• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

3. Ibu Lesbian

Survei skala besar pada komunitas lesbian di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar satu dari lima lesbian merupakan seorang ibu (Bryant dalam Tasker, 2005). Hasil penelitian Patterson (dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002) menunjukkan bahwa ibu lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out berbeda dari ibu lesbian yang memiliki anak setelah coming-out. Wanita yang memiliki anak setelah coming-out biasanya memiliki anak dari hasil inseminasi dan donor sperma, adopsi atau sebagai akibat dari relasi dengan pasangan wanita yang memiliki anak. Ibu lesbian yang memiliki

anak setelah coming-out cenderung mulai mempertanyakan orientasi seksual mereka saat masih bersekolah. Di awal usia 20-an tahun, mereka cenderung telah memiliki pengalaman seksual dengan wanita lain dan mulai mengidentifikasi diri sebagai seorang lesbian. Dibutuhkan beberapa tahun lagi untuk memberitahu orang lain, termasuk anggota keluarga, bahwa mereka adalah lesbian. Sebagai orang dewasa, kelompok ini telah coming-out bertahun-tahun lebih lama dan telah memiliki proporsi pengalaman seksual dengan sesama jenis yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok ibu lesbian yang memiliki anak sebelum coming-out (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).

Sebagian besar (lebih dari 90%) dari wanita yang memiliki anak sebelum coming-out telah resmi menikah dengan seorang pria dan memiliki anak dalam konteks perkawinan atau relasi dengan seorang pria. Mereka berada di awal 20-an ketika mereka pertama kali mempertanyakan orientasi seksual mereka dan di akhir 20-an, mereka memiliki pengalaman seksual pertama mereka dengan wanita lain. Mereka berada di awal 30-an ketika pertama kali menganggap diri mereka sebagai lesbian dan mengungkapkannya ke orang lain, termasuk anggota keluarga. Ibu yang memiliki anak sebelum coming-out memulai proses coming-out sekitar 7-12 tahun lebih lama dibandingkan wanita yang memiliki anak setelah coming-out dan sekitar 6 - 8 tahun lebih lama daripada wanita yang tidak memiliki anak. Memiliki anak- anak mungkin telah menunda proses coming-out. Wanita yang memiliki anak sebelum coming-out lebih berkonflik atau memiliki lebih banyak kesulitan

dalam coming-out, terkait peran sebagai seorang ibu yang melekat pada diri mereka, dibandingkan dengan wanita lesbian yang tidak memiliki anak (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).

Meskipun demikian, ibu-ibu yang memiliki anak sebelum coming-out melaporkan mengalami serangan verbal dan fisik dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak setelah coming-out. Pernikahan sebelumnya atau hubungan dengan laki-laki akan melindungi ibu lesbian dari kelompok anti lesbian karena mereka cenderung tampak konvesional sehingga menjadi kurang diperhatikan. Akan tetapi, di sisi lain, wanita lesbian yang masih menikah dengan laki-laki, atau mereka yang masih kontak dengan mantan pasangan pria karena hak asuh bersama, sering dibuat merasa tak diinginkan di komunitas lesbian (Patterson dalam Morris, Balsam, Rothblum, 2002).

Sebuah studi longitudinal keluarga homoparental di Amerika (Gartrell dalam Greenbaum, 2014) menunjukkan bahwa mayoritas ibu lesbian tidak ragu-ragu untuk mengungkapkan seksualitas mereka di tempat kerja dan dengan pekerja di tempat penitipan anak ketika anak-anak mereka masih kecil. Akan tetapi, mereka cenderung kurang bersedia untuk coming-out ketika anak-anak telah berusia 10 tahun ke atas. Perubahan ini menunjukkan meningkatnya kekhawatiran ibu apabila anak mereka harus berhadapan dengan homophobia. Orangtua sangat memperhatikan kesejahteraan psikologis anak-anak mereka. Untuk melindungi anak-anak mereka dari penolakan dunia yang berpotensi homophobic, orangtua kadang-kadang

memilih menyembunyikan orientasi seksual mereka (Weeks dalam Greenbaum, 2014).

Hal lain yang membuat perempuan-perempuan lesbian menyembunyikan status orientasi seksual mereka adalah karena 30% dari perempuan tersebut melaporkan terancam kehilangan hak asuh anak setelah bercerai dengan suami (Morris et al, 2002). Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa dibesarkan oleh ibu lesbian akan meningkatkan permasalahan psikologis anak karena anak akan harus berhadapan dengan diskriminasi dan intimidasi dari teman sebaya terkait orientasi seksual ibu mereka (Golombok, Perry, Burston, et al, 2003). Selain itu, pengadilan kebanyakan berfokus pada ketidakstabilan mental lesbian yang dirasa membuat lesbian kurang cocok menjadi ibu (Allen & Burrell dalam Morris et al, 2002). Pengadilan juga menganggap bahwa ibu lesbian akan mempengaruhi pengembangan peran gender dan orientasi seksual anak-anak mereka. Anak-anak cenderung akan terlibat dalam perilaku gender yang tidak pantas dan tumbuh menjadi gay atau lesbian sendiri (Falk dalam Morris et al, 2002).

Anggapan pengadilan itu sendiri didukung oleh hasil penelitian Buxton dan Schwartz (2004) yang mengemukakan bahwa anak akan mengalami proses yang panjang dan mengalami kebingungan dalam memahami perubahan orientasi seksual orang tua mereka (apakah mereka masih orang yang sama atau tidak), perubahan kehidupan sosial serta kecenderungan coming-out yang harus mereka lakukan sebagai anak dari seorang gay, lesbian

atau biseksual. Selain itu, mayoritas anak hasil mixed orientation marriage harus berhadapan dengan isu perceraian, termasuk di dalamnya separation anxiety, ketakutan diabaikan, dan terbaginya rasa kesetiaan. Ketika anak tersebut berusia remaja ketika orangtua melakukan coming-out, hal ini akan sangat membingungkan bagi mereka karena orangtua sedang berhadapan dengan isu seksualitas, identitas dan integritas yang saat itu juga sedang dihadapi oleh mereka. Keharusan menyimpan rahasia keluarga, merasa malu dan tertekan, serta ketidakinginan menjadi berbeda juga dapat menghambat anak dalam mengembangkan relasi yang sehat.

Meskipun demikian, terdapat penelitian-penelitian lain yang menemukan hasil berbeda. Hasil penelitian Golombok et al (2003) menunjukkan bahwa anak dengan ibu lesbian tidak menunjukkan kelainan psikologis yang lebih tinggi dan tidak mengalami lebih banyak kesulitan dalam membangun relasi sebaya apabila dibandingkan dengan anak dari orangtua heteroseksual. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan oleh ibu lesbian mengalami kebingungan identitas dan peran gender. Bahkan, anak-anak tersebut malah cenderung mampu untuk berfungsi dengan baik sebagai seorang individu dewasa dan tetap mampu menjaga relasi yang positif dengan orangtua (Tasker & Golombok dalam Golombok et al, 2003). Hasil penelitian ini menjadi sebuah senjata bagi lesbian dan gay untuk memperjuangkan hak asuh anak mereka.

Dokumen terkait