• Tidak ada hasil yang ditemukan

Limfoma ganas; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan kurang lebih 1 tahun (Nursalam, 2007)

commit to user

30 i. Manifestasi Oportunistik diantaranya

1). Manifestasi pada Paru-paru

a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

b) Cytomegalo Virus (CMV)

Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocytis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.

c) Mycobacterium Avilum

Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

d) Mycobacterium Tuberculosis

Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain diluar paru (Depkes RI, 2003).

2). Manifestasi pada Gastroitestinal

Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan (Yayasan Spiritia, 2012).

3). Manifestasi Neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan

commit to user

31 syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati dan neuropari perifer (Yayasan Spiritia, 2003).

k. Pemeriksaan Laboratorium Dan Diagnosisi AIDS

Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang berperan dalam penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina. Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratorium dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot.

Dasar dalam menegakkan diaknosa AIDS adalah :

1). Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan labolaturium). 2). Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.

3). Adanya gejala infeksi oportunistik.

Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau sarkoma kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi zat HIV (Elisa, Western Blot, 1998).

commit to user

32 4. OBAT ARV

a. Pengertian Terapi Antiretroviral (ARV)

Terapi antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan. Obat tersebut (yang disebut ARV) tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat pertumbuhan virus, waktu pertumbuhan virus diperlambat, begitu juga penyakit HIV. Karena HIV adalah retrovirus, maka obat-obat ini biasa disebut sebagai terapi antiretroviral (ARV). (Spiritia, 2012: 414).

b. Tujuan Terapi Antiretroviral (ARV)

Tujuan utama terapi antiretrovirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan terhadap jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV. Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi jauh lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit opportunistik lainnya yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium aptikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii pada ODHA yang hilang timbul, biasanya mengharuskan ODHA minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum ARV teratur, banyak ODHA yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia (Syafrizal, 2011).

commit to user

33 c. Klasifikasi Terapi Antiretroviral (ARV)

Obat ARV terdiri dari golongan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease (Spiritia, 2012). Di Amerika Serikat (2001), US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui tiga golongan obat untuk infeksi HIV :

1) Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) 2) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) 3) Inhibitor protease (PI)

NRTI menghambat enzim DNA polymerase dependen RNA HIV (reverse transcriptase) dan menghentikan pertumbuhan untai DNA. Contoh-contoh NRTI adalah zidovudin, didanosum, zalsitabin, stavudin dan abakavir. NNRTI menghambat transkriptasi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replikasi virus. Obat jenis ini menurunkan jumlah HIV dalam darah (viral load) dan meningkatkan limfost CD4+. Nevirapin, delaviridin dan efavirenz adalah contoh-contoh NNRTI. PI menghambat aktivitas protease HIV dan mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk pematangan HIV. Yang terbentuk bukan HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak menular. Contoh obat PI adalah indinavir, ritonavir, nelfinavir, sakuinavir, amprenavir dan lopinavir.

Kelimabelas obat antiretroviral ini diberikan dalam dua sampai tiga kombinasi berbeda sesuai temuan riset dan petunjuk spesifik yang

commit to user

34 dikembangkan oleh the Panel on Clinical Practice and Treatment of HIV infection yang dibuat oleh US Departemen of Health and Human ervice (DHHS) dan Kaiser Family Foundation. Pembeian dua sampai tiga ARV disebut terapi antiretrovirus yang sangat efektif (Highly Active Antiretroviral Therapy; HAART). Data mengenai efektivitas dan daya tahan HAART mengungkapkan bahwa pada banyak pasien yang telah terinfeksi virus HIV efektivitas cara ini terbatas karena resistensi obat dan kurangnya ketaatan akibat regimen yang rumit (Silvia Anderson, 2006).

Tabel 2.1 Terapi Antiretroviral yang Sangat Aktif (Hight Active Antiretroviral Therapy; HAART).

No. Golongan Contoh

1

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor

(NRTI) Zidovudin Didanosin Zalsitabin Stavudin Lamivudin Abacavir ZDV, Retrovir Ddl, Videx ddC, HIVID d4T, erit Epivir Ziagen 2

Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Nevirapin Delavirdin Efavirenz Viramune Rescriptor Sustiva 3

Inhibitor Protease (PI)

Indinavir Ritonavir Nelvinavir Sakuinavir Amprenavir Lopinavir Crixivan Norvir Viracept Ivirase, Fortovase Agenerase Kaletra Sumber Spiritia (2012)

commit to user

35 d. Pemberian Antiretroviral (ARV)

Waktu memulai ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasi pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimtomatik dengan jumlah limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien dengan jumlah limfosit CD4+ antara 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimtomatik dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000/ml. (Spiritia, 2012).

Penggunaan ARV juga rawan resistensi. Bila hal itu terjadi, obat ARV tidak akan lagi berbengaruh pada tubuh ODHA yang bersangkutan. Resiko resisten tidak hanya bisa terjadi pada proses penghentian obat, tetapi juga pada kesalahan pemakaian. Karenanya, Departemen Kesehatan mengharuskan pemakaian minimal 3 kombinasi obat. Kombinasi yang digunakan juga berbeda-beda untuk setiap ODHA, tergantung pada kondisi tubuhnya. (Spiritia, 2012).

commit to user

36 Tabel 2,2 Pemberian Obat ARV yang Beredar di Indonesia.

Nama Generik Nama

Dagang Dosis Jumlah pil Harian Aturan Makan NRTI

Duviral Tablet, kandungan Zidovudin 300 mg, Lamifudin 150 mg, 2X/hari 2 Sesudah makan Lamividin (3TC) 1 pil 150 mg, 2X/hari 2 - Idovudin (ZDV, AZT) Retrovir Adovir Avirzid 1 pil 300 mg, 2X/hari 2 - Stavudin (d4T) Stavir Zerit Berat badan ≥60 kg: 1 pil 40 mg, 2X/hari. Berat badan < 60 kg: 1 pil 30 mg, 2X/hari 2 - Didanosin (ddl)

Videx Berat badan ≥ 60 kg: 2 tablet 200 mg, 1X/hari. Berat badan < 60 kg: 2 tablet 125 mg, 1X/hari 2 Pakai 2 jam sebelum atau 1 jam sesudah makan NNRTI

Efavirenz (EFV, EFZ) Stocrin

1 kapsul 600 mg, 1X/hari 1 Malam hari, hindari makanan berlemak Nevirapine (VVP) Viramune 1 tablet 200 mg,

2X/hari 2

- Inhibitor Protease (PI)

Nelfinavir (NFV) Nelvex Viracept 5 tablet 250 mg, 2X/hari 10 Pakai dengan makanan (Sumber : Spiritia, 2012)

commit to user

37 Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post-esposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Program pencegahan dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitas efektivitas penularan HIV dari ibu ke anak adalah sebesar 10-30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinveksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang tertular. Ebagian penularan terjadi pada waktu proses persalinan dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu ( Syafrizal dalam Djoerban, 2006:1806).

e. Efek amping Antiretroviral (ARV)

Efek samping adalah dampak dari obat yang tidak diinginkan, biasanya dampaknya merugikan bagi tubuh pengguna obat tersebut, Mulai dari yang ringan seperti sakit kepala ringan sampai pada kerusakan pada organ dalam tubuh seperti kerusakan hati. Efek samping dapat dirasakan setelah pemakaian obat tersebut dan dapat bertahan selama beberapa hari, bahkan terkadang masih bisa diraasakan walaupun obat sudah tidak digunakan lagi. Ebagian besar pemakai obat ARV akan mengalami beberapa efek samping. (Spiritia, 2012).

commit to user

38 Faktor-faktor yang mempengaruhi tubuh merespon efek samping, antara lain :

1) Jumlah obat yang digunakan, semakain banyak akan semakin parah efeknya.

2) Besar kecilnya ukuran tubuh, jika tubuh lebih kecil dari rata-rata maka kemungkinan mengalami efek samping yang lebih banyak. 3) Kemampuan tubuh untuk menguraikan obat, sehingga membuat

kadar obat dalam darah menjadi tinggi dapat mengakibatkan banyak efek samping.

Daftar efek samping akibat obat yang dipakai dapat dilihat dalam kemasan obat tersebut, tidak semua efek yang tercantum dirasakan oleh penggunanya. Efek samping yang paling umum dialami, antara lain.(Spiritia, 2012).

a) Kelelahan

ODHA sering melaporkan kadang-kadang merasa lelah. Mengetahui penyebab lelah dan menanganinya adalah penting.

b) Anemia

Obat ARV seperti durival dapat menyebabkan anemia. Dengan melakukan tes darah rutin dapat mengetahui ada tidaknyaa anemia, gejalanya badan menjadi cepat lelah. Konsultasikan hal ini pada dokter untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan karena anemia dapat diobati, tapi tidak boleh dianggap enteng.

commit to user

39 c) Gangguan Pencernaan

Beberapa obat ARV dapat mengakibatkan perut terasa nyeri, mual, kembung, bahkan bisa berakibat muntah dan diare. Pengobatan yang lazim dipakai di rumah termasuk : makan sedikit tapi sering, makan sup dan makanan yang lunak, minuman jahe dan sering berolahraga. Jika mengalami diare, harus banyak minum untuk menghindari dehidrasi. d) Gangguan pada kulit

Beberapa obat menyebabkan benjolan (ruam) yang terasa gatal. Kulit biasanya akan menjadi kering, maka sebaiknya gunakan pelembab. Jika ruam yang timbul sangat banyak di sekujur tubuh, sebaiknya konsultasikan dengan dokter.

e) Gangguan saraf kecil

Sering kesemutan pada telapak kaki atau tangan bisa diindikasikan sebagai gejala gangguan saraf kecil. Mengkonsumsi vitamin B dapat mengurangi rasa kesemutan tersebut, tapi tidak ada salahnya untuk memeriksakan diri ke ahli saraf kerena jika dibiarkan terlalu lama akan menyebabkan kerusakan saraf yang lebih parah.

f) Masalah tulang

Baru diketahui pada orang HIV. Mineral tulang dapat hilang dan tulang menjadi rapuh. Kehilangan aliran darah dapat menyebabkan masalah pinggul. Pastikan konsumsi cukup zat kalsium dalam makanan dan suplemen.

commit to user

40 g) Lipodistrofi

Banyak ODHA yang kehilangan lemak pada bagian lengan, kaki, terutama pada wajah (pipi terlihat cekung). Tentunya jika ada tumpukan lemak, maka ada peningkatan kadar gula dan kolesterol dalam darah yang dapat mengakibatkan stroke maupun serangan jantung.

Tabel 2.3 Efek samping berdasarkan jenis Obat ARV

Nama Generik Nama

Dagang Efek Samping

Golongan NRTI Lamivudin (3TC)

Umum : mual/diare; sakit kepala; neutropenia; kelelahan; ruam; sakit perut. Parah : pancreatitis (jarang)

Zidovudin (ZDV, AZT)

Retrovir Adovi Avirzid

Umum : mual/muntah; sakit kepala; neutropenia; kelelahan; anoreksia; SGOT/SGPT tinggi; miopati dan miotosis (jarang).

Parah : Anemia

Stavudin (d4T) Stavir Zerit

Umum : mual/muntah/diare; sakit kepala; kelelahan; ruam; SGPT/SGOT tinggi. Parah : neuropati perifer; pancreatitis; amilase tinggi.

Didanosin (ddl) Videx

Umum : mual/muntah/diare; sakit kepala; ruam; halusinasi.

Parah : pancreatitis; neuropati perifer; amylase tinggi.

Golongan NNRTI Efavirenz (EFV,

EFZ) Stocrin

Umum : mual/diare; sakit kepala; ruam; SGPT/SGOT tinggi.

Parah : gejala system saraf pusat; sindrom Stevens -Johnson (jarang)

Nevirapine (NVP) Viramune Neviral

Umum : mual/diare; sakit kepala; kelelahan; ruam.

Parah : ruam parah/sindrom Stevens-Johnsons; SGOT/SGPT tinggi; hepatitis. Inhibitor Protease

(PI)

Nelfinavir (NVF) Nelvex Viracept

Umum : mual/diare; sakit perut; ruam; gas.

commit to user

41 f. Resistensi Antiretroviral (ARV)

Obat ARV perlu diminum sesuai petunjuk dokter baik dosis maupun waktunya. Mengingat HIV adalah virus yang selalu bermutasi, maka jika tidak dipatuhi aturan pemakaiannya, HIV yang berada di dalam tubuh bisa menjadi resisten terhadap obat itu. Dengan kata lain, obat yang dikonsumsi tidak bisa lagi memperlambat laju penyakit HIV menuju ke tahap AIDS, sehingga perlu diganti dengan obat lain yang mungkin lebih mahal atau lebih sulit diperoleh. (Spiritia, 2012).

HIV juga menjadi resisten, bila tingkat kadar obat dalam darah tersebut terlalu rendah untuk menghentikan reproduksi virus. Selagi HIV terus berproduksi, jenis-jenis virus yang mampu reproduksi tanpa terpengaruh obat (jenis yang resisten terhadap obat) menjadi lebih unggul dari pada jenis yang sensitive terhadap obat dan akan menjadi dasar bagi populasi HIV yang baru di dalam tubuh.(Spiritia, 2012).

Resistensi HIV terjadi apabila ada mutasi atau perubahan pada struktur genetic HIV, sehingga HIV menjadi kuat melawan obat antiretroviral (ARV) tertentu. Dengan kata lain, terjadinya perubahan genetic yang memungkinkan HIV terus melakukan replikasi walaupun pasien menjalani terapi antiretroviral. Idealnya, setiap sel baru hasil proses replikasi yang terjadi di dalam tubuh sama persis seperti sel awal yang direplikasi. Tapi kadang-kadang terjadi kesalahan kecil di dalam sebuah sel yang kemudian terbawa pada sel baru. Sampai pada suatu saat, sel-sel yang mengandung kesalahan-kesalahan kecil ini menjadi banyak.

commit to user

42 Perubahan kecil di dalam komposisi genetic sel disebut “mutasi”. Mutasi sering terjadi pada HIV karena cepatnya proses replikasi sel berlangsung dan ketidak hadirannya mekanisme untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan ini. (Spiritia, 2012).

Mutasi menyebabkan HIV menjadi mampu melawan obat ARV, Dengan kata lain, telah terjadi resistensi HIV. Biasanya mutasi terjadi di dalam sel dalam kondisi tertentu atau disebabkan faktor tertentu. Misalnya stress akibat lingkungan, paparan terhadap toksin (racun di dalam tubuh), paparan terhadap berbagai obat secara berulang-ulang. Tapi sering kali, resistensi timbul akibat ketidak taatan terhadap ARV atau terputusnya terapi ARV. Terputusnya terapi ini bisa disebabkan karena pasien merasa lebih fit sehingga beranggapan tidak perlu meneruskan terapinya, atau bisa juga karena penyediaan obat terhenti. Alaupun kebanyakan replikasi HIV dapat dicegah oleh obat ARV, beberapa virus tetap mengalami mutasi sehingga mengakibatkan berlipat gandanya salah satu lini (strain) yang resisten ini, maka obat ARV menjadi berkurang efektifitasnya.(Spiritia, 2012).

Di negara-negara maju, di mana banyak pilihan obat ARV, hal ini bisa mengakibatkan sulitnya mencari kombinasi obat ARV yang tepat. Berkat tersedianya ARV, banyak orang terkena HIV bisa hidup lebih lama. Tetapi dengan mereka hidup lebih lama dengan HIV, kemungkinan untuk virus bermutasi atau menjadi kuat melawan obat ARV juga menjadi lebih

commit to user

43 besar. Resistensi HIV merupakan masalah yang sering terjadi, yang banyak berpengaruh pada pasiennya yang menjalani terapi antiretroviral.

Di Indonesia, sesuai pendekatan Kesehatan Masyarakat yang dianjurkan oleh WHO dalam hal pemakaian obat ARV di negara berkembang jika terapi lini pertama dirasakan mulai “gagal” (bukan disebabkan oleh ketidak patuhan terhadap terapi antiretroviral), maka rejimen pengobatan akan akan dialihkan ke lini-2, dengan mengganti semua obat yang dipakai untuk mengobati HIV lini-1. Di negara-negara maju, jika telah terjadi resistensi HIV, dokter biasanya melakukan tes resistensi HIV (berupa tes darah) untuk mengetahui obat ARV yang mana kiranya yang paling efisien untuk melawan virus yang telah bermutasi dan yang mana perlu dihindari.

Ada dua macam tes resistensi yang tersedia, yaitu (Spiritia, 2012) : 1) Genotypic Testing

Tes ini meneliti HIV yang ada di dalam darah pasien dan memeriksa apakah telah terjadi mutasi. Jika dokter mengetahui bahwa mutasi genetik tertentu telah terjadi, maka ia bisa mengetahui virus telah menjadi resisten terhadap obat ARV yang mana atau jenis obat ARV yang mana secara spisifik. Jenis tes ini cepat hasilnya dan terjangkau harganya (di negara maju).

2) Pheonotypic Testing

Tes ini berbeda dengan Genotypic Testing karena tes ini mengambil virus dan memaparkannya terhadap obat ARV dengan

commit to user

44 konsentrasi yang berbeda-beda untuk memastikan obat ARV yang mana yang efektif. Metode ini dipakai pada tahap dini pengembangan sebuah obat itu dibolehkan dikonsumsi oleh manusia. Tes ini lambat prosesnya dan mahal harganya sehingga hanya sedikit orang yang bisa memanfaatkannya.

Seperti disebut di atas, tes resistensi HIV bisa membantu dokter merancang jenis terapi yang cocok untuk pasien yang terpapar pada berbagai macam kombinasi obat ARV. Namun dewasa ini banyak terjadi kasus dimana orang yang baru saja didiagnosa mengidap HIV ternyata sudah terinfeksi oleh virus yang resistensi. Dengan kata lain, pasien tertular oleh virus yang sudah dalam keadaan resisten terhadap obat ARV tertentu. Tentu saja hal ini merupakan masalah, baik di negara-negara berkembang dimana pilihan obat ARV tidak banyak maupun di negara-negara maju karena membuat sulit memilih terapi mana yang paling baik, mengingat bahwa kombinasi obat ARV tertentu yang biasanya diberikan kepada orang yang baru saja terinfeksi HIV menjadi tidak bisa diberikan kepada orang yang virusnya sudah resisten terhadap obat ARV tertentu ini. Padahal, seperti diketahui, bagaimana seseorang pasien mendapatkan pengobatan pada tahap awal infeksi sangat mempengaruhi jalan penyakitnya atau prognosisnya, (Spiritia, 2012).

commit to user

45 g. Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)

Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinisnpasien yang membaik setelah terapi, salah satunya infeksi opportunistik tidak terjadi. Ukuran jumlah sel CD4+ menjadi predictor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Jumlah CD4+ yang menurun diasosiasikan sebagai perbaikan yang lambat dalam terapi, meski pada kenyataannya pasien yang memulai terapi pada saat CD4+ rendah, akan menunjukkan perbaikan yang lambat. Namun jumlah CD4+ dibawah 100 sel/mm3 menunjukkan resiko yang signifikan untuk terjadinya penyakit HIV yang progresif. Maka, kegagalan imunologik dikatakan terjadi jika jumlah CD4+ kurang dari angka tersebut.

Selain itu, uji viral load merupakan cara yang informatif dan sensitive untuk mengidentifikasikan kegagalan terapi. Pengobatan dikatakan sukses secara virulogik jika tingkat RNA plasma HIV-1 berada di bawah 400 kopi/ml setelah 6 bulan terapi. Jika gagal, maka dapat dipertimbangkan untuk mengganti regimen atau masuk ke terapi lini kedua. (Syafrizal dalam Zubari, 2006).

h. Farmakokinetika obat ARV

Bila obat ARV diminum obat diserap oleh tubuh dan masuk ke aliran darah melalui beberapa cara yang berbeda, tergantung dengan cara penggunaan obat tersebut :

1) Obat berbentuk pil diserap melalui lapisan perut setelah ditelan, dan mulai aktif dalam beberapa menit, walaupun umumnya kepekatan baru

commit to user

46 mencapai tingkat tertinggi (puncak) dalam darah setelah satu atau dua jam.

2) Obat yang disuntik atau dimasukkan dengan cara infus langsung ke aliran darah bekerja jauh lebih cepat, kadang kala dalam beberapa detik. Namun obat yang dipakai dengan cara apapun akan mencapai tingkat yang tinggi dalam darah, kemudian tingkat akan mulai turun sebagaimana obat diuraikan, umumnya waktu darah disaring oleh hati atau ginjal. Aktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak ini tergantung pada obat, kadang tergantun pada isi perut (beberapa obat diserap lebih cepat atau lebih lambat tergantung pada isinya atau kosongnya perut). Dan jelas, setiap orang berbeda : ada yang menyerap atau menguraikan obat lebih cepat, ada yang lebih lambat.

Obat yang dipakai selalu diserap lebih cepat dari pada tubuh kita dapat menguraikannya. Jadi kepekatan tertinggi tercapai dalam waktu yang relatif singkat, dan kemudian membutuhkan waktu yang lebih lama untuk keluar dari tubuh. Grafik 1 menggambarkan proses tersebut

commit to user

47 Grafik 1 ... (Sumber : Yayasan Spiritia, 2012)

Seperti ditunjukkan pada grafik, ada tingkat minimal keefektifan obat dalam darah. Bila tingkat obat dalam darah di bawah tingkat ini, virus masih dapat bereplikasi, tetapi virus yang resisten terhadap obat yang dipakai lebih mungkin unggul.

Jadi, asal dipakai dosis berikut sebelum tingkat obat dalam darah turun di bawah tingkat minimal itu, virus akan tetap dikendalikan, seperti ditunjukkan pada Grafik 2 dan 3.

commit to user

48 Grafik 3

Namun bila terlambat memakai satu dosis, tingkat obat dalam darah dapat turun di bawah tingkat minimal itu, dan hal ini memberi kesempatan pada virus untuk mulai replikasi lagi. Hal ini ditunjukkan oleh Grafik 4.

Untuk kebanyakan jenis obat dan kebanyakan orang, tingkat obat tidak akan turun di bawah tingkat efektif. Jadi umumnya ada kelonggaran satu atau dua jam. Namun semua jenis obat berbeda, dan jelas semua orang berbeda; ada yang menyerap dan/atau menguraikan obat lebih cepat, ada yang lebih lambat. Jadi

commit to user

49 sebaiknya kita mengurangi risiko dengan menggunakan dosis sesuai dengan jadwal. Kalau lupa memakai satu dosis, risiko jauh lebih tinggi. Grafik 5 menunjukkan dampak dari kehilangan satu dosis. Jelas ada waktu yang lebih lama untuk virus replikasi tanpa dikendalikan oleh obat.

Dampak dari makan

Tingkat obat dalam darah dapat dipengaruhi oleh makan, Beberapa obat lebih mudah diserap bila ada makanan di perut, sementara ada yang lain yang harus dipakai tanpa makan. Contohnya, ddl harus diminum dengan perut kosong, karena obat ini dihancurkan oleh asam yang dibuat oleh lambung saat

Dokumen terkait