• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Pengelola

Dalam dokumen Learning Team Proceeding 2002 (Halaman 82-84)

Terlepas dari skala geografi wilayah pesisir yang dikelola ataupun cakupan isu, faktor kejelasan adanya lembaga pengelolaan pesisir merupakan persyaratan untuk kelancaran pelaksanaan program dan sustainaibility

pengelolaan pesisir. Di ketiga lokasi proyek, pendirian cikal bakal lembaga pengelolaan merupakan hal penting yang perlu dimulai untuk mendukung kelancaran proses penerapan pengelolaan di lapang. Dalam prosesnya, cikal bakal tersebut melibatkan sejumlah orang yang merupakan perwakilan instansi atau unit kerja yang diperkirakan relevan untuk menangani permasalahan yang ada di wilayah pesisir. Di tingkat propinsi dan kabupaten, lembaga ini bersifat koordinatif dengan arahan pimpinan Badan Perencanaan Daerah setempat dengan keanggotaan yang cukup beragam. Sebagai contoh adalah Provincial Working Group di Sulawesi Utara dan KalTim , Kabupaten Task Force di Kabupaten Minahasa, Provincial Steering Team di Lampung dan Kabupaten Task Force di Kabupaten Lampung Selatan. Di desa-desa lokasi proyek di Minahasa, pengelolaan ini dilaksanakan oleh suatu badan pengelola mengingat LKMD saat ini dianggap belum memiliki kemampuan yang cukup. Proses pendirian lembaga-lembaga tersebut difasilitasi oleh Proyek Pesisir. Aktivitas yang dilakukan mencakup upaya-upaya penguatan kelembagaan berupa kegiatan pelatihan, program magang, pendampingan, lokakarya, kunjungan studi banding dan lain-lain.

Salah satu peran yang diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh sebuah working group adalah memfasilitasi keterpaduan antara perencanaan yang bersifat top-down approach dan

bottom-up approach. Keterpaduan ini dapat disebut juga sebagai dual-track approach. Top-down approach

merupakan representasi dari upaya penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya berjenjang, yang dimulai dari pengambil kebijakan yang tertinggi di tingkat nasional hingga tingkat daerah (pemerintah tingkat kabupaten dan propinsi) sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Bottom-up approach merupakan representasi dari proses pengusulan ataupun masukan untuk perencanaan yang dimulai dari individu anggota masyarakat dan tokoh-tokohnya, kelompok- kelompok stakeholder, pimpinan pemerintahan setingkat desa, dan seterusnya ‘ke atas’ hingga pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan kabupaten dan propinsi.

Berbagai kalangan di pemerintahan daerah dapat saja mengklaim bahwa proses perencanaan yang bersifat dual-track approach tersebut sudah diterapkan. Adanya proses perencanaan pem- bangunan daerah dalam bentuk Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang), Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) adalah contoh for um dimana dual track approach tersebut diterapkan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kepentingan atau kebutuhan yang muncul dari bawah, yaitu masyarakat, terjamin sehingga dapat terakomodasi dalam pembangunan yang akan dilaksanakan di tahun berikutnya. Dominasi pihak-pihak yang berada dalam hierarki yang lebih tinggi dalam forum-fo- rum tersebut menyebabkan kecenderungan bahwa

top-down approach menjadi lebih signifikan dalam proses perencanaan pesisir.

Keberhasilan pengintegrasian usulan-usulan dari ’bawah’ ke dalam suatu rencana pembangun- an, baik di tingkat nasional ataupun daerah, sangat tergantung pada waktu. Pengalaman menunjuk- kan bahwa proses penyusunan rencana penge- lolaan memakan waktu relatif panjang karena berbagai kegiatan yang sifatnya mempersiapkan kapasitas staf pemerintahan, stakeholder, masyarakat dan working group berjalan secara simultan. Akhir dari proses perencanaan itu

pengelolaan yang disepakati oleh para stakeholder, lengkap dengan komitmen mereka masing-masing. Namun program-program yang dimuat dalam rencana tersebut belum tentu secara langsung segera terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah secara keseluruhan. Hal ini karena rencana program pengelolaan tersebut terlambat diusulkan. Namun, keterlambatan ini hanya berdampak pada program-program yang memerlukan dana signifikan dari pemerintah. Untuk program-program yang dapat didanai secara swadaya oleh para stakeholder, keterlam- batan tersebut bukanlah masalah penting.

Working gr oup dapat berperan dalam mengkoordinasika ‘proyek-proyek’ pembangunan yang ada di wilayah kerjanya dalam rangka keterpaduan antar proyek. Hal ini penting untuk memaksimumkan manfaat dan dampak positif proyek sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya pembangunan, termasuk untuk pengelolaan pesisir. Tidak jarang proyek- proyek yang ada bertujuan untuk melaksanakan percontohan atau demonstrasi penerapan dalam skala kecil dengan maksud contoh penerapan tersebut dikemudian hari diterapkan dalam skala sesuai dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu working group juga diharapkan dapat berperan sebagai ‘lembaga’ yang siap menerima transfer pengalaman sehingga setelah proyek-proyek percontohan tersebut usai, upaya yang diperkenalkan proyek dapat berlanjut sebagai pro- gram-program pembangunan.

Perlunya working group dalam rangka pelaksanaan suatu projek pengelolaan pesisir terpadu sempat dipertanyakan. Dalam konteks tidak berfungsinya secara optimal lembaga koordinasi, working group yang dibentuk merupakan suatu percontohan bagi kalangan pemerintahan tentang penerapan koordinasi tersebut. Dengan working group, para staf pemerintahan memiliki pengalaman langsung dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas koordinasi untuk pengelolaan pesisir. Untuk suatu daerah mungkin koordinasi bukanlah merupakan masalah namun pengalaman mempraktekkan koordinasi untuk pengelolaan pesisir mungkin masih baru. Dari aspek kepentingan projek, kelancaran kegiatan projek di lapang memerlukan

tempat dapat saja tidak diperlukan jika lembaga koordinasi yang ada telah mapan dalam arti memiliki pemahaman tentang pengelolaan pesisir, dapat menjalankan fungsi koordinasi dengan baik dan efektif serta memiliki pengalaman yang dapat diandalkan di bidang pengelolaan pesisir.

Agar suatu working group dapat bekerja dengan baik, ada usulan bahwa working group

tersebut perlu diresmikan oleh pimpinan pemerintahan setempat, misalnya dalam bentuk peraturan daerah (Perda). Terbitnya perda ini memberikan landasan bagi working group tentang susunan working group, tugas dan fungsinya, serta sumber pembiayaan untuk kegiatannya. Perda semacam ini diperlukan jika pemerintah setempat memerlukan adanya lembaga ‘khusus’ untuk menangani projek pengelolaan pesisir, atau karena kelembagaan yang ada dianggap belum memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani permasalahan yang baru.

Dalam masa pasca proyek, fungsi-fungsi yang dijalankan oleh working group dapat diadopsi oleh pemerintah setempat. Pengalaman yang diperoleh para anggota working group merupakan hal yang sangat penting bagi lembaga koordinasi yang sebenarnya. Persoalan berikutnya adalah bagaimana pengalaman tersebut dapat dipelajari dan disampaikan kepada pimpinan dan staf lembaga tersebut.

3. PELEMBAGAAN PENGELOLAAN

Dalam dokumen Learning Team Proceeding 2002 (Halaman 82-84)

Dokumen terkait