• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Administrasi Kota Tangerang... 116 2. Komponen Perhitungan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan

Kebutuhan Air Di Kota Tangerang... 117 3. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Pertama (Prioritas Fungsi

RTH)... 118 4. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk

Ekologi)... 119 5. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk

Sosial)... 120 6. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk

Ekonomi)... 121 7. Hasil Perhitungan Analisis AHP pada Strata Kedua (Prioritas Bentuk

Estetika)... 122 8. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Tangerang... 123 9. Kemampuan Vegetasi Dalam Memproduksi Oksigen... 136 10.Lokasi dan Luas Taman dan Hutan Kota Di Kota Tangerang... 137

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan yang semakin padat oleh berbagai infrastruktur sehingga berdampak terhadap kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut apabila tidak diimbangi dengan pertambahan ruang terbuka hijau dapat menyebabkan menurunnya kualitas air dan udara, berkurangnya daerah tangkapan air (catchment area) dan meningkatnya pencemaran lingkungan. Sehingga kota hanya maju secara ekonomi, namun mundur secara ekologi.

Kota Tangerang merupakan salah satu kota di kawasan Jabotabek yang mengalami perkembangan pesat. Selain dikenal sebagai kota industri, Kota Tangerang juga merupakan daerah pengembangan kawasan pemukiman bagi para komuter yang bekerja di Jakarta. Kota Tangerang memiliki luas wilayah 17.729,746 Ha. Dari luas wilayah tersebut pertumbuhan fisik kota ditunjukkan oleh besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas 10.127,231 Ha (57,12 % dari luas seluruh kota) dengan urutan penggunaan tertinggi sebagai kawasan pemukiman (5.988,2 Ha). Luas kawasan pemukiman diperkirakan akan meningkat pesat mengingat tingginya laju pertumbuhan penduduk Kota Tangerang, yaitu rata-rata diatas 3,0%. Hingga pertengahan tahun 2007 penduduk Kota Tangerang berjumlah 1.575.140 jiwa. Populasi penduduk dalam kurun tahun 1990-2007, telah berkembang menjadi 1,5 kali dibandingkan dengan tahun 1990 yang berjumlah 921.848 jiwa (Dinas Kependudukan Catatan Sipil, 2008).

Jumlah penduduk yang meningkat pesat akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang. Di banyak perkotaan di Indonesia, tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang seringkali diiringi menurunnya kualitas dan kuantitas kawasan hijau di kawasan perkotaan. Menurut Widodo (2007), sebagian besar kecamatan di Kota Tangerang, terutama Kecamatan Ciledug dan Kecamatan Larangan, memiliki kawasan hijau kurang dari 10%. Kawasan hijau masih dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Pinang, Cipondoh, Neglasari, sebagian kecil Kecamatan Batu Ceper (kawasan bandara)

2 dan Kecamatan Periuk. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, hanya Kecamatan Cipondoh dan Kecamatan Pinang yang masih memiliki kawasan hijau yang memadai, yaitu sekitar 40 % dari masing–masing wilayah kedua kecamatan ini. Walaupun demikian di masa yang akan datang kondisi ini akan cepat berubah mengingat wilayah ini merupakan daerah konsesi para pengembang perumahan. Apabila nanti dikembangkan maka kegersangan mungkin juga akan tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Ciledug atau Kecamatan Larangan. Tentu saja ini merupakan kondisi yang perlu diwaspadai mengingat pentingnya keberadaan kawasan hijau bagi masyarakat perkotaan.

Keberadaan ruang terbuka hijau sangat diperlukan bagi wilayah perkotaan seperti Tangerang. Selain menambah nilai estetika dan keasrian kota, ruang terbuka hijau juga berfungsi menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk, menjaga keseimbangan oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), mengurangi polutan, serta membantu mempertahankan ketersediaan air tanah. Menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH), akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan seperti udara dan air bersih.

Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau minimal menempati 30% luas wilayah perkotaan. Lebih lanjut dipertegas dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, bahwa proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota.

Setiap hari manusia membutuhkan oksigen sekitar 0,5 kg/hari; tanpanya manusia akan mengalami gangguan kesehatan yang serius. Ruang terbuka hijau disebut sebagai paru-paru kota karena merupakan produsen oksigen yang belum tergantikan fungsinya. Fungsi ini sebenarnya merupakan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2), hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Proses pembersihan udara oleh tanaman berlangsung secara efektif melalui proses penyerapan (absorpsi) dan penjerapan (adsorpsi) dalam proses fisiologis. Mengingat tingginya jumlah

3 penduduk, tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan RTH sangat diperlukan untuk menjamin pasokan oksigen bagi penduduk Kota Tangerang.

Kebutuhan prasarana lain yang harus disediakan oleh pemerintah adalah prasarana air bersih. Pelayanan air bersih di Kota Tangerang, baik yang berasal dari sistem perpipaan maupun non perpipaan, terus mengalami peningkatan. Tahun 2004 jumlah rumah tangga terlayani air bersih, baik dari sistem perpipaan maupun non-perpipaan, sebesar 92,31 %, pada tahun 2005 meningkat menjadi 92,34 % dan pada tahun 2006 menjadi 93,15%. Sisanya, sekitar 7% merupakan penduduk yang tidak terlayani air bersih. Namun dari jumlah tersebut (93,15%) pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan baru dapat menjangkau 20% dari penduduk kota Tangerang, dan terbatas pada wilayah-wilayah tertentu. Adapun sebagian besar penduduk Kota Tangerang (sekitar 73%) masih mengandalkan pemanfaatan sumber air tanah (sumur gali/sumur pompa) untuk mencukupi kebutuhan air mereka Mengingat besarnya jumlah penduduk yang masih menggunakan air bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sudah seyogyanya pemerintah berkewajiban untuk menjaga kualitas dan kuantitas air bawah tanah di Kota Tangerang. Salah satu upaya mempertahankan keberadaan air bawah tanah antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (Thohir, 1991).

Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap keberadaan ruang publik, khususnya RTH. Keberhasilan pengembangan RTH selain ditentukan oleh strategi pemerintah juga ditentukan oleh adanya partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam mengkonsepsikan sesuatu yang disebut baik oleh mereka (Fear, 1990). Pemerintah kota harus dapat mengelola ketersediaan RTH dalam wilayahnya sesuai dengan keinginan masyarakat, juga ketersediaan lahan dan peruntukan tata ruang kota. Wujud dan manfaat RTH yang sesuai dengan harapan dan keinginan warga kota, akan memberikan rasa nyaman, sejahtera, juga rasa bangga dan rasa memiliki akan RTH tersebut (Schmid, 1979). Keterlibatan masyarakat ini, secara langsung maupun tidak langsung, dapat

4 menciptakan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan memelihara kawasan RTH di lingkungan mereka.

Perumusan Masalah

Berkembangnya Kota Tangerang yang ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitasnya, secara tidak langsung mengakibatkan tekanan yang tinggi pada pemanfaatan ruang. Keberadaaan kawasan hijau di perkotaan seringkali dikalahkan oleh kebutuhan lain, seperti pengembangan kawasan pemukiman, pusat perbelanjaan dan aktivitas komersial lain, sehingga kualitas dan kuantitasnya semakin hari semakin berkurang. Di sisi lain, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, keberadaan akan RTH sebagai penyedia jasa lingkungan semakin dibutuhkan. Kualitas dan kuantitas RTH harus terus disesuaikan dengan perkembangan penduduk agar tercipta Kota Tangerang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Penataan ruang ditujukan untuk menghasilkan suatu perencanaan tata ruang yang diinginkan di masa mendatang. Proses perwujudan tata ruang kota biasanya dijabarkan dalam rencana tata ruang kota atau rencana detil tata ruang kota. Selain dilakukan oleh pemerintah Kota Tangerang, proses perencanaan maupun teknis pelaksanaan penyelenggaraan RTH sedapat mungkin melibatkan para-pihak (stakeholder). Dalam upaya penyelenggaraan RTH, kemampuan pemerintah seringkali terbatas, sehingga perlu adanya prioritas dalam pengembangan RTH yang tidak mengesampingkan keinginan masyarakat, terutama terkait dengan manfaat dan bentuk RTH.

Terkait dengan hal tersebut, secara khusus, penelitian ini akan memfokuskan pada pertanyaan penelitian (reserch question) sebagai berikut: 1. Berapa jumlah kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk,

kebutuhan oksigen dan air bersih.

2. Apakah pengembangan ruang terbuka hijau yang ada telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penduduk Kota Tangerang

5 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan rumusan pokok konsep kebutuhan RTH untuk menjaga keseimbangan lingkungan di Kota Tangerang. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji jumlah dan kecukupan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, kebutuhan air tanah di Kota Tangerang. 2. Mengkaji preferensi masyarakat terhadap prioritas pengembangan ruang

terbuka hijau di Kota Tangerang

3. Membuat rumusan arahan pengembangan RTH sesuai dengan kebutuhan, kondisi penutupan lahan, kebijakan tata ruang pemerintah, dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Kota Tangerang terhadap bentuk dan fungsi yang diharapkan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kebutuhan RTH di Kota Tangerang, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dalam rangka mewujudkan salah satu tujuan pembangunanya, yaitu; mengembangkan pemukiman dengan menekankan pada kelestarian hidup.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Ruang Terbuka dan Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka (RT) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam perencanaan ruang kota dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yaitu tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space) yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk plaza (piazza) atau square (Gunadi, 1995). Sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes), berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka Hijau.

Ruang terbuka didefinisikan sebagai ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988

dalam Purnomohadi, 2006). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan, atau didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat berbentuk

man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan tunggal, bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai, serta daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002)

Ruang terbuka berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, pertukaran udara sebagian besar terjadi di areal (ruang) terbuka (Purnomohadi, 2006). Menurut Spreigen (1965) dalam Hakim (2002), ruang terbuka juga memiliki fungsi sebagai penunjang kenyamanan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan dan

pelestarian alam yang terdiri dari ruang linear atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah ruang-ruang di dalam kota dimana unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat ruang terbuka lebih dominan (Hakim, 2002). Pelaksanaan pengembangan RTH dilakukan dengan pengisian tumbuhan pada ruang terbuka, baik secara alami ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman komoditi pertanian dalam arti luas, pertamanan, dan sebagainya. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau didefinisikan sebagai area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Berdasarkan referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH adalah: (1) suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) ”Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tumbuh-tumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perenial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan” (Purnomohadi, 1995)

Penyelenggaraan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, ditujukan untuk tiga hal, yaitu: 1) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air, 2) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat, dan 3) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008).

Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, ada empat hal utama yang harus diperhatikan, yaitu 1) luas minimum yang diperlukan, 2) lokasi lahan kota yang

potensial dan tersedia untuk RTH, 3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 1), dan 4) distribusinya dalam kota (Tim IPB, 1993).

Anderson (1975) dalam Grey dan Deneke (1978) mengemukakan bahwa kawasan hijau terdiri dari barisan pepohonan sepanjang jalan, gerombolan vegetasi di taman-taman, terasuk jalur hijau di pinggir kota, menyambung ke daerah hutan. Menurut Grey dan Deneke (1978) ruang terbuka hijau akan disebut sebagai hutan kota jika memiliki luas minimum 0,4 ha, atau jika memiliki bentuk jalur lebarnya minimum 30 meter1. Ruang tebuka hijau meliputi semua vegetasi yang tumbuh di daerah taman, tepi jalan, jalur tol, jalur kereta api, bangunan, lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perdagangan dan kawasan luar kota.

Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah, 1996). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, RTH dikelompokkan menjadi 4 jenis

1

Sedangkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 05/PRT/M/2008 menetapkan hutan kota dapat berbentuk bergerombol/menumpuk dengan berbentuk jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak rapat tidak beraturan, atau menyebar tidak beraturan dengan luas minimum 2500 m2, atau berbentuk jalur dengan lebar minimal 30 m.

Konsentris

Gambar 1. Pola RTH yang Mengikuti Pola Tata Ruang (Tim IPB 1993)

Terdistribusi Hierarkis

yakni: RTH pekarangan, RTH taman dan hutan kota, RTH jalur hijau jalan, dan RTH fungsi tertentu (termasuk didalamnya RTH sempadan badan air dan pemakaman).

Berbeda dengan Nurisyah, Fandeli (2004) mengklasifikasikan RTH berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurutnya, kawasan hijau kota terdiri atas kawasan pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, dan kawasan hijau pekarangan.

Djamal Irwan (1994) mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan fungsi lingkungan terkait dengan suhu, kelembaban, kebisingan dan debu. Bentuk RTH dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk:

a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu ruang terbuka hijau dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan.

b. Menyebar, yaitu ruang terbuka hijau yang tidak memiliki pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol kecil

c. Bentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya.

Sedangkan Nurisjah (2005) membedakan bentuk ruang terbuka hijau berdasarkan kesesuaian fungsionalnya terhadap ruang-ruang kota. Ruang terbuka hijau dikelompokkan menjadi dua:

a. Bentuk mengelompok, dibedakan lagi berdasarkan ukuran-fungsionalnya, yaitu kawasan yang berbentuk mengelompok, relatif luas ukurannya, serta dapat digunakan untuk berbagai aktivitas sosial dan rekreatif masyarakat serta memiliki manfaat ekologis yang tinggi, dan simpul untuk bentuk mengelompok yang relatif kecil ukurannya dan lebih mendukung aspek estetika ruang kota tetapi kurang dapat digunakan untuk beraktivitas masyarakat kota dan kurang bermanfaat secara ekologis.

b. Bentuk jalur dikategorikan lagi berdasarkan peruntukan fungsionalnya, yaitu bentuk jalur hijau jalan raya, jalur hijau lintas kereta, jalur hijau tepi sungai, jalur hijau tepi kota dan sebagainya.

Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita, 1997 dalam Nurisjah, 2005). RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar (Crowe, 1981). Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih.

Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang (Carpenter et al., 1975).

Menurut Simonds (1983) RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2) paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6) sebagai unsur dan sarana pendidikan.

Menurut Purnomosidi (2006), kemudian dikukuhkan dan disempurnakan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH

memiliki fungsi utama (intrinsik) sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat satwa dan penahan angin. Sedangkan fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah:

1) fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam,

2) fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.

3) fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota, serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun.

Kebutuhan Luas Ruang Terbuka Hijau

Hingga saat ini, formula rumusan penentuan luas kebutuhan RTH untuk memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan, masih terbatas pada penentuan luas secara kuantitatif. Luas RTH tersebut masih harus disesuaikan dengan faktor penentu lainnya, seperti geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi dan sebagainya.

Perhitungan luas minimum kebutuhan RTH perkotaan secara kuantitatif dapat didasarkan pada: 1) luas wilayah, yaitu minimal 30% dari total luas wilayah yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat, 2) jumlah penduduk, yakni 20m2 per kapita yang didistribusikan pada berbagai tingkat hierarki (Tabel 1), dan/atau 3) kebutuhan fungsi tertentu (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008). Kebutuhan fungsi tertentu biasanya dikaitkan dengan isu-isu penting di suatu wilayah perkotaan antara lain kebutuhan oksigen, ketersediaan air, atau pencemaran udara.

Tabel 1. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit Lingkungan Tipe RTH Luas Minimal/ unit(m2) Luas Minimal/ kapita (m2) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Ditengah lingkungan RT 2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Dipusat kegiatan RW 3 30.000 jiwa Taman

kelurahan 9.000 0,3

Dikelompokkan dengan sekolah/ pusat kelurahan 4 120.000 jiwa Taman kecamatan 24.000 0,2 Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kelurahan

Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar

5 480.000 jiwa

Taman kota 144.000 0,3 Di pusat wilayah/kota Hutan kota disesuaikan 4,0 Di dalam/ kawasan pinggiran Untuk

fungsi-fungsi tertentu disesuaikan 12,5

Disesuaikan dengan kebutuhan

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008

Kebutuhan oksigen di wilayah perkotaan, dapat menggunakan metode Gerarkis (Wisesa, 1988). Perhitungan ini tidak hanya didasarkan pada jumlah konsumsi oksigen oleh penduduk kota, namun juga memperhitungkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ternak dan kendaraan bermoor. Kebutuhan oksigen untuk manusia dihitung dengan asumsi bahwa manusia mengoksidasi 3000 kalori per hari dari makanan dan menggunakan sekitar 600 liter oksigen dan memproduksi 480 liter CO2. Untuk menghitung konsumsi oksigen oleh kendaraan bermotor, terlebih dahulu perlu diketahui jumlah dan jenis kendaraan bermotor. Jenis kendaraan bermotor dibedakan menjadi kendaraan penumpang, kendaraan beban, kendaraan bis dan sepeda motor

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarcchy Process)

Proses Hierarki Analitik lebih dikenal dengan istilah Analytical Hierarchy Process (AHP), diperkenalkan oleh Thomas L Saaty dalam bukunya "The Analytic Hierarchy Process" (1990). AHP merupakan salah satu dari beberapa

model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut kualitatif. Atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan.

Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada sub-sub kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi manusia, model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang didasarkan

Dokumen terkait