BAB II. SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH
C. Lekra dan Literatur Anak
Lekra sebagai lembaga kebudayaan tak melupakan tugas untuk terus
bergerak di garis depan revolusi. Di dunia sastra, masih banyak segi yang harus
diurus, diberi arahan ideologisnya dan dituntaskan orientasinya agar tak menjadi
momok bagi jalan revolusi Indonesia.
Setelah membangun pondasi kebudayaan, tugas Lekra selanjutnya adalah
memikirkan keberlanjutan pondasi kebudayaan tersebut. Maka ditempuh jalan
melalui pengajaran sastra sebagai upaya penanaman ideologi revolusioner
terhadap anak melalui sastra anak. Inilah satu hal penting yang tak diperhatikan
oleh kelompok kebudayaan lain. Bagi Lekra, sastra anak adalah sastra yang
bergerak sepenuhnya untuk menyuluh edukasi.48 Yang didapuk sebagai panglima
untuk mengatur sikap dan strategi Lekra dalam ekspansinya terhadap sastra anak
adalah Sugiarti Siswadi, anggota pimpinan pusat Lekra.
Sugiarti Siswadi dalam presentasi pada Konfernas I Lestra di Medan, 22 –
25 Maret 1963, menganggap bahwa membicarakan literatur anak sama pentingnya
dengan membicarakan edukasi sastra. Bahwa dengan membicarakan sastra anak,
berarti menyadari tugas vital sastra dalam menyiapkan anak-anak menjadi
manusia zamannya. Sastra memiliki peran besar dalam membantu anak dalam
memahami realitas atau tidak memahaminya (memutarbalikkan) realitas zaman.
Lekra sebagai lembaga kebudayaan harus memberikan perhatian terhadap
sastra anak sebagai sesuatu hal yang pokok dan utama. Betapapun anak adalah
gambaran masa depan. Jika anak tak diberikan watak yang tegas tentang apa yang
48
dihadapinya, tujuan revolusi Indonesia tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu,
perlu diadakan pembibitan ide, moral dan kecenderungan masa depan yang
berpihak pada ideologi kerakyatan. Dan masa depan yang diyakini bisa
mengantarkan Indonesia pada kejayaan adalah sosialisme.
Pendidikan kanak2 adalah masalah jang pelik jang tidak dapat diselesaikan dengan tergesa2 namun jang harus sudah dimulai sedjak usia muda. Padanja harus harus kita berikan bekal untuk mendjadikannya manusia yang bersegi, memberikan padanja pandangan jang ilmiah, tjinta kerdja, tjinta Rakjat pekerdja, keagungan manusia, ja kebenaran dan kebesaran sosialisme. Ini adalah tuntutan yang tidak dapat dibantah lagi, apabila kita hendak membangun sosialisme Indonesia.49
Dalam mengajarkan kecintaan anak pada sosialisme, Sugiarti berpendapat,
harus dibarengi dengan sikap menanamkan kebencian kepada semua yang
antisosialisme. Baginya, ini bukanlah dosa, sebagaimana orang tua juga
mengajarkan pada anak untuk membenci hal-hal seperti jorok, dusta, bohong,
mencuri, berkhianat dan terlebih lagi, orang tua telah menanamkan kebencian anak
pada penjajah. Sehingga anak pun sudah terbiasa menyanyikan ―Hantjur lebur
Belanda kita gempur‖ dan ―Minggir njingkir pimpinan jang tjurang‖.50
Nyanyian
anak-anak itu barangkali hanyalah soal latah saja. Meski demikian, hal ini
mengindikasikan bahwa anak juga memahami realitas zaman saat itu meski hanya
secuil. Maka tugas sastrawan Lekra untuk memberikan pengetahuan lebih pada
mereka, mengarahkan pengetahuan yang secuil menjadi gagasan yang ideologis,
agar mereka dapat menyelami hakikat realitas. Lalu bagaimana kecintaan
sosialisme diajarkan pada anak? Sugiarti menjabarkan:
49Referat Sugiarti Siswadi dalam Konfernas I Lekra di Medan berjudul ―Literatur Kanak-kanak‖. Di muat Harian Rakjat, 18 Mei 1963.
50 Ibid.
Pendeknja, literatur kanak2 kita harus konsekwen mendjundjung pantja tjinta (tjinta tanah air, kerdja manusia, perdamaian dan orang tua) jang diabdikan pada tjinta sosialisme. Literatur kanak2 kita harus berwatak sosialis.51
Dalam referatnya, Sugiarti juga membanding sastra anak sebelum dan
sesudah revolusi. Pada masa awal revolusi, perhatian terhadap sastra anak nyaris
tidak ada. Lalu pada masa surutnya revolusi, kira-kira tahun 1952 – 53, sastra anak mengalami bencana yang besar. Buku-buku komik imperialis Amerika dan
Singapura menyerbu dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pusat
penerbitannya ada di Bandung dan Medan. Yang menjadi soal kemudian bukanlah
komiknya, melainkan konten di dalamnya.
Dalam komik-komik impor itu, cerita-cerita yang disajikan melulu soal
―petualangan anarkisme, sensasi, superman, perkelahian, kebandit2an, science
fiction jang sok ilmiah‖, sementara komik dalam negeri yang dalam usahanya
menampilkan keperkasaan lokal justru dibelokkan. Dengan kondisi demikian,
maka sikap Lekra adalah melawan tanpa ampun.
Tentu sadja, bentuk tjeritera bergambarnja tidak kita tentang. Namun, memang dalam tjergamlah, terikat erat antara bentuk dan isi, makin djahat isinja, makin jelas bentuknja, makin mudahlah terpateri dalam sanubari kanak2 kita.52
Bencana besar itu tak hanya datang melalui komik saja, melainkan juga
cerita silat murahan, cerita detektif dangkal dan cerita spionase picisan.
Penyebaran buku-buku seperti dimulai dari Jakarta sebagai pusat penerbitannya.
Buku-buku itu dianggap merusak moral karena di dalamnya terdapat
51
Ibid.
52 Ibid.
bumbu yang bisa dikatakan sebagai American way of life, karena menuturkan
tentang seks dan perang dingin. ―Tegasnja anti-komunis‖53
Bencana selanjutnya datang dari pengarang lokal yang menulis buku-buku
yang menimbulkan ―rasa muak‖. Misalnya pada buku karya S. Sukardji dalam seri
Si Pitak, khususnya dalam cerita Si Pitak dan Kerani Muda. Buku memang sudah
tidak lagi mengangkat soal ―ndoro sinjo, bendoro, nonik, tuan besar, jongan dan
babu‖. Akan tetapi, buku itu menyuguhkan pertentangan kelas, antara pribumi
sebagai buruh dengan sosok kulit putih berkebangsaan Inggris yang tak punya
dosa dan salah. Sosok londo itu digambarkan oleh penulis dengan sangat
istimewa. Sugiarti lalu menuduh buku itu sebagai penyebar rasialisme dan
mempertanyakan, ―apakah penulis ini tidak memahami kenyataan bahwa
Indonesia sudah merdeka?‖, ―Apakah taufan besar yang melanda di hati sanubari
kaumburuh tidak tertangkap oleh sang penulis?‖, dan ―Apakah kenyataan anak
merdeka tidak menjinari hari si Pitak?54
Buku lainnya datang dari penulis bernama M. Balfas. Buku Suling Emas
yang ditulisnya memang tidak mendapat kritik seperti buku-buku di atas. M.
Balfas banyak menulis tentang keindahan Indonesia seperti yang dikagumi para
turis. Menurut Sugiarti, buku semacam Suling Emas tidak memberikan sumbangan
apa-apa terhadap revolusi Indonesia.
Sugiarti tak melulu beranggapan negatif pada penyebaran sastra anak. Ia
mencontohkan adanya majalah anak yang belum tersentuh oleh tangan-tangan
kolonialisme model baru seperti dalam buku-buku di atas. Sebutlah majalah anak
53
Ibid.
54 Ibid.
―Kutilang‖ di bawah asuhan Rukiah Kertapati. Majalah ini dianggap paling layak
untuk disebarluaskan dan menjadi acuhan bacaan anak. Majalah anak lainnya,
menurut Sugiarti, ―belum dengan tegas memikul pantja tjita‖. Meski sudah berani menjadi majalah anak yang melawan Belanda, tetapi ―belum berani melawan
penghisap besar dikota dan didesa. Tjinta perdamaian pun belum berani
mengutjapkannya.‖55
Dari rangkaian pidatonya, Sugiarti Siswadi sangat menekankan satu hal,
―baik di dalam buku2 maupun dalam madjalah terasa betapa miskinnja kita akan
buku2 ilmu dan tehnik. Kepada anak2 kita belum tjukup memberikan tjinta ilmu
dan tjinta tehnik. Padahal menurut pendapat saja, pendidikan ke arah itu sangat
mutlak penting untuk pembangunan manusia2 baru‖56
Pemikiran Sugiarti Siswadi di atas mendapat sambutan dari kawannya,
Pramoedya Ananta Toer.57 Sedikit berbeda dengan Sugiarti, Pram menulis
pengajaran sastra dalam lingkup yang lebih luas, terutama pengajaran sastra dalam
lingkup pendidikan formal. Meski begitu, keduanya seakan saling melengkapi.
Menurut Pram, pengajaran sastra telah mengalami ―pengkoboian‖ revolusi
dalam sastra. Oleh sebab itu, pengajaran sastra yang menonjolkan sisi didaktik
revolusi belum pernah ia temui. Dalam hal ini, tulisan Pram juga merupakan
perlawanan atas usaha Manikebu dalam menguasai bidang pendidikan sastra.
Selain itu, Pram menegaskan perlu adanya perlawanan pengajaran sastra versi
55 Ibid. 56 Ibid. 57
Pramoedya Ananta Toer menulis tentang laporan singkat dalam konfernas I Lekra di Medan. Laporan ini berjudul ―Beberapa Hal Tentang Pengadjaran Sastra‖. Dimuat secara bersambung di Harian Rakyat, 1 Mei 1963 dan 11 Mei 1963.
Teeuw yang Balai Pustaka sentrik, yang tidak memberikan sumbangan apa-apa
terhadap revolusi Indonesia.
Dalam rangka melawan dominasi tersebut, tawaran Pram sangat konkrit.
Pertama, menulis sebanyak-banyak dan menyebarkan seluas-luasnya sebagai
bahan pembelajaran. Kedua, mendekati dan membuka perbicangan dengan
pengajar sastra pada secara perseorangan tentang sastra Indonesia sesuai yang
dikehendaki revolusi, sesuai dengan perumusan manipol. Ketiga, melakukan
research yang teratur, terkoordinir dan dengan pimpinan yang baik. Dari
penelitian tersebut, juga perlu dipelajari kembali bahan-bahan pelajaran sastra
yang digunakan dan melakukan penggalian terhadap bahan-bahan baru yang
belum dikemukakan. Terutama sekali, perlu mengedepankan karya-karya tegas
patriotik, progresif serta revolusioner tanpa meninggalkan kriteria penilaian yang
sehat.
Dalam pembicaraan sastra anak Indonesia kini, nama Lekra sebagai
lembaga yang memikirkan nasib dan perkembangannya pada masa revolusi, tak
pernah disebut. Pun demikian dengan Sugiarti Siswadi. Sastra anak Indonesia saat
ini seakan terpotong sejarahnya tanpa melihat kilas balik. Padahal, dengan
melakukan kilas balik, akan diketahui letak perkembangan atau kemunduran
wacana sastra anak.58
58