• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lupus eritematosus sistemik .1 Definisi .1 Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan (Isbagio et al., 2009).

2.1.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperi bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9):1. Pada SLE yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah, yaitu 3:2 (Isbagio et al., 2009).

8

Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010 (Kasjmir et al., 2011).

2.1.3 Patogenesis

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini (Isbagio et al., 2009). Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal mempengaruhi kerentanan dan ekspresi klinis dari penyakit SLE. Adanya mekanisme pengaturan imun yang tidak sempurna, seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor yang penting pada perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, peningkatan antigenic load, kelebihan bantuan sel T, terganggunya supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke T helper 2 (Th2) menyebabkan hiperaktivitas dari sel B dan produksi dari autoantibodi patogenik. Beberapa faktor lingkungan juga menyebabkan pemicu timbulnya SLE (Mok dan Lau, 2003).

9

Gambar 2.1 Patogenesis dari SLE (Mok dan Lau, 2003).

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Anti nuclear antibody (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE (Isbagio et al., 2009).

10

Tabel 2.1 Autoantibodi patogenik pada SLE (Isbagio et al., 2009).

Antigen spesifik Prevalensi Efek klinik utama

Anti-ds DNA 70-80% Gangguan ginjal, kulit Nukleosom 60-90% Gangguan ginjal, kulit

Ro 30%-40% Gangguan ginjal, kulit, jantung fetus La Sm Reseptor NMDA Fosfolipid α-Actinin C1q 15%-20% 10-30% 33-50% 20-30% 20% 40-50%

Gangguan jantung fetus Gangguan ginjal Gangguan otak Trombosis, abortus Gangguan ginjal Gangguan ginjal 2.1.4 Diagnosis

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. Kriteria diagnostik SLE berkembang dimulai sejak kriteria Dubois, kemudian kriteria pendahuluan American Rheumatology Association (ARA) hingga kriteria ARA yg telah direvisi terakhir tahun 1997 (Isbagio et al., 2009). Berdasarkan kriteria ARA tahun 1997, SLE ditegakan bila memenuhi 4 kriteria dari 11 kriteria yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu (Hochberg, 1997).

11

Tabel. 2.2 Kriteria Diagnostik SLE berdasarkan American Rheumatology Association revisi tahun 1997 (Hochberg, 1997).

No Kriteria Definisi

1 Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan

cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial.

2 Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan follicular. Pada SLE

lanjut dapat ditemukan parut atrofik

3 Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik

dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat dokter

pemeriksa

5 Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia

6 Serositis a. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau adanya pleural friction rub yang

dengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau b. Perikarditis : terbukti dengan rekaman EKG, atau pericardial friction

rub atau terdapat bukti efusi pericardium.

7 Gangguan

renal

a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau

b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

8 Gangguan

neurologi

a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan

metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit) atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan

metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit).

9 Gangguan

hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau

b. Leukopenia < 4000/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia < 1500/ mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat obatan

10 Gangguan

imunologik

a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dalam titer yang abnormal,

atau

b. Anti-SM : terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas :

(1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM (2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau (3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema

pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

11 Antibodi

antinuklear positif (ANA)

Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

12

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Perjalanan penyakit SLE yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam pemberian terapi. Indeks untuk menilai aktivitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score,dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih (Kasjmir et al., 2011).

2.1.5 Tatalaksana

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan pasien SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Sebelum pasien SLE diberi pengobatan , harus diputuskan dulu apakah pasien tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, pasien SLE yang tidak mengancam

13

nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif (Isbagio et al., 2009).

Tabel 2.3 Tatalaksana konservatif pada SLE (Gordon, 2010).

Nasihat Faktor Risiko Tatalaksana

Hindari sinar matahari dan sinar ultraviolet

Pakai sun block

Hindari Infeksi Terapi infeksi secepatnya dengan antibiotika Hindari kehamilan yang tidak

direncanakan

Penggunaan kontrasepsi Gunakan NSAID dengan hati-hati

Gunakan Steroid oral dengan hati-hati

Monitor aktivitas sakit

Obati hipertensi

Obati DM dan lemak Obati risiko osteoporosis

Gunakan analgetik seperlunya

Pertimbangkan steroid lokal dan intra muskular atau intravena dan agen sitotoksik

Cek urinalisis, darah lengkap, kreatinin, anti-dsDNA antibody, C3, C4

Dengan penghambat channel Calsium dan penghambat ACE

Anjurkan diet dan berikan obat bila diperlukan Berikan wanita post menopause dengan

bifosfonat

Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya (Isbagio et al., 2009).

14

Gambar 2.2 Algoritme Penatalaksanaan SLE (Kasjmir et al., 2011).

Algoritma ini merekomendasikan penggunaan steroid serta agen imunosupresan sebagai modalitas dasar terapi dan disesuaikan dengan derajat beratnya penyakit. Pada SLE derajat berat yang tidak menunjukkan respon yang baik dengan steroid dan imunosupresan konvensional dapat ditambahkan

targetted therapy seperti rituximab (Kasjmir et al., 2011).

2.2 Aterosklerosis

Dokumen terkait