• Tidak ada hasil yang ditemukan

M ereka Siapa ?

Dalam dokumen Revolusi berganti sebelum mati (Halaman 165-175)

16 April 2012 Jam 07.10 Pagi.

“ Perekonomian Amerika semakin terpuruk. Utang mereka semakin besar. Bencana yang terjadi di sana juga memperburuk keadaan...”

Pak H erman memindahkan saluran televisi yang dia tonton.

“ Anda bisa lihat, harga gula dan tepung terigu naik dengan cepat. Ketergantungan kita terhadap barang impor, terutama Amerika, membuat kita ikut terpengaruh secara langsung. Lagi-lagi harus dipertanyakan visi pemerintahan kita ini. bangsa ini di jalur agraria? Atau teknologi? Saya sendiri meyakini kita ini bangsa agraris, tapi kenapa untuk sembilan bahan pokok saja masih impor?” T erjadi perdebatan yang sengit pagi itu.

“ Sembako naik? Bukan masalah, selama Presiden masih bisa beli. Jalanan rusak? Bukan masalah, selama presiden gak lewat jalan itu. Sekolah rusak? Gak apa-apa, selama anak presiden gak sekolah di tempat itu. Dingin sekali para pemimpin bangsa ini, mereka bukan sosok pemimpin. Dan negara ini sebenarnya bukan negara, tapi bangsa yang masih dijajah!” Racau pak H erman.

166

Di tempat lain, Dira belum beranjak dari tempat tidurnya. Kejadian malam yang lalu masih sangat membekas rasanya. Dan itu pasti bertahan lama. H ari ini terasa malas untuk pergi kuliah. Suara Fajar pun belum terdengar di bawah, sepertinya hari ini dia tidak akan menjemput Dira.

***

Jam 09.20 Pagi.

Dira turun dari kamarnya, menghampiri ayahnya yang sedang menonton televisi.

“ Kamu gak kuliah?” T anya ayahnya. “ Lagi males,” Dira memeluk bantal sofa. “ Kok Fajar gak dateng ya?”

“ M ungkin dia juga gak kuliah.”

Pak H erman menyadari bahwa Dira sedang ada masalah, entah itu dengan Fajar atau Irham. “ M mm, kok bisa males kuliah, gara-gara cowok?”

Dira terdiam, berpura-pura tidak mendengar apa yang ayahnya ucapkan, dia menonton televisi meski tak paham juga apa yang disuguhkan televisi itu.

“ Kalau memang orang-orang itu yang bikin kamu jadi seperti ini. Ayah bakal tendang mereka satu-satu! Oke?!” Ucap ayahnya penuh canda dalam teriakannya.

Dira sedikit tersenyum mendengar itu, “ jangan, Yah! Bukan mereka yang salah kok.”

Ayahnya tertawa, “ anak ayah yang cantik, udah sarapan belum? Si bibi masak bubur kacang ijo tuh. Enak lho...”

167 “ Belum laper, Yah.” Dira tersenyum.

“ T api sudah waktunya. Ayo sarapan sana! Jangan tunggu sakit kayak ayah ini.”

“ Iya deh iya..” Dira melangkah malas.

Sedang ayahnya tersenyum, mengajari Dira agar membedakan keharusan dan keinginan. Orang-orang yang sehat sebenarnya memakai mahkota yang indah, namun mahkota itu hanya bisa diihat oleh orang-orang yang sakit, sedang orang-orang yang sehat itu justru sering tidak menyadarinya. Ayahnya berusaha menyadarkan Dira bahwa kesedihan yang mendera hatinya, jangan sampai merusak kebutuhan tubuh dan pikirannya. M eski hati bersedih, tubuh tetap harus makan, pikiran tetap harus belajar. Dan justru, kadangkala, itu menjadi obat dari sebuah kesedihan.

Pak H erman memang sering berubah-ubah dalam memberi perhatian. Kadang dia sangat perhatian pada Dira, tapi kadang juga sangat dingin. T api biasanya dia jadi sangat dingin kalau baru bertengkar dengan sang istri. M akanya, Dira sering berharap agar ibunya tidak datang lagi ke rumah. Bukan karena dia tidak rindu, tapi karena itu lebih baik untuk mereka. Pertemuan mereka selalu berbuah keributan, dan itu menyakitkan.

***

13 Juni 2012 Jam 08.17 Pagi.

Semenjak konflik dingin malam itu, hari-hari berjalan dengan sepi. Saat ini libur panjang sudah datang, namun tak banyak yang Dira kerjakan. Dia masih di tempat yang sama, yaitu kamarnya. H anya sesekali dia main

168

keluar rumah bersama N ovi dan temannya yang lain, namun itu tidak merubah suasana hatinya. Irham dan Fajar memberi sayatan yang dalam, hingga sulit untuk dilupakan.

“ M ahasiswa berdatangan dari banyak arah, diperkirakan jumlah mereka lebih dari 3000 orang. Kami belum mendapat konfirmasi berapa jumlah korban yang jatuh, tapi beberapa orang polisi sempat terlihat terkapar akibat terkena lemparan batu,” Laporan langsung seorang reporter.

“ Kasihan mereka, saling lempar batu, tapi orang yang harusnya kena lempar justru duduk nyaman.” Celoteh pak H erman.

Beberapa bulan ini keadaan bangsa memang semakin memburuk. H arga bahan pangan semakin meningkat. Kenaikan komoditi seperti kedelai, tepung terigu, dan minyak goreng, membuat masyarakat tercekik. Kenaikan ini juga berakibat langsung pada dunia usaha. Banyak pengusaha tempe dan tahu harus gulung tikar, yang artinya bertambah pula pengangguran.

Sementara itu, gedung-gedung besar terus dibangun. Apartemen-apartemen menggusur pemukiman warga, perumahan-perumahan mewah berjejer bahkan hingga bibir pantai. Pusat perbelanjaan menjamur di mana- mana, membunuh pasar-pasar tradisional. Investasi yang digembar-gemborkan pemerintah nyatanya tidak menyentuh kalangan bawah. Kesenjangan sosial makin terbentuk.

Korupsi bahkan menjamur di tiap sendi pemerintahan. Dari desa sampai Senayan, semua bekerja- sama menutupi boroknya. Pajak ditarik untuk memenuhi

169 brangkas mereka. Pemilu diadakan untuk melegalkan tahta mereka. Setelah menang pemilu, mereka menjabat dan mengumpulkan lagi uang ‘ganti rugi’, bahkan korupsi untuk modal pemilu berikutnya. Dan rakyat sudah mulai pintar, mereka paham siapa yang sebenarnya paling serakah di bangsa ini, siapa yang paling bertanggung jawab atas kemelorotan kesejahteraan mereka.

Demonstrasi banyak terjadi. Jika satu bulan yang lalu banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk menuntut temannya yang tewas tertembak. Kali ini demonstrasi juga diramaikan oleh masyarakat biasa. Bermacam-macam cara mereka menyampaikan kegelisahan, ada dari mereka yang berkumpul di jalanan membawa cangkul, parang, bahkan padi kopong yang dipetik karena gagal panen. N amun ada pula yang lebih rapih dengan spanduk dan pengeras suara. Dan peluang untuk menjadi anarkis juga makin besar. Itu semua adalah indikasi bahwa bangsa ini sedang terpuruk, sayangnya, tidak pula didengar oleh para penguasa.

Sementara itu Dira di kamarnya, tidak tahu perkembangan itu dan asik-asik saja dengan T witter-nya. N amun ada yang menarik kali ini, T rending T opic di T witter adalah “ # PresidenT urun” . Dira yang biasanya tidak pernah tertarik untuk urusan perpolitikan, kali ini merasa sedikit tertarik dan memutuskan untuk mencari tahu kenapa ada topic semacam itu.

“ @kupupagi: Klo bgini terus, hancur nih tanah air gue. M ending presiden turun deh.. biar yg lain yg memimpin.”

170

“ @Janjimanis: 3. H arga pangan yg terus naik. Pemerintah tidak bisa mengendalikan harga, ada kegelisahan di kelas menengah bawah. # PresidenT urun

“ @M unar: Sdh jelas siapa yg mafia, jgn tunggu lagi proses hukum! Ga bakal beres krna hukum dia yg punya. # Presidenturun

“ @irwan172: # PresidenT urun Kawan2 mahasiswa, kalian punya tanggung jawab atas masa depan bangsa. Kita harus turunkan dia langsung!!!”

“ @anCinta: terbukti bahwa nasionalisme rakyat lebih besar dibanding presidennya. Kita butuh pemimpin sejati! # PresidenT urun”

“ @husni11: Ada apa sih pada ngomongin # PresidenT urun? Emangnya kita punya presiden ya? # gemes # garuktembok # bantingT V ”

“ @Pejuangabadi: Ayo kita turun ke jalan!! T idak usah basa basi lagi!! # PresidenT urun # PresidenT urun # PresidenT urun

Beberapa T weet dengan hastag “# PresidenT urun” Dira baca, dan tak lama kemudian dia pun bosan. Dia tidak peduli dengan urusan politik yang dia baca. N amun ketika dia mencoba kembali ke laman depan T witter, tidak bisa! Dia coba lagi, namun lagi-lagi tidak bisa. Diceknya koneksi modemnya, ternyata masih terhubung ke jaringan (baca: online). “ M ungkin T witter lagi error..” Pikirnya.

Dira mulai bosan bermain di depan laptop, terlebih lagi karena tidak bisa menggunakan T witter. Dia turun dari kamarnya dan melihat keadaan ayahnya di lantai bawah.

171 “ Pagi, Yah!”

“ Pagi sayang, pasti belum mandi. Belum sarapan juga. Iya, kan?” Berendel ayahnya.

“ H ehe.. H emat air dong, Yah! Kalau hari libur gak usah mandi.”

“ H emat sih hemat, tapi mengganggu!” “ Kok ganggu?”

“ Iya, kamu bau, jorok, merusak pemandangan. H aha,” ayahnya tertawa.

“ Ish! M ulai deh nyebelin! Anaknya sendiri malah diledekin! H uhh!” Dira manyun, dia mengalihkan pandangannya ke televisi yang ada di hadapannya.

“ Akses T witter secara tiba-tiba terhenti, banyak orang mengeluhkan keadaan ini. Banyak dari mereka yang berspekulasi bahwa ini adalah langkah pemerintah untuk menghentikan gerakan-gerakan yang menuju anarkisme dan pemberontakan terhadap pemerintahan.. kita masih menunggu konfirmasi dari pihak pemerintah..”

“ W ah! Pantesan aku tadi gak bisa T witter-an. T ernyata semua orang juga gak bisa.” celetuk Dira.

“ Abangmu tadi telepon. Dia sekarang tugas menjaga demo. Bantu doakan dia ya, Sayang. Keadaan negara ini sedang buruk.”

“ Kok tentara ikutan jaga demo? Biasanya kan polisi. Iya kan, Yah?”

“ Seminggu ini ada banyak bentrok polisi lawan masyarakat, mereka pasti udah kewalahan. M akanya banyak tentara yang ikut menjaga.”

172

Polisi? Irham. Dira teringat Irham. Di mana dia sekarang? Kehilangan komunikasi dan juga tak ada kabar. M ungkinkah dia juga sedang berjibaku di jalanan?

“ Polisi gak ada yang meninggal kan, Yah?”

“ Sudah ada, tapi belum jelas beritanya. Demonstran juga ada yang meninggal. Ada yang kejepit pas dorong-dorongan, ada lagi yang kena hajar sampe meninggal. Kalau situasinya sudah begini, kasihan mereka ... jadi aparat serba salah, sayang. Gak tega kalau harus mukul rakyat, tapi juga harus patuh sama atasan,” terang ayahnya.

“ Kenapa mereka harus demo? Selama ini negara kita damai,” Dira penasaran. Demo besar seperti ini baru pertama kali dilihatnya. Juga jadi lebih menegangkan, karena seseorang yang dia kenal ada di sana; Irham.

“ H mm.. Kamu tuh harus banyak belajar. H arus banyak menoleh ke bawah juga, jangan cuma malas- malasan terus. Kalau ayah jelasin semuanya sekarang, bisa abis sehari semalam. H ehe. Sarapan dulu sana, atau mandi! Bau tuh badan kamu.” Ayahnya tersenyum.

“ Ah! Ayah nih. Aku lagi nanya serius, malah bercanda jawabnya!” Dira kecewa berat. Dia benar-benar mengkhawatirkan Irham.

“ T emen kamu kan ada yang sering ikut demo tuh. Si Fajar itu! Dia sering demo, kan? Dia lebih paham dari ayah, kamu bisa belajar banyak dari dia.”

Dira tertegun. Fajar! N ama itu kembali terngiang, melayang-layang di pikirannya. Bagaimana keadaannya sekarang? Semenjak kejadian melelahkan di malam itu, Fajar juga sudah hilang komunikasi dengannya. M eski

173 pernah melihatnya di kampus, mereka tidak mengobrol. Lalu sedang apa dia di musim liburan seperti ini? M ungkinkah Fajar sekarang sedang berdemo di jalanan?

“ Eh! Pagi-pagi malah ngelamun. M andi sana!!” T egas ayah Dira, dia memencet hidung Dira dengan keras seraya tertawa.

“ Aduuh... sakit lho, Yah! Kasihan nih hidungku dipencet terus. Bentaran deh mandinya, oke...” Dira berlari menuju kamarnya, dia membuat ayahnya bingung dengan tingkahnya pagi ini. Dira yang biasanya malas membahas berita, kini begitu antusias, banyak tanya, tapi kemudian dia pergi begitu saja.

Dira mengambil ponsel yang tergeletak di meja belajar, tepat di samping foto ibu. D engan tergesa-gesa dia menelpon N ovi.

“ N ov, gimana kabar kamu?”

“ Somboooong! Baru nanya kabar lagi. H ehe. aku baik kok, kamu gimana?”

“ Aku juga baik. Eh, kalau liburan begini kamu itu masih demo atau nggak?” T anya Dira.

“ Aku sih nggak. T api temen-temen yang lain masih demo. Kenapa?”

“ Kalau Fajar masih demo gak?”

“ Fajar? Ada apa nih nanya Fajar? Ehm, H ehe,” “ Gak ada apa-apa kok, cuma nanya aja. Kalau gak mau jawab juga gak apa-apa.” Dira panik. Dia masih mencoba mengingkari bahwa sebenarnya dia khawatir akan keadaan Fajar.

174

“ H ehe... Dia masih sering demo, Ra. Gak ada kata liburan buat dia dan temen-temennya itu. Aku juga sempet diajak, tapi gak dikasih izin sama papaku, makanya gak ikut.”

“ Dia biasanya kumpul-kumpul di mana? Aku mau ketemu dia.”

“ Yaelah, telepon aja langsung orangnya.” Dira lama tak membalas ucapan N ovi.

“ N ov! Aku minta tolong sama kamu. Boleh kan?” Ucap Dira pelan.

“ Apa? Pasti aku bantu kalau emang bisa.”

“ T olong cari tahu kabar Fajar. Jangan tanya kenapa aku gak telpon dia langsung! Aku gak bisa, N ov! Aku harap kamu ngerti dan mau bantu.”

“ Oh... begitu. Sebenernya sih aku gak ngerti. H ehe. T api aku bisa nyari kabar dia kok. Kamu tunggu aja kabar dariku, oke?”

“ Oke, aku tunggu. M akasih banget, N ov. Kamu emang temenku satu-satunya, yang baik hati dan cantiknya tiada tara. H ehe..” Guyon Dira.

“ Iya iya mba cantik. Jangan mikirin Fajar terus, nanti stres lho kamu ... Dulu aku malu buat ngobrol sama Fajar, kamu yang sok berani. Sekarang malahan kamu yang malu-malu begitu. Dunia ini memang aneh! H aha.”

Obrolan itu terhenti dengan penuh canda. N amun Dira masih harus berjuang menahan rasa was-was yang menyelimutinya. Fajar, Irham, bagaimana kabar mereka?

175

BAB 19

Dalam dokumen Revolusi berganti sebelum mati (Halaman 165-175)

Dokumen terkait