• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LINGKUNGAN HIDUP DAN TANGGUNG JAWAB

A. Lingkungan Hidup

1. Konsep Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakuknya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU. No. 23/1997). Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidaklah mengenal batas wilayah baik wilayah negara maupun wilayah administratif, akan tetapi jika lingkungan hidup dikaitkan dengan pengelolaannya maka harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaan tersebut. Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu sistem yang terdiri dari lingkungan sosial (sociosystem), lingkungan buatan (technosystem) dan lingkungan alam (ecosystem) dimana ke tiga sub sistem ini saling berinteraksi (saling mempengaruhi). Ketahanan masing-masing subsistem ini akan meningkatkan kondisi seimbang dan ketahanan lingkungan hidup, dimana kondisi ini akan memberikan jaminan suatu yang berkelanjutan yang tentunya akan memberikan peningkatan kualitas hidup setiap makhluk hidup di dalamnya.

2. Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan nasional, seperti ditetapkan dalam pasal 28H dan 33 UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke-2 menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” serta pasal 33 ayat (4) UUD 1945 Amandemen ke-4 menyatakan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Senada dengan hal itu, pasal 3 UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengemukakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, keberlanjutan, dan manfaat mempunyai tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban menjaga kelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat kepada seluruh masyarakat, melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan menyelaraskan pembangunan ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup secara baik dan harmonis.

Adapun sasaran pembangunan lingkungan hidup di Indonesia adalah:

1. Meningkatnya kualitas air permukaan (sungai, danau dan situ) dan kualitas air tanah disertai pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor;

2. Terkendalinya pencemaran pesisir dan laut melalui pendekatan terpadu antara kebijakan konservasi tanah di wilayah daratan dengan ekosistem pesisir dan laut; 3. Meningkatnya kualitas udara perkotaan;

4. Berkurangnya penggunaan bahan perusak ozon (BPO)

5. Berkembangnya kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global; 6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan; 7. Meningkatnya upaya pengelolaan sampah perkotaan;

8. Meningkatnya sistem pengelolaan dan pelayanan limbah B3 bagi kegiatan – kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan;

9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah – wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami serta bencana – bencana alam lainnya;

10.Tersusunnya aturan pendanaan lingkungan yang inovatif; 11.Meningkatnya diplomasi internasional di bidang lingkungan;

12.Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Kealpaan dalam pengelolan lingkungan hidup yang baik akan berakibat buruk terhadap kelangsungan hidup manusia. Seperti terjadinya polusi udara, pencemaran lingkungan akibat limbah industri dan rumah yang kesemuanya melebihi ambang batas daya tampung alam itu sendiri.

Polusi dan pengelolaan limbah yang buruk membawa dampak negatif yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia:

1. Total kerugian ekonomi dari terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi, diestimasi, secara konservatif, adalah sebesar 2 persen dari PDB (Product

Domestic Bruto) setiap tahunnya.

2. Biaya yang timbul dari polusi udara terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan sekitar 400 juta dollar setiap tahunnya.

3. Biaya yang timbul akibat polusi udara di wilayah Jakarta saja diperkirakan sebanyak 700 juta dollar per tahunnya.

Biaya – biaya ini biasanya lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang berpendapatan rendah karena dua sebab. Pertama, merekalah yang memiliki kemungkinan terbesar terkena dampak dari polusi. Kedua, mereka kurang memiliki kemampuan untuk membiayai pencegahan dan mengatasi dampak polusi itu sendiri. Permasalahan yang akan muncul adalah sebagai berikut :

− Kualitas Air Menurun, Sementara Akses ke Air Bersih dan Sanitasi Sangat Terbatas.

− Kualitas Udara Yang Buruk, Berakibat Pada Meningkatnya Masalah Kesehatan dan Rendahnya Produktivitas.

− Produksi Limbah Padat Terus Meningkat dan Berdampak Terhadap Air dan Kualitas Udara

− Polusi Industri Kian Mengancam

− Masalah – Masalah Tersebut Timbul Karena Lemahnya Kerangka Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

Adapun usaha yang dilakukan dalam rangka menuju pengelolaan lingkungan yang lebih baik adalah sebagai berikut:

− Menjadikan pemberian air bersih dan sanitasi sebagai prioritas investasi;

− Cari dan dukung dan peluang – peluang yang efektif dan berbiaya rendah untuk memperbaiki kualitas udara;

− Membantu pemerintahan daerah mengatasi masalah pengelolaan limbah padat; − Mengurangi dan menghindari polusi industri;

− Mereformasi sistem pengelolaan lingkungan.

3. Tanggung Jawab Hukum Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Pencemaran Kawasan Industri

Pencemaran lingkungan sering diungkapkan dengan pembicaraan atau pemberitaan melalui media massa. Ungkapan tersebut bermacam ragam popularisasinya dikalangan pendengar atau pembaca, antara lain pernyataan yang

menyebutkan: Pencemaran udara oleh gas buang kendaraan bermotor amat terasa dikota-kota besar yang padat lalulintasnya; pencemaran sungai oleh limbah cair industri sangat mengganggu kehidupan di perairan ; limbah pulp (bubur kayu) pabrik kayu mengandung unsur BOD dan COD yang tinggi.; sampah bahan berbahaya beracun mencemari air dan sebagainya.

Didalam bahasa sehari-hari, pencemaran lingkungan dipahami sebagai sesuatu kejadian lingkungan yang tidak diingini, menimbulkan gangguan atau kerusakan lingkungan bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan sampai kematian. Hal – hal yang tidak diinginkan yang dapat disebut pencemaran, misalnya udara berbau tidak sedap,air berwarna keruh, tanah ditimbuni sampah. Hal tersebut dapat berkembang dari sekedar tidak diingini menjadi gangguan. Udara yang tercemar baik oleh debu, gas maupun unsur kimia lainnya dapat menyakitkan saluran pernafasan, mata menjadi pedas atau merah dan berair. Bila zat pencemar tersebut mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), kemungkinan dapat berakibat fatal.

Hal yang sama dapat terjadi pada air. Air yang tercemar dapat menimbulkan gangguan gatal pada kulit, atau sakit saluran pencernaan bila terminum dan dapat berakibat lebih jauh bila ternyata mengandung B3. Demikian pula halnya dengan tanah yang tercemar, yang pada gilirannya dapat mengotori sumber air didekatnya.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah: masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam

lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Karena limbah dibuang ke lingkungan, maka masalah yang ditimbulkannya merata dan menyebar di lingkungan yang luas. Limbah gas terbawa angin dari satu tempat ke tempat lainnya. Limbah cair atau padat yang dibuang ke sungai, dihanyutkan dari hulu sampai jauh ke hilir, melampaui batas-batas wilayah akhirnya bermuara dilaut atau danau, seolah-olah laut atau danau menjadi tong sampah. Limbah bermasalah antara lain berasal dari kegiatan pemukiman, industri, pertanian, pertambangan dan rekreasi.

Limbah pemukiman selain berupa limbah padat yaitu sampah rumah tangga, juga berupa tinja dan limbah cair yang semuanya dapat mencemari lingkungan perairan. Air yang tercemar akan menjadi sumber penyakit menular.

Limbah industri baik berupa gas, cair maupun padat umumnya termasuk kategori atau dengan sifat limbah B3.

Kegiatan industri disamping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, ternyata juga menghasilkan limbah sebagai pencemar lingkungan perairan, tanah, dan udara. Limbah cair, yang dibuang ke perairan akan mengotori air yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan mengganggu kehidupan biota air. Limbah padat akan mencemari tanah dan sumber air tanah.

Limbah gas yang dibuang ke udara pada umumnya mengandung senyawa kimia berupa SOx, NOx, CO, dan gas-gas lain yang tidak diinginkan. Adanya SO2 dan NOx di udara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat menimbulkan kerugian karena merusak bangunan, ekosistem perairan, lahan pertanian dan hutan.

Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia. Limbah dari industri kima pada umumnya mengandung berbagai macam unsur logam berat yang mempunyai sifat akumulatif dan beracun (toxic) sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia.

Limbah pertanian yang paling utama ialah pestisida dan pupuk. Walau pestisida digunakan untuk membunuh hama, ternyata karena pemakaiannya yang tidak sesuai dengan peraturan keselamatan kerja, pestisida menjadi biosida pembunuh kehidupan. Pestisida yang berlebihan pemakaiannya, akhirnya mengkontaminasi sayuran dan buah – buahan yang dapat menyebabkan keracunan konsumennya. Pupuk sering dipakai berlebihan, sisanya bila sampai diperairan dapat merangsang pertumbuhan gulma penyebab timbulnya eutrofikasi. Pemakaian herbisida untuk mengatasi eutrofikasi menjadi penyebab terkontaminasinya ikan, udang dan biota air lainnya.

Pertambangan memerlukan proses lanjutan pengolahan hasil tambang menjadi bahan yang diinginkan. Misalnya proses dipertambangan emas, memerlukan bahan

air raksa atau mercury akan menghasilakan limbah logam berat cair penyebab keracunan syaraf dan merupakan bahan teratogenik.

Kegiatan sektor pariwisata menimbulkan limbah melalui sarana transportasi, dengan limbah gas buang di udara, tumpahan minyak dan oli dilaut sebagai limbah perahu atau kapal motor dikawasan wisata bahari.

Karena limbah industri pada umumnya bersifat sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3), maka substansi atau zat beracun di lingkungan yang sangat menjadi perhatian ialah yang bersumber pada kegiatan manusia yang dibuang ke lingkungan sebagai limbah.

Pasal 14 ayat (2) UUPLH menyatakan bahwa disamping ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup, ketentuaan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 17 UULH menyatakan mengenai pencegahan serta penanggulangan pencemaran:

“ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh dan atau secara sektoral ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan “.

Penjelasannya berbunyi :

“ketentuan sebagai mana tersebut dalam pasal ini memuat upaya penegakan hukumnya”

Dalam rangka penanggulangan, pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah yang usahanya dipekirakan telah merusak atau mencemari lingkungan.

Pada umumya, tanggapan industri terhadap ketentuan stándar tersebut adalah untuk menerapkan teknologi yang disebut end-of-pipe technology (tekhnologi akhir pipa) pada proses produksi yang ada untuk menangkap bahan pencemar atau polutan sampai batas yang diizinkan. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa teknologi

end-of-pipe yang ditambahkan pada akhir proses produksi adalah untuk mengelola polutan setelah polutan tidak ada.

Dengan diidentifikasikannya berbagai masalah lingkungan, pemerintah menetapkan peraturan untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapi, biasanya karana dampak negatifnya terhadap lingkungan serta dapat dilihat, seperti terjadinya kabut bercampur asap, danau dan sungai yang memburuk, spesies dan ruangan yang dibahayakan punah. Taktik dan tujuan dari berbagai peraturan ini jarang konsisten dan terkordinasikan, meskipun polutan yang dikendalikan adalah sama. Ditambah pula, struktur administratif pemerintahan yang diadakan untuk menerapkan berbagai peraturan tersebut terkordinasikan dan bersifat relatif.

Meskipun sering diperdebatkan, pendekatan tersebut diatas memberikan hasil yang positif. Akan tetapi, berdasarkan berbagai alasan pendekatan end-of-pipe yang bersifat relatif itu terhadap perlindungan lingkungan bagi masa yang akan datang tidaklah akan demikian berhasilnya dengan dimasa yang lalu.

Alasan pertama adalah fokus pemahaman dan kepedulian telah beralih secara dramatis dari masalah lingkungan yang nampak dengan kasat mata dan jelas ke kegiatan yang jauh lebih komplek dan mengandung resiko potensial untuk lebih merusak lingkungan. Kepedulian tentang hilangnya nilai pasilatas yang diakibatkan oleh asap hitam diganti dengan kekhawatiran akan kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh konsentrasi –konsentrasi kecil dari bahan-bahan kimia tertentu yang hanya dapat dideteksi dengan peralatan yang sangat canggih. Masalah lokal yang dfitimbulakn oleh sebuah pabrik ini memperoleh dimensi nasional dan internasional.

Alasan kedua adalah biaya yamg berkaitan dengan peningkatan perlindungan telah bertambah secara eksponensial. Karana pengendalian yang jelas beserta pembiayaanya telah diterapkan pada masalah lingkungan yang jelas pula, maka jumlah biaaya yang perlu disediakan untuk mengatur risiko lingkungan yang lebih kompleks dari pada masalah lingkungaan yang jelas tadi akan sangat meningkat. Alasan ketiga adalah bahwa non-poin sources pollution, termasuk didalamnya pupuk, pestisida, mobil, AC, lemari es, tidaklah dengan mudah dikaitkan dengan pemecahan melalui end-of-pipe.

Alasan keempat adalah adanya peningkatan kesadaran bahwa penanggulangan melalui end-of-pipe yang dibuat untuk mengolah sebuah polutan dalam salah satu medium lingkungan dapat mengaakibatkan kontaminasi dari medium lainnya. Masalah tidak terpecahkan pencemaran hanyalah beralih kemedium lainya.

Alasan terakhir adalah adanya apreasi yang makin meningkat, bahwa upaya untuk menanggulangi pencemaran setelah terjadinya dari sudut sosial kurang begitu diinginkan dibanding dengan pencegahan terjadinya pencemaran.

Konsep pencegahan penceamaran dapat digambarkan sebagai penggunaan proses, praktek, bahan dan energi guna menghindarkan atau mengurangi timbulnya pencemaran dan limbah. Pencegahan dan pencemaran secara fundamental mengalihkan fokus perlindungan lingkungan dari penanggulangan melalui end- of-pipe yang reaktip dengan pengolahan pencemaran setelah terjadinya pencemaran ke pemikiran front-of-process yang prepentip dengan menekankan bahwa pencemaran seharusnya tidak boleh terjadi.

Pada umumnya, kalangan industri bersikeras dengan pendapatnya bahwa definisi pencegahan pencemaran harus meliputi kegiatan yang memajukan on-site

closed-loop and out- of-loop recycling, reuse and reclamation maupun off-side recycling, reuse and reclamation. Argumentasi yang diajukannya adalah bahwa

apabila kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan risiko minimal (yang masih dapat diterima) bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan, kegiatan-kegiatan tersebut mengurangi pembuangan polutan dan memberikan manfaat netto ekonomi yang signifikan bagi industri dan masyarakat. Sebuah bahan kimiawi yang merupakan produk sampingan yang tidak diinginkan dalam proses aslinya seyogyanya tidak dipandang sebagai polutan, apbila sebagai bahan skunder ia mempunyai nilai sebagai bahan baku bagi proses reuse, recycle, and reclamation.

Para anggota lingkungan dan pekerja sependapat bahwa inprocess recyling

and re-use (on-site closed-loop recyling) adalah kegiatan pencegahan pencemaran

karena bahan kimiawi bergerak hanya di dalam proses produksi khusus dan tidak akan muncul sebagai limbah. Akan tetapi, mereka berargumentasi bahwa

out-of-process recycling tidak boleh dipandang sebagai kegiatan pencegahan pencemaran.

Penggunaan kembali bahan atau produk sampingan nya oleh proses manufacturing terpisah (meskipun di pabrik yang sama) atau melalui sebuah fasilitas di luar (off-site

facility) tidak dapat diterima sebagai pencegahan pencemaran. Alasannya adalah

bahwa pencemaran/limbah telah terjadi (meskipun bahan atau produk sampingan kemudian digunakan kembali sebagai bahan baku yang berharga) dan risikonya untuk pekerja, konsumen dalam masyarakat dan lingkungan bertambah karena kebutuhan untuk out-of-process handling, storage, transportation, and reuse. Anggota-anggota ini menekan bahwa recycling dan reuse adalah pilihan-pilihan pngelolaan limbah yang bagus yang perlu digalakkan di mana dimungkinkan. Akan tetapi, dalam pandangan mereka, pilihan-pilihan ini hanyalah boleh diambil apabila kegiatan pencegahan pencemaran lainnya tidak dimungkinkan.

Sehubungan dengan masalah pencemaran oleh industri, perlu diperhatikan 2 hal, yaitu :

a. pencemaran lingkungan kerja/ruang kerja;

b. pencemaran lingkungan pabrik/kawasan industri dan pencemaran pada daerah sekitarnya.

Mengenai lingkungan kerja/ruang kerja dikaitkan dengan tenaga kerja atau pengusaha yang ada di tempat tersebut, yang akan menghirup udara yang tercemar yang biasanya disebabkan oleh bahan-bahan bakar yang digunakan, proses pengolahan, mesin-mesin yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Sebagai dasar dipakai pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. bahwa setiap tenega kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatanya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktifitas nasional;

b. bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin keselamatannya;

c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan diperguanakan secara aman efisien.

Pencemaran yang menyebabkan kondisi yang tidak menghiraukan kenikmatan kerja dan kesehatan karyawan menurunkan efisiensi kerja dan produktivitas karyawan. Pada kondisi demikian pengusaha akan menanggung akibat oleh karena angka sakit yang tinggi, angka kecelakaan, absenteisme dan lain-lain.

Langkah-langkah pencegahan pencemaran lingkungan kerja/ ruang kerja perlu dilakukan seperti:

b. Perbaikan teknik pada instalasi atau gudang guna mengurangi kondisi lingkungan kerja (engineering control) sepertinya misalnya perbaikan ventilasi, exhauster, membuang debu/gas berbahaya, baik langsung keluar gedung ataupun melalui cerobong asap dan lain-lain.

Pada umumnya, usaha pencegahan pencemaran industri dapat berupa:

a. Peningkatan kesadaran lingkungan diantara karyawan dan pengusaha khususnya, masyarakat umumya,tentang akibat-akibat buruk suatu pencemaran;

b. Pembentukan organisasi penanggulangan pencemaran untuk antara lain mengadakan monitoring berkala guna mengumpulakn data selengkap mungkin yang dapat dijadikan dasar menentukan kriteria tentang kualitas udara, air, dan sebagainya:

c. Penanganan atau penerapan kriteria tentang kualitas tersebut dalam peraturan perundang-undangan:

d. Penentuan daerah industri yang terencana dengan baik, dikaitkan dengan planologi kota, pedesaan,dengan memperhitungkan berbagai segi penentuan daerah industri ini mempermudah usaha pencegahan dengan perlengkapan instalasi pembuangan, baik melaluio air maupun udara;

e. Penyempurnaan alat produksi melaluai kemajuan teknologi, diantaranya melalui modipikasi alat produksi sedemikian rupa sehingga bahan-bahan pencemaran yang bersumber pada proses produksi dapat dihilangkan, setidak-tidaknya dapat

dikurangi. Pencemaran dapat dicegah dengan pasangan dengan alat-alat khusus pre-treatment12.

Sebagaimana telah dikemukan diatas pada butir (3) tentang ”kewajiban pengusaha”, dibidang prindustrian telah dikeluarkan ”ketentuan-ketentuan pokok perizinan usaha industri dan tata cara pelaksanaannya dalam lingkungan departemen perindustrian”, dimana didalam pasal 14 dengan tegas dinyatakan kewajiban pengusaha untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap tata lingkungan hidup

Mengingat kemampuan pengusaha didalam mencegah terjadinya pencemaran tersebut masih terbatas, maka pelaksanaan ketentuan teknologi yang digunakan untuk mengendalikan limbah industri (control technology) haruslah dilakukan secara bertahap.

Dokumen terkait