• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Bedingin

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Bedingin

Lokasi penelitian tentang Peran Masyarakat Terhadap Kesenian Tayub di Desa Bedingin Kecamatan Todanan Kabupaten Blora.Desa ini merupakan salah satu desa terluas dari 25 desa yang berada di Kecamatan Todanan.Desa Bedingin memiliki 24 RT dan 3 RT mempunyai batasan-batasan desa yaitu, sebelah utara Desa Ledok, sebelah barat Desa Candi, sebelah selatan Desa Kembang, sebelah timur Desa Gaplokan

Secara geografis Desa Bedingin terletak jauh dari keramaian kota dan berada ditengah-tengah hamparan hutan dan sawah sekitar 10 km dari pusat kecamatan dan 40 km dari pusat Ibu Kota Kabupaten Blora. Luas wilayah Desa Bedingin 7.125,4 Ha, sebagian besar wilayahnya hutan dan sawah.Desa Bedingin Kecamatan Todanan Kabupaten Blora memiliki jumlah penduduk 4.863 jiwa.

Jalur untuk sampai ke Desa Bedingin melewati jalur selatan yaitu Semarang, Demak, Purwodadi, Blora. Sebelum sampai Kota Blora terdapat pertigaan Desa Gagaan yang terletak diperbatasan Kota Blora dengan Purwodadi, mengambil arah kekiri untuk sampai ke Kecamatan Todanan, sesampai kapolsek Todanan terdapat perempatan belok kanan dari kapolsek mengambil arah Puncakwangi Pati sekitar 5 km dari kapolsek terdapat pertigaan Desa Sumurwatu ambil kanan untuk menempuh 10 km sampai ke Desa Bedingin, karena medan jalannya rusak dan naik turun gunung.

Warga Desa Bedingin mayoritas masyarakatnya beraktifitas setiap hari kesawah dengan menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki. Masyarakat yang lebih memilih jalan kaki dianggap menyehatkan, karena termasuk berolahraga. Untuk masyarakat yang pekerjaannya diluar kawasan Desa Bedingin harus menggunakan kendaraan pribadi atau dengan menggunakan angkutan umum karena kawasan Desa Bedingin dengan pusat kota terlampau jauh. Wawancara dengan Perangkat Desa Bedingin (carik), Oktober 2015.

1.1.2.1 Jumlah Penduduk

Tabel 1 : Jumlah penduduk Desa Bedingin menurut umur dan jenis kelamin

No. Golongan Usia

Klarifikasi

Jumlah Laki-Laki Perempuan

1. 0-15 738 Jiwa 754 Jiwa 2. 16-55 882 Jiwa 890 Jiwa 3. 55 Keatas 775 Jiwa 769 Jiwa

Jumlah 2.395 Jiwa 2.413 Jiwa 4.808 Jiwa (Sumber : Data Monografi Desa Bedingin 2015).

Komposisi penduduk pada tabel 1 bisa dilihat bahwa sebagian besar masyarakat Desa Bedingin mempunyai persentase jumlah penduduk tertinggi pada kelompok usia 16-55 tahun, yaitu sebanyak 1.772 jiwa. Untuk persentase jumlah penduduk terendah pada kelompok usia 0-15 tahun, yaitu sebanyak 1.492 orang. Persentase jumlah penduduk apabila dikaitkan dengan minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertunjukan Tayub di Desa Bedingin lebih banyak pada kelompok usia dewasa dan usia lanjut. Masyarakat dari lain desa juga ikut bergabung dalam pertunjukan Tayub yang diadakan di Desa Bedingin.

Penduduk Desa Bedingin pada umumnya memperoleh penghasilan dari pertanian, karena didukung kondisi tanah yang subur, irigasi yang memadai dan iklim yang cocok. Masyarakat Desa Bedingin berdasarkan monografi Desa Bedingin periode 2013 menunjukkan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Masyarakat Desa Bedingin ada yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, pedagang, wiraswasta, buruh pabrik, buruh bangunan, buruh tani dan jasa. Wawancara dengan Kepala Desa Bedingin ditempat.

Foto 1: Wawancara Dengan Kepala Desa (Dokumentasi: Ayu, November 2015)

Kelompok tani tersebut ada yang mengerjakan sawah tanahnya sendiri, ada juga sebagian buruh tani yang mengerjakan sawah orang lain dengan sistem bagi hasil ataupun menyawa sawah. Masyarakat Desa Bedingin sebagian bekerja sebagai petani sawah maupun ladang yang menghasilkan sayur-sayuran, padi serta palawija. Adapun hasil dari pertanian dijual kepasar, kebeberapa daerah dan sebagian untuk kebutuhan sehari-hari. Adapun data mata pencaharian Desa Bedingin sebagai berikut.

4.1.3 Mata Pencaharian

Tabel 2 : Penduduk Desa Bedingin berdasarkan mata pencaharian

No. Jenis Pekerjaan Jumlah

1. Karyawan (PNS/TNI/POLRI) 25 Jiwa 2. Tani 1.235 Jiwa 3. Buruh Tani 45 Jiwa 4. Tukang 51 Jiwa 5. Batu 65 Jiwa 6. Penjahit 5 Jiwa 7. Pensiun 7 Jiwa 8. Perangkat 8 Jiwa 9. Pengrajin 3 Jiwa 10. Industri 7 Jiwa 11. Peternak 1.415 Jiwa 12. Pedagang 56 Jiwa 13. Lain-Lain 1.213 Jiwa (Sumber : Data Monografi Desa Bedingin Tahun 2015)

Data yang diperoleh dari tabel 2 dapat dilihat dominanya pekerjaan sebagai petani. Pemerintah Desa Bedingin juga melakukan klarifikasi antara tani dan buruh tani. Bila dilihat secara sekilas nampak ada kesamaan, bahwa sama-sama sebagai petani, perbedaanya tani memiliki tanah atau sawah sendiri dan ada kalanya mengelola sendiri, sedangkan buruh tani adalah petani yang tidak memiliki tanah atau sawah sendiri dan mengelola sawah pemilik tanah (tani).

Desa Bedingin merupakan desa yang berdiri dipegunungan diantara hutan dan hamparan ladang, masyarakat Bedingin memenuhi kebutuhan pokok dengan bertani industri kecil (pengrajin), sebagai buruh, karyawan, Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi dan beternak. Berikut jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan dan mata pencaharian.

Tabel 3 : Jumlah penduduk menurut mata pencaharian.

No. Mata Pencaharian Jumlah Penduduk

1. Petani 1.235 Jiwa 2. Pengrajin 3 Jiwa 3. Buruh 45 Jiwa 4. Pedagang 56 Jiwa

5. PNS 15 Jiwa

6. Anggota TNI 10 Jiwa 7. Pensiun 7 Jiwa 8. Peternak (4 Kelompok) 1. Sapi 657 Jiwa 2. Kambing 237 Jiwa 3. Ayam 353 Jiwa 4. Bebek 168 Jiwa (Sumber data monografi Desa Bedingin Tahun 2015)

4.1.4 Pendidikan

Kehidupan masyarakat Desa Bedingin sudah banyak dipengaruhi sistem pendidikan dan teknologi. Sistem pendidikan yang semakin berkembang telah menyadarkan pada pola pikir masyarakat bahwa betapa pentingnya arti pendidikan bagi anak-anak dengan demikian masyarakat Desa Bedingin tidak jauh berbeda dari masyarakat desa yang lebih maju. Secara lebih rinci berikut ini adalah tabel tingkat pendidikan penduduk Desa Bedingin.

Tabel 4 : Jumlah penduduk Desa Bedingin menurut pendidikan.

No. Tingkat Jumlah

1. Tamat SD 3.808 Jiwa 2. Tamat SMP 394 Jiwa 3. Tamat SMA/SMEA/STM 200 Jiwa 4. Tamat Perguruan Tinggi 53 Jiwa 5. Tidak Sekolah 0 Jiwa (Sumber : Data Monografi Desa Bedingin, Tahun 2015)

Tabel 4 di atas adalah data penduduk dengan status pendidikan yang berada di Desa Bedingin. Jumlah paling banyak tamatan SD yaitu dengan jumlah 3.808 jiwa, kemudian urutan kedua adalah tamatan SMP dan berikutnya SMA. Pendidikan yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi umumnya mengikuti kursus-kursus ketrampilan antara lain, perbengkelan, pertukangan, menjahit, komputer, dan bordir. Memiliki modal ketrampilan tersebut banyak penduduk yang membuka usaha pekerjaan sebagai wirausaha.

Kondisi tersebut dapat dilihat dari pelaku kesenian Tayub yang produktif dalam kesenian dapat disimpulan bahwa jika dikaitkan dengan usia dan tingkat pendidikan rata-rata dari tamatan SD dan SMP usia remaja ikut serta mempelajari kebudayaan menjadi pengrawit atau menjadi ledhek, hal ini menunjukan bahwa masyarakat ikut berpartisipasi menjadi seniman selain bertani, karena dapat dikatakan sebagai pekerjaan sampingan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kacung Saputro (40 tahun) selaku wirosuworo pada Oktober 2015 menjelaskan sebagai berikut:

Menjadi seorang seniman itu menurut saya adalah hobi. Dimana ada rasa kesenangan tersendiri dalam jiwa saya, dibandingkan sekolah yang belum tentu nanti akan bekerja apa, mikir mengejar rumus, teori dan sebagainya. Pikiran saya tidak sampai kalau mikir sekolah mbak. Selain itu juga saya terjun menjadi seniman menghasilkan uang, kalausekolah membuang uang. Tapi kalau untuk anak saya nanti tergantung memilih sekolah lagi atau bekerja, saya memberi kebebasan.

Foto 2 : Wawancara Dengan Bapak Kacung (wirosuworo) (Dokumentasi : Ayu, Oktober 2015)

Wawancara dengan Ibu Purwaningsih (ledhek) pada Oktober 2015 dilokasi pertunjukukan Todanan

Menurut saya berkesenian itu dapat dipelajari diusia remaja, contohnya diusia belasan tahun. Soalnya belajar menjadi joged itu membutuhkan waktu yang sangat lama, ada yang sudah 15 tahun menjadi joged tapi masih belum bisa menyanyi Jawa, hanya menang di perawakan yang memadai. Belajar njoged kalau sudah menginjak usia 28 tahun ke atas sudah tidak laku lagi dipasaran atau sudah terlalu tua untuk belajar njoged. Saya belajar njoged waktu usia saya 14 tahun hingga saat ini, tapi anak-anak saya kalau bisa saya lebih tekankan lagi ke perguruan yang lebih tinggi selama saya masih mampu membiayai anak-anak saya, karena saya tidak mau anak-anak saya mengikuti langkah saya yang kurang berpendidikan.

Foto 3 : Wawancara Dengan Ibu Purwaningsih (joged) 41 tahun. (Dokumentasi : Ayu, Oktober 2015)

Wawancara dengan Bapak supandri pengibing pada Oktober 2015 di arena pertunjukan.

Nanggap Tayub iku nek jogete gak ayu, pinter nyanyi, semok do wegah nanggap mbak, soale wong kene ki hobine do Tayuban roto-roto. Tapi nek cah nom-nom yo sitik sing melu ngibing, paling teko do nonton karo do tuku ngume mabuk, masale nek ono tanggapan Tayuban iku ditututi bakul minuman, sing diiderno ning wong sing do ameh tayuban. Dicawisi sisan diilingno ning gelas. Cah nom noman kene ki sing gak seneng Tayub paling yo sing sekolah ngasi SMA, nanging yo ono sing latian dadi panjak iku biasane sing lulusan SD SMP.

“Mengadakan pertunjukan Tayub itu kalau penarinya tidak cantik, bisa menyanyi dan mempunyai tubuh yang padat berisi maka masyarakat tidak tertarik untuk mengadakan pertunjukan Tayub. Sebab masyarakat sekitar sini rata-rata gemar Tayuban. Tapi kalau pemuda hanya sedikit yang suka Tayuban, mungkin datang untuk sebagai penonton atau hanya untuk membeli minuman keras diarena pertunjukan. Sebab diarena pertunjukan disediakan minuman keras dan disuguhkan oleh penjualnya. Pemuda yang tidak menyukai Tayub biasanya yang sekolah sampai tingkat atas, tapi ada juga yang ikut latihan menjadi pengiring biasanya yang putus sekolah perguruan tinggi seperti sekolah dasar atau sekolah menegah pertama saja”.

Foto 4 : Wawancara Dengan Bapak Supandri (pengibing) (Dokumentasi : Ayu, Oktober 2015)

Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa berkesenian dan pendidikan sama-sama penting di dalam masyarakat Bedingin. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan masyarakat dan pemain seniman khususnya Tayub. Menjadi ledhek memang harus dituntut berusia belasan, jika menginjak usia dewasa ditakutkan kesenian Tayub akan punah, karena dalam pertunjukan Tayub lebih mengutamakan ledhek sebagai salah satu daya tarik yang diminati masyarakat untuk mengadakan pertunjukan Tayub. Maka dari itu kesenian Tayub di Desa Bedingin masih berkembang hingga saat ini, karena adanya generasi penerus yang dilakukan oleh para remaja.

4.1.5 Sejarah Tayub di Desa Bedingin

Sejarah Tayub di Desa Bedingin dilihat dari kondisi alam yang sebagian besar penduduknya adalah bermata pencaharian sebagai petani dan masyarakat percaya dengan adanya kesenian Tayub sebagai kesuburan tanah petani. Maka dari itu Tayub berkembang ke pelosok pedesaan hingga sampai di Desa Bedingin.

Adapun beberapa pendapat awal terkait kemunculan kesenian Tayub, berdasarkan wawancara dengan Ibu Purwaningsih pada Oktober 2015 selaku joged dalam pertunjukan Tayub menjelaskan bahwa:

Sejarah Desa Bedingin belum ada sejarahnya yang jelas. Tapi Tayub sudah ada pada masa Sunan Kalijaga yang mengadakan Pertunjukan Tayub di Demak sebagai tanda tasyakuran atas berdirinya Masjid yang telah didirikan oleh Sunan Kalijaga, karena menurut sejarah dari Masjid yang didirikan oleh Sunan Kalijaga kurang satu tiang penyanggah, pada akhirnya tiang tersebut dibuat dari kayu batangan yang ditumpuk hingga menyerupai ke 3 tiang yang sudah ada menjadi tiang kokoh. Hingga Sunan Kalijaga mempunyai nazar

apabila masjid berdiri tegak dengan tiang yang terbuat dari batangan kayu tersebut maka Sunan Kalijaga akan mengadakan Toyibun sebagai rasa syukur atas berdirinya Masjid di Demak. Seiring dengan perkembangan zaman dalam masyarakat luas menyebut Toyibun dengan Tayuban. Adapula yang menjelaskan bahwa Tayub datang dari masa penjajahan yang awalnya kesenian Tayub diadakan untuk mengelabui para penjajah agar terlena dengan rayuan joged dengan disuguhi minuman keras bertujuan supaya penjajah lengah dan dapat dikalahkan.

Sri Rochana menjelaskan dalam bukunya dengan judul Tayub Blora Jawa Tengah Pertunjukan Ritual Kerakyatan (2007) bahwa, Asal mula kesenian Tayub muncul di Kabupaten Blora dari sejarah yang dapat dipakai sebagai sumber untuk mengetahui latar belakang kesenian Tayub belum kuat. Sebab pada umumnya kehidupan kesenian tradisional seperti Tayub hanya dilaksanakan secara turun temurun. Tidak ada data-data secara tertulis oleh sebagian masyarakat diakui bahwa kesenian Tayub lahir ada kaitanya dengan masa peperangan yang dilakuan oleh Raden Mas Said (Mangkunegara 1) pada awal abad ke-18. Pada masa peperangan itu Raden Mas Said sampai ke wilayah Blora. Tayub sering dipergelarkan di sela-sela peperangan yang dilakukan untuk menghibur prajurit dan sekaligus menumbuhkan semangat untuk berperang bagi para prajurit.

Penyebaran kebeberapa desa ini terjadi karena adanya kebiasaan mengamen (mbarang) dari rumah satu kerumah yang lain dari desa satu ke desa yang lain. Mereka berkeliling desa dengan cara menawarkan jasa kepada penduduk desa yang akan menanggap atau keliling desa dengan cara memasuki rumah satu kerumah yang lain. Tradisi mengamen itu memudahkan

perkembangan dan penyebaran Tayub, sehingga hampir disetiap desa memiliki pendukung Tayub.

Kesenian Tayub di Desa Bedingin termasuk primadona yang masih digemari serta sering dipertunjukan, Tayub mampu mempromosikan dengan cara mengembangkan iringan bervariasi yang lebih menarik perhatian masyarakat dan juga didukung oleh seniman pelaku. Dengan adanya masyarakat yang ikut membantu mengembangkan kesenian Tayub dihati penggemarnya, maka Tayub tidak akan punah dan akan terus berkembang.Tayub mampu berkembang keberbagai daerah sekitar Blora dan memiliki penggemar-penggemar yang sangat fanatik. Wawancara dengan Bapak Kacung Saputra wirosuworo Oktober 2015.

Kesimpulan dari paparan di atas bahwa kesenian Tayub yang berada di Desa Bedingin belum ada kepastian tentang sejarah kemunculan Tayub yang sebenarnya. Hanya saja Tayub mampu berkembang sampai ke wilayah Kota Blora dan sekitarnya karena adanya kebiasaan ngamen dari rumah satu ke rumah yang lainya. Tayub mempunyai penggemar yang sangat fanatik karena Tayub mampu mengembangkan iringan yang bervariasi.

4.2 Bentuk Pertunjukan

4.2.1 Deskripsi pertunjukan Tayub Desa Bedingin Kecamatan Todanan Kabupaten Blora.

Tayub merupakan kesenian tradisional yang kian ditinggalkan oleh anak-anak muda, dengan masuknya modern dan alat-alat musik modern ke tanah air kesenian asli produk Jawa ini semakin ditinggalkan. Kesenian Tayub ini juga sempat menjadi dakwah para Wali/Da’i zaman dulu, hingga sampai saat ini masih

dilestarikan oleh masyarakat sebagai hiburan atau sebagai tanda rasa syukur. Bentuk pertunjukan Tayub di Desa Bedingin Kecamatan Todanan Kabupaten Blora dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap awal pembukaan, inti dan penutup. 4.2.1.1 Pembukaan

Pertunjukan Tayub berlangsung siang hari pada pukul 14.00 WIB berakhir pada pukul 17.00 WIB dan Tayub berlangsung pada malam hari pada pukul 21.00 WIB dan berakhir pada pukul 02.00 WIB. Pertunjukan Tayub dimulai dengan klenengan awal untuk mengundang masyarakat untuk berdatangan dan menyaksikan pertunjukan Tayub. Klenegan yaitu pengiring menabuh gamelan dengan nyanyian Jawa yang dinyanyikan oleh wirosuworo, klenengan dilakukan berulangkali bertujuan utuk mengingatkan para joged agar segera bersiap untuk naik ke atas panggung. Sebelum joged naik keatas panggung, pengrawit dan wirosuworo melakukan kondangan atau syukuran makan bersama yang telah didoakan bersama-sama, dengan makanan yang berupa nasi tumpeng dan ayam ingkung (ayam sesaji) beserta sayuran.

Klenengan kedua dilakukan setelah kondangan selesai pengiring membawakan gendhing seperti bowo pangkur, sinom dan caping gunung yang dinyanyikan oleh wirosuworo bertujuan mengumpulkan masyarakat untuk dapat ikut menikmati dan menyaksikan pertunjukan Tayub. Klenengan merupakan iringan gendhing yang dilantunkan oleh para pengrawit. Pertunjukan dimulai dengan joged membawakan lagu satu atau dua lagu untuk menandakan bahwa Tayub akan segera dimulai dan dilanjutkan dengan gambyongan.

Menari gambyong dalam pertunjukan Tayub di Desa Bedingin menggunakan gambyong pareanom. Pada gambyongan berlangsung tidak semua joged ikut menari bersama, biasanya salah satu joged tertua duduk dan menyanyi atau menjadi sinden di belakang penari mengiringi tari gambyong.

Gambyong pembuka acara pertama pengarih menunjuk seseorang yang punya hajad beserta kerabat atau saudara untuk membuka acara dengan menari bersama joged, bermaksud bahwa pertunjukan Tayub telah dimulai dan dibuka untuk tamu undangan atau masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam pertunjukan Tayub, yang disajikan untuk masyarakat banyak agar dapat dinikmati bersama karena Tayub merupakan tarian kerakyatan.

Sebuah pertunjukan Tayub terdapat peraturan apabila tamu undangan ingin menjadi penari laki-laki mereka harus mendaftar terlebih dahulu kepada orang yang bertugas mencatat daftar calon pengibing yang disebut pengarih kemudian catatan tersebut diserahkan kepada pranatacara untuk dipanggildan menari bersama joged.

Foto 5 : Penari Gambyong dan Sinden (Dokumentasi : Ayu, Oktober 2015)

Keterangan :

Keterangan dalam foto 5 menunjukan joged sedang menari gambyong, tampak seorang sinden yang duduk di belakang para joged yang sedang menyanyikan sebuah lagu Jawa, namun sinden tersebut tidak menggunakan kostum seperti joged lain, dikarenakan sinden sudah tidak lagi berprofesi menjadi joged, beliau bernama Sutinah dari Pati berusia 48. Sutinah berpartisipasi menjadi sinden karena yang punya hajat termasuk masih kerabatnya sendiri.

4.2.1.2 Inti

Pelaksanaan dalam Tayuban, joged bertugas untuk menari dan bernyanyi Jawa. Gerak yang digunakan spontanitas gerak Tayub lebih mengarah menyerupai gerak tari surakarta putri. Orang yang pertama menari bersama joged biasanya orang yang punya hajat atau orang-orang yang mempunyai status sosial atas seperti perangkat desa setelah itu baru disusul oleh para pengibing yang diperankan oleh masyarakat lainya yang sudah mendaftar kepada pengarih tentunya.

Teknis dalam Tayuban dengan cara 1 penari perempuan (joged) dengan 2 penari laki-laki (pengibing) yang menari di depan dan di belakang joged. contoh 5 joged 10 penari laki-laki yang 5 menjadi pambekso menari di depan joged menggunakan sampur dan 5 sebagai pangguyup yang menari di belakang joged tidak menggunakan sampur. Setelah menari bersama mendapat satu rambahan gendhing, pengibing (pambekso dan pangguyub) berpindah tempat memutar kekanan setengah lingkaran 180 derajat searah jarum jam. Sedangkan para joged

hanya mengubah arah hadapnya ke belakang saja sehingga tetap berhadapan dengan pambekso dan tidak menghadap pangguyup.

Pada sajian kedua sampur pambekso dikembalikan kepada joged, selanjutnya dari joged memberikan sampur tersebut kepada pangguyup sehingga pangguyup menjadi pambekso dan pambekso menjadi pangguyub. Pertukaran dalam Tayuban sudah menjadi tradisi zaman dahulu dimaksutkan agar pengibing tidak saling berebut untuk menari bersama joged.

Setelah sajian dalam sesi pertama dan kedua, maka dilanjutkan dengan pranatacara memanggil lagi calon-calon pengibing yang sudah mendaftar untuk selanjutnya naik keatas panggung menari bersama joged, setelah pambekso dan pangguyup sudah siap, maka pengibing dipersilahkan untuk meminta gendhing kepada joged dan pengrawit dan selanjutnya persiapanpun dimulai Tayuban pertunjukan ini berkelanjutan hingga berakhirnya acara Tayuban.

Gendhing-gendhing atau tembang yang dibawakan joged dalam pertunjukan Tayub ada perkembangan zaman sekarang ini mulai mengikuti permintaan pasar, dalam artian lagu-lagu atau gendhing tembang Jawa merebah ke lagu campursari kreasi dan dangdut dilakukan agar masyarakat tidak merasa bosan pada kesenian Tayub yang terkesan monoton.

4.2.1.3 Penutup

Pada bagian penutup dalam acara pertunjukan Tayub biasanya berhubungan dengan waktu yang sudah tidak memungkinkan pertunjukan berlangsung lagi, pengarih mengumumkan pertunjukan akan segera berakhir

sebelum gendhing terakhir dilantunkan. Gendhing yang disajikan terakhir tersebut menggunakan gendhing langgam pamitan.

Dapat ditarik kesimpulan keberlangsungan pertunjukan Tayub melalui tahap pembukaan, inti dan penutup. Bagian pembukaan Tayub dilakukan klenengan, kondangan, gambyongan, dilanjutkan dengan penanggap ngibing bersama joged (Tayuban) untuk menandakan Tayub telah dibuka untuk dinikmati masyarakat. Tayub pada bagian inti yaitu Tayuban yang dilakukan oleh pengibing dengan joged diiringi dengan gendhing oleh pengrawit, Tayuban dilakukan sesi pertama dan sesi kedua. Bagian penutup wirosuworo mengumumkan bahwa pertunjukan Tayub telah selesai dan melantunkan gendhing terakhir langgam pamitan.

Wawancara dengan wirosuworo Bapak Kacung Saputro Oktober 2015

Bagaimana tahap-tahap pertunjukan Tayub dari awal hingga akhir, pertunjukan Tayub diawali klenengan pertama, mengundang masyarakat, setelah itu kondangan dilanjutkan klenengan lagi agar joged segera naik kepanggung. Setelah itu gambyongan lanjut penanggap nari bersama joged tujuannya buka acara. Bagian inti Tayuban, Tayuban habis satu gendhing, joged mutar hadap belakang diikuti pembekso dan pengibing seterusnya begitu, bagian penutup saya mengumumkan pertunjukan selesai diakhiri dengan gendhing pamitan.

4.2.2 Penyajian Dalam Kesenian Tayub

Penyajian dalam pertunjukan Tayub memiliki elemen-elemen pertunjukan Tayub seperti pemain, tata busana, tata rias, iringan, tempat penyajian, pengibing, penonton dan tamu undangan.

4.2.2.1 Pemain Atau Pelaku

Pemain atau pelaku dalam pertunjukan Tayub terdiri dari joged, pranatacara, pengibing, pengarih atau pramugari dan pengrawit atau panjak 4.2.2.1.1 Joged

Joged adalah sebutan penari perempuan dalam pertunjukan Tayub di Desa Bedingin, pada umumnya joged adalah seorang penari yang dianggap sebagai pemeran utama dalam pertunjukan Tayub, tanpa adanya joged Tayub tidak akan hidup. Sebagai seorang joged harus mampu melakukan pertunjukan Tayub seperti menyanyi dan menari, oleh karena itu joged dianggap sebagai penari yang menjadi daya tarik pertunjukan agar para penikmat tertarik untuk berpartisipasi dalam pertunjukan Tayub dengan menari bersama atau Tayuban. Maka dari itu joged harus tampil sumeh, luwes, kenes dan berpenampilan menarik.

Pertunjukan Tayub dapat diperankan dengan minimal 3 orang joged, yang dianggap cukup mampu untuk meramaikan acara pertunjukan. Tayub adalah tari berpasangan, Tayub dianggap sebagai tari rakyat atau tari masal, maka dari itu biasanya pertunjukan Tayub dipentaskan semeriah mungkin dengan menghadirkan joged lebih dari tiga. Joged dalam pertunjukan Tayub biasanya berusia 14-30 tahun, perempuan dengan usia sebatas itu secara fisik mempunyai tubuh yang ideal. sementara usia 30-47 dianggap sebagia penari senior yang lebih

Dokumen terkait