat ini masih aktif. Landsat 5 merupakan orbit melingkar (circular), sun synchronous, near polar, mempunyai ketinggian 705 km, mempunyai sudut inkliasi 98,2º dengan garis khatulistiwa. Satelit ini melalui garis khatulistiwa tiap jam 9.45’ pagi waktu setempat. Waktu tempuh tiap orbit kurang lebih 99 menit. Karena bumi berputar secara rotasi, jarak antara lintasan di permukaan bumi yang saling berurutan adalah 2752 km. Interval waktu antara jalur satelit yang berurutan pada satelit yang sama adalah 7 hari. Sensor Landsat TM menggunakan scanner O-M dan menggunakan cermin berputar (oscillating mirror). Landsat TM dapat pula diterima melalui satelit komunikasi TDRS (Tracking and Data Relay Satellite) dan mempunyai keuntungan satelit Landsat ini dapat dikomando dari bumi sehingga dapat dilakukan perekaman sesuai dengan kehendak bumi.

Landsat 7 merupakan kelanjutan dari Landsat 4, 5 dan 6, mempunyai karakteristik sama dengan Landsat 5 yang masih beroperasi. Pada Landsat 7 mempunyai dua (2) sensor yaitu ETM+ (Enhanced Thematic Mapper) dan HRMSI (High Resolution Multispectral Stereo Imager).

Landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spasial 15 m untuk pankromatik dan 30 m untuk multispektral, resolusi temporal 16 hari, resolusi spektral dan radiometrik 7 kanal. Sedangkan Landsat 7 HRMSI mempunyai resolusi spasial 4,5 m untuk pankromatik dan 10 m untuk multispektral, resolusi temporal 3 hari,

12

resolusi spektral dan radiometrik 4 kanal. Karakteristik masing-masing kanal spektral Landsat TM terangkum pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Kanal Spektral Landsat TM

Kanal Panjang gelombang (µm) Spektral Resolusi spasial (m) Kegunaan 1 0,45 - 0,52 Biru 30

Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air pantai, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan dan mengidentifikasikan budi daya manusia.

2 0,52-0,60 Hijau 30

Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan kenampakan budi daya manusia.

3 0,63-0,69 Merah 30

Untuk daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk pengamatan kenampakan budidaya manusia.

4 0,76-0,90 Infra merah

dekat

30

Untuk membedakan jenis tumbuhan, aktivitas dan kandungan biomassa. Untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah.

5 1,55-1,75 Infra merah pendek 30 Menunjukkan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah. Juga untuk membedakan salju dan awan. 6 10,4-12,5

Infra merah

panas

120

Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas. 7 2,08-2,35

Infra merah pendek

30 Berguna untuk pengenalan terhadap

mineral dan jenis batuan.

2.6 Proses Klasifikasi

Terdapat dua pendekatan dasar klasifikasi citra multikanal dalam berbagai bidang terapan penginderaan jauh, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) (Lillesand dan Kiefer, 1979; Jensen, 1986; Richards, 1993; Howard, 1996; Jaya, 1997).

Klasifikasi terbimbing didasarkan pada data hasil pekerjaan lapangan atau peta. Pendekatan klasifikasi ini menghasilkan informasi yang lebih realistis dan membuahkan hasil klasifikasi yang lebih akurat daripada klasifikas tidak terbimbing (unsupervised classification) atau analisis cluster yang hanya menghasilkan kelas-kelas spektral yang memerlukan interpretasi lebih lanjut.

Metode kemiripan maksimum (maximum likelihood method) adalah metode yang paling banyak digunakan, dimana digital number (DN) pada k kanal untuk setiap kelas mewakili pengamatan yang bebas (independent) dan populasi yang digambarkan mengikuti distribusi normal peubah ganda (multivariate normal distribution). Metode ini memerlukan vektor rata-rata sampel multivariate (mi) dan matrik ragam peragam antar kanal (∑i) dari setiap kelas atau kategori i.

Fungsi dari distribusi normal multidimensi digambarkan sebagai fungsi lokasi vektor dalam ruang multidimensi sebagai berikut :

( ) { }

{

( )

( )

}

=

1 2 / 1 N/2

exp 1/2

2

1

)

(x x m x m

P

t

π

Peluang suatu vektor masuk ke dalam kelas ωi adalah: p(x/ωi) = p(ωi).p(x)

ln p(x/ωi) = ln p(ωi) + ln p(x)

Selanjutnya fungsi diskriminan dari peluang maksimum yang berdasarkan pada distribusi normal adalah:

gi = ( ) ln p( i)- ln i (x-mi)t i -1

(

x-m

)

2 1 2 1

∑ ∑

=

ω

x

14

dimana :

x adalah vektor piksel yang diklasifikasikan;

x1, x2, x3,...xn adalah nilai DN, I = 1, 2, 3,...m (jumlah kelas atau kategori); t adalah matrik transpose; dan

n adalah jumlah kanal yang digunakan.

2.7 Penggunaan Indeks Vegetasi dalam Pendugaan Biomassa dan Karbon (C)

Dengan memahami perbedaan intensitas radiasi tenaga elektromagnetik (EM) yang dipantulkan dan dipancarkan maka akan dapat diidentifikasikan kesehatan, kerapatan dan kelembaban dari suatu kelompok hutan.

Aplikasi lebih baru dari penginderaan jauh multi spektral adalah pendugaan jumlah dan distribusi vegetasi (Curran, 1980). Menurut Lo (1996), jumlah vegetasi hijau dapat diukur dengan LAI, biomassa atau persen penutupan tajuk.

Lebih lanjut Lo (1996) menyatakan bahwa LAI daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tetapi berhubungan positif dengan pantulan infra merah dekat. Tucker (1979) menyatakan rasio pantulan merah dan infra merah dinamakan indeks vegetasi dan indeks vegetasi ini berhubungan positif dengan LAI. Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Banyaknya konsentrasi klorofil yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya

Dokumen terkait