• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dan Pemetaan Pola Spasial Tipologi Wilayah untuk Kawasan Produksi Beras

Pemetaan wilayah berdasarkan tipologinya secara spasial dimaksudkan untuk melihat pola persebaran yang dapat menggambarkan fenomena aktual yang terjadi berkaitan dengan hubungan antara obyek dan lokasinya secara spasial (Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Laurini dan Thompson dalam Barus dan Wiradisastra (2000) ada 4 kategori hubungan yang dapat analisis, yaitu : keterkaitan (connectivity), orientasi (orientation), kedekatan (adjecency) dan posisi dalam suatu ruang (contaiment). Selanjutnya menurut Barus dan Wiradisastra (2000) tidak semua hubungan dapat dianalisis yang secara eksplisit dan langsung dari hasil pemetaan secara spasial sehingga perlu dilakukan analisis atau perhitungan tertentu atau bahkan tidak dapat dibangkitkan hubungan tersebut sama sekali.

Fungsi hubungan spasial yang dapat dia nalisis dari hasil penelitian ini adalah orientasi. kedekatan dan posisi. Berdasarkan hubungan yang berkaitan dengan kategori orientasi dan kedekatan, tipologi wilayah yang layak dicadangkan sebagai kawasan produksi beras di Kabupaten Agam adalah empat na gari yang terletak di bagian barat dan satu nagari di bagian tengah. Wilayah yang termasuk ke dalam tipologi agak layak secara spasial sebagian besar terletak di bagian utara wilayah Kabupaten Agam serta sebagian kecil di bagian barat dan selatan. Tipologi yang kurang layak sebagian besar di bagian tengah yaitu di sekitar Danau Maninjau dan di bagian timur sedangkan tipologi wilayah yang tidak layak tersebar di wilayah bagian timur (Gambar 9).

Hubungan kedekatan wilayah untuk masing- masing tipologi secara secara umum menunjukkan bahwa tipologi wilayah yang layak dan yang kurang layak secara spasial konfigurasinya relatif saling berdekatan dibandingkan dengan tipologi agak layak dan tidak layak. Wilayah yang termasuk ke dalam tipologi layak saling bertetanggaan sedangkan untuk tipologi yang lainnya membentuk pola yang terpisah-pisah/menyebar. Wilayah yang termasuk ke dalam tipologi kurang layak juga menunjukkan pola yang saling bertetanggaan dekat dan mengelompok walaupun ada dua nagari yang termasuk tipologi kurang layak yang posisinya berada di sebelah barat wilayah Agam yaitu Nagari Tiku Selatan dan Tiku Utara. Sebaliknya untuk tipologi yang agak layak dan yang tidak layak karena terbentuk pola yang tidak terkonsentrasi pada bidang spasial. maka interaksi yang terjadi tidak setinggi pada tipologi layak dan kurang layak. Hubungan kedekatan secara spasial membuktikan bahwa berlakunya Hukum Geografi Pertama “Tobler” dimana wilayah yang bertetanggaan akan saling mempengaruhi dan berinteraksi (Rustiadi et al., 2004). Interaksi wilayah yang terjadi akan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang lebih jauh dan tidak bersebelahan. Kaitan interaksi spasial ini dengan kegiatan produksi padi adalah aglomerasi kegiatan produksi. Aglomerasi menguntungkan untuk mengurangi biaya transportasi karena pengaruh jarak. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya sistem yang saling terkait dan akan memperkuat sistem perekonomian wilayah.

Selain hubungan spasial yang terjadi fenomena lain yang dapat dilihat pada Gambar 9 adalah adanya pola hubungan antara luas nagari dengan tipologi wilayah. Wilayah dengan tipologi layak terdiri dari nagari- nagari yang memiliki luas wilayah administrasi lebih luas dibandingkan dengan nagari yang termasuk ke dalam tipologi agak layak dan kurang layak. Pola hubungan ini berbanding lurus dengan hirarki tipologi wilayah dimana tipologi yang agak layak luas nagarinya juga agak luas begitu seterusnya wilayah yang tidak layak terdiri dari nagari yang memiliki luas wilayah yang relatif lebih kecil dibandingkan nagari-nagari pada tiga tipologi lainnya. Fenomena pola hubungan luas wilayah dengan hirarki tipologi ini diduga terjadi hanya bersifat kebetulan karena pola penyebar potensi sumberdaya lahan tidak memperhatikan batas administrasi.

Hasil overlay areal potensial (Gambar 7) dengan tipologi wilayah (Gambar 9), menunjukkan bahwa sebagian besar areal potensial dengan kelas kesesuaian S1 berada pada wilayah tipologi layak. Luas areal tersebut adalah 36 242 ha atau 55.26 % dari total luas areal potensial atau 16.38 % dari total luas wilayah Kabupaten Agam. Selain itu juga terdapat areal potensial dengan kelas kesesuaian S2 (900 ha), S3 dan N (sawah saat ini) (569 ha) pada tipologi wilayah yang tidak layak Hasil ini menunjukkan bahawa walaupun areal tersebut potensial ntuk pengembangan sawah, namun dalam kaitan dengan pencadangan kawasan produksi beras, wilayah tersebut tidak layak untuk dijadikan kawasan produksi beras. Pola penyebaran areal potensial dengan kelas kesesuaiannya pada masing- masing tipologi wilayah dapat dilihat pada Gambar 10.

Analisis Land Rent Usahatani Padi

Berdasarkan data produksi dan biaya untuk memproduksi padi pada masing- masing tipologi wilayah. diperoleh hasil pendapatan bersih rata-rata per tahun penggunaan lahan untuk padi sawah sekitar Rp 3 450 000/ha/thn untuk tipologi layak. Rp 2 798 800/ha/thn untuk tipologi agak layak dan Rp 2 243 000/ha/thn untuk tipologi kurang layak (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa tipologi yang layak dicadangkan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan tipologi lainnya.

0 °2 0' L S 0°20 ' L S 0 °0 0 ' 00 ' 100°00' BT 100°00' BT 100°20' BT 100°20' BT N Propinsi Jambi Propinsi Riau Propinsi Su matera Utara Propin si Bengkulu Kepulauan Mentaw ai

Kabupaten Pasaman Kabupaten Lima Puluh Kota Kabupaten Tanah Datar Kabupaten Padang Pariaman Kota Solok Kota Bukittinggi Samudera Indonesia

Peta Situasi Propinsi Sumatera Barat Simbol HektarLuas

%

5 0 5 Km SKALA

Keterangan

PETA TIPOLOGI WILAYAH KAWASAN PRODUKSI BERAS

DI KABUPATEN AGAM

Sumber : Hasil Olahan Danau Maninjau Agak Layak Kurang Layak Layak Tidak Layak 70 587 76 131 70 866 3 635 9 961 31.91 34.41 33.03 1.64 4.50

N Propinsi Jam bi Propinsi Riau Propinsi Sumatera Uta ra Propinsi Be ngkulu Kepulauan Mentawai Kabupaten Pasaman Kabupaten Lima Puluh Kota Kabupaten Tanah Datar Kabupaten Padang Pariaman Kota Solok Kota Bukittinggi Samudera Indonesia

Peta Situasi Propinsi Sumatera Barat Simbol Hekta rLuas

%

5 0 5 Km SKALA

Danau Maninjau Tida k l ayak, sawah saat ini Tida k l ayak, S2 Tida k l ayak, ti dak potensial Ag ak layak, S1

Ag ak layak, S2 Ag ak layak, sawah saat ini Ag ak layak, tidak potensia l Ku rang layak, S1 Ku rang layak, S2 Ku rang layak, sawah sa at ini Ku rang layak, tidak po ten si al Layak, S1

Layak, S2 Layak, sawah saat ini Layak, tidak p ote nsial

Keterangan 36 242 428 2 183 29 824 4 655 1 258 4 680 63 204 1 383 1 006 10 522 52 406 900 569 2 053 16.38 0.19 0.99 13.48 2.10 0.57 2.12 28.57 0.63 0.45 4.76 23.69 0.41 0.26 0.93 PETA POTENSI SAWAH

MASING-MASING TIPOLOGI WILAYAH DI KABUPATEN AGAM

Sumber : Hasil Olahan

0 °3 0 ' 30 ' 0 °1 5 ' 15 ' 0 °0 0' 0°00 ' 100°00' 100°00' 100 °15' 100 °15' 100°30' 100°30'

Tabel 16 Land rent usahatani padi masing- masing tipologi Tipologi

Land Rent Layak Agak Layak Kurang Layak

(Rp/ha/thn) 3 450 000 2 798 800 2 243 000 Sumber : Hasil Olahan

Berdasarkan data pada Tabel 16 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan nilai land rent yang dihasilkan dari komoditi padi yang diusahakan pada masing-masing tipologi wilayah. Perbedaan nilai land rent ini diduga karena adanya perbedaan petani dalam merespon harga jual komoditi lain yang lebih tinggi. Sebagian petani merespon perbedaan harga jual komoditi lain tersebut dengan memilih komoditi yang memiliki harga jual lebih tinggi dari padi, untuk diusahakan di atas lahan mereka. Komoditi yang biasa dapat mengalahkan padi adalah cabe, dimana pada saat harga cabe, petani lebih cenderung menanami seluruh atau sebagian dari luas lahannya dengan cabe. Akibat dari adanya pilihan dan kecenderungan petani seperti itu dalam mengusahakan lahan sawahnya, maka secara kumulatif indeks pertanaman padi sawah per tahun menjadi lebih rendah. Secara keseluruhan lahan sawah yang digunakan untuk menanam padi belum optimal. Hasil ini terbukti dengan data hasil studi konsistensi luas baku lahan sawah yang dilakukan oleh BPS Pusat pada tahun 2005. Rata-rata indeks pertanaman di Kabupaten Agam berdasarkan studi yang dilakukan oleh BPS Pusat tersebut hanya 155.55 (BPS Pusat, 2005). Nilai indeks pertanaman Kabupaten Agam ini menunjukkan bahwa petani belum optimal dalam memanfaatkan lahan untuk padi karena nilai tersebut menggambarkan petani menanam padi kurang dari 2 kali tanam pertahun (IP = 200). Nilai indeks pertanaman dikatakan optimal apabila nilai IP-nya 300 karena umur panen sawah sekitar 3.5 (tiga setengah) bulan sehingga dalam setahun tanaman padi sawah dapat dipanen tiga kali (BPS Pusat. 2005). Nilai indeks pertanaman juga dipengaruhi oleh sarana pengairan. Berdasarkan data sarana pengairan yang ada di Kabupaten Agam menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah telah memiliki sistem pengairan baik teknis, semi teknis maupun sederhana. Peningkatan intensitas penanaman padi akan meningkatkan produksi sehingga akan

meningkatkan penerimaan bersih petani yang akhirnya secara total meningkatkan nilai land rent lahan dariusahatani padi sawah.

Land rent suatu lahan merupakan gabungan dari nilai yang diperoleh dari

(1) nilai ins trinsik yang terkandung dalam sebidang tanah seperti kesuburan dan topografi, sehingga mempunyai keunggulan produktivitas dari lahan (ricardiant rent), (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent), dan 3) nilai perlindungan terhadap lingkungan (environment rent). Secara teoritis dalam hukum pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent

yang lebih rendah ke aktifitas-aktifitas yang memiliki land rent yang lebih tinggi.

Land rent kegiatan pertanian memiliki nilai yang relatif lebih rendah

dibandingkan land rent non-pertanian, sehinga alih fungsi lahan merupakan bentuk konsekuensi logis nilai land rent dari suatu lokasi. Menurut Rustiadi dan Wafda (2005), masalah konversi timbul karena nilai land rent di dalam mekanisme pasar tidak mencerminkan seluruh nilai barang, jasa dan biaya-biaya yang ditransaksikan di pasar seperti jasa-jasa lingkungan dan sosial. Mekanisme pasar akan selalu gagal mencapai social net benefit yang maksimum atau mengalokasikan sumberdaya ke arah produktivitas riil yang terbaik. Adanya kegagalan pasar (market failure) mengharuskan adanya pengendalian dimana kelembagaan sistem pasar (market institution) terpaksa harus diganti dengan institusi non pasar atau melalui sistem organisasi dalam bentuk lain. Berkenaan dengan hal tersebut, sistem kelembagaan pemerintahan nagari yang ada di Sumatera Barat, diyakini dapat menghambat laju konversi. Sistem kelembagan tersebut menyebutkan bahwa untuk lahan- lahan yang merupakan milik nagari/tanah ulayat, pada prinsipnya kepemilikannya bersifat komunal yang penggunaan dan pendistribusiannya tunduk pada hukum adat. Pemerintahan nagari berperan untuk mengatur penggunaan dan pendistribusian lahan tersebut didasarkan pada persetujuan Kerapatan Adat Nagari (KAN) secara musyawarah.

Nilai land rent usahatani padi sawah dapat ditingkatkan dengan peningkatan luas sawah yang digarap/diusahakan. Masalah kepemilikan dan luas areal yang diusahakan merupakan masalah yang telah diperbincangkan sejak lama. Kebijakan pertanahan yang berpihak kepada petani masih jauh dari harapan. Semakin sempitnya penguasaan lahan oleh petani akan berpengaruh

terhadap produktivitas dan efisiensi usahatani. Menurut Saefulhakim et al. (1999) rumah tangga dengan skala pemilikan/penguasaan lahan yang kurang dari 0.5 ha/kk umumnya memiliki usaha yang tidak menentu (uncertain) dan cenderung untuk mengalihkan hak kepemilikaanya kepada orang lain. Skala kepemilikan/penguasan lahan 0.7-0.8 ha/kk, usahatani yang berbasis lahan dapat secara optimal ditangani. Penguasaan lahan lebih dari 0.8 ha/kk tanpa bantuan tenaga ternak atau mesin pengolah tanah akan berakibat penelantaran lahan yang nyata.

Di samping skala kepemilikan/penguasaan lahan, usahatani umumnya dihadapkan pada masalah fragmentasi kepemilikan/penguasaan lahan. Fragmentasi kepemilikan/pengusaan lahan maupun fragmentasi hamparan lahan dihipotesiskan mempengaruhi fungsi biaya dan manajemen usahatani. Berkaitan dengan masalah fragmentasi hamparan fisik lahan, dalam sistem adat di Minangkabau (Provinsi Sumatera Barat) diatur bahwa tanah yang merupakan milik kaum/suku tidak dibagi-bagi. Namun seiring dengan perubahan tata nilai dan kondisi ekonomi saat ini, tanah waris mulai dibagi-bagi dan bahkan telah terjadi perpindahan hak karena dijual. Masalah ini dapat dilihat pada semakin kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani di Kabupaten Agam. Berdasarkan hasil sensus pertanian tahun 2003, jumlah petani di Kabupaten Agam yang mememiliki lahan dengan luas < 0.5 ha sebanyak 36 521 RT atau ± 80% dari total jumlah petani padi. Sementara yang memiliki lahan = 3 ha hanya sebanyak 57 RT (0.125 %).

Selain itu rendahnya nilai land rent usahatani padi sawah diduga terjadi karena produktivitas sawah yang ada di Kabupaten Agam. Hal ini terbukti nilai rata-rata produktivitas sawah hanya 4.3 ton/ha. Produktivitas sawah di Kabupaten Agam relatif rendah dibandingkan dengan data produktivitas sawah irigasi nasional. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Mahbub Hossain dari International Rice Research Institute (2002) dalam TimRancangan

Undang-undang (RUU) Lahan Pertanian Abadi (2006) terlihat bahwa rata-rata

produktivitas usahatani padi di lahan irigasi di Indonesia sudah mencapai 6.4 ton/hektar dan kedua tertinggi di Asia Timur dan Tenggara setelah China (7.6 ton/hektar).