• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membongkar kubur Sugiarti Siswadi : sebuah kajian new historicism.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Membongkar kubur Sugiarti Siswadi : sebuah kajian new historicism."

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Fairuzul Mumtaz

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji karya-karya Sugiarti Siswadi yang tersebar di media massa dan buku antologi tunggal Sorga Dibumi. Media massa yang dimaksud adalah Harian Rakjat dan Api Kartini. Kedua media ini sangat berjasa bagi besarnya nama Sugiarti Siswadi. Untuk menganalisis karya-karya tersebut, penulis menggunakan pendekatan New Historicism. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain semasanya.

Pendekatan New Historicism memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Asumsi dasar tersebut adalah; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain. Sementara data yang digunakan untuk melacak hubungan paralelitas dengan karya-karya Sugiarti Siswadi ada media massa Harian Ra’jat dan Api Kartini serta teks pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, representasi perjuangan kelas yang tertuang dalam karya-karya Sugiarti Siswadi terbagi menjadi empat kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dianggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Kedua, paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridologi serupa pada masanya ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karya-karyanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karya-karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis.

(2)

By: Fairuzul Mumtaz

Abstract

This research aims to study Sugiarti Siswadi’s works published on the mass media and anthology book titled “Sorga Dibumi”. The medias referred on this thesis are Harian Ra’jat and Api Kartini. Both of them have significant role for gaining popularity for Sugiarti Siswadi. To analyse those works, the writer uses New Historicism Approach. This approach enables to track down the parallelism between

Sugiarti’s works, the events that occurred at that time, and also her personal view concerning on that matter.

New Historicism Approach has several basic assumptions that unite its initiators and its critics. Those are: 1) every expressive action is strongly related to materially cultural practice; 2) literature and non-literature texts circulate inseperably; 3) there is no any discourse, let it be a fiction or fact, which might gives access to absolute truth and cannot change or express any essence of humanity without other alternatives existed. While the data used to track down the parallelism on Sugiarti’s works are Harian Ra’jat and Api Kartini and also political speeches by D.N. Aidit and Sukarno.

The results of this research suggests that, first, there are four representations of class struggle on Sugiarti’s works. They consist of labor class, farmer class, political party partisan class, and soldier class. In the labor class, Sugiarti illustrates the labor struggle in terms of inhumane slavery. Farmer class fights for their land by using unilateral movement through UUPA and UUPBH. Meanwhile, political party partisan class is mobilized to strengthen the party structure locally and nationally. Party cadres are considered as an important pillar to build up a party. The last class, the soldier class which physically moves their muscle in the course of Indonesian revolution. Second, the parallelism between Sugiarti’s works with the ideological text on her era are found with three focuses, which are land reform, women and children, and political party and the socialists ideals. Land reform is such a big issue during the revolution, it is kind of movement to redistribute the land evenly to farmer as part of production media. As a woman, Sugiarti provides a big space to discuss women

issues. Gender awareness is very apparent in her works. Women’s life cannot be

separated easily with the children because women are the one who bear them. Women and children go hand in hand on her works. She takes an active role in the party to struggle for her ideology. Her works match her party ideals perfectly. That is why sometimes her works reflect a hope that Indonesia someday will become a socialist country.

(3)

(SEBUAH KAJIAN NEW HISTORICISM)

TESIS

Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)

Disusun oleh:

Fairuzul Mumtaz (096322014)

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

vi

Kepada:

Ibu, Bapak, serta mertua

Istriku Tikah Kumala

Adik-adikku; Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah Faila Sufa

(9)

vii

(10)

viii

Adalah rasa syukur yang kali pertama saya dengungkan ketika merampungkan

penulisan tesis ini. Alhamdulillah, puji kepada Tuhan YME dan sholawat kepada Nabi

Muhammad Saw sebagai madinatul ilmi. Berbagai kemudahan teknis telah saya peroleh

dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan serentetan ucapan terima

kasih kepada;

Keluarga saya selalu bertanya dan gelisah tentang kelulusan saya. Keluarga di

Demak, Bapak H. Mas’ad dan Ibu Hj. As’adah; Keluarga di Cilacap Bapak Puryanto

dan Ibu Karmi; Istriku Tikah Kumala; adik-adikku, Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah

Faila Sufa, Aji Prasetyo, dan Rafi Mufti Wijaya.

Kepada keluarga besar Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata

Dharma, yang memberi kesempatan bagi saya untuk menempuh studi di dalamnya.

Terutama kepada para guru yang bersahabat, Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel;

Dr. Celia Lowe, Dr. George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum;

Dr. G. Budi Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; dan Dr. Budiawan. Begitu pula kepada para

staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas Mulyadi yang selalu ramah.

Kepada Mbak Katrin, secara khusus saya sampaikan rasa terima kasih atas

kerelaan dan kesabaran dalam membimbing saya, serta memberikan berbagai dorongan,

semangat dan masukan.

Kepada keluarga besar Yayasan Indonesia Buku yang menyediakan data dan

buku-buku untuk keperluan penulisan tesis ini. Khususnya Muhidin M. Dahlan yang

banyak memberikan masukan pada awal penentuan tema.

Kepada teman-teman seangkatan atas diskusi dan gosip-gosipnya; Abed, Agus,

Mei, Rino, Probo, Leo, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud, Anes, Lusi, Eli, Titus.

Tesis ini merupakan proses pendewasaan saya dalam pengembangan ilmu

pengetahuan. Tentu saja bukan muara, perjalanan panjang masih harus ditempuh. Sebab

itu, nama-nama yang saya sebut menjadi unsur penting dalam perjalanan selanjutnya.

Terima kasih.

Salam,

(11)

ix

(Sebuah Kajian New Historicism) Oleh: Fairuzul Mumtaz

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji karya-karya Sugiarti Siswadi yang tersebar di media massa dan buku antologi tunggal Sorga Dibumi. Media massa yang dimaksud adalah Harian Rakjat dan Api Kartini. Kedua media ini sangat berjasa bagi besarnya nama Sugiarti Siswadi. Untuk menganalisis karya-karya tersebut, penulis menggunakan pendekatan New Historicism. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain semasanya.

Pendekatan New Historicism memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Asumsi dasar tersebut adalah; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain. Sementara data yang digunakan untuk melacak hubungan paralelitas dengan karya-karya Sugiarti Siswadi ada media massa Harian Ra’jat dan Api Kartini serta teks pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, representasi perjuangan kelas yang tertuang dalam karya-karya Sugiarti Siswadi terbagi menjadi empat kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dianggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Kedua, paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridologi serupa pada masanya ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karya-karyanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis.

(12)

x

(A New Historicism study) By: Fairuzul Mumtaz

Abstract

This research aims to study Sugiarti Siswadi’s works published on the mass

media and anthology book titled “Sorga Dibumi”. The medias referred on this thesis are

Harian Ra’jat and Api Kartini. Both of them have significant role for gaining popularity for Sugiarti Siswadi. To analyse those works, the writer uses New Historicism Approach. This approach enables to track down the parallelism between Sugiarti’s works, the events that occurred at that time, and also her personal view concerning on that matter.

New Historicism Approach has several basic assumptions that unite its initiators and its critics. Those are: 1) every expressive action is strongly related to materially cultural practice; 2) literature and non-literature texts circulate inseperably; 3) there is no any discourse, let it be a fiction or fact, which might gives access to absolute truth and cannot change or express any essence of humanity without other alternatives existed. While the data used to track down the parallelism on Sugiarti’s works are

Harian Ra’jat and Api Kartini and also political speeches by D.N. Aidit and Sukarno. The results of this research suggests that, first, there are four representations of class struggle on Sugiarti’s works. They consist of labor class, farmer class, political party partisan class, and soldier class. In the labor class, Sugiarti illustrates the labor struggle in terms of inhumane slavery. Farmer class fights for their land by using unilateral movement through UUPA and UUPBH. Meanwhile, political party partisan class is mobilized to strengthen the party structure locally and nationally. Party cadres are considered as an important pillar to build up a party. The last class, the soldier class which physically moves their muscle in the course of Indonesian revolution. Second, the parallelism between Sugiarti’s works with the ideological text on her era are found with three focuses, which are land reform, women and children, and political party and the socialists ideals. Land reform is such a big issue during the revolution, it is kind of movement to redistribute the land evenly to farmer as part of production media. As a woman, Sugiarti provides a big space to discuss women issues. Gender awareness is

very apparent in her works. Women’s life cannot be separated easily with the children

because women are the one who bear them. Women and children go hand in hand on her works. She takes an active role in the party to struggle for her ideology. Her works match her party ideals perfectly. That is why sometimes her works reflect a hope that Indonesia someday will become a socialist country.

(13)

xi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

………….

v

PERSEMBAHAN ……….vi

BAB II. SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH ……….20

A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965 ………...21

B. Lekra dan Perjuangan Kelas ………. 39

C. Lekra dan Literatur Anak ……….45

D. Pengarang Perempuan Lekra ………..51

E. Tentang Sugiarti Siswadi ………54

BAB III. REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS DALAM KARYA-KARYA SUGIARTI SISWADI ………62

A. Perjuangan Buruh: Melawan Perbudakan ………..64

B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH ………..78

C. Perjuangan Massa Partai: Kisah-kisah Propaganda ………99

D. Perjuangan Prajurit: Kerja Revolusi ………..116

BAB IV. MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI DENGAN TEKS-TEKS BERIDELOGI SERUPA………..129

A. Landreform ………..130

B. Perempuan dan Anak ………..142

C. Partai dan Cita-cita Sosialis ………..160

(14)

xii

BAB V. PENUTUP ……….173

A. Kesimpulan ………..173

B. Saran ………..175

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra dinilai sebagai hasil kebudayaan manusia. Keterkaitan antara

karya sastra, kebudayaan dan manusia yang (terus) memproduksi kebudayaan

sekaligus direproduksi oleh kebudayaan adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat

dibantah. Apa dan bagaimanapun bentuknya, sebuah karya sastra selalu

merepresentasikan manusia baik di dalam ide, gagasan, nilai maupun

historisitasnya. Sastra dan kesusastraan menjadi kompleks karena langsung

bersentuhan dengan manusia dan ekspresinya dalam segala macam aspek

kehidupannya, mulai dari kenyataannya yang fisikal, humanistik sampai yang

paling sublim dan transendental, dalam caranya yang paling sederhana sampai

yang paling rumit dan estetik.

Dengan demikian, sastra memiliki ikatan ruang dan batin yang cukup erat

dengan sejarah dan masyarakat, sehingga sastra mendapatkan nyawa dari

keduanya. Hal inilah yang mula-mula dipandang oleh pendiri New Historicism,

bahwa teks dan sosial historis sama-sama menghasilkan dampak sosial pada saat

yang sama. Dalam perspektif ini, sastra turut serta ikut membangun,

mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya

melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya.1

1

(16)

Ketika karya sastra mengacu pada sejarah atau realita sehari-sehari, hal itu

bukanlah sebagai latar belakang belaka. Ia memiliki misinya tersendiri. Dalam

konteks ini, karya sastra mencoba menawarkan atau menyusun sejarah dalam

versinya sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Budianta yang mengatakan

bahwa,

―Dalam pandangan New Historicism, ―kenyataan sejarah‖ tidak lagi tunggal dan absolut, melainkan terdiri dari berbagai macam kisi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Dengan demikian, antara teks sastra dengan sejarah memiliki tali intertekstualitas (baik fiksi maupun faktual) yang diproduksi dalam kurun yang sama maupun berbeda.‖2

Melalui pandangan di atas, dapat dilihat bagaimana susah payah penulis

dalam menghasilkan produk kebudayaan. Konteks sosial, ekonomi dan politik

yang melingkupinya akan terlacak, sehingga sebuah karya menjadi lebih kaya.

Misalnya dapat dilihat bagaimana pertarungan kuasa dan ideologi ketika sebuah

karya mula-mula dilahirkan.

Karya-karya yang dilingkupi pertarungan kuasa dan ideologi dapat

ditemukan pada masa-masa kelam sebuah bangsa. Tak terkecuali Indonesia, masa

kelam itu terjadi pada saat penjajahan Belanda dan Jepang. Pada waktu itu, Bangsa

Indonesia mengalami keterpurukan dari berbagai sisi. Namun demikian,

keterpurukan itu menjadi pengalaman besar yang mampu melahirkan karya-karya

yang besar pula, yang kelak mewakili zamannya. Oleh karena itu, selayaknya,

generasi ke depan tidak boleh melupakannya. Segalanya perjuangan di atas tinta

musti pula diabadikan.

2

(17)

Pengalaman buruk sejarah Bangsa Indonesia, di bawah penjajahan Belanda

dan Jepang kemudian melahirkan sebuah pemberontakan besar-besaran.

Pemberontakan itu diawali pada 12 November 1926. Meski akhirnya gagal dengan

berbagai sebab, pemberontakan yang mulanya dijadwalkan pada 12 Juni 1926

menjadi titik letup utama atas pemberontakan selanjutnya.3

Perjuangan yang dipelopori oleh PKI itu diabadikan dalam Kumpulan

Cerpen dan Puisi Gelora 26 (Ultimus, 2010).4 Buku tersebut berisi 6 cerita pendek

dan 10 puisi ditulis oleh 15 pengarang, 2 perempuan selebihnya laki-laki. Juga tak

kalah menarik, sebuah lagu tercipta untuk menandai peristiwa tersebut. Para

penulis dalam buku tersebut tentu tak memiliki keterlibatan secara langsung ketika

konfrontasi itu terjadi. Rata-rata para penulis baru lahir beberapa tahun setelah

peristuwa berlangsung, yakni lahir pada tahun 1930an. Meski berjarak, mampu

membangkitkan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Dari keseluruhan isi

buku, penulis tertarik dengan cerpen berjudul Sukaesih karya Sugiarti Siswadi.

Cerita itu berkisah tentang perlawanan Haji Hasan yang menolak

menyerahkan hasil kerja kerasnya pada Belanda dan berujung dengan kematian.

Seorang perempuan yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa tergugah dan

memilih jalan masuk dalam organisasi-organisasi kiri serta terlibat dalam

pemberontakan 12 November 1926. Ia keluar masuk penjara dan berakhir di

Digul. Keberadaan cerpen ini menambah lagi satu referensi tentang Digul dari

perspektif sastra.

3

Pengantar Asep Samboja dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus. Hal vii

4

(18)

Dari cerpen tersebut, penulis kemudian melacak karya-karya dengan

pengarang yang sama. Alhasil, ditemukan 6 cerpen dalam kumpulan cerpen Sorga

Dibumi (Lekra, 1960), 9 cerpen5 dan 3 puisi di Harian Rakjat, serta 1 cerpen dan

2 puisi di Majalah Api Kartini.6 Seluruh karyanya memiliki ciri karya-karya Lekra

yang bersifat ―reportase‖ atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah, dan mengusung patriotisme, perjuangan kelas, penegasan

sikap partai dan lain sebagainya.7 Imajinasi, keindahan bahasa dan kemampuan

Sugiarti Siswadi dalam merekam peristiwa dan tokoh memberikan ruh pada laku

sejarah yang didokumentasikannya.

Buku berjudul Sorga Dibumi merupakan buku tipis dengan jumlah

halaman 42 saja. Penerbitan buku tipis semacam ini mengingatkan orang pada

awal berdirinya PKI. Buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai,

terutama teori-teori untuk menopang jiwa partai. Poestaka Ketjil Marxis adalah

nama untuk penerbitan ini. Kerja penerbit ini adalah melahirkan buku-buku

berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis, tidak lebih dari 100 hlm, berisi teori dan

panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah

pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang

menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya beberapa halaman

yang berisi tentang PKI membela negara asing, selebihnya mengatakan bahwa

5

Hanya 6 yang berhasil dihimpun karena data koran tidak lengkap atau robek. Lihat juga di

Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.

6

Satu puisi menggunakan nama samaran, satu lagi dengan nama asli.

7

(19)

negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis

tidak demokratis, rakyatnya sengsara.

Beranjak dari kesuksesan penerbitan ini, PKI kemudian mendirikan

lembaga penerbitan baru bernama Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta.

Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi ―mesin ilmiah‖ partai. Rata -rata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI,

Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis,

Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx,

dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan

karyanya antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf

Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan,

Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, S.

Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi dan lain-lain.8 Sebagian

besar penulis ini adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu

organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI.

Setelah empat belas tahun menanamkan ideologinya, Lekra menemui masa

panen. Barangkali ini menjadi masa panen paling panjang. Sejak berdirinya tahun

1950 hingga diadakannya Kongres Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) pada

tahun 1964, Lekra mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah sehingga

kehidupan Lekra menjadi kian makmur. Perjuangan itu menghasilkan kepercayaan

kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memberikan ruang

8

(20)

lebarnya kepada Lekra untuk menghasilkan karya dan mempublikasikannya di

koran milik PKI, yiatu Harian Rakjat.

Kepercayaan yang diberikan itu tercermin pada apa yang dikatakan oleh

D.N. Aidit,

―bahwa pekerdjaan politik adalah otaknja partai, sedang sastra dan seni adalah hatinja partai. Orang komunis adalah manusia jang mempunjai otak dan hati jang terbaik. Oleh karenanja kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerdja politik dengan kerdja kebudajaan. Kedua-duanja menjadi bagian dari kehangatan revolusioner sekarang maupun dimasa jang akan datang.‖9

Kepercayaan dan ruang yang lebar itu kemudian dimanfaatkan oleh

kader-kader Lekra untuk berkarya lebih giat. Banyak nama-nama baru yang muncul

sehingga Lekra juga semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selain itu,

Lekra juga memiliki media propaganda sastra.

Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan

pertamanya adalah buku dua fiksi, masing-masing adalah Siti Djamilah karya

Joebaar Ajoeb dan Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi. Teranglah, dua penulis

ini menjadi penting. Nama Joobar Ajoeb masih sangat sering didengar hingga kini,

tapi ke mana nama Sugiarti Siswadi? Apakah pegebluk 65 menguburnya?

Enampuluh hari setelah pembantaian massal 65, buku-buku kecil terbitan

PKI dan peranakannya juga ikut dibantai. Dilarang beredar, diberangus oleh pihak

yang sama. Tercatat 67 judul buku hilang dalam waktu bersamaan. Juga sebuah

upaya pembantaian sejarah.10

9

D.N. Aidit. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. Hal 67.

10

(21)

Lima tahun setelah terbit, buku Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi,

tepatnya 30 November 1965, menjadi buku terlarang oleh Pembantu Menteri P.D.

dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo.

Buku ini kembali dilarang oleh Tim Pelaksana / Pengawasan Larangan Ajaran

Komunisme / Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967.

Dari data tersebut, penulis menganggap pentingnya peranan pengarang

wanita Lekra ini. Namanya disejajarkan dengan penulis papan atas Lekra dan

masuk dalam kepengurusan pusat Lekra, terpilih pada Kongres Nasional I Lekra,

pada tanggal 24-29 Januari 1959 di Solo.11

Dari berbagai pembacaan literatur, penulis tak menemukan ulasan panjang

mengenai pengarang perempuan ini beserta karya-karyanya. Seluruhnya seakan

bungkam, bahkan teman seperjuangannya. Hanya sesekali namanya disebut

sebagai pengarang perempuan. Penelitian ini berupaya membongkar kubur

Sugiarti Siswadi melalui karya-karyanya.

B. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang akan dijawab pada penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti

Siswadi?

11

(22)

2. Bagaimana hubungan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan

teks-teks berideologi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang

pada masanya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menggali karya-karya pengarang

sastra Indonesia modern yang tenggelam, khususnya Sugiarti Siswadi. Pada tahun

1950-1965 karya-karyanya sering memenuhi media massa. Setelah peristiwa

kemanusiaan 1965, namanya tak pernah lagi ke permukaan.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan

ilmu sastra, khususnya sejarah sastra dan kritik sastra. Bagi sejarah sastra hasil

penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan untuk mengungkap

perkembangan ideologi dalam kesusteraan Indonesia modern, khususnya sastra

Indonesia masa penjajahan. Bagi kritik sastra, penelitian ini diharapkan

memberikan model analisis dan penelitian terhadap karya sastra dengan sudut

pandang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu New Historicism.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi peningkatan apresiasi sastra, terutama apresiasi terhadap sejarah sastra

Indonesia dalam khasanah sastra Indonesia modern. Penelitian ini tidak hanya

mengkaji teks sastra saja, melainkan juga kondisi sosial historis yang

(23)

untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika masa pergolakan

politik 1950-1965.

E. Tinjauan Pustaka

Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, banyak bermunculan

penelitian yang mengungkap sisi yang gelap dan digelapkan oleh pemerintahan

tersebut. Terutama sekali dalam bidang sastra, kita mengenal sebuah lembaga

bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang ideologinya sealiran dengan

PKI menjadi tumbal atas kekuasaan sebuah orde. Hal ini tentu saja

menggemberikan, karena dapat kembali membuka lubang sastra Indonesia modern

yang tertutup selama 30 tahun lebih.

Berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, hingga

kini, belum ada peneliti yang secara intens dan mendalam membahas karya-karya

pengarang perempuan yang juga pimpinan pusat Lekra bernama Sugiarti Siswadi

secara utuh. Sesekali penelitian dilakukan karena hanya nama dan karya Sugiarti

Siswadi disebut dalam sebuah buku. Misalnya, dalam buku trilogi Lekra tak

Membakar Buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria

Yuliantri diterbitkan Merakesumba, Yogyakarta, 2008.

Dari buku yang sama, Asep Samboja terinspirasi menulis esai lepas

berjudul Cerpen-cerpen Sastrawan Lekra.12 Meski diberi judul demikian, namun

Samboja cenderung mengalisa cerpen-cerpen Sugiarti Siswadi. Pilihan Samboja

adalah karena Sugiarti Siswadi merupakan penyumbang cerpen terbanyak dalam

12

(24)

buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri

tersebut.

Samboja berpendapat bahwa seluruh cerpen Sugiarti Siswadi semuanya

menggunakan sudut pandang orang ketiga ―ke-dia-an‖. Pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu

semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan

pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.

Pendapat Samboja ini diperkuat dengan argumentasinya yang mengatakan

bahawa sebagai pengarang, Sugiarti berperan layaknya dalang atau pendongeng.

Sikap Sugiarti yang demikian dianggap gagal oleh Samboja. Pasalnya, sebagai

dalang, Sugiarti tak dapat membedakan karakter suara satu tokoh dengan tokoh

lainnya.

Dari sisi penggunaan bahasa, Samboja mengatakan bahwa bahasa yang

digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, jika dikaitkan dengan konteks tahun

1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan cenderung santun. Oleh

karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks.

Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya

konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan

yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.

Penelitian lain dilakukan oleh Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum (2012),

berjudul Prosa Lekra 1950–1965 Studi Tentang Karya Sastra, Sastrawan, dan

Kedudukannya dalam Sejarah Sastra Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Taum

(25)

hidup, jelas terlihat bahwa lingkungan politik, ekonomi, dan

sosial-budaya merupakan sebuah lingkungan yang penuh dengan dinamika dan

pertarungan kepentingan.

Membaca karya-karya Lekra yang pada masa itu, Taum berpendapat

bahwa para pengarang masa itu telah berhasil merepresentasikan zaman

pertarungan kepentingan itu terjadi. Suasana pada masa itu tetap terasa jika

karya-karya itu dibaca saat ini. Oleh Taum, hal ini kemudian diartikan sebagai sebuah

―keterlibatan‖ antara karya sastra realitas yang melingkupinya pada kisaran 1950-1965. Keterlibatan itu tak hanya berkubang dalam persoalan-persoalan dalam

negeri saja, Komunis Indonesia yang memiliki semangat antikolonialisme dan

imperialisme ikut terlibat dalam perang dingin, dan mereka berdiri di pihak Timur

untuk melawan Barat (AS dan Inggris).

Laporan penelitian tersebut dibagi dalam lima bab. Pada Bab IV, Taum

membahas tentang karya sastra, sastrawan, dan kedudukannya dalam sejarah

sastra Indonesia. Sastrawan yang disebut adalah lima orang sastrawan Lekra,

yakni Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sukanta, Sugiarti

Siswadi, dan Pramoedya Ananta Toer. Dapat disimpulkan bahwa penelitian Taum

lebih cenderung ke arah mengungkap ideologi lembaga (Lekra) dan bagaimana

keterlibatan sastra dan pengarang dalam mendokumentasikan laku sejarah.

F. Kerangka Teori

Bersifat lentur membuat sastra terus mengalami perkembangan baik dalam

(26)

pergeseran orientasi teori dan kritik sastra, yang bermula dari mimetik, pragmatik

hingga ekspresif. Pengaruh pergeseran ini memuncak pada paruh abad ke-20.

Pergeseran ini berlangsung secara terus-menerus saling melengkapi dan saling

menentang selama beberapa abad. Dalam setiap pergeserakan tidak berlebihan jika

kemudian dimaknai sebagai periodesasi teori sastra.

Pada perkembangan selanjutnya, sastra lebih lentur dalam berhadapan

dengan berbagai teori-teori multiinterdisipliner. Ia masuk dalam teori-teori yang

seebenarnya bukan pada wilayahya. Hanya karena sifat lenturnya itulah, sastra

dapat diterima dan menerima berbagai kemungkinan tersebut.

Pertengahan abad ke-20, orientasi teori dan kritik sastra berbalik arah.

Sastra menjadi suatu bidang yang otonom. Kondisi seperti ini menguntungkan

bagi sastra karena ia mampu menempatkan diri di posisi mana saja dalam berbagai

konteks. Hal ini dapat disikapi bukan sebagai suatu kemunduran, melainkan

sebagai perkembangan dari pergeseran-pergeseran sehingga menghasilkan

pengetahuan yang relatif baru atau paling tidak merupakan perkembangan dari

yang sebelumnya telah ada. Lihat saja teori-teoti yang berjamur setelah

strukturalisme. Silih berganti dan menampilkan dinamika yang menarik hingga

awal abad 21. Yang berhasil menjadi tren tentu saja teori yang mutakhir. Namun

kemutakhiran ini tidak serta-merta bebarengan di seluruh dunia, melainkan

mengalami perpindahan tempat terlebih dahulu dan tentu saja interpretasinya pun

menjadi beragam. Akan tetapi, dari seluruh teori-teori yang bermunculan,

kecenderungan orientasi kritik berada pada teori yang melihat kaitan sastra dengan

(27)

Dari deskripsi singkat di atas, secara umum teori sastra mengikuti dua

kecenderungan. Pertama, mengacu pada konsep-konsep strukturalisme.

Pendekatan ini memiliki kecenderungan tekstual yang merespon dan mendobrak

teori-teori objektif seperti new criticism, formalisme, strukturalisme. Teori-teori

sejalan dengan teori dekonstruksi dan psikoanalisis Lacan. Kedua, mengacu pada

kemutakhiran. Kelompok kedua ini tentu saja lebih luas dan menjadi tidak

terbatas. Dalam pendekatan ini, sastra disejajarkan posisinya dalam berbagai

dinamika budaya, sosial, ekonomi dan politik. Teori-teori kemutakhiran ini dapat

dilihat neomarxis, teori postkolonial, new historiscism dan kajian budaya.

Dari sekian teori yang berkembang, salah satu teori yang menarik untuk

dibicarakan dalam konteks penelitian ini adalah teori New Historicism, teori sastra

yang memandang sejajar antara karya sastra dan sejarah. Teori ini akan digunakan

untuk membedah karya-karya Sugiarti Siswadi.

Penelitian ini membutuhkan kajian yang luas daripada sekadar mengkaji

teks yang menjadi objek penelitian saja. Apa yang digambarkan dalam teks-teks

sastra karya Sugiarti Siswadi, yang akan menjadi objek penelitian, merupakan

rekam jejak pada zamannya. Sehingga segala peristiwa yang melingkupinya

sangat memberikan sumbangsih dalam kelahiran karya-karya penulis perempuan

ini. Selain itu, pada masa revolusi, sastra merupakan salah satu jalur yang

digunakan untuk mengukuhkan dan menyebarkan ideologi tertentu. Oleh karena

itu, kajian yang dianggap paling tepat untuk penelitian ini adalah New Historicism

(28)

NH yang menganggap penting masa lalu ini, mula-mula diperkenalkan

oleh Stephen Greenblatt pada 1982 ketika memberikan pengantar edisi jurnal

Genre. Menurut Budianta, NH dimaksudkan untuk menawarkan perspektif baru

dalam kajian Renaissance. NH menekankan keterkaitan teks sastra dengan

berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya.13

Dengan deskripsi di atas, NH merupakan kritik sastra yang sangat

heterogen. Sebab itulah, menurut Veeser (seperti dikutip dari Taum), NH tidak

dapat diberikan batasan baku. Meski demikian, NH memiliki asumsi dasar yang

mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Taum merangkum asumsi dasar

tersebut menjadi beberapa bagian. Yaitu;

1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain.14

Peter Barry, dengan sederhana mendefinisikan NH,

“is that it is a method based on the parallel reading of the literary and nonliterary texts, usually of the same historycal periode. That is to say, New Historicism refuses (at least ostensibly) to „privilege‟ the literary texts: instead of a literary „foreground‟ and a historical 'background' it envisages and practises a mode of study in which literary and nonliterary texts are given equal weight and constantly inform or interrogate each

Dikutip dari Yosep Yapi Taum dalam ringkasan disertasinya berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism Atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra tahun 1966-1998. FIB UGM. 2013. Hal. 2.

15

(29)

Menurut Taum,16 kritik NH menekankan sastra sebagaai produk zaman,

tempat, dan lingkungan penciptaannya, dan bukan sebagai sebuah karya genius

yang terisolasi. Hal ini senada dengan pandangan Foucault yang mengatakan

bahwa segala bentuk teks, termasuk diskursus akademis suatu zamannya, muncul

di bawah model teoritis zamannya. Sastra tidak dapat dipandang sebagai sesuatu

yang terpisah dari sejarah, sehingga terapung di udara seperti sebuah entitas yang

terasing dan terpisah.17 Greenblatt sebagai pencetus teori ini juga memperkuatkan

pandangan di atas dalam The Touch of the Real.18 Ia menegaskan bahwa dunia

yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif, melainkan

sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal (single realm) ini. Dalam kajian

jaringan-jaringan tersebut, NH menekankan dimensi politis-ideologis

produk-produk budaya.

Sebuah produk budaya, dari sisi politik dan ideologi, tidak bisa dilepaskan

begitu saja dengan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Dalam hal ini, Budianta

melihat bahwa kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan yang

dilontarkan Michel Foucault. Foucault tidak memandang kekuasaan sebagai

sesuatu yang negatif, melainkan suatu yang selalu menyelimuti setiap tindakan

manusia satu dengan yang lainnya, demikian pula dalam penggunanan bahasa.19

Karya sastra, melalui bahasa sebagai mediumnya menghadirkan relasi

kuasa dengan sendirinya, meski tanpa disadari oleh penulisnya. Relasi kuasa

16

. Ibid. Yosep Yapi Taum Hal. 3.

17

Michel Foucault dalam Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Diterbitkan oleh Jalasutra. 2011. Hal 85. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3.

18

The Touch of the Real dalam The Greenblatt Readers dieditori oleh Michael Payne. USA: Blackwell Publishing. Hal. 32. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3.

19

(30)

tersebut diwujudkan dalam bentuk wacana. Oleh sebab itu, karya sastra dapat

bertindak lentur di dua posisi dalam wacana, mengukuhkan atau mendobrak.

Posisi penulis sangat menentukan dalam hal ini.

Selain sumbangan Foucault, NH juga mendapat disokong oleh Clifford

Geertz dalam esainya Thick Description yang tersusun dalam buku The

Interpretation of Cultures (1973).20 Geertz (via Greenbalt) mengatakan, NH

“is sorting out the structures of signification – what Ryle called established codes, a somewhat misleading expression, for it makes the enterprise sound too much like that of the cipher clerk when it is much more like that of the literary critic – and determining their social ground

and import.”21

Metode Geertz merupakan metode etnografi. Ia menggunakan metode ini

untuk membongkar berbagai makna yang tersembunyi dalam praktik budaya

secara rinci. Geertz,22 memandang perilaku manusia atas tindakan dalam praktik

budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang simbolik. Oleh sebab itu, ia

menginterpretasi metode antropologi seperti membedah karya sastra.

Lebih lanjut, Budianta menjelaskan bahwa dalam kajiannya,

NH menyandingkan teks sastra kanon, dengan teks yang marjinal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dalam suatu titik tertentu dalam sejarah—secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, NH cenderung memilih—nyaris secara random—hal-hal yang tampak remeh temeh dan tersisihkan dari sejarah— dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai, untuk menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.23

Teks-teks yang diremehkan dan tersingkir ini pulalah yang dibaca secara

paralel dengan karya-karya Sugiarti Siswadi. Teks-teks yang dimaksud tidak

(31)

hanya teks sastra saja, melainkan lebih luas cakupannya. Akan tetapi, karena

banyaknya teks yang beredar pada masa Sugiarti berkarya, penting kiranya

diadakan pembatasan terhadap teks yang dimaksud. Pembatasan ini bertujuan agar

pembahasan terhadap karya-karya Sugiarti lebih mendalam.

Peneliti memilih pemberitaan di dua media massa, Harian Rakjat dan Api

Kartini sebagai teks nonsastra yang disandingkan dengan karya-karya Sugiarti.

Kedua media massa ini difungsikan untuk melihat konteks peristiwa apa saja yang

terjadi sesuai dengan karya yang dibahas. Dengan demikian akan jelas bagaimana

sudut pandang Sugiarti Siswadi dalam menyikapi suatu peristiwa tertentu.

Selain itu, untuk mengetahui ideologi Sugiarti ditampilkan pula pidato

politik D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI. Pemikiran-pemikiran Aidit teraplikasi

dalam prinsip-prinsip Lekra yang menjadi referat dalam Konfernas Seni dan Sastra

Revoluioner I. Meski peristiwa tersebut terbuka untuk umum (tidak hanya anggota

Lekra saja), namun referat Aidit itu mencerminkan sikap dan tindakan Lekra.

Untuk itu, sangat tepat untuk melihat kecenderungan ideologi Sugiarti Siswadi.

Untuk lebih memperkaya pembahasan, ditambahkan pula pidato politik lainnya

dari Sukarno. Sebab dalam beberapa pidato, Aidit kerap pula mengutip pidato

Sukarno.

G. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan adalah pembacaan paralel (parallel reading)

antara teks-teks sastra karya Sugiarti Siswadi dan teks-teks nonsastra pada masa

revolusi di Indonesia, dilengkapi dengan latar belakang dan manifestasi perilaku

(32)

Teks-teks nonsastra yang dijadikan sebagai sumber primer adalah berupa

berita atau artikel di koran serta pidato-pidato politik. Banyaknya teks-teks yang

ada, diperlukan pembatasan agar pembahasan lebih mendalam dan tearah. Batasan

dilakukan hanya pada teks media massa Harian Rakjat dan Api Kartini serta

teks-teks politik D.N. Aidit dan Sukarno. Sumber skunder berupa majalah, hasil

penelitian, narasi dan memoir yang berbentuk buku, peraturan hukum, keputusan

politik, catatan lembaga, film, maupun informasi di dunia maya (internet) yang

berkaintan dengan teks-teks sastra Sugiarti Siswadi.

Data yang diperoleh adalah data kualitatif. Data tersebut dapat berupa

pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri keadaan, dari segala sesuatu dan

segala sesuatu lainnya; bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku,

gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bahkan bisa berupa

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.24

H. Sistematika Penyajian

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan, meliputi a) latar belakang; b) rumusan masalah; c)

tujuan peneleitian; d) manfaat penelitian; e) tinjauan pustaka f) kerangka teori; g)

metode penelitian; h) sistematika penyajian.

BAB II merupakan pembahasan tentang Lekra dan bagaimana peran aktif

Sugiarti Siswadi dalam organisasi tersebut.

24

(33)

BAB III merupakan pembahasan mengenai representasi perjuangan kelas

dalam karya-karya Sugiarti Siswadi.

BAB IV merupakan pembahasan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi

dengan teks-teks beridelogi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada

masanya.

BAB V merupakan bagian penutup memuat penutup, terdiri dari

simpulan dan saran. Bagian akhir pada penelitian ini dipaparkan daftar pustaka

(34)

20 BAB II

SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH

Menjadari bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga

Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra…1

Tidak banyak pengarang perempuan dalam tubuh Lekra. Oleh karena itu,

kehadirannya diperlu mendapat perhatian, meski Lekra sendiri tak pernah

membedakan jenis kelamin dalam proses kreatif. Produktivitas dalam berkarya

menjadi titik dispilin yang organisasi ini. Kedisiplinan inilah yang menjadikan

Lekra mampu bertahan pada zamannya dan hanya tumbang oleh kekuasaan

politik. Hanya yang aktif berkaryalah yang layak menduduki posisi penting dalam

tubuh Lekra.

Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana polemik yang terjadi dalam

suasana perpolitikan di indonesia pada tahun 1950 – 1965. Melalui deskripsi ini,

maka tampak jelas peran pengarang Lekra dalam menghadapi situasi politik,

perseteruan kebudayaan dengan Manikebu, serta ideologi apa yang dipatuhi oleh

para anggotanya.

Bentuk-bentuk ideologi itulah yang kemudian dipegang oleh Sugiarti

Siswadi untuk menampilkan perjuangan kelas bawah dalam karya-karyanya.

Secara lebih detail, bab ini juga akan menggali potongan-potongan informasi

tentang Sugiarti Siswadi serta beragam aktivitasnya dalam Lekra. Informasi

tersebut disusun menjadi biografi singkat.

1

(35)

Sebagai pengarang perempuan dan menduduki posisi sebagai anggota

Pimpinan Pusat Lekra, keberadaan Sugiarti tidak bisa diremehkan. Ia turut

memberikan pemikiran-pemikirannya baik dalam bentuk karya maupun pidato

politik. Bab ini juga akan melihat posisi Sugiarti bersama dengan pengarang

perempuan lainnya. Hal ini untuk mengetahui peran Sugiarti sehingga ia layak

diangkat dalam penelitian ini.

A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965

Kisaran tahun 1950 hingga 1965 merupakan tahun terjadinya peperangan

besar dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Peperangan itu akan menentukan nasib

sastrawan dan seniman akan kecenderungannya pada kelompok tertentu.

Revolusioner atau kontrarevolusioner. Diganyang atau mengganyang. Keadaan

demikian tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh percaturan politik pada

masa itu. Politik menjadikan sastra dan seni sebagai alat propaganda dan untuk

menarik simpatisan massa terhadap partai, sementara sebaliknya, sastra dan seni

mendapatkan nafas atas uluran tangan sebuah partai. Maka merupakan

keniscayaan jika keduanya menjadi partner yang ideal. Di sisi lain, kelompok

tertentu dengan ideologi berbeda terus mengupayakan proses kreatifnya agar dapat

bernapas dan mampu merebut pengaruh massa. Terjadilah polemik sastra. Dua

kelompok beseberangan tersebut adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan

Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Dari peperangan kebudayaan itu lahirlah beberapa istilah sebagai jargon

atas perjuangan mereka, ―Politik sebagai Panglima‖, ―Seni untuk Rakyat‖,

(36)

jargon tersebut dijelaskan pada masing-masing sikap yang dirangkum dalam

Mukadimah Lekra dan dan Manifes Kebudayaan.

Mukadimah Lekra pertama kali dikeluarkan pada 17 Agustus 1950 dan

sekaligus dinobatkan sebagai hari lahirannya. Dalam Mukadimah tersebut, terlihat

jelas bahwa Lekra condong ke arah kiri dengan makmum terhadap ideologi yang

diusung oleh Marxis serta Lenin dan menjadikan rakyat sebagai tujuan dalam

berkarya. Tak heran, karena pendiri dan penyusun naskah awal Mukadimah

tersebut adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni D.N. Aidit, M.S.

Ashar, A.S. Darta dan Njoto. Empat pendiri Lekra ini memperbolehkan siapa saja,

baik seniman, sastrawan, pekerja kebudayaan, buruh dan tani untuk terlibat di

dalamnya dan menjalankan misi bersama.

Pemikiran dasar Lekra adalah memerdekaan rakyat dengan mengupayakan

penuh hak-hak rakyat seperti pendidikan, berekspresi dan hidup yang layak. Lekra

khawatir merosotnya kesadaran rakyat atas gerakan revolusi yang dianggap belum

rampung. Bagi Lekra, revolusi yang memperjuangankan rakyat adalah sebuah

keharusan. Jika revolusi menemui jalannya yang melenceng, korban yang paling

sengsara adalah rakyat. Dengan demikian, beban revolusi bukan saja ada di

pundak pemimpin revolusi, melainkan seluruh massa rakyat pekerja, sastrawan

dan seniman serta pekerja kebudayaan.

Sebagai lembaga kebudayaan, Lekra menggunakan mengusahakan segala

jalur untuk menggerakkan roda revolusi. Begitu pula bidang sastra dan seni.

Bukan sembarang sastra dan seni, melainkan yang mampu mendekat dan

(37)

Tugas daripada Rakjat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaja bisa mengetjap kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh segolongan kejtil lapisan atasdan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan ketjil itu. Rakjat Indonesia harus berdjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu dan industri.

Sembilan tahun kemudian, sikap ini dimatangkan pada revisi Mukadimah

dalam Konggres Lekra di Solo tahun 1959.

Bahwa rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya bisa dilakukan oleh

Rakjat… Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada rakjat,

adalah satu2nja jalan bagi seniman2, sardjana2, maupun pekerdja kebudajaan lainnya, untuk mencapai hasil2 jang tahan udji dan tahan waktu.

Atas dasar di atas, Lekra membagi tugasnya dalam beberapa lembaga

kreatif, yaitu 1) Lembaga Senirupa Indonesia (Lesrupa), 2) Lembaga Film

Indonesia (LFI), 3) Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), 4) Lembaga Senidrama

Indonesia (LSDI), 5) Lembaga Musik Indonesia (LMI), dan 6) Lembaga Senitari

Indonesia. Keselurahan hasil kerja sastrawan dan seniman serta pekerja budaya

lainnya didedikasikan sepenuhnya untuk rakyat. Sebab itulah, Lekra kemudian

menelurkan konsep 1-5-1. Konsep ini merupakan simbol dari sikap berkesenian

yang dikembangkan oleh Lekra yang merupakan ―jangkar tengah‖ sekaligus

rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Konsep ini kemudian

disebut sebagai asas kombinasi, yaitu (1) Politik adalah panglima; (5.1) Meluas

dan Meninggi, (5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (5.3) Tradisi

baik dan kekinian revolusioner, (5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa,

(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner; (1) Turun ke bawah. (Yuliantri

(38)

Asas kombinasi di atas merupakan upaya untuk mengembangkan tradisi

riset dalam tubuh Lekra. D.N. Aidit dalam pidato di Solo mengatakan bahwa

―hanja dengan mengembangkan semangat riset dengan metode ‗tiga sama‘ (sama

kerdja, sama makan dan sama tinggal dengan kaum tani, terutama buruh tani dan

tani miskin) akan mendjamin suksesnja pembinaan sastra dan seni jang bersifat

nasional, demokratis dan ilmiah… Djuga hanja dengan riset dan melakukan

integrasi secara langsung di tengah2 massa akan mendjamin karja jang mendalam

realistik, revolusioner, artistik, berkepribadian dan universil.‖2

Dalam pidato itu, D.N. Aidit juga menjabarkan tentang konsep kerja Lekra

tersebut.3 Politik adalah Panglima, merupakan integrasi antara kerja politik dan

kecakapan artistik. Dalam hal ini, upaya untuk memperjuangan rakyat melalui

politik tidak mengesampingkan mutu artistik dari sebuah karya sastra dan seni.

Dengan demikian, ada dua garis besar yang harus ditempuh kreator. Pertama,

garis vertikal. Garis ini menuntut sastrawan dan seniman untuk mengetahui dan

meguasai politik partai. Kedua, garis horizontal. Garis ini mengupayakan agar

sastra dan seni menjadi ―sendjata jang ampuh di tangan rakjat‖.4

Letak pentingnya Politik adalah Panglima adalah untuk memberikan

perlawanan terhadap musuh-musuh yang kontrarevolusiner. Aidit menegaskan,

―Kita tidak akan mengerti apa arti hakekat Manikebuisme dilapangan sastra dan

2

(39)

seni tanpa mengerti kebangkrutan politik kaum sosialis kanan dan Masjumi serta

kaum kontra-revolusioner lainnja. Kita akan menghadapi kesulitan mendjebol

kebudajaan imperialis AS tanpa mengetahui hakekat politik gangster dan

badjaklaut imperialisme AS dan politik klas buruh terhadap kepala imperialis jang

paling djahat itu. Membongkar kebudajaan feodal jang menjebarkan kemaksiatan,

ketahajulan, dll hanja mungkin berhasil djika kita mengenal hakekat hubungan

agrarian didesa dan tahu politik PKI untuk membebaskan kaun tani.‖5

Selanjutnya, Aidit mendefinisikan Politik adalah Panglima dalam kerja

kreatif Lekra ―…berarti mendjadikan untuk memimpin pemikiran kreatif dan

pembajangan kreatif mengenai masalah2 seperti perdjuangan untuk kemerdekaan

penuh dengan melikwidasi imperialisme, perdjuangan kaum tani untuk

pelaksanaan UUPA dan UUPBH setjara konsekwen untuk menudju perubahan

agrarian jang radikal, garis politik partai untuk mengkonsolidasikan front

persatuan nasional dan lain2nja.‖6

Meluas dan Meninggi. Prinsip ini menuntun kepekaan sastrawan dan

seniman Lekra terhadap massa dan artistik. Meluas berarti karya-karya yang

dilahirkan mampu menjangkau massa, bahkan yang tak mengenyam pendidikan

sekalipun. Hal ini mengharuskan bahwa hasil kreasi yang dilakukan sastrawan dan

seniman dilakukan secara sadar untuk mendorong dan memobilsasi massa dalam

bentuk yang tepat. Meninggi memiliki titik tumpu pada mutu karya secara artistik

serta cara publikasi karya yang tepat. Keduanya harus berjalan bersamaan.

5

Ibid. Hal 53 – 54.

6

(40)

Aidit menegaskan bahwa ―Meluas dan meninggi adalah dua hal jang tidak

dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua2nja diperlukan oleh praktek

revolusioner… Kedua2nja diabdikan kepada perdjuangan revolusioner, kepada

massa rakjat pekerdja. Oleh karena itu, kita harus tetap berpegang teguh pada

pendirian atas dasar massa untuk massa, serta meninggi djuga atas dasar massa

dan untuk massa.‖7

Secara lebih jauh, Aidit menggambarkan bagaimana luasnya wilayah

Indonesia dan terdiri dari beragam budaya. Seluruhnya harus dalam jangkauan

sastrawan dan seniman revolusioner. Ia kemudian menyarankan, ―meluas‖ dengan

mendirikan sanggar-sanggar seni serbaguna di berbagai daerah. Bahkan, jika perlu

―satu desa satu sanggar‖.

Tinggi Mutu Ideologi, Tinggi Mutu Artistik. Lekra berpandangan bahwa

tidak ada seni yang berdiri secara independen. Bahkan tak hanya seni. Semuanya

serba berpihak. Keberpihakan Lekra adalah kepada rakyat. Ideologi kerakyatan

itulah yang menjadi tolak ukur aktivitas kebudayaan Lekra untuk melihat seberapa

besar dan seberapa tinggi mutu ideologi dalam berkarya. Mutu ideologi diperoleh

dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya

yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya.8

Bagi Aidit, ―Karja2 jang mutu ideologi dan mutu artistiknja tinggi hanja

akan disambut baik oleh massa djika karja2 itu didukung oleh ideologi dan moral

jang tinggi dari pentjipta-pentjiptanja.‖9

7

Ibid. Hal 55.

8

Lekra Tak Membakar Buku. Hal 28.

9

(41)

Tradisi dan Kekinian Revolusioner menuntut sastrawan dan seniman untuk

jauh lebih mengerti tentang tradisi rakyat yang sebenarnya dan tradisi feodal atau

tradisi yang terpengaruh feodal. Mengetahui tradisi ini akan lebih mudah

memudahkan untuk melihat persoalan kelas di masyarakat. Mula-mula, pemetaan

ini harus dilakukan oleh pekerja budaya untuk kemudian dapat memadukan antara

―warisan dan pembaruan‖.

Pembaruan tidak asal saja dilakukan. Aidit menyarankan untuk

berhati-hati, sebab pecinta tradisi bukanlah kelompok yang mudah diusik. ―… Sekali lagi

harus selalu diingat: djangan gegabah memperbarui sesuatu jang lama jang

disenangi massa. Sikap gegabah adalah bukan sikap sungguh2 jang harus

mendjadi sikap seorang revolusioner dalam melakukan pembaruan. Memperbarui

bukan asal memperbarui, tetapi justru harus dengan meneruskan tradisi dan bukan

mengahantjurkannja.‖10

Kreativitas Individual dan Kearifan Massa. Lekra selalu mendorong

warganya agar terus memproduksi karya-karya bermutu sebagai upaya

meningkatan kreativitas. Selain itu, sebagai manusia yang berdampingan dalam

kehidupan sosial sastrawan dan seniman revolusioner harus menjunjung tinggi

kearifan massa. Sebab bagi Aidit, ―Sepandjang sejarah Rakjat adalah pentjipta

agung, oleh karena itu mengabaikan kearifan massa hakekatnja sama artinja

dengan mengingkari rakjat.‖11

Prinsip ini menekankan adanya kerja sama antara

10

Ibid. Hal 58.

11

(42)

pekerja budaya dengan massa rakyat pekerja, ―bekerdja kolektif dan menghargai

pendapat kolektif‖.12

Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner. Realisme sosial adalah

realism yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme sosial adalah

militansi ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Bukan saja pada kapitalisme,

melainkan juga bagaimana mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme

internasional.13 Realisme sosial menjawab tuntutan zaman, bahwa apa yang sudah

tidak lagi sesuai dengan masa kini perlu dirombak atau diperbarui dan bahkan

menghadirkan sesuatu yang baru. Ia bergerak terus-menerus dan memperlihatkan

kontradiksi-kontradiksi yang bekerja dalam masyarakat.

Sebenarnya, Aidit tidak begitu sepakat dengan prinsip ini. Dalam

pidatonya di Solo, ia menganggap akan lebih tepat jika diganti dengan realisme

revolusioner dan romantik revolusioner. Menurutnya, realisme rovelusioner berarti

―berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenjataan. Setjara fundamentalis sikap

revolusioner berarti selalu berfihak kepada jang baru dan sedang tumbuh untuk

kehidupan lebih madju, lebih baik dan lebih indah…‖14

Sementara dalam romantisme revolusioner, Aidit menggambarkan sebagai

―suatu angan2 revolusioner jang berdiri tegak diatas dasar kenjataan2 tentang

kontradiksi2 dalam kehidupan. Kita harus menggambarkan kehidupan tidak secara

naturalis seperti potret, melainkan kegairahan revolusioner, kaja dan penuh

tjita2…‖15

12

Ibid.

13

Lekra Tak Membakar Buku. Hal 30.

14

Ibid. Hal 59 – 60.

15

(43)

Turun ke bawah atau biasa disingkat turba menjadi metode paling ampuh

dalam melaksakan azas ―Politik adalah Panglima‖ dan 5 pedoman penciptaan.

Metode turba sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari

kehidupan rakyat secara langsung. Metode ini dijabarkan dalam ―tiga sama‖, yaitu

bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. ―Tiga sama‖ adalah uasaha

untuk menjaga solidaritas dan kolektivitas antara pekerja budaya dan rakyat dalam

sebuah kerja bersama.16

Dengan demikian, sastrawan dan seniman Lekra tak semata berkarya

dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data,

turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan

imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu

yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan

bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra dan seni sebagai pisau.

Dalam melaksanakan prinsip 1-5-1 di atas, sastrawan dan seniman Lekra

tidak turun ke bawah dengan tangan kosong. Mereka harus membekali diri dengan

senjata. D.N. Aidit, menjelaskan bawah,

―Turba seperti sudah saja katakan dimuka harus dengan sendjata

Marxisme-Leninisme, sebab tanpa itu sama halnja dengan meraba-raba dalam gelap dan seperti seorang buta mentjari djarum di padang rumput, pati tidak akan mendapat apa jang ditjari.‖17

Dengan bekal senjata tersebut, seniman dan sastrawan yang turba

diharapkan mampu menyerap dan melihat kontradiksi-kontradiksi sehingga dapat

melihat persoalan rakyat dengan sudut pandang yang tepat. Dengan demikian,

16

Lekra Tak Membakar Buku. Hal 32.

17

(44)

karya-karya yang dihasilkan akan benar-benar mampu mengangkat persoalan

rakyat ke permukaan dan memiliki tinggi mutu. Maka dengan gencarnya, Aidit

selalu meneriakkan bahwa penting Marxisme-Leninisme. Ia kemudian

memunculkan jargon ―tahu marxis dan kenal keadaan‖. Ia berpendapat bahwa,

―Filsafat, ekonomi politik dan Sosialisme Marxis-Lenin mengadjarkan kita untuk

bertitiktolak dari kenyataan objektif dan melihat segala sesuatu dalam

perkembangannya, menunjukkan kepada kita tentang sumber2 dari eksploitasi atas

manusia oleh manusia dan tentang perdjuangan klas sebagai lokomotif

perkembangan masyarakat.‖18

Arief Budiman19 (dalam Samboja20) mengatakan bahwa sejak

didengungkannya ―politik adalah panglima‖ oleh Lekra, pengertian sastra yang

baik dan indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra

yang indah adalah karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami

oleh rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau

membangkitkan semangat mereka.

Sejak kelahirannya, Lekra tumbuh dengan subur, bahkan mendominasi.

Sebagai organisasi besar berhaluan kiri, Lekra banyak tak disukai. Lekra pun

dianggap lawan oleh Manifes Kebudayaan (Manikebu). Namun, perseteruan dua

kubu tersebut justru menjadikan iklim sastra Indonesia semakin panas. Dengan

suasana yang cenderung panas itu, bahasa polemis sangat lazim digunakan oleh

kedua kubu, misalnya melalui ―ganyang‖, ―kontrarevolusioner‖, dan lain

18

Ibid.

19

Arif Budiman. 2006. Kebebasan, Negara dan Pembangunan. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute.

20

(45)

sebagainya. Perdebatan di antara dua kelompok ini terasa sebagai debat politik

dalam kebudayaan, di mana telah terjadi saling tuding. Keduanya berupaya untuk

saling serang ganyang.

Serangan terhadap Manikebu ditampilkan Harian Rakjat dalam upaya

mendukung Lekra, ―… HR berdiri didepan dalam mengganjang musuh2 nasional

dilapangan kebudajaan, dalam mengganjang musang2 berbulu ajam jang

bersembunji misalnya dalam klik Manifes Kebudajaan. Dengan demikian ia

menerangi djalan2 perjuangan pekerdja kebudajaan Rakyat Lekra.‖21

Upaya Lekra dalam mendesak Manikebu juga terus digalakkan. Hal ini

terlihat dalam Seminar Pengadjaran Sastra yang dilangsungkan pada 5 – 8

September 1964. Seminar dengan tema ―Menegakkan Manipoli dibidang

pengadjaran sastra‖ sudah langsung mengancam pihak yang besebrangan dengan

ideologi manipol, yaitu Manikebu. Lebih jelas lagi, seminar tersebut menghasilkan

sebuah dokumen penting untuk melihat bagaimana Lestra menyusun dan melihat

raut dunia pengajaran sastra. Dokumen itu berkepala: ―Tegakkan Manipol

dibidang Pengadjaran Sastra, madju terus mengganjang Manikebu‖.

Keberadaan Manikebu mula-mula tak begitu merisaukan kelompok Lekra.

Namun ternyata pendukung Manikebu berkembang semakin besar. Hal ini

ditandai dengan Manikebu menyelenggarakan Konperensi Karyawan Pengarang

se-Indonesia (KKPI) di Aula Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 1 - 7

Maret 1964 sebagai upaya untuk menggalang dukungan. Hasilnya, Angkatan

21

(46)

Darat menjadi pendukung nomor wahid.22 Konferensi itu kemudian melahirkan

Persatuan Karyawan Pengarang se-Indonesia (PKPI). (Penjelasan Manifes). Pada

saat bersamaan Pimpinan Pusat Lekra mengadakan sidang di sekretariatnya. Hal

ini dianggap Manikebu sebagai upaya membayang-bayangi konferensi yang

diadakannya dan dilakukan secara sistematis untuk penjegalan yang bersifat politis

terhadap mereka.23

Dengan posisi Lekra yang cukup kuat, Manikebu menolak adanya

subordinasi kebudayaan, menentang konsep realisme sosial dan "politik sebagai

panglima". Bagi Manikebu, konsep tersebut membuat manusia harus mengabdi

kepada politik dan hanya akan menghasilkan karya-karya yang bermuatan

propaganda semata.

Asas hukum yang dipegang kuat oleh Lestra adalah seruan Presiden

Sukarno dalam amanat TAVIP untuk terus mengganyang Manikebu karena

kontrarevolusi. Manikebu dikubur oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964

sebagai puncak perdebatan budaya kedua kelompok tersebut.24 Menurut Presiden

Sukarno, Manikebu dilarang karena sudah ada Manifesto Politik yang juga harus

ditaati sebagai haluan politik kebudayaan negara. Oleh karena itu, keberadaan

Manikebu dianggap sengaja dibentuk untuk menandingi Manifesto Politik atau

22

Alexander Supartono. 2000. Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyakarya, Jakarta. Dokumen ini diperoleh penulis dalam versi ebook atas nama Edi Cahyono. Hal 33.

23

Lihat dalam Hasil Penjelidikan Team Reseach Manifes Kebudajaan.

24

Referensi

Dokumen terkait

vii. b) Description of the identified critical control points. c) Systematic presentation of findings demonstrating conformity or nonconformity to each element of

Gips yang disimpan pada suhu antara 90-110 o C akan menyebabkan pengerutan yang diakibatkan oleh kristalisasi air yang keluar yang mengubah dihidrat kembali menjadi hemihidrat

Pengaruh persepsi kontrol perilaku (X3) terhadap niat berwirausaha (Y) Berdasarkan hasil uji t dapat diketahui bahwa persepsi kontrol perilaku (X3) memiliki pengaruh yang

bersumber pada Badan Pusat Statistik Tahun 2016 ... Proses Isolasi Bakteri Tanah dengan cara Pengenceran Bertingkat ... Pola Pertumbuhan 10 Isolat Rhizobakteri Tanaman

Dari penelitian ini diperoleh data berdasarkan sumber informasi ibu tentang resiko tinggi kehamilan di usia lebih dari 35 tahun adalah mayoritas ibu

kolam olak 179 0.5595 Tidak ada korelasi Pintu 65 0.5679 Tidak ada korelasi Pilar 179 0.5995 Tidak ada korelasi Plat jembatan 179 0.5389 Tidak ada korelasi Berdasarkan data hasil

Hasil sampel menunjukkan bahwa ada indikasi manajemen laba sebelum merger dan akuisisi.Selanjutnya kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Current Ratio, Cash

Jika tidak, perubahan positif tidak akan terjadi Dari hakikat, peranan dan makna relasi trialog dalam konseling pastoral maka dapat dikatakan bahwa tujuan