Oleh: Fairuzul Mumtaz
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji karya-karya Sugiarti Siswadi yang tersebar di media massa dan buku antologi tunggal Sorga Dibumi. Media massa yang dimaksud adalah Harian Rakjat dan Api Kartini. Kedua media ini sangat berjasa bagi besarnya nama Sugiarti Siswadi. Untuk menganalisis karya-karya tersebut, penulis menggunakan pendekatan New Historicism. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain semasanya.
Pendekatan New Historicism memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Asumsi dasar tersebut adalah; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain. Sementara data yang digunakan untuk melacak hubungan paralelitas dengan karya-karya Sugiarti Siswadi ada media massa Harian Ra’jat dan Api Kartini serta teks pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, representasi perjuangan kelas yang tertuang dalam karya-karya Sugiarti Siswadi terbagi menjadi empat kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dianggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Kedua, paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridologi serupa pada masanya ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karya-karyanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karya-karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis.
By: Fairuzul Mumtaz
Abstract
This research aims to study Sugiarti Siswadi’s works published on the mass media and anthology book titled “Sorga Dibumi”. The medias referred on this thesis are Harian Ra’jat and Api Kartini. Both of them have significant role for gaining popularity for Sugiarti Siswadi. To analyse those works, the writer uses New Historicism Approach. This approach enables to track down the parallelism between
Sugiarti’s works, the events that occurred at that time, and also her personal view concerning on that matter.
New Historicism Approach has several basic assumptions that unite its initiators and its critics. Those are: 1) every expressive action is strongly related to materially cultural practice; 2) literature and non-literature texts circulate inseperably; 3) there is no any discourse, let it be a fiction or fact, which might gives access to absolute truth and cannot change or express any essence of humanity without other alternatives existed. While the data used to track down the parallelism on Sugiarti’s works are Harian Ra’jat and Api Kartini and also political speeches by D.N. Aidit and Sukarno.
The results of this research suggests that, first, there are four representations of class struggle on Sugiarti’s works. They consist of labor class, farmer class, political party partisan class, and soldier class. In the labor class, Sugiarti illustrates the labor struggle in terms of inhumane slavery. Farmer class fights for their land by using unilateral movement through UUPA and UUPBH. Meanwhile, political party partisan class is mobilized to strengthen the party structure locally and nationally. Party cadres are considered as an important pillar to build up a party. The last class, the soldier class which physically moves their muscle in the course of Indonesian revolution. Second, the parallelism between Sugiarti’s works with the ideological text on her era are found with three focuses, which are land reform, women and children, and political party and the socialists ideals. Land reform is such a big issue during the revolution, it is kind of movement to redistribute the land evenly to farmer as part of production media. As a woman, Sugiarti provides a big space to discuss women
issues. Gender awareness is very apparent in her works. Women’s life cannot be
separated easily with the children because women are the one who bear them. Women and children go hand in hand on her works. She takes an active role in the party to struggle for her ideology. Her works match her party ideals perfectly. That is why sometimes her works reflect a hope that Indonesia someday will become a socialist country.
(SEBUAH KAJIAN NEW HISTORICISM)
TESIS
Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)
Disusun oleh:
Fairuzul Mumtaz (096322014)
Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
vi
Kepada:
Ibu, Bapak, serta mertua
Istriku Tikah Kumala
Adik-adikku; Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah Faila Sufa
vii
viii
Adalah rasa syukur yang kali pertama saya dengungkan ketika merampungkan
penulisan tesis ini. Alhamdulillah, puji kepada Tuhan YME dan sholawat kepada Nabi
Muhammad Saw sebagai madinatul ilmi. Berbagai kemudahan teknis telah saya peroleh
dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan serentetan ucapan terima
kasih kepada;
Keluarga saya selalu bertanya dan gelisah tentang kelulusan saya. Keluarga di
Demak, Bapak H. Mas’ad dan Ibu Hj. As’adah; Keluarga di Cilacap Bapak Puryanto
dan Ibu Karmi; Istriku Tikah Kumala; adik-adikku, Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah
Faila Sufa, Aji Prasetyo, dan Rafi Mufti Wijaya.
Kepada keluarga besar Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma, yang memberi kesempatan bagi saya untuk menempuh studi di dalamnya.
Terutama kepada para guru yang bersahabat, Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel;
Dr. Celia Lowe, Dr. George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum;
Dr. G. Budi Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; dan Dr. Budiawan. Begitu pula kepada para
staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas Mulyadi yang selalu ramah.
Kepada Mbak Katrin, secara khusus saya sampaikan rasa terima kasih atas
kerelaan dan kesabaran dalam membimbing saya, serta memberikan berbagai dorongan,
semangat dan masukan.
Kepada keluarga besar Yayasan Indonesia Buku yang menyediakan data dan
buku-buku untuk keperluan penulisan tesis ini. Khususnya Muhidin M. Dahlan yang
banyak memberikan masukan pada awal penentuan tema.
Kepada teman-teman seangkatan atas diskusi dan gosip-gosipnya; Abed, Agus,
Mei, Rino, Probo, Leo, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud, Anes, Lusi, Eli, Titus.
Tesis ini merupakan proses pendewasaan saya dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Tentu saja bukan muara, perjalanan panjang masih harus ditempuh. Sebab
itu, nama-nama yang saya sebut menjadi unsur penting dalam perjalanan selanjutnya.
Terima kasih.
Salam,
ix
(Sebuah Kajian New Historicism) Oleh: Fairuzul Mumtaz
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji karya-karya Sugiarti Siswadi yang tersebar di media massa dan buku antologi tunggal Sorga Dibumi. Media massa yang dimaksud adalah Harian Rakjat dan Api Kartini. Kedua media ini sangat berjasa bagi besarnya nama Sugiarti Siswadi. Untuk menganalisis karya-karya tersebut, penulis menggunakan pendekatan New Historicism. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain semasanya.
Pendekatan New Historicism memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Asumsi dasar tersebut adalah; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain. Sementara data yang digunakan untuk melacak hubungan paralelitas dengan karya-karya Sugiarti Siswadi ada media massa Harian Ra’jat dan Api Kartini serta teks pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, representasi perjuangan kelas yang tertuang dalam karya-karya Sugiarti Siswadi terbagi menjadi empat kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dianggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Kedua, paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridologi serupa pada masanya ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karya-karyanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis.
x
(A New Historicism study) By: Fairuzul Mumtaz
Abstract
This research aims to study Sugiarti Siswadi’s works published on the mass
media and anthology book titled “Sorga Dibumi”. The medias referred on this thesis are
Harian Ra’jat and Api Kartini. Both of them have significant role for gaining popularity for Sugiarti Siswadi. To analyse those works, the writer uses New Historicism Approach. This approach enables to track down the parallelism between Sugiarti’s works, the events that occurred at that time, and also her personal view concerning on that matter.
New Historicism Approach has several basic assumptions that unite its initiators and its critics. Those are: 1) every expressive action is strongly related to materially cultural practice; 2) literature and non-literature texts circulate inseperably; 3) there is no any discourse, let it be a fiction or fact, which might gives access to absolute truth and cannot change or express any essence of humanity without other alternatives existed. While the data used to track down the parallelism on Sugiarti’s works are
Harian Ra’jat and Api Kartini and also political speeches by D.N. Aidit and Sukarno. The results of this research suggests that, first, there are four representations of class struggle on Sugiarti’s works. They consist of labor class, farmer class, political party partisan class, and soldier class. In the labor class, Sugiarti illustrates the labor struggle in terms of inhumane slavery. Farmer class fights for their land by using unilateral movement through UUPA and UUPBH. Meanwhile, political party partisan class is mobilized to strengthen the party structure locally and nationally. Party cadres are considered as an important pillar to build up a party. The last class, the soldier class which physically moves their muscle in the course of Indonesian revolution. Second, the parallelism between Sugiarti’s works with the ideological text on her era are found with three focuses, which are land reform, women and children, and political party and the socialists ideals. Land reform is such a big issue during the revolution, it is kind of movement to redistribute the land evenly to farmer as part of production media. As a woman, Sugiarti provides a big space to discuss women issues. Gender awareness is
very apparent in her works. Women’s life cannot be separated easily with the children
because women are the one who bear them. Women and children go hand in hand on her works. She takes an active role in the party to struggle for her ideology. Her works match her party ideals perfectly. That is why sometimes her works reflect a hope that Indonesia someday will become a socialist country.
xi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
………….
vPERSEMBAHAN ……….vi
BAB II. SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH ……….20
A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965 ………...21
B. Lekra dan Perjuangan Kelas ………. 39
C. Lekra dan Literatur Anak ……….45
D. Pengarang Perempuan Lekra ………..51
E. Tentang Sugiarti Siswadi ………54
BAB III. REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS DALAM KARYA-KARYA SUGIARTI SISWADI ………62
A. Perjuangan Buruh: Melawan Perbudakan ………..64
B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH ………..78
C. Perjuangan Massa Partai: Kisah-kisah Propaganda ………99
D. Perjuangan Prajurit: Kerja Revolusi ………..116
BAB IV. MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI DENGAN TEKS-TEKS BERIDELOGI SERUPA………..129
A. Landreform ………..130
B. Perempuan dan Anak ………..142
C. Partai dan Cita-cita Sosialis ………..160
xii
BAB V. PENUTUP ……….173
A. Kesimpulan ………..173
B. Saran ………..175
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra dinilai sebagai hasil kebudayaan manusia. Keterkaitan antara
karya sastra, kebudayaan dan manusia yang (terus) memproduksi kebudayaan
sekaligus direproduksi oleh kebudayaan adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat
dibantah. Apa dan bagaimanapun bentuknya, sebuah karya sastra selalu
merepresentasikan manusia baik di dalam ide, gagasan, nilai maupun
historisitasnya. Sastra dan kesusastraan menjadi kompleks karena langsung
bersentuhan dengan manusia dan ekspresinya dalam segala macam aspek
kehidupannya, mulai dari kenyataannya yang fisikal, humanistik sampai yang
paling sublim dan transendental, dalam caranya yang paling sederhana sampai
yang paling rumit dan estetik.
Dengan demikian, sastra memiliki ikatan ruang dan batin yang cukup erat
dengan sejarah dan masyarakat, sehingga sastra mendapatkan nyawa dari
keduanya. Hal inilah yang mula-mula dipandang oleh pendiri New Historicism,
bahwa teks dan sosial historis sama-sama menghasilkan dampak sosial pada saat
yang sama. Dalam perspektif ini, sastra turut serta ikut membangun,
mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya
melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya.1
1
Ketika karya sastra mengacu pada sejarah atau realita sehari-sehari, hal itu
bukanlah sebagai latar belakang belaka. Ia memiliki misinya tersendiri. Dalam
konteks ini, karya sastra mencoba menawarkan atau menyusun sejarah dalam
versinya sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Budianta yang mengatakan
bahwa,
―Dalam pandangan New Historicism, ―kenyataan sejarah‖ tidak lagi tunggal dan absolut, melainkan terdiri dari berbagai macam kisi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Dengan demikian, antara teks sastra dengan sejarah memiliki tali intertekstualitas (baik fiksi maupun faktual) yang diproduksi dalam kurun yang sama maupun berbeda.‖2
Melalui pandangan di atas, dapat dilihat bagaimana susah payah penulis
dalam menghasilkan produk kebudayaan. Konteks sosial, ekonomi dan politik
yang melingkupinya akan terlacak, sehingga sebuah karya menjadi lebih kaya.
Misalnya dapat dilihat bagaimana pertarungan kuasa dan ideologi ketika sebuah
karya mula-mula dilahirkan.
Karya-karya yang dilingkupi pertarungan kuasa dan ideologi dapat
ditemukan pada masa-masa kelam sebuah bangsa. Tak terkecuali Indonesia, masa
kelam itu terjadi pada saat penjajahan Belanda dan Jepang. Pada waktu itu, Bangsa
Indonesia mengalami keterpurukan dari berbagai sisi. Namun demikian,
keterpurukan itu menjadi pengalaman besar yang mampu melahirkan karya-karya
yang besar pula, yang kelak mewakili zamannya. Oleh karena itu, selayaknya,
generasi ke depan tidak boleh melupakannya. Segalanya perjuangan di atas tinta
musti pula diabadikan.
2
Pengalaman buruk sejarah Bangsa Indonesia, di bawah penjajahan Belanda
dan Jepang kemudian melahirkan sebuah pemberontakan besar-besaran.
Pemberontakan itu diawali pada 12 November 1926. Meski akhirnya gagal dengan
berbagai sebab, pemberontakan yang mulanya dijadwalkan pada 12 Juni 1926
menjadi titik letup utama atas pemberontakan selanjutnya.3
Perjuangan yang dipelopori oleh PKI itu diabadikan dalam Kumpulan
Cerpen dan Puisi Gelora 26 (Ultimus, 2010).4 Buku tersebut berisi 6 cerita pendek
dan 10 puisi ditulis oleh 15 pengarang, 2 perempuan selebihnya laki-laki. Juga tak
kalah menarik, sebuah lagu tercipta untuk menandai peristiwa tersebut. Para
penulis dalam buku tersebut tentu tak memiliki keterlibatan secara langsung ketika
konfrontasi itu terjadi. Rata-rata para penulis baru lahir beberapa tahun setelah
peristuwa berlangsung, yakni lahir pada tahun 1930an. Meski berjarak, mampu
membangkitkan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Dari keseluruhan isi
buku, penulis tertarik dengan cerpen berjudul Sukaesih karya Sugiarti Siswadi.
Cerita itu berkisah tentang perlawanan Haji Hasan yang menolak
menyerahkan hasil kerja kerasnya pada Belanda dan berujung dengan kematian.
Seorang perempuan yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa tergugah dan
memilih jalan masuk dalam organisasi-organisasi kiri serta terlibat dalam
pemberontakan 12 November 1926. Ia keluar masuk penjara dan berakhir di
Digul. Keberadaan cerpen ini menambah lagi satu referensi tentang Digul dari
perspektif sastra.
3
Pengantar Asep Samboja dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus. Hal vii
4
Dari cerpen tersebut, penulis kemudian melacak karya-karya dengan
pengarang yang sama. Alhasil, ditemukan 6 cerpen dalam kumpulan cerpen Sorga
Dibumi (Lekra, 1960), 9 cerpen5 dan 3 puisi di Harian Rakjat, serta 1 cerpen dan
2 puisi di Majalah Api Kartini.6 Seluruh karyanya memiliki ciri karya-karya Lekra
yang bersifat ―reportase‖ atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah, dan mengusung patriotisme, perjuangan kelas, penegasan
sikap partai dan lain sebagainya.7 Imajinasi, keindahan bahasa dan kemampuan
Sugiarti Siswadi dalam merekam peristiwa dan tokoh memberikan ruh pada laku
sejarah yang didokumentasikannya.
Buku berjudul Sorga Dibumi merupakan buku tipis dengan jumlah
halaman 42 saja. Penerbitan buku tipis semacam ini mengingatkan orang pada
awal berdirinya PKI. Buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai,
terutama teori-teori untuk menopang jiwa partai. Poestaka Ketjil Marxis adalah
nama untuk penerbitan ini. Kerja penerbit ini adalah melahirkan buku-buku
berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis, tidak lebih dari 100 hlm, berisi teori dan
panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah
pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang
menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya beberapa halaman
yang berisi tentang PKI membela negara asing, selebihnya mengatakan bahwa
5
Hanya 6 yang berhasil dihimpun karena data koran tidak lengkap atau robek. Lihat juga di
Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.
6
Satu puisi menggunakan nama samaran, satu lagi dengan nama asli.
7
negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis
tidak demokratis, rakyatnya sengsara.
Beranjak dari kesuksesan penerbitan ini, PKI kemudian mendirikan
lembaga penerbitan baru bernama Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta.
Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi ―mesin ilmiah‖ partai. Rata -rata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI,
Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis,
Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx,
dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan
karyanya antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf
Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan,
Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, S.
Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi dan lain-lain.8 Sebagian
besar penulis ini adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu
organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI.
Setelah empat belas tahun menanamkan ideologinya, Lekra menemui masa
panen. Barangkali ini menjadi masa panen paling panjang. Sejak berdirinya tahun
1950 hingga diadakannya Kongres Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) pada
tahun 1964, Lekra mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah sehingga
kehidupan Lekra menjadi kian makmur. Perjuangan itu menghasilkan kepercayaan
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memberikan ruang
8
lebarnya kepada Lekra untuk menghasilkan karya dan mempublikasikannya di
koran milik PKI, yiatu Harian Rakjat.
Kepercayaan yang diberikan itu tercermin pada apa yang dikatakan oleh
D.N. Aidit,
―bahwa pekerdjaan politik adalah otaknja partai, sedang sastra dan seni adalah hatinja partai. Orang komunis adalah manusia jang mempunjai otak dan hati jang terbaik. Oleh karenanja kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerdja politik dengan kerdja kebudajaan. Kedua-duanja menjadi bagian dari kehangatan revolusioner sekarang maupun dimasa jang akan datang.‖9
Kepercayaan dan ruang yang lebar itu kemudian dimanfaatkan oleh
kader-kader Lekra untuk berkarya lebih giat. Banyak nama-nama baru yang muncul
sehingga Lekra juga semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selain itu,
Lekra juga memiliki media propaganda sastra.
Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan
pertamanya adalah buku dua fiksi, masing-masing adalah Siti Djamilah karya
Joebaar Ajoeb dan Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi. Teranglah, dua penulis
ini menjadi penting. Nama Joobar Ajoeb masih sangat sering didengar hingga kini,
tapi ke mana nama Sugiarti Siswadi? Apakah pegebluk 65 menguburnya?
Enampuluh hari setelah pembantaian massal 65, buku-buku kecil terbitan
PKI dan peranakannya juga ikut dibantai. Dilarang beredar, diberangus oleh pihak
yang sama. Tercatat 67 judul buku hilang dalam waktu bersamaan. Juga sebuah
upaya pembantaian sejarah.10
9
D.N. Aidit. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. Hal 67.
10
Lima tahun setelah terbit, buku Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi,
tepatnya 30 November 1965, menjadi buku terlarang oleh Pembantu Menteri P.D.
dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo.
Buku ini kembali dilarang oleh Tim Pelaksana / Pengawasan Larangan Ajaran
Komunisme / Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967.
Dari data tersebut, penulis menganggap pentingnya peranan pengarang
wanita Lekra ini. Namanya disejajarkan dengan penulis papan atas Lekra dan
masuk dalam kepengurusan pusat Lekra, terpilih pada Kongres Nasional I Lekra,
pada tanggal 24-29 Januari 1959 di Solo.11
Dari berbagai pembacaan literatur, penulis tak menemukan ulasan panjang
mengenai pengarang perempuan ini beserta karya-karyanya. Seluruhnya seakan
bungkam, bahkan teman seperjuangannya. Hanya sesekali namanya disebut
sebagai pengarang perempuan. Penelitian ini berupaya membongkar kubur
Sugiarti Siswadi melalui karya-karyanya.
B. Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dijawab pada penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti
Siswadi?
11
2. Bagaimana hubungan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan
teks-teks berideologi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang
pada masanya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menggali karya-karya pengarang
sastra Indonesia modern yang tenggelam, khususnya Sugiarti Siswadi. Pada tahun
1950-1965 karya-karyanya sering memenuhi media massa. Setelah peristiwa
kemanusiaan 1965, namanya tak pernah lagi ke permukaan.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan
ilmu sastra, khususnya sejarah sastra dan kritik sastra. Bagi sejarah sastra hasil
penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan untuk mengungkap
perkembangan ideologi dalam kesusteraan Indonesia modern, khususnya sastra
Indonesia masa penjajahan. Bagi kritik sastra, penelitian ini diharapkan
memberikan model analisis dan penelitian terhadap karya sastra dengan sudut
pandang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu New Historicism.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan apresiasi sastra, terutama apresiasi terhadap sejarah sastra
Indonesia dalam khasanah sastra Indonesia modern. Penelitian ini tidak hanya
mengkaji teks sastra saja, melainkan juga kondisi sosial historis yang
untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika masa pergolakan
politik 1950-1965.
E. Tinjauan Pustaka
Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, banyak bermunculan
penelitian yang mengungkap sisi yang gelap dan digelapkan oleh pemerintahan
tersebut. Terutama sekali dalam bidang sastra, kita mengenal sebuah lembaga
bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang ideologinya sealiran dengan
PKI menjadi tumbal atas kekuasaan sebuah orde. Hal ini tentu saja
menggemberikan, karena dapat kembali membuka lubang sastra Indonesia modern
yang tertutup selama 30 tahun lebih.
Berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, hingga
kini, belum ada peneliti yang secara intens dan mendalam membahas karya-karya
pengarang perempuan yang juga pimpinan pusat Lekra bernama Sugiarti Siswadi
secara utuh. Sesekali penelitian dilakukan karena hanya nama dan karya Sugiarti
Siswadi disebut dalam sebuah buku. Misalnya, dalam buku trilogi Lekra tak
Membakar Buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria
Yuliantri diterbitkan Merakesumba, Yogyakarta, 2008.
Dari buku yang sama, Asep Samboja terinspirasi menulis esai lepas
berjudul Cerpen-cerpen Sastrawan Lekra.12 Meski diberi judul demikian, namun
Samboja cenderung mengalisa cerpen-cerpen Sugiarti Siswadi. Pilihan Samboja
adalah karena Sugiarti Siswadi merupakan penyumbang cerpen terbanyak dalam
12
buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri
tersebut.
Samboja berpendapat bahwa seluruh cerpen Sugiarti Siswadi semuanya
menggunakan sudut pandang orang ketiga ―ke-dia-an‖. Pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu
semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan
pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.
Pendapat Samboja ini diperkuat dengan argumentasinya yang mengatakan
bahawa sebagai pengarang, Sugiarti berperan layaknya dalang atau pendongeng.
Sikap Sugiarti yang demikian dianggap gagal oleh Samboja. Pasalnya, sebagai
dalang, Sugiarti tak dapat membedakan karakter suara satu tokoh dengan tokoh
lainnya.
Dari sisi penggunaan bahasa, Samboja mengatakan bahwa bahasa yang
digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, jika dikaitkan dengan konteks tahun
1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan cenderung santun. Oleh
karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks.
Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya
konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan
yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.
Penelitian lain dilakukan oleh Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum (2012),
berjudul Prosa Lekra 1950–1965 Studi Tentang Karya Sastra, Sastrawan, dan
Kedudukannya dalam Sejarah Sastra Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Taum
hidup, jelas terlihat bahwa lingkungan politik, ekonomi, dan
sosial-budaya merupakan sebuah lingkungan yang penuh dengan dinamika dan
pertarungan kepentingan.
Membaca karya-karya Lekra yang pada masa itu, Taum berpendapat
bahwa para pengarang masa itu telah berhasil merepresentasikan zaman
pertarungan kepentingan itu terjadi. Suasana pada masa itu tetap terasa jika
karya-karya itu dibaca saat ini. Oleh Taum, hal ini kemudian diartikan sebagai sebuah
―keterlibatan‖ antara karya sastra realitas yang melingkupinya pada kisaran 1950-1965. Keterlibatan itu tak hanya berkubang dalam persoalan-persoalan dalam
negeri saja, Komunis Indonesia yang memiliki semangat antikolonialisme dan
imperialisme ikut terlibat dalam perang dingin, dan mereka berdiri di pihak Timur
untuk melawan Barat (AS dan Inggris).
Laporan penelitian tersebut dibagi dalam lima bab. Pada Bab IV, Taum
membahas tentang karya sastra, sastrawan, dan kedudukannya dalam sejarah
sastra Indonesia. Sastrawan yang disebut adalah lima orang sastrawan Lekra,
yakni Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sukanta, Sugiarti
Siswadi, dan Pramoedya Ananta Toer. Dapat disimpulkan bahwa penelitian Taum
lebih cenderung ke arah mengungkap ideologi lembaga (Lekra) dan bagaimana
keterlibatan sastra dan pengarang dalam mendokumentasikan laku sejarah.
F. Kerangka Teori
Bersifat lentur membuat sastra terus mengalami perkembangan baik dalam
pergeseran orientasi teori dan kritik sastra, yang bermula dari mimetik, pragmatik
hingga ekspresif. Pengaruh pergeseran ini memuncak pada paruh abad ke-20.
Pergeseran ini berlangsung secara terus-menerus saling melengkapi dan saling
menentang selama beberapa abad. Dalam setiap pergeserakan tidak berlebihan jika
kemudian dimaknai sebagai periodesasi teori sastra.
Pada perkembangan selanjutnya, sastra lebih lentur dalam berhadapan
dengan berbagai teori-teori multiinterdisipliner. Ia masuk dalam teori-teori yang
seebenarnya bukan pada wilayahya. Hanya karena sifat lenturnya itulah, sastra
dapat diterima dan menerima berbagai kemungkinan tersebut.
Pertengahan abad ke-20, orientasi teori dan kritik sastra berbalik arah.
Sastra menjadi suatu bidang yang otonom. Kondisi seperti ini menguntungkan
bagi sastra karena ia mampu menempatkan diri di posisi mana saja dalam berbagai
konteks. Hal ini dapat disikapi bukan sebagai suatu kemunduran, melainkan
sebagai perkembangan dari pergeseran-pergeseran sehingga menghasilkan
pengetahuan yang relatif baru atau paling tidak merupakan perkembangan dari
yang sebelumnya telah ada. Lihat saja teori-teoti yang berjamur setelah
strukturalisme. Silih berganti dan menampilkan dinamika yang menarik hingga
awal abad 21. Yang berhasil menjadi tren tentu saja teori yang mutakhir. Namun
kemutakhiran ini tidak serta-merta bebarengan di seluruh dunia, melainkan
mengalami perpindahan tempat terlebih dahulu dan tentu saja interpretasinya pun
menjadi beragam. Akan tetapi, dari seluruh teori-teori yang bermunculan,
kecenderungan orientasi kritik berada pada teori yang melihat kaitan sastra dengan
Dari deskripsi singkat di atas, secara umum teori sastra mengikuti dua
kecenderungan. Pertama, mengacu pada konsep-konsep strukturalisme.
Pendekatan ini memiliki kecenderungan tekstual yang merespon dan mendobrak
teori-teori objektif seperti new criticism, formalisme, strukturalisme. Teori-teori
sejalan dengan teori dekonstruksi dan psikoanalisis Lacan. Kedua, mengacu pada
kemutakhiran. Kelompok kedua ini tentu saja lebih luas dan menjadi tidak
terbatas. Dalam pendekatan ini, sastra disejajarkan posisinya dalam berbagai
dinamika budaya, sosial, ekonomi dan politik. Teori-teori kemutakhiran ini dapat
dilihat neomarxis, teori postkolonial, new historiscism dan kajian budaya.
Dari sekian teori yang berkembang, salah satu teori yang menarik untuk
dibicarakan dalam konteks penelitian ini adalah teori New Historicism, teori sastra
yang memandang sejajar antara karya sastra dan sejarah. Teori ini akan digunakan
untuk membedah karya-karya Sugiarti Siswadi.
Penelitian ini membutuhkan kajian yang luas daripada sekadar mengkaji
teks yang menjadi objek penelitian saja. Apa yang digambarkan dalam teks-teks
sastra karya Sugiarti Siswadi, yang akan menjadi objek penelitian, merupakan
rekam jejak pada zamannya. Sehingga segala peristiwa yang melingkupinya
sangat memberikan sumbangsih dalam kelahiran karya-karya penulis perempuan
ini. Selain itu, pada masa revolusi, sastra merupakan salah satu jalur yang
digunakan untuk mengukuhkan dan menyebarkan ideologi tertentu. Oleh karena
itu, kajian yang dianggap paling tepat untuk penelitian ini adalah New Historicism
NH yang menganggap penting masa lalu ini, mula-mula diperkenalkan
oleh Stephen Greenblatt pada 1982 ketika memberikan pengantar edisi jurnal
Genre. Menurut Budianta, NH dimaksudkan untuk menawarkan perspektif baru
dalam kajian Renaissance. NH menekankan keterkaitan teks sastra dengan
berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya.13
Dengan deskripsi di atas, NH merupakan kritik sastra yang sangat
heterogen. Sebab itulah, menurut Veeser (seperti dikutip dari Taum), NH tidak
dapat diberikan batasan baku. Meski demikian, NH memiliki asumsi dasar yang
mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Taum merangkum asumsi dasar
tersebut menjadi beberapa bagian. Yaitu;
1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain.14
Peter Barry, dengan sederhana mendefinisikan NH,
“is that it is a method based on the parallel reading of the literary and nonliterary texts, usually of the same historycal periode. That is to say, New Historicism refuses (at least ostensibly) to „privilege‟ the literary texts: instead of a literary „foreground‟ and a historical 'background' it envisages and practises a mode of study in which literary and nonliterary texts are given equal weight and constantly inform or interrogate each
Dikutip dari Yosep Yapi Taum dalam ringkasan disertasinya berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism Atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra tahun 1966-1998. FIB UGM. 2013. Hal. 2.
15
Menurut Taum,16 kritik NH menekankan sastra sebagaai produk zaman,
tempat, dan lingkungan penciptaannya, dan bukan sebagai sebuah karya genius
yang terisolasi. Hal ini senada dengan pandangan Foucault yang mengatakan
bahwa segala bentuk teks, termasuk diskursus akademis suatu zamannya, muncul
di bawah model teoritis zamannya. Sastra tidak dapat dipandang sebagai sesuatu
yang terpisah dari sejarah, sehingga terapung di udara seperti sebuah entitas yang
terasing dan terpisah.17 Greenblatt sebagai pencetus teori ini juga memperkuatkan
pandangan di atas dalam The Touch of the Real.18 Ia menegaskan bahwa dunia
yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif, melainkan
sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal (single realm) ini. Dalam kajian
jaringan-jaringan tersebut, NH menekankan dimensi politis-ideologis
produk-produk budaya.
Sebuah produk budaya, dari sisi politik dan ideologi, tidak bisa dilepaskan
begitu saja dengan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Dalam hal ini, Budianta
melihat bahwa kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan yang
dilontarkan Michel Foucault. Foucault tidak memandang kekuasaan sebagai
sesuatu yang negatif, melainkan suatu yang selalu menyelimuti setiap tindakan
manusia satu dengan yang lainnya, demikian pula dalam penggunanan bahasa.19
Karya sastra, melalui bahasa sebagai mediumnya menghadirkan relasi
kuasa dengan sendirinya, meski tanpa disadari oleh penulisnya. Relasi kuasa
16
. Ibid. Yosep Yapi Taum Hal. 3.
17
Michel Foucault dalam Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Diterbitkan oleh Jalasutra. 2011. Hal 85. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3.
18
The Touch of the Real dalam The Greenblatt Readers dieditori oleh Michael Payne. USA: Blackwell Publishing. Hal. 32. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3.
19
tersebut diwujudkan dalam bentuk wacana. Oleh sebab itu, karya sastra dapat
bertindak lentur di dua posisi dalam wacana, mengukuhkan atau mendobrak.
Posisi penulis sangat menentukan dalam hal ini.
Selain sumbangan Foucault, NH juga mendapat disokong oleh Clifford
Geertz dalam esainya Thick Description yang tersusun dalam buku The
Interpretation of Cultures (1973).20 Geertz (via Greenbalt) mengatakan, NH
“is sorting out the structures of signification – what Ryle called established codes, a somewhat misleading expression, for it makes the enterprise sound too much like that of the cipher clerk when it is much more like that of the literary critic – and determining their social ground
and import.”21
Metode Geertz merupakan metode etnografi. Ia menggunakan metode ini
untuk membongkar berbagai makna yang tersembunyi dalam praktik budaya
secara rinci. Geertz,22 memandang perilaku manusia atas tindakan dalam praktik
budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang simbolik. Oleh sebab itu, ia
menginterpretasi metode antropologi seperti membedah karya sastra.
Lebih lanjut, Budianta menjelaskan bahwa dalam kajiannya,
NH menyandingkan teks sastra kanon, dengan teks yang marjinal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dalam suatu titik tertentu dalam sejarah—secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, NH cenderung memilih—nyaris secara random—hal-hal yang tampak remeh temeh dan tersisihkan dari sejarah— dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai, untuk menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.23
Teks-teks yang diremehkan dan tersingkir ini pulalah yang dibaca secara
paralel dengan karya-karya Sugiarti Siswadi. Teks-teks yang dimaksud tidak
hanya teks sastra saja, melainkan lebih luas cakupannya. Akan tetapi, karena
banyaknya teks yang beredar pada masa Sugiarti berkarya, penting kiranya
diadakan pembatasan terhadap teks yang dimaksud. Pembatasan ini bertujuan agar
pembahasan terhadap karya-karya Sugiarti lebih mendalam.
Peneliti memilih pemberitaan di dua media massa, Harian Rakjat dan Api
Kartini sebagai teks nonsastra yang disandingkan dengan karya-karya Sugiarti.
Kedua media massa ini difungsikan untuk melihat konteks peristiwa apa saja yang
terjadi sesuai dengan karya yang dibahas. Dengan demikian akan jelas bagaimana
sudut pandang Sugiarti Siswadi dalam menyikapi suatu peristiwa tertentu.
Selain itu, untuk mengetahui ideologi Sugiarti ditampilkan pula pidato
politik D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI. Pemikiran-pemikiran Aidit teraplikasi
dalam prinsip-prinsip Lekra yang menjadi referat dalam Konfernas Seni dan Sastra
Revoluioner I. Meski peristiwa tersebut terbuka untuk umum (tidak hanya anggota
Lekra saja), namun referat Aidit itu mencerminkan sikap dan tindakan Lekra.
Untuk itu, sangat tepat untuk melihat kecenderungan ideologi Sugiarti Siswadi.
Untuk lebih memperkaya pembahasan, ditambahkan pula pidato politik lainnya
dari Sukarno. Sebab dalam beberapa pidato, Aidit kerap pula mengutip pidato
Sukarno.
G. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan adalah pembacaan paralel (parallel reading)
antara teks-teks sastra karya Sugiarti Siswadi dan teks-teks nonsastra pada masa
revolusi di Indonesia, dilengkapi dengan latar belakang dan manifestasi perilaku
Teks-teks nonsastra yang dijadikan sebagai sumber primer adalah berupa
berita atau artikel di koran serta pidato-pidato politik. Banyaknya teks-teks yang
ada, diperlukan pembatasan agar pembahasan lebih mendalam dan tearah. Batasan
dilakukan hanya pada teks media massa Harian Rakjat dan Api Kartini serta
teks-teks politik D.N. Aidit dan Sukarno. Sumber skunder berupa majalah, hasil
penelitian, narasi dan memoir yang berbentuk buku, peraturan hukum, keputusan
politik, catatan lembaga, film, maupun informasi di dunia maya (internet) yang
berkaintan dengan teks-teks sastra Sugiarti Siswadi.
Data yang diperoleh adalah data kualitatif. Data tersebut dapat berupa
pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri keadaan, dari segala sesuatu dan
segala sesuatu lainnya; bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bahkan bisa berupa
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.24
H. Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan, meliputi a) latar belakang; b) rumusan masalah; c)
tujuan peneleitian; d) manfaat penelitian; e) tinjauan pustaka f) kerangka teori; g)
metode penelitian; h) sistematika penyajian.
BAB II merupakan pembahasan tentang Lekra dan bagaimana peran aktif
Sugiarti Siswadi dalam organisasi tersebut.
24
BAB III merupakan pembahasan mengenai representasi perjuangan kelas
dalam karya-karya Sugiarti Siswadi.
BAB IV merupakan pembahasan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi
dengan teks-teks beridelogi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada
masanya.
BAB V merupakan bagian penutup memuat penutup, terdiri dari
simpulan dan saran. Bagian akhir pada penelitian ini dipaparkan daftar pustaka
20 BAB II
SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH
Menjadari bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga
Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra…1
Tidak banyak pengarang perempuan dalam tubuh Lekra. Oleh karena itu,
kehadirannya diperlu mendapat perhatian, meski Lekra sendiri tak pernah
membedakan jenis kelamin dalam proses kreatif. Produktivitas dalam berkarya
menjadi titik dispilin yang organisasi ini. Kedisiplinan inilah yang menjadikan
Lekra mampu bertahan pada zamannya dan hanya tumbang oleh kekuasaan
politik. Hanya yang aktif berkaryalah yang layak menduduki posisi penting dalam
tubuh Lekra.
Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana polemik yang terjadi dalam
suasana perpolitikan di indonesia pada tahun 1950 – 1965. Melalui deskripsi ini,
maka tampak jelas peran pengarang Lekra dalam menghadapi situasi politik,
perseteruan kebudayaan dengan Manikebu, serta ideologi apa yang dipatuhi oleh
para anggotanya.
Bentuk-bentuk ideologi itulah yang kemudian dipegang oleh Sugiarti
Siswadi untuk menampilkan perjuangan kelas bawah dalam karya-karyanya.
Secara lebih detail, bab ini juga akan menggali potongan-potongan informasi
tentang Sugiarti Siswadi serta beragam aktivitasnya dalam Lekra. Informasi
tersebut disusun menjadi biografi singkat.
1
Sebagai pengarang perempuan dan menduduki posisi sebagai anggota
Pimpinan Pusat Lekra, keberadaan Sugiarti tidak bisa diremehkan. Ia turut
memberikan pemikiran-pemikirannya baik dalam bentuk karya maupun pidato
politik. Bab ini juga akan melihat posisi Sugiarti bersama dengan pengarang
perempuan lainnya. Hal ini untuk mengetahui peran Sugiarti sehingga ia layak
diangkat dalam penelitian ini.
A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965
Kisaran tahun 1950 hingga 1965 merupakan tahun terjadinya peperangan
besar dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Peperangan itu akan menentukan nasib
sastrawan dan seniman akan kecenderungannya pada kelompok tertentu.
Revolusioner atau kontrarevolusioner. Diganyang atau mengganyang. Keadaan
demikian tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh percaturan politik pada
masa itu. Politik menjadikan sastra dan seni sebagai alat propaganda dan untuk
menarik simpatisan massa terhadap partai, sementara sebaliknya, sastra dan seni
mendapatkan nafas atas uluran tangan sebuah partai. Maka merupakan
keniscayaan jika keduanya menjadi partner yang ideal. Di sisi lain, kelompok
tertentu dengan ideologi berbeda terus mengupayakan proses kreatifnya agar dapat
bernapas dan mampu merebut pengaruh massa. Terjadilah polemik sastra. Dua
kelompok beseberangan tersebut adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan
Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Dari peperangan kebudayaan itu lahirlah beberapa istilah sebagai jargon
atas perjuangan mereka, ―Politik sebagai Panglima‖, ―Seni untuk Rakyat‖,
jargon tersebut dijelaskan pada masing-masing sikap yang dirangkum dalam
Mukadimah Lekra dan dan Manifes Kebudayaan.
Mukadimah Lekra pertama kali dikeluarkan pada 17 Agustus 1950 dan
sekaligus dinobatkan sebagai hari lahirannya. Dalam Mukadimah tersebut, terlihat
jelas bahwa Lekra condong ke arah kiri dengan makmum terhadap ideologi yang
diusung oleh Marxis serta Lenin dan menjadikan rakyat sebagai tujuan dalam
berkarya. Tak heran, karena pendiri dan penyusun naskah awal Mukadimah
tersebut adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni D.N. Aidit, M.S.
Ashar, A.S. Darta dan Njoto. Empat pendiri Lekra ini memperbolehkan siapa saja,
baik seniman, sastrawan, pekerja kebudayaan, buruh dan tani untuk terlibat di
dalamnya dan menjalankan misi bersama.
Pemikiran dasar Lekra adalah memerdekaan rakyat dengan mengupayakan
penuh hak-hak rakyat seperti pendidikan, berekspresi dan hidup yang layak. Lekra
khawatir merosotnya kesadaran rakyat atas gerakan revolusi yang dianggap belum
rampung. Bagi Lekra, revolusi yang memperjuangankan rakyat adalah sebuah
keharusan. Jika revolusi menemui jalannya yang melenceng, korban yang paling
sengsara adalah rakyat. Dengan demikian, beban revolusi bukan saja ada di
pundak pemimpin revolusi, melainkan seluruh massa rakyat pekerja, sastrawan
dan seniman serta pekerja kebudayaan.
Sebagai lembaga kebudayaan, Lekra menggunakan mengusahakan segala
jalur untuk menggerakkan roda revolusi. Begitu pula bidang sastra dan seni.
Bukan sembarang sastra dan seni, melainkan yang mampu mendekat dan
Tugas daripada Rakjat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaja bisa mengetjap kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh segolongan kejtil lapisan atasdan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan ketjil itu. Rakjat Indonesia harus berdjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu dan industri.
Sembilan tahun kemudian, sikap ini dimatangkan pada revisi Mukadimah
dalam Konggres Lekra di Solo tahun 1959.
Bahwa rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya bisa dilakukan oleh
Rakjat… Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada rakjat,
adalah satu2nja jalan bagi seniman2, sardjana2, maupun pekerdja kebudajaan lainnya, untuk mencapai hasil2 jang tahan udji dan tahan waktu.
Atas dasar di atas, Lekra membagi tugasnya dalam beberapa lembaga
kreatif, yaitu 1) Lembaga Senirupa Indonesia (Lesrupa), 2) Lembaga Film
Indonesia (LFI), 3) Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), 4) Lembaga Senidrama
Indonesia (LSDI), 5) Lembaga Musik Indonesia (LMI), dan 6) Lembaga Senitari
Indonesia. Keselurahan hasil kerja sastrawan dan seniman serta pekerja budaya
lainnya didedikasikan sepenuhnya untuk rakyat. Sebab itulah, Lekra kemudian
menelurkan konsep 1-5-1. Konsep ini merupakan simbol dari sikap berkesenian
yang dikembangkan oleh Lekra yang merupakan ―jangkar tengah‖ sekaligus
rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Konsep ini kemudian
disebut sebagai asas kombinasi, yaitu (1) Politik adalah panglima; (5.1) Meluas
dan Meninggi, (5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (5.3) Tradisi
baik dan kekinian revolusioner, (5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa,
(5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner; (1) Turun ke bawah. (Yuliantri
Asas kombinasi di atas merupakan upaya untuk mengembangkan tradisi
riset dalam tubuh Lekra. D.N. Aidit dalam pidato di Solo mengatakan bahwa
―hanja dengan mengembangkan semangat riset dengan metode ‗tiga sama‘ (sama
kerdja, sama makan dan sama tinggal dengan kaum tani, terutama buruh tani dan
tani miskin) akan mendjamin suksesnja pembinaan sastra dan seni jang bersifat
nasional, demokratis dan ilmiah… Djuga hanja dengan riset dan melakukan
integrasi secara langsung di tengah2 massa akan mendjamin karja jang mendalam
realistik, revolusioner, artistik, berkepribadian dan universil.‖2
Dalam pidato itu, D.N. Aidit juga menjabarkan tentang konsep kerja Lekra
tersebut.3 Politik adalah Panglima, merupakan integrasi antara kerja politik dan
kecakapan artistik. Dalam hal ini, upaya untuk memperjuangan rakyat melalui
politik tidak mengesampingkan mutu artistik dari sebuah karya sastra dan seni.
Dengan demikian, ada dua garis besar yang harus ditempuh kreator. Pertama,
garis vertikal. Garis ini menuntut sastrawan dan seniman untuk mengetahui dan
meguasai politik partai. Kedua, garis horizontal. Garis ini mengupayakan agar
sastra dan seni menjadi ―sendjata jang ampuh di tangan rakjat‖.4
Letak pentingnya Politik adalah Panglima adalah untuk memberikan
perlawanan terhadap musuh-musuh yang kontrarevolusiner. Aidit menegaskan,
―Kita tidak akan mengerti apa arti hakekat Manikebuisme dilapangan sastra dan
2
seni tanpa mengerti kebangkrutan politik kaum sosialis kanan dan Masjumi serta
kaum kontra-revolusioner lainnja. Kita akan menghadapi kesulitan mendjebol
kebudajaan imperialis AS tanpa mengetahui hakekat politik gangster dan
badjaklaut imperialisme AS dan politik klas buruh terhadap kepala imperialis jang
paling djahat itu. Membongkar kebudajaan feodal jang menjebarkan kemaksiatan,
ketahajulan, dll hanja mungkin berhasil djika kita mengenal hakekat hubungan
agrarian didesa dan tahu politik PKI untuk membebaskan kaun tani.‖5
Selanjutnya, Aidit mendefinisikan Politik adalah Panglima dalam kerja
kreatif Lekra ―…berarti mendjadikan untuk memimpin pemikiran kreatif dan
pembajangan kreatif mengenai masalah2 seperti perdjuangan untuk kemerdekaan
penuh dengan melikwidasi imperialisme, perdjuangan kaum tani untuk
pelaksanaan UUPA dan UUPBH setjara konsekwen untuk menudju perubahan
agrarian jang radikal, garis politik partai untuk mengkonsolidasikan front
persatuan nasional dan lain2nja.‖6
Meluas dan Meninggi. Prinsip ini menuntun kepekaan sastrawan dan
seniman Lekra terhadap massa dan artistik. Meluas berarti karya-karya yang
dilahirkan mampu menjangkau massa, bahkan yang tak mengenyam pendidikan
sekalipun. Hal ini mengharuskan bahwa hasil kreasi yang dilakukan sastrawan dan
seniman dilakukan secara sadar untuk mendorong dan memobilsasi massa dalam
bentuk yang tepat. Meninggi memiliki titik tumpu pada mutu karya secara artistik
serta cara publikasi karya yang tepat. Keduanya harus berjalan bersamaan.
5
Ibid. Hal 53 – 54.
6
Aidit menegaskan bahwa ―Meluas dan meninggi adalah dua hal jang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua2nja diperlukan oleh praktek
revolusioner… Kedua2nja diabdikan kepada perdjuangan revolusioner, kepada
massa rakjat pekerdja. Oleh karena itu, kita harus tetap berpegang teguh pada
pendirian atas dasar massa untuk massa, serta meninggi djuga atas dasar massa
dan untuk massa.‖7
Secara lebih jauh, Aidit menggambarkan bagaimana luasnya wilayah
Indonesia dan terdiri dari beragam budaya. Seluruhnya harus dalam jangkauan
sastrawan dan seniman revolusioner. Ia kemudian menyarankan, ―meluas‖ dengan
mendirikan sanggar-sanggar seni serbaguna di berbagai daerah. Bahkan, jika perlu
―satu desa satu sanggar‖.
Tinggi Mutu Ideologi, Tinggi Mutu Artistik. Lekra berpandangan bahwa
tidak ada seni yang berdiri secara independen. Bahkan tak hanya seni. Semuanya
serba berpihak. Keberpihakan Lekra adalah kepada rakyat. Ideologi kerakyatan
itulah yang menjadi tolak ukur aktivitas kebudayaan Lekra untuk melihat seberapa
besar dan seberapa tinggi mutu ideologi dalam berkarya. Mutu ideologi diperoleh
dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya
yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya.8
Bagi Aidit, ―Karja2 jang mutu ideologi dan mutu artistiknja tinggi hanja
akan disambut baik oleh massa djika karja2 itu didukung oleh ideologi dan moral
jang tinggi dari pentjipta-pentjiptanja.‖9
7
Ibid. Hal 55.
8
Lekra Tak Membakar Buku. Hal 28.
9
Tradisi dan Kekinian Revolusioner menuntut sastrawan dan seniman untuk
jauh lebih mengerti tentang tradisi rakyat yang sebenarnya dan tradisi feodal atau
tradisi yang terpengaruh feodal. Mengetahui tradisi ini akan lebih mudah
memudahkan untuk melihat persoalan kelas di masyarakat. Mula-mula, pemetaan
ini harus dilakukan oleh pekerja budaya untuk kemudian dapat memadukan antara
―warisan dan pembaruan‖.
Pembaruan tidak asal saja dilakukan. Aidit menyarankan untuk
berhati-hati, sebab pecinta tradisi bukanlah kelompok yang mudah diusik. ―… Sekali lagi
harus selalu diingat: djangan gegabah memperbarui sesuatu jang lama jang
disenangi massa. Sikap gegabah adalah bukan sikap sungguh2 jang harus
mendjadi sikap seorang revolusioner dalam melakukan pembaruan. Memperbarui
bukan asal memperbarui, tetapi justru harus dengan meneruskan tradisi dan bukan
mengahantjurkannja.‖10
Kreativitas Individual dan Kearifan Massa. Lekra selalu mendorong
warganya agar terus memproduksi karya-karya bermutu sebagai upaya
meningkatan kreativitas. Selain itu, sebagai manusia yang berdampingan dalam
kehidupan sosial sastrawan dan seniman revolusioner harus menjunjung tinggi
kearifan massa. Sebab bagi Aidit, ―Sepandjang sejarah Rakjat adalah pentjipta
agung, oleh karena itu mengabaikan kearifan massa hakekatnja sama artinja
dengan mengingkari rakjat.‖11
Prinsip ini menekankan adanya kerja sama antara
10
Ibid. Hal 58.
11
pekerja budaya dengan massa rakyat pekerja, ―bekerdja kolektif dan menghargai
pendapat kolektif‖.12
Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner. Realisme sosial adalah
realism yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme sosial adalah
militansi ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Bukan saja pada kapitalisme,
melainkan juga bagaimana mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme
internasional.13 Realisme sosial menjawab tuntutan zaman, bahwa apa yang sudah
tidak lagi sesuai dengan masa kini perlu dirombak atau diperbarui dan bahkan
menghadirkan sesuatu yang baru. Ia bergerak terus-menerus dan memperlihatkan
kontradiksi-kontradiksi yang bekerja dalam masyarakat.
Sebenarnya, Aidit tidak begitu sepakat dengan prinsip ini. Dalam
pidatonya di Solo, ia menganggap akan lebih tepat jika diganti dengan realisme
revolusioner dan romantik revolusioner. Menurutnya, realisme rovelusioner berarti
―berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenjataan. Setjara fundamentalis sikap
revolusioner berarti selalu berfihak kepada jang baru dan sedang tumbuh untuk
kehidupan lebih madju, lebih baik dan lebih indah…‖14
Sementara dalam romantisme revolusioner, Aidit menggambarkan sebagai
―suatu angan2 revolusioner jang berdiri tegak diatas dasar kenjataan2 tentang
kontradiksi2 dalam kehidupan. Kita harus menggambarkan kehidupan tidak secara
naturalis seperti potret, melainkan kegairahan revolusioner, kaja dan penuh
tjita2…‖15
12
Ibid.
13
Lekra Tak Membakar Buku. Hal 30.
14
Ibid. Hal 59 – 60.
15
Turun ke bawah atau biasa disingkat turba menjadi metode paling ampuh
dalam melaksakan azas ―Politik adalah Panglima‖ dan 5 pedoman penciptaan.
Metode turba sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari
kehidupan rakyat secara langsung. Metode ini dijabarkan dalam ―tiga sama‖, yaitu
bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. ―Tiga sama‖ adalah uasaha
untuk menjaga solidaritas dan kolektivitas antara pekerja budaya dan rakyat dalam
sebuah kerja bersama.16
Dengan demikian, sastrawan dan seniman Lekra tak semata berkarya
dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data,
turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan
imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu
yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan
bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra dan seni sebagai pisau.
Dalam melaksanakan prinsip 1-5-1 di atas, sastrawan dan seniman Lekra
tidak turun ke bawah dengan tangan kosong. Mereka harus membekali diri dengan
senjata. D.N. Aidit, menjelaskan bawah,
―Turba seperti sudah saja katakan dimuka harus dengan sendjata
Marxisme-Leninisme, sebab tanpa itu sama halnja dengan meraba-raba dalam gelap dan seperti seorang buta mentjari djarum di padang rumput, pati tidak akan mendapat apa jang ditjari.‖17
Dengan bekal senjata tersebut, seniman dan sastrawan yang turba
diharapkan mampu menyerap dan melihat kontradiksi-kontradiksi sehingga dapat
melihat persoalan rakyat dengan sudut pandang yang tepat. Dengan demikian,
16
Lekra Tak Membakar Buku. Hal 32.
17
karya-karya yang dihasilkan akan benar-benar mampu mengangkat persoalan
rakyat ke permukaan dan memiliki tinggi mutu. Maka dengan gencarnya, Aidit
selalu meneriakkan bahwa penting Marxisme-Leninisme. Ia kemudian
memunculkan jargon ―tahu marxis dan kenal keadaan‖. Ia berpendapat bahwa,
―Filsafat, ekonomi politik dan Sosialisme Marxis-Lenin mengadjarkan kita untuk
bertitiktolak dari kenyataan objektif dan melihat segala sesuatu dalam
perkembangannya, menunjukkan kepada kita tentang sumber2 dari eksploitasi atas
manusia oleh manusia dan tentang perdjuangan klas sebagai lokomotif
perkembangan masyarakat.‖18
Arief Budiman19 (dalam Samboja20) mengatakan bahwa sejak
didengungkannya ―politik adalah panglima‖ oleh Lekra, pengertian sastra yang
baik dan indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra
yang indah adalah karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami
oleh rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau
membangkitkan semangat mereka.
Sejak kelahirannya, Lekra tumbuh dengan subur, bahkan mendominasi.
Sebagai organisasi besar berhaluan kiri, Lekra banyak tak disukai. Lekra pun
dianggap lawan oleh Manifes Kebudayaan (Manikebu). Namun, perseteruan dua
kubu tersebut justru menjadikan iklim sastra Indonesia semakin panas. Dengan
suasana yang cenderung panas itu, bahasa polemis sangat lazim digunakan oleh
kedua kubu, misalnya melalui ―ganyang‖, ―kontrarevolusioner‖, dan lain
18
Ibid.
19
Arif Budiman. 2006. Kebebasan, Negara dan Pembangunan. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute.
20
sebagainya. Perdebatan di antara dua kelompok ini terasa sebagai debat politik
dalam kebudayaan, di mana telah terjadi saling tuding. Keduanya berupaya untuk
saling serang ganyang.
Serangan terhadap Manikebu ditampilkan Harian Rakjat dalam upaya
mendukung Lekra, ―… HR berdiri didepan dalam mengganjang musuh2 nasional
dilapangan kebudajaan, dalam mengganjang musang2 berbulu ajam jang
bersembunji misalnya dalam klik Manifes Kebudajaan. Dengan demikian ia
menerangi djalan2 perjuangan pekerdja kebudajaan Rakyat Lekra.‖21
Upaya Lekra dalam mendesak Manikebu juga terus digalakkan. Hal ini
terlihat dalam Seminar Pengadjaran Sastra yang dilangsungkan pada 5 – 8
September 1964. Seminar dengan tema ―Menegakkan Manipoli dibidang
pengadjaran sastra‖ sudah langsung mengancam pihak yang besebrangan dengan
ideologi manipol, yaitu Manikebu. Lebih jelas lagi, seminar tersebut menghasilkan
sebuah dokumen penting untuk melihat bagaimana Lestra menyusun dan melihat
raut dunia pengajaran sastra. Dokumen itu berkepala: ―Tegakkan Manipol
dibidang Pengadjaran Sastra, madju terus mengganjang Manikebu‖.
Keberadaan Manikebu mula-mula tak begitu merisaukan kelompok Lekra.
Namun ternyata pendukung Manikebu berkembang semakin besar. Hal ini
ditandai dengan Manikebu menyelenggarakan Konperensi Karyawan Pengarang
se-Indonesia (KKPI) di Aula Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 1 - 7
Maret 1964 sebagai upaya untuk menggalang dukungan. Hasilnya, Angkatan
21
Darat menjadi pendukung nomor wahid.22 Konferensi itu kemudian melahirkan
Persatuan Karyawan Pengarang se-Indonesia (PKPI). (Penjelasan Manifes). Pada
saat bersamaan Pimpinan Pusat Lekra mengadakan sidang di sekretariatnya. Hal
ini dianggap Manikebu sebagai upaya membayang-bayangi konferensi yang
diadakannya dan dilakukan secara sistematis untuk penjegalan yang bersifat politis
terhadap mereka.23
Dengan posisi Lekra yang cukup kuat, Manikebu menolak adanya
subordinasi kebudayaan, menentang konsep realisme sosial dan "politik sebagai
panglima". Bagi Manikebu, konsep tersebut membuat manusia harus mengabdi
kepada politik dan hanya akan menghasilkan karya-karya yang bermuatan
propaganda semata.
Asas hukum yang dipegang kuat oleh Lestra adalah seruan Presiden
Sukarno dalam amanat TAVIP untuk terus mengganyang Manikebu karena
kontrarevolusi. Manikebu dikubur oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964
sebagai puncak perdebatan budaya kedua kelompok tersebut.24 Menurut Presiden
Sukarno, Manikebu dilarang karena sudah ada Manifesto Politik yang juga harus
ditaati sebagai haluan politik kebudayaan negara. Oleh karena itu, keberadaan
Manikebu dianggap sengaja dibentuk untuk menandingi Manifesto Politik atau
22
Alexander Supartono. 2000. Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyakarya, Jakarta. Dokumen ini diperoleh penulis dalam versi ebook atas nama Edi Cahyono. Hal 33.
23
Lihat dalam Hasil Penjelidikan Team Reseach Manifes Kebudajaan.
24