• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dewasa ini Orang Bati sudah dapat mengikuti pendidikan dasar dengan fasilitas Sekolah Dasar (SD) yang terdapat di Kampung atau Dusun Rumoga. Sekolah Dasar ini menampung 75 orang murid yang berasal dari Kampung atau Dusun Rumoga, Rumbou, dan Uta. Sekolah Dasar ini terdiri dari tiga kelas, sednagkan kelas empat sampai dengan kelas enam, maka anak-anak harus melanjutkannya di pesisir pantai. Sekolah Dasar (SD) Swasta pada lingkungan Orang Bati yang mendiami

wilayah pegunungan dan lereng bukit baru beroperasi tahun 2008. berikut gambar 20 a tentang gedung Sekolah Dasar (SD) dan gambar 20 b mengenai keadaan murid sebagai berikut:

Gambar 20.a

Keadaan Lingkungan Sekolah Dasar (SD) di Dusun Rumoga (Bati Pantai) Lokasi ini Terdapat di Lereng Bukit

Gambar 20.b

Keadaan Murid Sekolah Dasar (SD) di Kampung atau Dusun Rumoga (Bati Pantai)

Untuk itu pendidikan formal sangat diperlukan oleh Orang Bati sehingga mereka (anak-anak) dapat belajar secara baik. Lembaga pen-didikan merupakan media interaksi sosial yang baik sehingga perlu mendapat perhatian dari pemerintah untuk memajukan anak-anak usia sekolah di Tana (Tanah) Bati. Siapa lagi yang diharapkan untuk mem-bangun Tana (Tanah) Bati, kecuali anak-anak yang berasal dari Tana (Tanah) Bati sendiri. Anak-anak usia sekolah di Tana (Tanah) Bati cukup banyak, dan mereka memiliki motivasi cukup kuat untuk be-lajar. Namun keluarga Orang Bati berada dalam kondisi yang terbatas dan serba kekurangan.

Orang tua memiliki kesadaran untuk memajukan anak-anak mereka dalam bidang pendidikan, tetapi kondisi sosial-ekonomi yang terbatas menyebabkan anak-anak tidak dapat meneruskan pendidikan secara layak bagi kemanusiaan. Berdasarkan data lapangan tersebut dapat dikemukakan bahwa sistem pengelompokan sosial di Tana (Tanah) Bati yang tampak nyata yaitu terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok sosial Patalima (Lima Bagian) melalui Esuriun Orang Bati untuk saling menjaga, melindungi di antara mereka sebagai roina kakal.

Pada awalnya kedua kelompok ini hidup dengan teritorial sendiri-sendiri. Setelah Orang Bati menjalani kehidupan bersama di Samos yang terdapat di sekitar Gunung Bati, kemudian berlangsungnya interaksi sosial di antara mereka. Kehidupan sosial yang dijalani bersama antara kelompok sosial yang berbeda tadi kemudian ber-sepakat (mafakat sinabu) untuk menjalani hidup bersama agar mereka saling menjaga dan melindungi (mabangatnai tua malindong) terhadap hak milik antara lain manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, dan lainnya.

Proses sosial terus berlangsung maka kedua kelompok yang ber-beda tadi, kemudian dengan kelompok sosial yang mendiami Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai) secara bersama-sama dan ber-sepakat (mafakat sinabu) untuk saling menjaga, melindungi sehingga mereka terintegrasi sebagai Orang Gunung. Proses terintegrasi yang dicapai oleh berbagai kelompok yang berbeda kemudian dikukuhkan melalui adat Esuriun Orang Bati sehingga orang-orang penghuni Samos di Gunung Bati dapat turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menempati etar dalam watas nakuasa untuk saling menjaga dan melindungi terhadap hak milik yang berharga dari serbuan orang luar. Tipe integrasi sosial yang dicapai Orang Bati memiliki basis kultural yang sangat kuat sehingga dikatakan bahwa Esuriun Orang Bati adalah proses integrasi kultural karena hal ini dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati. Hakikatnya integrasi kultural adalah final karena dilakukan melalui adat. Tipe integrasi kultural yang dicapai kelompok sosial yang berbeda di Tana (Tanah) Bati melalui Esuriun Orang Bati belum dijumpai pada suku-suku lainnya di Pulau Seram maupun di Kepulauan Maluku.

Realitas pada suku-suku lain umumnya kelompok sosial yang berbeda seperti Patasiwa dan Patalima hidup dengan adat-istiadat, budaya, teritorial, dan lainnya secara sendiri-sendiri. Tetapi pada lingkungan Orang Bati, kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat hidup secara bersama dalam satu teritorial, menganut adat-istiadat, bahasa, budaya, dan lainnya sebagai roina kakal. Sampai saat ini persoalan yang tergolong krusial dari sistem pengelompokan sosial

yaitu di bidang pendidikan dan kesehatan. Anak-anak usia sekolah di Tana (Tanah) Bati memiliki animo cukup besar untuk bersekolah, namaun kondisi sekolah negeri tidak ada. Kalau ada sekolah negeri, tetapi letaknya di pesisir pantai dan jauh dari lingkungan tempat tinggal. Sekolah yang baru dibangun ini berstatus sekolah swasta. Orang Bati yang mendiami lokasi bermukim di lereng bukit dan pegunungan sulit untuk menjangkau tempat berobat seperti Puskesmas. Dapat dikemukakan bahwa selama ini pelayanan pen-didikan dan kesehatan pada semua kelompok sosial di Tana (Tanah) Bati sangat terabaikan. Untuk itu perlu mendapat perhatian serius untuk mengembangkan sumber daya Orang Bati agar lebih maju sama seperti masyarakat lainnya di Maluku.

Hubungan-hubungan sosial yang berlangsung di kalangan Orang Bati berdasarkan sistem kekerabatan (perkawinan sedarah) atau satu marga adalah syah menurut adat. Walaupun hal ini berbeda dengan masyarakat lainnya, tetapi dalam pandangan Orang Bati yaitu supaya mereka saling menjaga, melindungi. Eksistensi seorang perempuan (nina) menjadi penting dalam mata-rantai merupakan hubungan roina kalal karena ia merupakan penerus keturunan dari mata rumah laki-laki. Hal ini diakui oleh seluruh masyarakat dan syah menurut adat karena tidak mempermalukan martabat keluarga dari pihak perempuan ketika ia melahirkan seorang anak yang memiliki seorang bapak. Justru anak yang lahir tidak memiliki seorang bapak sangat bertentangan dengan adat, maupun nilai-nilai yang dianut oleh Orang Bati.

Untuk itu bagi calon mempelai yang sudah saling mengenal secara dekat (dalam arti berasal dari satu marga) berarti mereka sudah saling mengenal, maupun mengetahui secara benar segala kekuarangan terdapat pada diri maupun keluarga mereka masing-masing. Per-kawinan sedarah yang dilakukan Orang Bati adalah syah menurut adat, dan hal ini dilakukan juga untuk menghindari pembayaran harta kawin berupa hutan sagu (yesu kiya). Berdasarkan tradisi, adat-istiadat, dan budaya di Tana (Tanah) Bati pada masa lampau apabila di-laksanakan perkawinan, maka mahar (harta kawin) yang harus dibayar oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan adalah hutan

sagu (yesu kiya). Perkawinan yang berlangsung di luar orang basaudara (roina kakal) yang memiliki hubungan dekat dapat menyebabkan hutan sagu (yesu kiya) menjadi habis karena pembayaran harta kawin. Agar keutuhan hutan sagu (yesu kiya) masih tetap terjaga, terlindungi sampai saat ini maka harta perkawinan tidak menggunakan pem-bayaran mahar (harta kawin) berupa hutan sagu (yesu kiya) tetapi sudah menggunakan uang. Orang Bati sudah mengenal uang sebagai alat tukar yang syah cukup lama.

Untuk kepentingan pembayaran harta kawin dapat dilakukan dengan syarat jumlah uang yaitu bernila Siwa (Sembilan) atau Lima (Lima) sesuai dengan kesepakatan adat yang telah ditetapkan oleh lembaga adat. Selain itu juga penentuan harta kawin dapat dir-undingkan secara bersama antara pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan. Sesuai dengan adat-istiadat di Tana (Tanah) Bati, dalam pelaksanaan acara upacara perkawinan, biasanya mempelai perempuan tidak dihadirkan secara bersama. Orang yang hadir pada saat acara upacara perkawinan adalah orang tua laki-laki dari pihak mempelai perempuan, atau saudara dekat laki-laki dari pihak mem-pelai perempuan. Setelah acara upacara pernikahan selesai baru orang tua laki-laki bersama pihak keluarga dan kerabat dari pihak mempelai perempuan mengantarkan mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan untuk dijemput karena mempelai perempuan sudah syah menjadi isteri dari mempelai laka-laki. Acara perkawinan dapat di-lanjutkan dengan makan secara oleh pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan. Selain itu juga untuk merayakan per-kawinan dapat dilanjutkan dengan pesta yang dilakukan secara ber-sama oleh pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan.

Mengapa dalam tradisi, adat-istiadat yang berlaku di Tana (Tanah) Bati dilakukan demikian? Informasi yang diperoleh dari lapangan mengapa sampai mempelai perempuan tidak dihadirkan dalam acara upcara adat perkawinan, dikemukakan Orang Bati yaitu; (1) Orang perempuan memiliki tempat khusus sebagai penghormatan kepada seorang ibu (nina) sehingga memperoleh perlakuan khusus sesuai adat yang berlaku secara turun-temurun; (2) Dalam hal adat,

baik rapat-rapat adat, sidang adat, perkawinan adat, maupun lainnya posisi yang berkaitan dengan adat ternyata posisi orang perempuan sama sekali tidak memiliki hak dalam adat. Orang laki-laki memiliki fungsi dan peran dalam adat sesuai dengan adat Esuriun Orang Bati, dan dijadikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan tentan Tata Kelola Pemerintahan di Tana (Tanah) Bati.

Dokumen terkait