• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembar Informasi Desa dan Pulau Harapan

Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika

Dirjen Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi.

Tulisan ini dikutip seluruhnya dari Harian Kompas 8 Agustus 2015

Pemerintah telah memberi identitas baru atas pilihan pembangunan ekonomi yang harus diambil. Pada isi Nawacita, sekurangnya tafsir itu terpapar di tiga cita, yakni membangun dari pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi.

Jika dibenturkan dengan konsep ekonomi pembangunan, ”Tricita” tersebut berteduh dalam pohon teori ”struktural”. Istilah ”pinggiran” (periphery) adalah frasa populer untuk membenturkan dengan negara/wilayah ”pusat” (center) dalam tradisi

Marxianeconomics. Demikian pula, terma ”ekonomi rakyat” dan ”kemandirian ekonomi”

lekat dengan konsep yang bersinggungan dengan mazhab tersebut, seperti yang kerap diteriakkan oleh Samir Amin ataupun Fernando Henrique Cardoso (tentu dengan istilah yang tak sepenuhnya persis). Inilah babak baru yang secara sadar diayak pemerintah setelah mengamati secara jeli watak pembangunan (ekonomi) Indonesia sepanjang 70 tahun seusai kemerdekaan.

a. Pasokan Pengetahuan

Salah satu alas pokok yang dipakai untuk menjalankan Tricita di atas adalah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. UU ini mendapatkan atensi yang luar biasa dari khalayak karena dipandang sebagai horizon baru pembangunan. Desa diletakkan sebagai pusat arena pembangunan, bukan lagi semata lokus keberadaan sumber daya (ekonomi) yang dengan mudah disedot oleh wilayah lain (kota) untuk beragam kepentingan.

Perhatian menjadi kian luar biasa begitu pemerintah meneruskannya dengan membentuk kementerian yang khusus mengawal urusan desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dengan begitu, urusan desa tak

hanya disantuni secara legal (UU), tetapi secara politik dengan lugas afirmasi telah ditunjukkan pemerintah via pembentukan kementerian baru itu (dan dana desa) sehingga pada hari-hari mendatang pusat pertaruhannya adalah bagaimana kekuatan legal dan politik itu menjelma dalam kerja teknokratis di lapangan.

Teknokratisme pembangunan desa itu berdiri tegak di atas tiga pilar (Desa Berdikari). Pertama, mengarusutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan sehingga mereka menjadi subyek-berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Kedua, mendorong geliat ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan gerakan. Ketiga, mempromosikan pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.

Menyangkut kapabilitas manusia, penguatan pendidikan (pengetahuan) dan kesehatan merupakan dua pilar pokok yang mesti dibangun. Pendidikan kerap disederhanakan sebagai lama waktu sekolah untuk menunjukkan level keterampilan seseorang. Parameter itu sebagian bisa diterima, tetapi jelas tak menggambarkan seluruh tingkat pengetahuan individu. Di luar sekolah (formal), pilihan lain peningkatan stok pengetahuan adalah penciptaan komunitas belajar dan balai pencerahan dengan basis karakteristik sosial dan budaya setempat.

Pola semacam itu tidak sekadar menambah pengetahuan dan keterampilan (sesuai dengan pilihan hidup yang telah ditetapkan), tetapi juga menegakkan matra komunitas yang menjadi corak hidup warga desa. Berikutnya, perkara kesehatan juga patut menjadi fokus pendalaman kapabilitas karena masih rendahnya daya dukung pada aspek ini. Kenaikan angka ibu yang meninggal saat melahirkan, peningkatan bayi dengan ukuran tubuh tidak normal (stunting), gizi buruk, ketersediaan sanitasi, pasokan air bersih, dan lain-lain masih merupakan kenyataan pahit di pedesaan.

Perlu gerakan masif untuk memperbaiki aspek ini karena jumlahnya sangat banyak dan tersebar secara geografis (yang sebagian sulit dijangkau). Di sini tidak hanya perlu anggaran yang besar, tetapi juga pilihan program yang efektif untuk mengatasinya. Perbaikan kualitas manusia merupakan misi yang harus dimenangi karena hakikat pembangunan tak lain adalah ekspansi kapabilitas manusia.

b. Lumbung Ekonomi Rakyat

Kesejahteraan adalah salah isu mendesak di desa mengingat kantong-kantong kemiskinan berada di sana (sekitar 65 persen penduduk miskin berdiam di desa). Urbanisasi masif yang terjadi disebabkan oleh involusi desa tersebut, bukan karena ada

tarikan permintaan tenaga kerja di kota. Inilah yang membuat fenomena ”urbanisasi prematur” terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, gerakan lumbung ekonomi rakyat

merupakan palang pintu utama untuk mendongkrak kesejahteraan ekonomi tersebut. Pokok soal yang utama adalah membekali aset produktif yang memadai sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih besar.

Problemnya, sebagian besar kaum miskin itu tak memiliki aset produktif yang mencukupi (khususnya lahan dan modal). Dengan begitu, kebijakan reformasi agraria (yang juga menjadi salah satu komitmen pemerintah) menjadi sangat strategis

diimplementasikan dengan lokus penduduk desa yang tunaaset tersebut, di samping kebijakan drastis terkait akses terhadap modal.

Berikutnya, menempatkan kegiatan ekonomi hanya pada hulu (misalnya produksi komoditas pertanian atau eksplorasi sumber daya alam lain) terbukti hanya meninggalkan desa dalam kubang keterbelakangan. Desa hanya dimanfaatkan sebagai penyedia bahan baku dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan oleh pelaku dan di wilayah yang lain). Situasi ini harus dihentikan sehingga desa tak lagi cuma memperoleh porsi di hulu, tetapi juga memasuki aktivitas di sektor hilir.

Sumber daya ekonomi sebanyak mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah. Tentu saja proses ini tak mesti bertumpu hanya di satu desa, tetapi bisa pada kawasan pedesaan karena harus disesuaikan dengan skala ekonomi. Intervensi inovasi dan adopsi teknologi menjadi penting agar proses ekonomi pengolahan itu bisa berjalan dengan layak. Jika hal ini berlangsung dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tak lagi inferior.

Pekerjaan rumah setelahnya adalah menyusun organisasi ekonomi di desa. Tentu ini mandat yang rumit, tetapi niscaya harus dijalankan. Organisasi ekonomi yang berbasis persaingan dengan meletakkan individu sebagai pusaran aktivitas ekonomi terbukti menciptakan luka pembangunan, salah satunya berwujud dalam ketimpangan (pendapatan) ekonomi yang makin parah. Realitas itu harus dimaknai sebagai sinyal kebutuhan kembali pada penataan organisasi ekonomi yang menyantuni semangat kolektivitas, pemerataan, dan solidaritas sosial. Apa pun pilihan aktivitas ekonomi yang dikerjakan mesti paralel dengan kebutuhan tersebut agar pembangunan tak menciptakan paradoks: pertumbuhan berbarengan dengan kesenjangan. Konstitusi dengan tepat telah memberikan panduan pada Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Desain Pasal 33 adalah bangun usaha yang bersemangat koperasi. Pengambil kebijakan ekonomi mesti punya keberanian moral untuk menjalankan misi daulat ekonomi rakyat ini.

c. Menumbuhkan Daya Hidup

Pembangunan yang secara sengaja meretakkan relasi manusia dan pilihan yang akan diambilnya dipastikan justru menciptakan keterasingan, di samping ketergantungan. Pembangunan menjadi ritus berjarak jika program yang dijalankan tidak menyertakan rakyat sebagai partisipan gerakan, mulai dari perumusan masalah, desain, implementasi, hingga monitoring program. Pembangunan menjadi proses mematikan, bukan menumbuhkan daya hidup rakyat.

Proses itulah yang sebagian terjadi atas kebijakan yang diambil selama ini sehingga terjadi mekanisme keterasingan dan ketergantungan secara sistematis. Dana desa mesti dicegah tidak mengulang pengalaman itu (dan tak seharusnya perhatian hanya fokus pada dana desa) sehingga anggaran yang digelontorkan harus dimaknai sebatas afirmasi pemerintah untuk menjadikan desa sebagai arena pembangunan tanpa merebut hak (warga) desa menyusun masa depannya sendiri. Ruang harus dibuka selebar-lebarnya bagi warga desa untuk menentukan hajat hidupnya lewat program yang digagas secara partisipatoris.

Jika pilihan itu yang diambil, modal (finansial) bukanlah amunisi utama pembangunan. Modal yang terpenting adalah kapabilitas manusia yang telah terberdayakan dan gerak sosial yang emansipatoris. Modal finansial hanyalah instrumen sekunder karena kebutuhan primer adalah manusia tercerahkan dan otentisitas jaringan sosial yang tersambung secara pekat. Proses inilah yang sebetulnya menjadi jantung perubahan paradigma pembangunan agar geraknya tidak ditindih oleh modal finansial yang kemudian justru mengisolasi sebagian (besar) kaum dari berkah pembangunan itu sendiri.

Jika kemudian para pendamping desa diturunkan ke segala penjuru, fungsinya yang pokok adalah menjadi aktor pemberdaya yang menumbuhkan daya hidup warga tersebut, bukan mengambil alih hak warga merumuskan jalan hidupnya. Ujung dari proses ini adalah lenyapnya praktik ekonomi subordinatif yang menempatkan pemilik modal sebagai tuan ekonomi.

Penting pula dipahami bahwa seluruh cakupan di atas harus sensitif terhadap kesinambungan lingkungan dan partisipasi perempuan. Pembangunan yang terlalu memberi bobot pada aspek ekonomi mungkin menjadi eskalator untuk mempercepat pencapaian ketinggian kesejahteraan, tetapi juga punya risiko terhadap destruksi lingkungan. Keduanya tentu tak boleh dikorbankan meski kerap kali tak mudah mencapainya secara bersamaan. Demikian pula, banyak kasus inisiasi pembangunan yang dilakukan dan menyertakan kaum perempuan secara eksesif lebih punya potensi keberhasilan, seperti dalam model pengelolaan lembaga keuangan. Ekspansi kapabilitas manusia/komunitas harus menyasar perempuan sebagai target utama akibat warisan konstruksi sosial yang tak berpihak kepada mereka selama ini.

Pada akhirnya, seluruh urusan ini harus dipayungi oleh kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan lain sebagainya yang memihak dan menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan. Jika kita bisa merawat konsistensi keseluruhan bangunan ini, paras desa akan berubah menjadi pulau-pulau harapan yang laik dijadikan sandaran masa depan.

SPB

2.1

Lembar Informasi