• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6 Metodelogi Penelitian

1.6.5 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi penelitian ini bertempat pada masyarakat Banjar Lumintang, Desa Daupurikaje, Kecamatan Denpasar Utara, Bali.

33

1.6.6 Sistematika Penulisan Hukum (Skr ipsi)

Penulis dalam menyusun penulisan hukum ini, bepedoman pada suatu sistematika yang baku. Sistematika memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab di mana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yaitu :

Bab I PENDAHULUAN. Didalamnya memuat mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Sub bab kedua berisi kajian pustaka yang merupakan uraian teoritis tentang teori dasar yang digunakan sebagai analisa pemecahan hukum yang diteliti. Sub bab ketiga berisi metode penelitian yang berupa cara melakukan penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data, penarikan kesimpulan selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.

Bab II. Untuk menjawab dari rumusan masalah yang pertama yaitu terdiri dari beberapa sub bab antara lain; sub bab I keabsahan perkawinan menurut UU Perkawinan, sub bab II keabsahan perkawinan menurut adat Bali, sub bab III keabsahan perkawinan menurut UU Perkawinan dan Hukum Adat Bali.

Bab III. Untuk menjawab dari rumusan masalah yang kedua yaitu terdiri dari beberapa sub bab antara lain; sub bab I perlindungan hukumpara pihak yang melakukan perkawinan ngerorod, sub bab II perlindungan

hukum bagi suami dalam perkawinan ngerorod, sub bab III perlindungan hukum bagi istri dalam perkawinan ngerorod, sub bab IV perlindungan hukum bagi anak dalam perkawinan ngerorod.

Bab IV PENUTUP. Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu : sub bab I. kesimpulan mengenai seluruh pembahasan dan permasalahan yang diteliti, sub bab II. Saran yang mungkin diberikan dari hasil penemuan-penemuan dilapangan yang dianggap bermanfaat secara ilmiah. Dengan demikian bab penutup ini merupakan rangkuman jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.

40

2.1 Keabsahan Per kawinan Menur ut UU Per kawinan

Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata ‘hukum masing- masing agamanya’ berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti hukum agamanya masing-masing yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya.

Perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Islam, kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Kristen dan atau hukum Hindu/Budha, maka perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya.34

Dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang

34

berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Dari bunyi dan penjelasan pasal 2 ayat (1) dapat disimpulkan bahwa, sah tidaknya suatu perkawinan semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan.

Berarti setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan hukum agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.35

Perkawinan harus dicatat dalam catatan perkawinan di mana sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) yang berbunyi :

“Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan bukan termasuk ketentuan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Pencatatan perkawinan hanyalah tindakan administratif saja, sama halnya dengan pencatatan peristiwa- peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, sesuatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.36

Berdasarkan isi pasal 2 ayat (2) dihubungkan dengan penjelasan undang-undang ini dapat disimpulkan :

1. Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pencatatan itu tiada lain merupakan akte resmi yang dapat dipergunakan sebagai bukti otentik tentang adanya perkawinan seperti halnya akte resmi kelahiran atau kematian.

Akan tetapi sekalipun bukan unsur yang menentukan keabsahan suatu perkawinan namun pencatatan suatu perkawinan merupakan keharusan, karena jika tidak ada bukti secara tertulis maka, salah satu pihak tidak akan

35

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975, hal 13

36

bisa menuntut pertanggungjawaban kepada pihak lain. Selain itu, suatu pencatatan perkawinan diharuskan karena berkenaan status hukum masing- masing pihak dan anak dari hasil perkawinan tersebut. Yang dimaksud dengan status hukum disini yaitu mengenai harta gono gini, waris, dan sebagainya.

Selain itu di dalam UU Perkawinan juga memuat mengenai Perkawinan Campuran. Istilah perkawinan campuran terdapat beberapa perbedaan pengertian, di antara yang dinyatakan dalam perundang-undangan dan yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari. Khusus di dalam perundangan terdapat perbedaan pengertian di antara yang dinyatakan dalam Peraturan tentang Perkawinan Campuran atau Regeling Op De Gemengde

Huwelijken (RGH). 29 Mei 1896 Nomor. 23 Stb. 1898 Nomor. 158 dan yang

dinyatakan dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang sekarang berlaku.

Di dalam RGH Stb. 1898 Nomor 158 pasal 1 dikatakan yang dinamakan perkawinan campuran ialah, perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan, yang dimaksud ialah jika terjadi perkawinan antara orang golongan Eropa dengan orang- orang hukum Pribumi (Indonesia) atau antara orang Eropa dengan orang Timur Asing, atau antara orang Timur Asing dengan Pribumi dan sebagainya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 163 ayat (2) ISR (Indonesische

Staatsregeling).37 Peraturan RGH Stb. 1898 Nomor 158 tersebut berdasarkan

pasal 66 UU Perkawinan sudah tidak berlaku lagi, dan sebagaimana di dalam UUD 1945 pasal 26 ayat (1) dikatakan bahwa yang menjadi warga negara

37

ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagi warga negara.38

Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan perkawinan.

Perkawinan Campuran yang dimaksud oleh UU Perkawinan pasal 57 adalah perkawinan campuran antara warga negara yang berbeda, misalnaya antara warga negara Indonesia keturunan Cina dengan orang Cina berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina, atau perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara Belanda. Jadi ada tiga pengertian perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara kewarganegaraan, perkawinan antara adat, perkawinan antara agama.

a. Perkawinan antara kewarganegaraan, pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan adalah : “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU ini untuk perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Pasal 57 ini membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.

b. Perkawinan antara adat, perkawinan campuran menurut pengertian adat, yang sering menjadi bahan perbincangan dalam masyarakat hukum suami istri yang adat, ialah “perkawinan antara adat”, yaitu perkawinan yang terjadi antara suami istri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam

38

kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah asal atau suku bangsanya berlainan.39

c. Perkawinan antara agama, perkawinan campuran antar agama terjadi apabila seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing- masing. Termasuk dalam pengertian ini, walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara agamanya dan kepercayaannya. Adanya perbedaan agama atau perbedaan dalam melaksanakan upacara agama yang dipertahankan oleh suami dan istri di dalam rumah tangga, adakalanya menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan berumah tangga.40

2.2 Keabsahan Per kawinan Menur ut Adat Bali

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, bagi umat Hindu perkawinan harus disahkan menurut ketentuan hukum Hindu. Tata cara pengesahan perkawinan bagi umat Hindu di Indonesia tidaklah seragam karena sangat diwarnai oleh budaya setempat.

Berdasarkan keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan Parisada

Hindu Dharma yaitu suatu Lembaga Tertinggi Agama Hindu menyatakan

bahwa, sahnya perkawinan ditentukan oleh adanya panyangaskara dengan

bhuta saksi dan dewa saksi serta adanya penyaksi (saksi) dari prajuru adat

39

Ibid, hal 15

40

(kepala adat) sebagai unsur dari manusa saksi. Inilah yang sering disebut sebagai tri upasaksi dalam upacara perkawinan (samskara wiwaha).

Terlepas dari variasi-variasi yang mungkin ditemukan, secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanan perkawinan bukanlah sesuatu yang instan, melainkan suatu proses yang meliputi rangkaian upacara adat dan keagamaan. I Gusti Ketut Kaler menyebutkan bahwa secara umum pelaksanaan perkawinan meliputi upacara pendahuluan, upacara pokok, dan upacara lanjutan.41

Upacara pendahuluan bertujuan untuk menghilangkan sebel/kotor kedua mempelai sehingga cukup suci untuk keluar rumah, memasuki merajan (memberikan kekuatan sidhi/berkah kepada seseorang), dan sebagainya. Setelah upacara pendahuluan tadi dilalui barulah dilanjutkan dengan upacara pokok. Upacara pokok meliputi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Hadirnya wakil dari masyarakat, dalam hal ini prajuru adat (kepala adat) yang menyaksikan upacara perkawinan tersebut. Sudah menjadi tradisi pula, disamping prajuru adat ikut pula sebagai saksi dalam upacara perkawinan tersebut adalah prajuru dinas, dalam hal ini kepala dusun atau kepala lingkungan, disamping keluarga-keluarga terdekat mempelai pria. Hal ini merupakan unsur manusa saksi.

2. Diayabnya banten byakala atau pekala-kalaan atau pedengen-dengenan yaitu pensucian lahir oleh yang bersangkutan selaku sarana penyucian. Hal ini adalah unsur bhuta saksi. Selain itu ada pula banten Prayascita yaitu penyucian batin.

3. Adanya sesajen yang dihaturkan ke Surya dan Pemerajaan (merajan) yaitu pemberi kekuatan sidhi atau berkah kepada seseorang serta sembahyangannya kedua mempelai kehadapan Hyang Widhi dan Batara

Betari, Hal ini merupakan unsur dewa saksi.

4. Diayabnya banten sesayut oleh kedua mempelai sebagai upaya untuk mengikatkan kedua mempelai menjadi suami istri (ardan aswari). Banten

sesayut yaitu perwujudan rasa tulus ikhlas dari manusia.42

41

I Gusti Ketut Kaler, Perkawinan dalam Masyarakat Hindu di Bali, Cudmani, Denpasar, Tanpa Tahun, hal 15

42

Inilah yang dimaksud dengan upacara Mabyakaon (mabyakala) untuk sahnya suatu perkawinan, sedang upacara lainnya dianggap sebagai tambahan saja.

Rangkaian upacara pokok ini dilaksanakan di rumah keluarga mempelai laki-laki atau mempelai berstatus purusa serta dipimpin oleh Rohaniawan yang memenuhi syarat. Upacara lanjutan yaitu seperti mejauman bertujuan untuk meningkatkan nilai kesucian dan nilai kesusilaan hubungan perbesanan.

Oleh karena itu Yurisprudensi menyatakan bahwa perkawinan disebut sah sesudah kedua mempelai melakukan upacara mabyakaon (mabyakala). Yang dimaksud dengan upacara Pabyakaonan atau Mabyakaon yaitu suatu rangkaian upacara umat Hindu untuk mengesahkan suatu perkawinan. Yurisprudensi tersebut adalah Keputusan Pengadilan Raad Kertha Singaraja

Nomor 290/Crimineel, 14 April 1932 yang mempertimbangkan dalam

putusannya bahwa selama mabyakaon belum dilakukan maka perkawinan belum dipandang sah. Yang dimaksud Pengadilan Raad Kertha Singaraja di sini yaitu Pengadilan pada zaman Belanda. Pengadilan Negeri Denpasar dalam Keputusannya Nomor 602/Pdt/1960 tanggal 2 Juli 1960 menetapkan bahwa suatu perkawinan dianggap sah menurut hukum adat Bali apabila telah dilakukan pabyakaonan atau mabyakaon. Demikian pula Keputusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 281/Pdt/1966/PDT tanggal 19 Oktober 1966.

2.3 Keabsahan “ngerorod” menur ut UU Per kawinan dan Hukum Adat Bali Menurut adat Hindu di Bali, pernikahan dilakukan di rumah calon pengantin laki-laki pada hari yang dianggap baik oleh Pandita Hindu Bali.

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya ngerorod adalah, suatu sistim perkawinan berdasarkan cinta sama cinta namun tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua belah pihak orang tua mereka, tetapi tetap ingin melakukan pernikahan, dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.

Ngerorod atau kawin lari banyak dijumpai pada pernikahan beda

wangsa, dimana perempuan meninggalkan rumahnya untuk menikah tanpa sepengetahuan orang tuanya. Bagi masyarakat Hindu perempuan yang berwangsa Brahmana tidak diperkenankan untuk menikah dengan pria yang berkasta lebih rendah. Jika hal tersebut dilakukan maka ritual perkawinan haruslah mengikuti perubahan status itu.

Sesuai dengan ketentuan hukum adat 1910, pernikahan seorang laki- laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan bagi laki- laki dan perempuan. Meskipun dianggap pelanggaran adat, pernikahan tersebut tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran dengan hukuman denda bagi laki-laki.

Pada zaman kerajaan Bali pelanggaran tersebut dapat menyebabkan kedua mempelai dibunuh atas perintah Raja, terlebih lagi apabila perempuan itu sudah menjadi calon istri raja. Dalam pernikahan tersebut si istri turun kasta menjadi sama kastanya dengan si suami.

Pada Tahun 1951 peraturan tersebut dihapuskan. Kini pernikahan beda kasta diperbolehkan tanpa hukuman apapun. Akan tetapi, turun kasta bagi istri tetap berlaku meskipun tidak ditegaskan. Perempuan dari kasta

tinggi yang menikah dengan laki-laki yang dari kasta yang lebih rendah menjadi turun kasta dan mendapat kasta suaminya. Perempuan yang menikah dengan laki-laki yang kastanya lebih rendah tersebut tidak diizinkan pulang ke rumah asalnya atau menegur orang tuanya seperti sediakala. Sementara itu, apabila seorang laki-laki berkasta menikah dengan seorang perempuan sudra (tidak berkasta), si istri berganti nama dan naik derajat menjadi jero atau

mekel.43

Adapun beberapa penyebab terjadinya kawin lari (ngerorod) ini adalah :

1. Orang tua dari pihak perempuan akan merasa tersinggung dan direndahkan karena pihak pria tanpa permisi mengambil anak perempuannya.

2. Memang orang tua tidak menyetujuinya karena mungkin ada alasan mendasar, sehingga satu-satunya jalan hanyalah ini.

3. Perbedaan wangsa, yang biasanya orang di desa masih kaku sehingga diplesetkan menjadi sistim kasta sehingga terjadi ketimpangan kasta. 4. Orang tuanya yang memang tidak setuju.

5. Orang tuanya merestui tetapi keluarga menentang atau tidak setuju.

6. Orang tua dan keluarga merestui tetapi adat di desa setempat yang tidak mengijinkan pernikahan beda kasta.

7. Adat setempat yang tidak memungkinkan pernikahan dilaksanakan pada bulan bersangkutan, munkin berkenaan dengan aturan internal desa atau adanya prosesi upacara besar di desa pihak perempuan sehingga system mepandik belum diperoleh hingga beberapa waktu ke depan.

8. Orang tua, keluarga dan adat merestui tetapi dana pernikahan belum mencukupi atau pihak dari laki-laki yang tidak mampu.44

Namun dari beberapa penyebab terjadinya ngerorod yang telah disebutkan di atas, adapun proses penyelesaian masalah dalam hal perkawinan ngerorod (kawin lari) ini adalah sebagai berikut :

1. Pada hari yang telah disetujui oleh pasangan pengantin, salah seorang saudara atau orang lain yang dimintai tolong, menjemput si perempuan dan membawanya ke rumah salah salah satu kerabatnya untuk di

43

Wawancara dengan Bapak I Wayan Suraba

44

sembuntyikan selama 3 hari atau sampai orang tua pihak perempuan mengakui bahwa anak gadisnya sudah menikah.

2. Selang beberapa jam, sedikitnya 2 orang keluarga, klian adat (kepala adat) dan klian dinas (kepala lingkungan) dari pihak laki-laki menyampaikan pesan kepada orang tuanya bahwa anak gadisnya telah pergi menikah melalui klian banjar (kepala banjar) dari pihak perempuan. 3. Bila orang tua pihak perempuan menyetujui anaknya telah dilarikan dan akan menikah dengan laki-laki pilihannya, maka kedua orang tua gadis tersebut akan menentukan kapan wakil laki-laki bisa datang kembali ke rumahnya untuk menyelesaikan masalah ini.

4. Baru keesokan harinya mereka berdua dijemput oleh orang tua dari keluarga besar pihak laki-laki untuk kembali ke rumah dan melaksanakan pernikahan adat Bali.45

Menurut kepercayaan Hindu di Bali, pernikahan merupakan acara yang sangat sakral dan suci. Pernikahan merupakan suatu yang sangat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga kelompok kerabat.

Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut adat Hindu Bali yaitu, untuk umur tidak ada ketentuan definitif untuk ukuran sudah dewasa ini. Di dalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal “menek bajang” (naik remaja), setelah wanita datang bulan pertama, dan setelah laki-laki berobah suara. Selain syarat-syarat yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya, bagi umat Hindu harus diperhatikan pula syarat bahwa kedua calon mempelai adalah beragama Hindu. Apabila salah satu atau kedua-duanya belum beragama Hindu, maka terlebih dahulu calon mempelai di sudhikan (sudhi wadani), suatu upacara keagamaan untuk meresmikan seseorang memeluk agama Hindu.46 Menurut undang-undang yang berlaku, akibat hukum apabila persyaratan perkawinan di atas tidak

45

Cakepane.blogspot.pasupatiumaseh.ac.id, 16 Mei 2012, 5:37

46

Wayan Windia dan I Ketut Sudantra, Pengantar Hukum Adat Bali, Setia Kawan, Denpasar, 2006, hal 37

dipenuhi adalah bahwa perkawinan itu dapat dicegah atau dibatalkan. Pihak- pihak yang dapat mencegah atau membatalkan perkawinan telah ditentukan dengan tegas oleh undang-undang.

Tradisi ngerorod atau kawin lari ini merupakan model perkawinan tradisional yang menghargai Hak Asasi Manusia. Tradisi perkawinan

ngerorod ini menjunjung tinggi Hak Asasi tiap umat Hindu yang hendak

berumah tangga. Ada kebebasan memilih calon pendamping hidup berdasarkan rasa cinta yang tulus. Tradisi perkawinan ini menggambarkan perkawinan tanpa ijin orang tua. Menurut Hukum Adat Bali eksistensi perkawinan seperti ini masih diakui oleh masyarakat adatnya, perkawinan seperti ini sah menurut adat Bali karena telah tertera sejak dahulu. Menurut pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa sahnya perkawinan ialah; ‘Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, seperti yang sudah penulis bahas di atas.

Menurut pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan beberapa syarat agar perkawinan dapat dilangsungkan, syarat-syarat tersebut adalah : “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, sedangkan dalam ayat (2) menerangkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun tidak perlu adanya izin dari orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Jika dibandingkan dengan pasal 7 UU Perkawinan, mengenai batasan usia bagi mempelai untuk melakukan perkawinan yaitu jika, “laki- laki sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan perempuan sudah

mencapai usia 16 (enam belas) tahun”. Maka untuk hal ini perlu adanya permintaan dispensasi kepada Pengadilan Negeri atau pejabat lain yang ditunjuk oleh ke dua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Sedangkan dalam hal perkawinan ngerorod di sini, batasan umur yang diminta sama dengan ketentuan yang telah diatur oleh UU Perkawinan di mana calon mempelai tersebut harus sudah cukup umur yaitu untuk pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan untuk wanita sudah mencapai umur minimal 16 (enam belas) tahun. Batasan usia ini tidak hanya berlaku untuk perkawinan dengan bentuk ngerorod saja melainkan berlaku juga untuk perkawinan dengan bentuk lainnya. Karena UU Perkawinan berlaku Nasional, maka persyaratan-persyaratan perkawinan di atas berlaku pula bagi perkawinan orang Hindu Bali. Asalkan pasangan tersebut telah cukup umur dan cakap hukum maka tidak ada masalah untuk ke duanya melangsungkan perkawinan. Hal tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu sesuai dengan UU Perkawinan di mana sejak dikeluarkannya UU Perkawinan tersebut maka umat Hindu di Bali mengacu pada aturan hukum yang berlaku tersebut.

Lalu bagaimana jika perkawinan ngerorod ini dilakukan oleh pasangan yang masih berumur di bawah 21 (dua puluh satu) tahun atau di bawah umur 18 (delapan belas) tahun?

Dalam hal ini tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa seseorang yang akan melangsungkan perkawinan yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari ke dua orang tuanya. Apabila salah seorang dari ke dua

orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Tetapi apabila dalam hal ke dua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

Dokumen terkait